Tujuh : Cara Untuk Membawanya Kembali
— VII —
"Vivi, please," ujar Carol memohon dengan puppy eyes. Membuat Vivian terpaku sesaat.
"Tidak." Jawab Vivian singkat dan tegas. Membuat Carol mematung di tempat.
Wanita itu memasang ekspresi cemberut kala mendengar jawaban teman wanitanya. Ternyata susah juga. Sogokan berupa wine dan pizza, ternyata tak cukup kuat untuk melunakkan seorang Vivian Adrienne.
"Kalau begitu, bagaimana jika melakukan 'itu' lagi?" tawar Carol kemudian. Ide ini adalah jalan terakhir.
Mendengar tawaran tersebut, Vivian mengangkat sebelah alisnya. "Itu?" tanyanya memastikan.
Carol mengangguk. "Taruhan," jelas wanita bersurai hitam legam itu.
Bohong jika penjelasan satu kata tersebut tidak membuat Vivian menggigil. Kata itu, sukses membuat nafsu terdalam serta rasa serakahnya, mendidih seperti air yang direbus. Ternyata Carol tahu betul apa yang paling dicintai sang manajer itu selain dunia permusikan.
"Tidaklah kau ingat? Kau baru saja kalah dariku," balas Vivian kemudian. Terdengar merendahkan. "Kali ini, apa lagi yang ingin kau pertaruhkan?"
"Well ... aku akui itu. Selamat atas kemenanganmu," jawab Carol melepas pandangan sesaat. Tapi, saat Vivian melanjutkan soal apa yang dipertaruhkan, manik biru menyala itu kembali memandang sang manajer. Senyum menantang mengembang di bibir Carol.
"KUDOS," sambung Carol.
"Mereka?"
Carol mengangguk. "Kali ini aku bertaruh, KUDOS akan membawamu kembali menjadi dirimu sendiri," jelasnya kemudian.
Vivian mengerutkan kening. "Aku sudah menjadi diriku sedari awal," elaknya.
"No, no," Carol menggeleng, "kau berubah sepenuhnya setelah Von selesai denganmu. Dan lagi, bukankah itu alasan utama kau menjadi manajer? Mencari orang yang mampu mengembalikanmu. Tujuan yang terbilang serakah ya."
Vivian terdiam kemudian. Tak terusik akan ucapan Carol yang menyebutnya serakah. Karena memang itu adanya.
"Ternyata kau memang licik ya," komentar Vivian sarkastik.
"Tak selicik si berengsek Von." Balas Carol menggedikkan bahu. Senyum polos terukir di bibirnya.
Vivian kembali diam. Memikirkan baik-baik tawaran itu. Yang menjadi taruhannya adalah KUDOS--yang Vivian yakini, pertaruhan itu tidak ada persetujuan dari pihak yang terkait. Sama seperti sebelumnya.
"Baik," jawab Vivian akhirnya setuju. Mata hijau itu berkilat, yakin akan memenangkan pertaruhan ini lagi. Karena dalam pertemuan singkat beberapa hari belakangan ini, ia telah sadar seperti apa KUDOS itu. "Apa yang kau mau jika kau memenangkan taruhan ini?"
Carol berdehem panjang, menatap langit-langit dengan tangannya menyentuh dagu pucatnya. "Tak ada yang spesial," jawabnya akhirnya. Kembali memandang Vivian. "Jika aku menang, aku ingin kau tetap seperti itu, dan tetap saling berhubungan dengan KUDOS,"
"Dan jika kau kalah?"
"Aku akan 'menghancurkan' Von untukmu."
Kedua alis Vivian tampak naik. Darah yang mengalir di seluruh tubuhnya, terasa mendidih.
"Kau bisa melakukannya?" tanya Vivian memastikan. Tapi ia sungguh menantikan jawaban 'ya' keluar dari bibir Carol.
"Semudah mencuri permen dari bayi." Jawab Carol dengan senyum penuh keyakinan.
Sebisa mungkin, Vivian berusaha menutupi rasa bahagianya saat Carol bisa menjamin hadiah kemenangannya. Ia sangat ingin itu terjadi. Sangat, sangat ingin!
"Tapi, bagaimana kau akan tahu kau berhasil menang atau tidak?" tanya Vivian kemudian. Teringat akan sesuatu yang penting. Plus, cara untuk menutupi rasa bahagia bercampur nafsu itu. "Kau tak ikut dalam tur ini, 'kan?"
"Kau akan menunjukkannya padaku sendiri, Vivi." Jawab Carol dengan senyum penuh makna.
Oh, ini pasti akan mengasikkan.
— VII —
Carol membuka matanya pelan. Otaknya, seketika teringat akan taruhan diam-diamnya dengan Vivian. Sejujurnya, ia tak mau mengambil jalan akhir itu lagi agar Vivian kembali menjadi manajer KUDOS. Tapi, melihat sebegitu keras kepalanya Vivian, ia terpaksa menggunakan kartu truf-nya lagi.
Sekarang Carol berpikir, kenapa pula ia mempertaruhkan KUDOS? Yang secara tidak langsung, juga mempertaruhkan Citrus, James, Viona, Riana dan Kyle. Seharusnya Fran saja yang ia pertaruhkan. Pasti akan lebih asik. Selain itu, Fran sendirilah yang menjadi pusat masalahnya. Jadi, dia yang harus dikorbankan, 'kan?
Uh, sial. Dia tak bisa mengerti dirinya sendiri. Rasanya, ingin mati saja. Rasanya ingin menyayat tubuh lagi.
Carol menggelengkan kepalanya cepat. Memejamkan mata dan menampar kedua pipinya agar pikirannya kembali.
'Tidak, jangan lagi. Sudah cukup dengan masa kegelapannya,' batin Carol meyakinkan diri sendiri. 'Minum minuman alkohol dan rokok, itu sudah cukup. Self harm, sudah selesai. Titik!'
"Carol?"
Suara seorang pria berhasil mengembalikan pikiran Carol sepenuhnya. Ia membuka matanya pelan, dan mendapati sosok Seth yang telah berada di depannya.
"You ... still with us?" tanya Seth menautkan sebelah alisnya. Ia sudah mengenal Carol lama—sama seperti KUDOS. Jadi, ia sadar maksud dari setiap gelagat wanita berkulit pucat itu.
Carol mengulas senyum kecil. Yang kemudian, disusul anggukan pelan. "Ya. Maaf membuatmu khawatir." Jawab Carol.
'Uh, payah sekali aku sempat memikirkan hal itu lagi.' Batin Carol memijat dahinya.
"KUDOS!" panggil Carol dengan nada sedikit meninggi. Membuat semua personil KUDOS fokus sepenuhnya ke wanita berambut hitam itu. "Kita perlu bicara sedikit."
— VII —
— VII —
"Karena aku tak bisa ikut dalam tur kalian, aku berharap banyak dari kalian. Terutama kau Fran. Jangan kecewakan dia lagi."
Francis membuka matanya. Menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi pesawat. Pikirannya kembali memutar ulang ucapan Carol sebelum mereka pergi. Sayang sekali wanita itu tak bisa ikut.
Kini, KUDOS telah berada dalam perjalanan menuju Italia dengan pesawat pribadi mereka. Yap, ucapan Vivian soal terlambat, adalah kebohongan. Mereka tidak naik pesawat umum, melainkan pesawat khusus yang memang dimiliki oleh grup KUDOS.
Dan saat ini, sang vokalis itu tengah duduk bersebelahan dengan Kyle. Posisi paling pinggir, dekat jendela pesawat. Di samping Kyle ada Cedric yang entah sibuk melakukan apa.
Biarkan saja dia.
Francis beranjak tiba-tiba dari duduknya. Melewati Kyle yang sedang tertidur, dan sedikit mengomel kepada Cedric yang tidak membiarkannya lewat.
"Kakimu menghalangi jalan, Ric," protes Fran menepuk lutut kaki Cedric.
"Kau mau kemana?" tanya Cedric masih tetap pada posisinya.
"Toilet. Kenapa? Mau ikut?"
"Yah ... jika kau tak keberatan berbagi."
Francis menjitak spontan kepala Cedric hingga laki-laki bersurai pirang lemon itu meringis. Ia akui, meski Francis punya ketertarikan dengan laki-laki, tidak ada satupun personil KUDOS yang menarik perhatiannya. Bahkan James yang memiliki body atletis dan proporsional, tak masuk daftarnya.
Yah, itu bagus sih. Bisa bahaya jika ia menyukai salah satu personilnya sendiri. Entah itu yang laki-laki, maupun perempuan.
"Maaf saja, kau sama sekali tak menarik," komentar Francis usai menjitak kepala Citrus dengan lihainya. "Laki-laki boncel bukan tipeku,"
Cedric yang tengah sibuk mengusap-usap kepalanya, seketika terhenti. Boncel? Boncel katanya?!
"Meski aku pendek, setidaknya aku punya daya tarik tersendiri," balas Cedric mempertahankan harga dirinya. "Dan ya ya, apalah dayaku yang takkan mungkin dilirik olehmu. Tipemu adalah yang gentle tapi buas di ranjang seperti Dernmark, 'kan?"
Francis memutar bola matanya. Tak mau menanggapi pembicaraan ini lebih jauh lagi.
"Sudahlah, cepat minggir." Pinta Francis memukul lutut Cedric lagi. Tapi laki-laki itu tetap pada posisinya. Dan sukses melahirkan rasa kesal di benak Francis.
"Kau menyebalkan." Gerutu Fran akhirnya melangkahi kedua lutut Cedric.
Saat ia telah berhasil keluar, ia memandang ke sekeliling. Memandang teman-temannya yang lain. Ada yang tidur, ada yang bersenda gurau dengan lainnya. Matanya mengedar untuk mencari sosok manajer mereka, Vivian. Tapi sayang, ia tak mendapati sosok wanita bersurai cokelat panjang lurus itu.
"Tidak jadi?" tanya Cedric melihat Francus tak segera beranjak. "Kau ingin ditemani?"
Francis menoleh kembali ke Cedric, menatap jijik. "Yang ada bakal repot jika ditemani seorang boncel." Komentarnya kemudian melangkah pergi.
"Aku tidak boncel! Hanya tumbuh sedikit lebih lambat dari laki-laki pada umumnya!" balas Cedric membela diri.
— VII —
Francis menghela napas panjang usai menyelesaikan urusannya. Rasanya lega.
Ia memandang ke jendela, menatap pemandangan di luar pesawat mereka. Perjalanan ini masih sangat panjang, dan ia sangat bosan. Apakah ada yang bisa diajak bermain? Atau apalah.
Saat ia dalam perjalanan kembali ke kursinya, mata merahnya menangkap sosok wanita yang duduk di kursi paling belakang. Paling ujung, bersebelahan dengan jendela. Dia tengah duduk sendirian, hanya ditemani laptop hitamnya yang berada di atas pangkuannya. Sebelumnya, wanita itu tak ada di sana. Apa ia baru saja kembali dari bagian kabin pesawat yang lain?
'Vivi ....' Batin Francis memandang sang manajer dari jauh.
Kini ia berpikir. Apakah karena masalah yang sebelumnya, wanita itu semakin menjaga jarak dari KUDOS? Ia sadar, sejak awal Vivian dan KUDOS, tidaklah dekat. Hanya sebagai kolega. Dan sekarang, ditambah masalah yang jelas terjadi karena ulah Francis, ia merasa wanita itu semakin menjaga jarak.
Jika awalnya Vivian hanya memasang pembatas yang terbuat dari batubata, dan bisa dihancurkan dengan mudah dengan pukulan dari palu atau sejenisnya. Kini, wanita itu telah mengganti pembatasnya dengan dinding besi yang amat tebal. Yang takkan mudah ditembus bahkan hanya untuk satu titik kecil saja.
"Hoi," Cedric menepuk kaki Francis tiba-tiba. Membuat pria itu--yang tak sadar telah kembali ke barisan kursinya--tersentak. "Apa yang kau lamunkan?"
Francia tak menjawab. Ia hanya memberikan gerakan kepala kepada Cedric. Dan laki-laki bermanik kuning lemon itu bangkit, menoleh ke arah yang ditunjuk Francis.
"Ah, wanita itu," komentar Cedric memandang Vivian yang berada di belakang. Sendirian. "Aku tahu dia dekat dengan kita hanya dalam aspek pekerjaan. Tapi, tidak bisakah dia bersantai sedikit? Perjalanan menuju Roma masih sangat panjang. Dan dia tak henti-hentinya fokus dengan pekerjaannya."
Francia tak menyahut. Tapi diam-diam, ia setuju dengan komentar Cedric. Jadi, Vivian tipe yang gila akan pekerjaan? Ia merasa tak nyaman jika tidak melakukan suatu pekerjaan, begitu? Jika ya, maka itu tidak mengherankan.
"Bagaimana jika kita ganggu dia?" tawar Cedric tiba-tiba. Membuat Francis menoleh kepadanya dengan alis yang melengkung ke atas. Bingung.
"Apa?"
"Ya, kita ganggu dia. Kita buat dia setidaknya melupakan sedikit, soal pekerjaan dalam perjalanan ini,"
"Kau gila ya? Tidak terima kasih. Kau lakukan saja sendiri,"
"Oh ayolah," Cedric menyikut tangan Francis, berusaha membujuknya. "Lagipula kau juga sedang bosan, 'kan? Kelihatan dari wajahmu yang sedari awal memang sudah membosankan,"
"Maksudmu, wajahku yang membosankan, saat ini semakin membosankan?"
"Membosankan pangkat tiga,"
Francis memejamkan mata. Menahan diri untuk tidak menghajar wajah laki-laki di dekatnya itu.
'Kau sendiri punya wajah membosankan.' Batin Francis dalam diamnya.
"Jika kau berhasil, aku akan membayar semua makanan yang kau beli selama kita berada di Roma," ucap Cedric lagi.
Francis membuka matanya dengan terkejut. Fokus kembali kepada sang gitaris. "Kau akan mentraktirku?" tanyanya memastikan.
Cedric mengangguk. "Apapun! Selama berada di Roma. Tapi hanya kau saja, karena ini adalah game kita berdua,"
"Oke, aku terima," jawab Francis tanpa pikir panjang lagi. "Dan jika kau menang?"
Cedric berdehem panjang, memikirkan reward untuknya jika berhasil memenangkan permainan buatannya itu.
"Aku ingin gitar baru," jawab Cedric dengan ekspresi polos tak bersalah.
"Mati saja sana," celetuk Francis cepat.
Cedric terkekeh mendengar balasan spontan itu. "Bercanda, bercanda," ia mengibaskan tangannya di depan wajahnya. "Jika aku menang, beri aku 200 dollar, oke?"
Francis menatap temannya dengan wajah horor. "Apa? 200?" ulangnya tak percaya.
Cedric mengangguk. "Nominal saldo di rekeningku sudah di ambang batas. Aku butuh pemasukan," jawabnya dengan enteng.
"Jangan bilang, kau membeli hal tak berguna lagi?" terka Francis.
Cedric menggedikkan bahu. Dan jawaban itu, sudah dirasa cukup bagi Francis.
"Kalau begitu, kenapa kau berani bertaruh akan membayarku jika aku berhasil?" tanya Francis kemudian.
Pikirkan saja. Jika uang yang dimiliki Cedric sudah berada di ambang batas, bagaimana dia akan membayar Francis nantinya?
"Karena aku yakin, manajer itu takkan membiarkanmu berada di dekatnya. Bahkan hanya untuk 10 menit." Jawab Cedric dengan yakin, dan juga mengejek.
— VII —
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro