Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tujuh belas : Respek

- XVII-

Hari telah berganti. Apa yang terjadi kemarin, biarlah menjadi kenangan yang membekas dalam diri Vivian dan masing-masing personil KUDOS. Dan Vivian merasa sangat bersyukur, KUDOS tidak memintanya menceritakan apa yang sebenarnya ia alami. Ia belum siap untuk itu.

Kini, Vivian, Carol dan James tengah terlibat berdebatan kecil tentang sesuatu.

"Carol, kumohon," minta Vivian memohon dengan sangat. Tapi wajah wanita itu tak nampak demikian. Datar seperti biasa.

Oh ayolah. Setidaknya berusahalah memasang wajah memohon!

"Tidak Vivi, tidak kali ini," tolak Carol tegas. "Aku memang akan ikut dalam perjalanan berikutnya, tapi aku menolak KUDOS menginap di sana. Aku tak mau pulang, titik!"

"Ayolah Carol," bujuk James kemudian. Menepuk sebelah bahu Carol. "Kau hanya berkunjung satu sampai dua minggu. Bukan selamanya akan pulang ke rumahmu,"

Carol menggeleng. "Lagipula, bukankah Vivi sudah booking hotelnya? Rugi jika tidak ditempati," ungkapnya mencari alasan.

"Aku masih bisa minta refund," jawab Vivian cepat.

"Die you shit," celetuk Carol langsung. Ia kemudian bungkam, memikirkan dengan serius tawaran Vivian.

"Urgh ... baiklah," ujarnya kemudian pasrah. "Toh pasti mereka juga sibuk dengan berbagai perjalanan bisnis. Kecil kemungkinan akan bertemu mereka."

"Oke, deal!" balas James mengangkat tangannya untuk melakukan high five dengan Carol. Dan diikuti Vivian yang juga melakukan hal serupa kepada Carol.

"Aku benci kebaikan hatiku yang terlalu besar ini," tambah Carol sambil melakukan high five dengan James dan Vivian.

Seolah teringat akan sesuatu, ia menaruh perhatian lebih ke arah Vivian. Tangannya meremas pelan telapak tangan sang wanita berambut cokelat.

"Kau sendiri, tak mengunjungi rumah atau orangtuamu?" tanya Carol penasaran, "mumpung kau masih di Vegas."

Vivian menggeleng. "Tidak untuk hari ini." Ungkapnya kemudian. "Lagipula daerah itu sudah lama dirobohkan. Pergi kesana pun aku takkan menemukan apa-apa."

- XVII -

Fran melangkah dengan jenjang kaki lebar. Kedua tangannya tampak mengepal, pikirannya terasa panas oleh sesuatu. Bahkan terik mentari pagi--yang sesungguhnya tidak terasa panas--membuat panasnya terasa berkali-kali lipat.

Ia kemudian berbelok masuk ke sebuah gang yang cukup lebar. Di dalam gang tersebut, nampak seorang pria tengah berdiri bersandarkan salah satu dinding yang mengampit gang itu. Ia tak menyadari kedatangan Francis, karena pria tersebut terlihat sibuk membaca secarik kertas yang entah apa isinya. Dan Francis juga tak peduli.

"Von!"

Mendengar namanya terpanggil, pria bersurai hijau gelap itu mengangkat kepalanya. Mengalihkan diri dari kertasnya, dan menoleh ke sumber suara yang ada.

"Oh Fran! Kau sudah tiba!" ucap Von senang. Menarik punggungnya dari dinding di belakangnya, dan menghadap penuh ke arah Francis. "Bagaimana keadaan ma—"

Belum selesai Von berucap, Francis menyambar cepat kerah baju Von. Menariknya hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.

"Kau ... kau iblis berwujud manusia!" teriak Francis keras. Manik merah itu berkilat tajam. Penuh akan emosi, kebencian dan kemurkaan.

Sedangkan orang yang ia teriaki, tampak biasa saja. Von hanya mengangkat sebelah alisnya sebagai respon awal.

"Apa maksudmu, Fran?" tanyanya kemudian.

"Von, apa yang telah kau perbuat pada Vivi, huh? Katakan!"

"Enne? Aku tak berbuat apapun. Aku hanya kebetulan bertemu dengannya malam tadi,"

"Bukan itu yang aku bicarakan, berengsek," Cengkeraman tangan Francis semakin kuat. Ia yakin pasti akan menyisakan kerutan di kerah baju Von nantinya. "Yang aku bicarakan adalah perbuatanmu dulu. Hingga ia menjadi seperti itu,"

Von mengerjap sesaat. Mencerna sejenak ucapan Francis barusan. "Oh, apakah akhirnya kau dan KUDOS tahu siapa manajermu sebenarnya dan kenapa dia bersikap dingin begitu?"

Francis tak menjawab. Hanya memberikan tatapan memaksa.

"Oke, oke, aku akan menjawabnya," sambung Von lagi sambil mengangkat kedua tangannya. "Untukmu, aku akan dengan senang hati menceritakan semuanya tanpa ada kebohongan sedikit pun. Bahkan hingga membuatmu merasa jijik mendengarnya."

Francis meneguk salivanya keras. Dan perlahan, ia pun melepaskan cengkeraman tangannya dari kerah Von. Memberikan pria itu kesempatan untuk bicara lebih leluasa.

Usai Francis melepaskan cengkeramannya, Von otomatis merapikan kerah bajunya sambil terus membawa kertas yang sebelumnya. Dan kemudian, ia pun mulai menceritakan yang sebenarnya. Soal hubungannya dengan Enne--Vivian-- perbuatannya, penolakannya--hingga tanpa Vivi sadari melahirkan rasa takut berlebihan--serta pertemuannya malam tadi. Termasuk, soal dirinya yang menghubungi anggota KUDOS lain untuk menjemput Vivian.

Francis menatap ngerti kala dirinya mendengar semua cerita Von. Ia kenal pria di depannya ini, sangat, sangat mengenalnya. Tapi, ia tak pernah mengira Von tega melakukan hal semacam itu kepada Vivian. Yang jelas punya ikatan dengannya dulu.

"You ... you're the worst," komentar Francis menatap ngeri Von.

"Really?" Von mengangkat kedua alisnya. Tak habis pikir dengan semua ceritanya. "Even though, you still love me,"

"Not again!" balas Francis tegas. Ia menyelipkan salah satu tangannya ke dalam bajunya lewat bagian kerahnya. Menarik sebuah kalung dengan liontin cincin. "We broke up!" Ia melempar kalung itu kepada Von.

Von refleks menangkap kalung tersebut. Menatapnya beberapa detik, sebelum akhirnya kembali fokus pada Fran. "Putus? Sungguh? Hanya karena wanita itu?" balas Von tak percaya. Dan sesungguhnya, ada rasa sakit di hatinya kala mendengar pernyataan itu. "Kenapa? Apa kau mulai menyukainya?"

"Tidak. Ini bukan soal menyukainya atau tidak. Ini soal rasa respek satu sama lain, Von," jawab Francis serius. Iris merah itu tak bercelah. "Meski Vivi hanyalah manajer sementara KUDOS, ia tetaplah bagian dari KUDOS. Dan aku tidak bisa membiarkan temanku berada dalam kehancurannya terus menerus,"

Von menatap Francis tak percaya. Giginya tampak menggertak kuat, tangannya yang membawa kalung maupun kertas mengepal kuat.

'Dia marah. Ini pertama kalinya aku melihatnya benar-benar marah.' Batin Francis menilai gerak-gerik Von.

"Kau ... hanya karena wanita itu ... kau ... kau memutuskan untuk mengakhiri hubungan kita?" tanya Von tak percaya. "Padahal soal sebelumnya, kau terlihat tak peduli."

Francis menghela napas. Berusaha untuk tetap berpikir jernih. Di hadapannya ini adalah Von Dernmark, kekasih--ralat. Mantan kekasih--yang paling licik yang pernah ia temui.

"Von, aku sudah mengatakannya, 'kan? Ini bukanlah soal perasaan semacam itu," balas Francis tenang. "Kau bebas melakukan apapun padaku maupun tubuhku, tak peduli apakah itu hanya untuk pemuas nafsu belaka ataupun murni rasa cinta.

Tapi, saat kau berani membuat teman-teman KUDOSku--termasuk Carol, dan sekarang Vivi--berada dalam bahaya atau sejenisnya ...," Ia mendekat, dan menusuk dada Von dengan telunjuknya pelan. "Aku takkan tinggal diam. Tak peduli meski aku harus melawan kenyataan bahwa aku menyukaimu."

Francis menatap tajam Von selama beberapa detik. Sebelum akhirnya ia berbalik memunggunginya, dan pergi tanpa sepatah katapun.

— XVII —

— XVII —

Francis membuka matanya pelan. Sedikit mengutuki pikirannya karena mengingat hal itu. Von lagi, Von lagi. Benar-benar merepotkan.

Perlahan, ia menarik kepalanya yang semula bersandar di pinggiran jendela pesawat. Dan saat ia menoleh ke arah lain, ia tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

"Astaga James, kau mengejutkanku," sebutnya menghela napas. "Dan, sejak kapan kau duduk di sampingku?

"Cukup lama," jawab James usai berpikir sejenak. "Bahkan aku sudah memanggilmu berkali-kali, dan kau tidak merespon,"

"Itu karena aku tidur," jawab Francis mengalihkan diri dari James. Bertompang dagu dengan tangannya yang berpangku di paha kanannya. Matanya mengarah ke pemandangan langit yang luas di luar sana.

Kini, KUDOS telah lepas landas dari Vegas dan dalam perjalanan menuju Prancis. Tepatnya, ke ibukota negara tersebut, Paris. Kota yang menjadi tempat ikon global negara tersebut berada.

"Tidak, tidak," James menggeleng, menyanggah jawaban Francis, "kau tidak tidur. Tapi sedang memikirkan sesuatu,"

"Oh ya?" Francis melirik James, memberikan tatapan tak percaya. "Apa buktinya?"

"Napasmu tidak tenang," jawab James langsung dan tanpa ragu.

"Well, bisa saja aku bermimpi buruk, 'kan?"

James menatap tajam kepada Francis. Membuat sang vokalis menutup mulutnya rapat.

"Oh, keras kepala seperti biasa," celetuk Francis memutar bola matanya. Ia lalu menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi. Mencari posisi nyaman dengan pandangan masih tetap tertuju keluar jendela.

"Hanya masalah internal," jawab Francis kemudian. Tapi masih menyisakan tanda tanya lain.

"Masalah internal itu banyak, Fran. Lebih spesifik," balas James.

"Hanya soal aku dan Von. Itu saja,"

"Dia? Kenapa? Kalian sudah putus semenjak dia menyebarluaskan fotomu itu, 'kan?"

"Ya begitulah," Itu bohong. Mereka hanya putus kontak. Tapi kemarin, ia sungguh-sungguh putus hubungan sebagai kekasih maupun teman.

"Lalu kenapa dia muncul dalam topik ini?"

Francis tak menjawab. Tak melepas pandangannya dari pemandangan luar.

"Fr—"

"Oh stop it, James!" potong Francis menoleh kepada James, "aku sedang tidak mood untuk bercerita. Jadi berhenti memaksaku!"

James diam sejenak. Lalu membuka mulutnya lagi sebelum terhenti oleh Francis yang kembali berucap.

"AKU BUKAN ANAK KECIL, MORGAINE! JADI BERHENTILAH!" bentak Francis lantang serta terdengar kesal. Dan hal tersebut, sukses menarik perhatian personil KUDOS yang lain. "Bahkan bocah pun bisa merasa risih jika orangtuanya terus memaksanya menceritakan masalahnya!"

James diam beribu kata. Bentakan Francis barusan adalah sungguhan, dan itu agak menyakitkan.

"Uh, baiklah," ujar James akhirnya sembari bangkit dari kursinya. "Aku ... aku akan meninggalkanmu. Sepertinya kau perlu waktu sendiri. Maaf sudah memaksamu."

Tanpa menunggu balasan dari Francis, James segera pergi dari barisan kursi yang diduduki oleh sang vokalis.

Francis menatap kepergian James selama beberapa detik. Dan kemudian, ia tersadar dengan apa yang ia perbuat barusan.

"Oh fuck." Umpatnya memejamkan mata sambil mencubit bagian tengah hidungnya.

— XVII —

Akhirnya, perjalanan panjang mereka telah usai. Dan saat ini, mereka telah tiba di depan sebuah gedung mewah--di salah satu bagian kota Paris--yang seluruhnya hampir terbuat dari kaca.

Oh kawan, siapapun yang membangun gedung itu, dia pasti orang yang tidak menyayangi buminya.

"Hotel ini tidak punya nama," komentar Riana saat keluar dari limosin. Manik hitamnya baru saja selesai mencari papan nama gedung di hadapannya. Tapi hasilnya nihil.

"Uh ... itu karena gedung ini memang bukan hotel, Riana," jawab Carol sungkan. "Ini rumahku,"

"Rumahmu?" Francis menyahut cepat. "Kau punya dua rumah?"

Oh, benar kata Vivian sebelumnya. Persetan dengan keluarga Randolph.

"Secara harfiah tidak. Penthouse-ku di London adalah murni milikku. Tapi yang ini," Ia menunjuk bangunan megah di depan mereka. "Milik orangtuaku,"

"Eh? Milik orangtuamu?"

Carol mengangguk. "Ini tempat tinggalku yang sebenarnya. Kota ini adalah kampung halamanku," jelasnya terdengar berat mengakuinya. "Sebelum akhirnya aku memutuskan pergi dari kota ini dan menetap di London sebagai pianis."

— XVII —

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro