Tiga : Tidak Sempurna
- III -
"Pertama aku takkan membahas soal lagu terlebih dulu," ungkap Vivian sungguh memulai rapatnya. "Aku ingin memastikan beberapa hal terlebih dahulu dari mulut kalian semua,"
Para KUDOS mengangkat kedua alisnya. James saling bertatap muka dengan Riana, Viona dengan Francis. Sisanya, hanya tetap menatap ke arah yang mereka pandang sedari awal.
"Apa yang ingin kau pastikan?" tanya James kembali memandang Vivian.
Vivian tak meresponnya. Justru, wanita itu terlihat fokus kemudian dengan kertasnya lagi. Sungguh, sebenarnya kertas apa itu? Bagaimana jika salah satu dari mereka mengambilnya tiba-tiba? Bagaimana reaksi manajer berwajah kaku itu? Apakah ia akan marah? Atau, memintanya kembali dengan memberikan tekanan?
Entahlah. Untuk saat ini, tidak ada yang memiliki rencana yang--mungkin--sering dilakukan oleh bocah SD itu.
"Aku ingin memastikan soal lokasi kalian konser nanti," jawab Vivian akhirnya kembali fokus pada KUDOS. "Kalian memilih lima negara, 'kan? Italia, Prancis, Belanda, Amerika Serikat, dan terakhir adalah negara ini, Inggris,"
"Ya, memang itu negara yang kami pilih," sahut Francis dengan anggukan lemah. "Dan pilihan itu merupakan hasil rundingan kami dengan manajer sebelumnya,"
Vivian mengangguk. Apa yang ia dengar dari Carol, berarti sesuai.
"Oke, lalu soal kotanya ... Roma, Paris, Rotterdam, Las Vegas dan London?" tanya Vivian lagi, memastikan.
"Benar," jawab Francis lagi.
"Baiklah, itu artinya tidak ada kendala soal lokasi kalian nantinya," balas Vivian menggedikkan bahu.
"Kau tidak berniat mengubahnya?" sela Kyle bertanya.
Vivian mengerutkan kening. "Kenapa?" balasnya justru bertanya balik. "Ini hasil rundingan kalian, 'kan? Artinya hasil dari masing-masing pemikiran kalian. Buat apa aku mengubahnya lagi? Belum tentu negara dan kota yang aku tentukan, sesuai dengan kemauan kalian.
Atau, aku akan memberikan kalian ruang untuk menggantinya. Kalian ingin mengganti lokasi kalian konser?"
Mereka menggeleng.
"Nah, jika kalian pun sudah sepakat dengan itu, aku tidak akan merusaknya. Aku hanya perlu menuntun kalian sesuai prosedur yang semestinya. Itu saja,"
Mereka bungkam. Wanita di hadapan mereka ini memang sangat, sangat, sangat nampak tidak bersahabat. Wajahnya cantik, tapi tidak ramah. Namun, dibalik ekspresinya yang tak sedap dipandang itu, pemikirannya tergolong luwes. Ia juga bisa dengan mudah menyesuaikan pikirannya--yang tergolong rasional--kepada orang di sekitarnya, tanpa membuat orang merasa terusik.
"Kalau begitu, kita lanjutkan," sambung Vivian lagi, "soal lokasi, semua sudah beres. Sekarang poin penting kalian sebagai grup musik, yaitu lagu ...,"
Ada jeda sesaat dengan sebuah helaan napas. "Sejujurnya, aku merasa kecewa pada bagian ini," komentar Vivian jujur, "bagaimana bisa kalian belum memikirkan ini? Yang merupakan poin penting dalam konser kalian. Jika kalian belum menentukan lagu, lalu apa yang ingin kalian lakukan di sana? Berkunjung ke tempat wisata? Kalau memang itu tujuannya, artinya kalian perlu mengganti judulnya. Dari 'tur musik', menjadi 'tur wisata',"
Jleb!
Oke, mari pikirkan kembali pemikiran naif barusan soal, mudah menyesuaikan pikirannya kepada orang di sekitarnya tanpa membuat orang merasa terusik. Kalimat tanpa membuat orang merasa terusik itu, mari dicoret dan diganti dengan dengan membuat orang merasa paling hina.
Ternyata, wajah itu memang sesuai dengan ucapannya.
"Tapi, aku tak berniat menyalahkan siapapun di antara kalian, terutama Holt yang merupakan vokalis kalian," lanjut Vivian lagi sedikit meluruskan pemikiran KUDOS, yang bisa ia duga adalah buruk. "Karena jelas, aku tak punya hak itu untuk saat ini. Aku baru disini. Tapi jika aku boleh berkata jujur, keadaan ini sungguh menyedihkan."
Baik, KUDOS sudah menentukannya. Manajer baru mereka ini, sungguh tidak bersahabat dan penuh tipu muslihat. Dan bodohnya, KUDOS bisa dengan mudah terlena dengan itu.
Tidak, tunggu. Benarkah KUDOS yang terlalu bodoh? Atau, sang manajer itu sendiri yang terlalu cerdik? Entahlah.
"Hei, apa kau sadar dengan ucapanmu itu?" protes Viona.
Vivian menatap penuh ke wanita berambut cokelat ikal itu, dan mengangguk pelan. "Tentu aku sadar," jawabnya sederhana, "ini mulutku, tentu saja aku sadar dengan apa yang kukatakan,"
"Jika kau memang sadar, lalu kenapa kau tetap mengatakan kalimat menyakitkan itu? Tidakkah kau sadar dengan apa yang—"
"Tentu aku sadar," potong Vivian sambil menggedikkan bahu.
Oh ayolah. Dia hanya berpendapat. Apa salahnya dengan itu?
"Aku sadar KUDOS tengah dihadapkan dengan rentetan hal merepotkan," lanjut Vivian kembali berucal, "yang diantaranya adalah soal vokalis kalian. Karena itu, aku takkan berkomentar lebih banyak lagi."
Viona bungkam kemudian. Memejamkan matanya erat, dan menghembuskan napas panjang.
Oh sial, sebenarnya ada di pihak mana manajer mereka ini? Dan apa isi otaknya sebenarnya?
"Oke, kita lupakan soal itu dan kembali ke topik utamanya," ujar Vivian lagi kembali angkat bicara. Ia merasa, Viona sudah selesai dengan protesnya. "Carol, bisa tolong bantu aku?"
"Hm? Apa yang bisa kubantu?" tanya Carol yang sedari tadi--sejak rapat dimulai--berdiri di dekat pintu studio.
"Tolong bagikan ini kepada mereka," jawab Vivian mengangkat beberapa lembar kertas di tangan kanan, dan alat tulis di tangan kiri. "Masing-masing satu."
"Oke."
Carol berjalan mendekati wanita berambut cokelat lurus itu. Menerima benda yang dibawa kedua tangannya, lalu langsung membagikannya ke semua personil KUDOS.
Kertas yang diberikan Vivian, tidaklah spesial. Hanya kertas putih yang terdapat sebuah gambar tabel.
"Tulislah lagu yang ingin kalian nyanyikan," jelas Vivian memberikan arahan dengan segera. Karena ia telah menyadari ekspresi bingung dari para KUDOS.
"Apa lagu yang sama adalah yang akan dinyanyikan?" tebak Cedric cepat.
"Tepat," jawab sang manajer dengan anggukan. "Tapi, kita tetap akan membicarakannya terlebih dahulu. Jadi, silahkan mulai."
Suasana kemudian hening. Seluruhnya--kecuali Vivian dan Carol--fokus dengan kertas di hadapan mereka masing-masing. Menuliskan apa yang mereka pikirkan, juga inginkan.
Orang pertama yang menyelesaikan tugas itu adalah Cedric. Atau teman sesama grup musiknya, lebih suka memanggilnya Citrus. Ah ralat, panggilan itu sebenarnya berasal dari Carol. Yang mengatakan sangat menyukai wangi parfum pria pirang itu, sehingga tanpa sadar sering memanggilnya Citrus. Dan KUDOS pun, akhirnya ikut-ikutan memanggilnya demikian.
"Kupikir sang vokalis yang selesai lebih dulu," komentar Vivian memandang Francis dengan tatapan tak bisa dimengerti.
Francia sadar akan tatapan aneh--tak dimengerti--itu. Tapi, ia memilih untuk tak berkomentar apapun dan fokus pada kertasnya.
- III -
- III -
Setelah waktu berlalu, akhirnya mereka selesai menyelesaikan tugas dari Vivian. Tapi, wanita itu sendiri terlihat tak menulis apapun. Artinya, ia memang akan mengikuti keinginan KUDOS sepenuhnya.
Vivi membaca tiap kertas yang ditulis dengan berbagai bentuk gaya tulisan itu. Mulai dari yang sangat rapi, hingga sedikit kacau. Tapi ia takkan berkomentar soal itu. Toh, dia bukan dosen yang sedang menguji--menyidang--mahasiswanya dalam sidang skripsi.
Ia meraih pulpen pribadinya, menuliskan beberapa judul lagu yang sama dengan kertas satu dan lainnya, di kertas kosong yang ada.
Saat manajer tak bersahabat itu tengah menulis, beberapa pasang mata memandang ke arahnya. Namun bukan ke wajahnya, melainkan ke tangan kirinya yang berbalut sarung tangan, dan tengah membawa pulpen.
Dia kidal. Dan tangan itu lagi-lagi terbungkus dengan sarung tangan. Hanya kiri saja.
Francis tentu masih ingat dengan jelas, jika hari sebelumnya Vivian juga membungkus tangan kirinya dengan sarung tangan. Apakah memang itu fashion style-nya? Jika ya, agak unik juga.
"Oke, aku sudah menyortir lagunya," ucap Vivian meletakkan pulpennya. "Ada tujuh lagu dari empat album yang berbeda.
Here We Go dari album Game On. Lalu Unspoken Bullet dan Chaos dari album Crime of The Century. Hm ... aku tak mengira ada di antara kalian, yang ingin menyanyikan lagu yang sempat membuat kalian terkena masalah itu,"
"Tapi itu lagu yang bagus," komentar Kyle, "kami tidak menghina, kami bicara soal kenyataan yang ada,"
"Yah, aku setuju," jawab Vivian dengan anggukan. "Oke, selanjutnya ada Beyond Infinity dan Blank Canvas dari album Infinity,"
"Biar kutebak, salah satu orang yang menulis judul Blank Canvas pasti Citrus," komentar Francis memandang Cedric yang masih duduk di tempat awal saat ia datang.
"Benar," jawab Cedric tak berniat berbohong, "itu lagu yang mengena di hati. Soal Tuhan yang menciptakan dunia bagai kanvas putih, dan kita para manusia adalah pelukisnya,"
"Itu salah satu dari sekian lagu favoritku," komentar Vivian menyela. Dan hal tersebut, spontan membuat para KUDOS--bahkan Carol--menatap tak percaya.
Sadar akan tujuh pasang mata mengarah kepadanya, ia berpaling dari kertas di tangannya. Memandang mereka heran.
"Apa?" tanyanya heran. Tapi wajah itu tetap kaku.
Oh demi Tuhan! Siapapun tolong lepaskan topeng wajah kaku itu!
"Itu komentar yang diluar dugaan sekali," balas Francis mewakili, "kami pikir, kau bukan tipe orang yang menyukai lagu semacam itu."
Vivian memutar bola matanya. "Akan kuanggap komentar itu hanyalah kesalahpahaman," ujarnya kemudian. "Baik, lanjut. Sudah lima lagu dari tiga album. Lagu selanjutnya adalah Final Hour dari album berjudul sama, Final Hour,"
"Siapa pula yang memilih lagu menyedihkan itu?" tanya Viona penasaran. Karena jujur, ia cukup sedih saat mendengar ataupun membaca lirik lagu tersebut.
"Holt dan Chris," jawab Vivian cepat.
Viona ber-oh panjang sambil melempar pandang ke arah mereka. Ia paham.
"Kau bisa menyebutkan semua nama album itu karena ada contekan, atau kau memang ingat?" tanya Kyle penasaran. Oh tidak biasanya dia merasa penasaran. Walau dasarnya ia memang kritis.
Sedari awal--saat ia mulai menyebutkan lagu-lagu yang dinyanyikan, Vivi dengan mudah mengatakan judul album dari tiap lagu tersebut. Dan itu menimbulkan rasa ingin tahu di benak Kyle. Karena ia yakin, tak ada satupun dari mereka yang menuliskan nama albumnya. Hanya judulnya saja.
"Aku mengingatnya," jawab Vivian datar. Seperti biasa.
"Bagaimana bisa?" tanya Kyle lagi tak percaya. "Tiap album memiliki banyak judul lagu, termasuk instrumen. Tapi kau bisa dengan—"
"Photograpic memory," potong Vivian cepat. Ia yakin, ini akan jadi pembicaraan panjang diluar topik jika ia tak segera menyelesaikannya. "Aku memiliki kemampuan itu. Puas?"
Jelas Kyle tak merasa puas. Tapi untuk saat ini, ia akan menahan diri dulu. Mungkin ada saatnya dimana ia bisa mengorek lebih dalam tentang siapa Vivian sebenarnya.
Melihat Kyle sudah diam, Vivian pun kembali melanjutkan topiknya. Tapi, saat ia membaca tulisan yang berada di baris terakhir, alisnya tampak naik.
"Aku belum pernah mendengar lagu Last Candidates," komentar Vivian jujur, "bahkan lagu ini tak ada di album manapun,"
"Itu lagu baru," jawab James, "dan hanya beberapa yang mengetahuinya, karena itu memang belum dipublikasikan. Last Candidates adalah salah satu lagu dari album baru kami yaitu, Here We Go Again. Yang rencana akan kami publikasikan setelah tur. Yah ... lagu perpisahan, begitu,"
"Bisa tolong kalian nyanyikan untukku?" tanya Vivian memohon.
"Kami punya rekamannya," jawab Francis merogoh sakunya, berniat mengambil ponselnya. "Akan kami biarkan kau—"
"Tidak," potong Vivian tegas. "Aku tidak meminta kalian membiarkanku mendengarkannya. Tapi aku meminta kalian untuk memainkannya."
Selama beberapa detik, semua orang tampak heran. Gerigi di otak mereka masing-masing, sedang berusaha memproses kalimat Vivian barusan.
"Vivi tidak bisa mendengar dengan jelas," ujar Carol tiba-tiba, memecah keheningan yang ada. Tapi kemudian, semua mata--kecuali Vivian--tertuju pada wanita berambut hitam itu.
"What?" balas Francis dengan singkat.
"Vi—"
"Aku mengalami gangguan pendengaran," sela Vivian cepat. Kepalanya bertompang di atas telapak tangannya. Wajahnya masih terlihat biasa. "Aku tidak tuli sepenuhnya, hanya bisa mendengar secara samar-samar. Namun, kata samar-samar ini lebih sering berakhir tidak mendengar apa-apa.
Jika diibaratkan, kalian bisa mendengar suara apapun, yang bisa didengar manusia hingga 100 persen. Tapi aku hanya bisa mendengar sekitar ... 10 persen dari manusia normal."
- III -
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro