Sepuluh : Selingan
— X —
Sang wanita menjerit keras--hingga suaranya terdengar serak--kala palu godam itu menghantam tangan kirinya. Air mata pun mengalir dari kedua pelupuk matanya dan membasahi pipi kotornya. Ini gila, rasa sakit yang menyelimutinya benar-benar gila.
Setelah palu itu diangkat dari tangannya, sebuah pisau ganti melukainya. Menusuknya dalam hingga menembus tangan dan menancap di permukaan tanah.
Membuat wanita itu kembali menjerit akan siksaan duniawi tersebut.
Darah mengalir pelan. Cairan merah kental berbau anyir itu, jelas mengalir dari punggung tangan kirinya. Melahirkan genangan darah yang membuatnya menatap ngeri.
Itu nyata.
Genangan darah tersebut, kondisi tangannya yang terluka serta tulangnya yang--ia yakini seratus persen--hancur tak berbentuk. Dan semua itu nyata dia rasakan.
"Kalian nikmati saja hadiahku."
Dengan penglihatan yang terasa buram karena air mata, wanita tersebut menatap jauh seorang pria bersurai hijau gelap dan manik biru pucat. Ia berdiri menjulang di belakang orang-orang yang melukainya sambil melipat tangan di depan dada. Tapi, tatapan yang dipancarkan oleh iris biru pucat tersebut, membuat wanita berambut cokelat panjang itu meneguk ludah.
Kenapa ia memberikan tatapan puas seperti itu? Kenapa?
"Bahkan," Pria bersurai hijau gelap kembali melanjutkan. "Kalian boleh melakukan lebih dari itu. Hancurkan dia sepuas kaliam."
Mata hijau itu membelalak. Bohong. Ia tak mungkin mengatakannya.
Tidak mungkin!
"T-tidak," Wanita itu memohon. Suaranya gemetar, rasa takut terpancar jelas di matanya. Tubuhnya terlalu lemas untuk digerakkan sedikitpun. "Kumohon. Kalian boleh menghancurkan tanganku. Tapi kumohon ... jangan ... jangan melakukan hal yang lebih dari itu."
— X —
Vivian membuka kedua kelopak matanya cepat. Terbangun karena merasa gelang di tangan kanannya bergetar panjang. Tak hanya itu, ia merasa dadanya berdebar kencang disertai perasaan sesak, tangan bioniknya--entah bagaimana--terasa berdenyut sakit. Membuat ia harus mendekap telapak kirinya itu, seolah melindunginya dari dunia.
Kemudian, setelah ia berhasil menenangkan diri, perasaan itu perlahan sirna.
Vivian memejamkan matanya, menyuruh pikirannya untuk tetap tenang dan jangan terpengaruh dengan buih mimpinya.
Ia kemudian meraih ponselnya. Melihat sudah pukul berapa ini.
[ 7.30 AM ]
Oh, sudah pagi. Itu menjawab pertanyaan Vivian kenapa alarm khusus miliknya aktif. Selain karena kondisi dalam tubuhnya--pikiran--memburuk tiba-tiba, ini memang sudah waktunya bangun.
'Ternyata, tempat yang mempunyai kenangan, memang bisa memicu ingatan masa lalu.' Pikir Vivian sembari bangun dari kasurnya, dan melempar ponselnya ke permukaan empuk itu.
"Repot." Sambungnya berbicara dengan jelas.
— X —
Francis menatap interior cafe hotel tempatnya dan KUDOS menginap. Itu terasa elegan. Dan, memiliki nuansa yang berbeda dari cafe pada umumnya di tempat asalnya, London.
Tentu saja. Mereka di Roma, bukan London. Jelas nuansanya berbeda.
Pria itu mendekati salah satu counter makanan. Mengambil sebuah piring kecil, dan menaruh tiga potong garlic bread yang tampak renyah. Lalu terakhir, mengambil secangkir kopi panas.
"Fran!"
Suara James terdengar menggema di gendang telinganya. Ia menoleh kemudian, dan mendapati James melambai ke arahnya dari salah satu meja yang ada. Bersama personil KUDOS lainnya yang duduk di meja yang sama.
Francis meletakkan makanan dan minumannya di sisi meja yang kosong. Kemudian melempar amplop cokelat ke arah Cedric.
"Bayaranmu," jelasnya lalu duduk di kursinya, "sesuai perjanjian, 200 dollar."
Cedric yang semula tengah menikmati sarapannya, seketika terhenti. Meraih amplop cokelat tersebut, dan membukanya. Ia meneguk ludah saat matanya menangkap serta mulai menghitung lembaran uang yang ada di dalam amplop tersebut.
"Terima kasih untuk kerja samanya." Ujar Cedric usai menghitung uangnya. Sayang itu pas 200 dollar. Padahal ia berharap lebih.
Francis memutar bola matanya kala mendengar itu. Entah kenapa, kesal sendiri mendengarnya.
"Eh? Apa? Apa? Kau meminjam uang ke Citrus?" tanya Viona penasaran.
Francis menggeleng. Menggigit sekali garlic bread miliknya. "Aku kalah bermain dengannya," jelasnya sederhana.
"Bermain?"
Francis mengangguk. "Permainan 'siapa yang bisa membuat Vivi berhenti bekerja walau hanya sebentar'. Uh, nama macam apa itu? Panjang sekali,"
"Kita memang tak pernah menamai game itu," sahut Cedric dengan suara tenornya.
"Oh right."
"Kalian berniat menghibur Vivi?" sahut Viona lagi. Matanya berbinar. "Kalian baik sekali melakukan itu untuknya."
Francis kembali memutar bola matanya ketika mendengar tanggapan itu. Sedangkan Cedric, ia hanya diam sambil melanjutkan sarapannya.
"Lalu, kemana dia? Manajer berwajah kaku itu," tanya Francia penasaran. Ia akui, pagi itu ia datang terlambat karena suatu alasan.
James menunjuk ke balik punggungnya. Dimana sebuah meja dengan dua kursi--yang berjarak tiga meja dari tempat mereka--tengah ditempati oleh Vivian dan Seth.
"Oh dia bersama Seth," komentar Francis menggigit garlic bread keduanya, lalu sedikit menyeruput kopinya.
"Kenapa? Kau cemburu?" tanya James menggoda.
"Tidak. Biasa saja."
— X —
Vivian mengerutkan kening saat membaca pesan Line dari Carol. Ia tak tahu kenapa, membaca itu semua justru melahirkan rasa kesal di benaknya.
Saat ia hendak membalas, pesan lain masuk tiba-tiba. Tapi masih dari orang yang sama.
[ By the way, tempatku saat ini pagi hari. Bagaimana dengan tempatmu? ]
Pertanyaan macam apa itu?
[ Aku yakin kau tidak sebodoh itu, Carol. London dan Roma masih berada di wilayah yang sama. Selisih waktu dua kota beda negara itu, tidak jauh. ]
[ Yah, maafkan aku. Aku hanya ingin mencerahkan pagimu dengan perhatian hangat. ]
[ Perhatianmu terlalu hangat sampai membuatku terbakar. ]
[ So dramatic xD ]
[ Ngomong-ngomong, apa jadwalmu hari ini? Konser Goodbye World sudah sangat dekat, 'kan? ]
[ Jam 10 nanti, aku akan membawa mereka menemui kenalanku yang mempunyai sebuah studio. ]
[ Hm .... ]
[ Lalu, KUDOS sendiri bagaimana? Apakah ada kemajuan? ]
[ Tidak ada. Mereka tidak berubah. ]
[ Benarkah? Yah, santai saja. Semua itu butuh proses, 'kan? ]
[ Jika semua bisa terjadi secara instan, manusia takkan berusaha terhadap sesuatu. ]
[ Sejak kapan kau jadi sok bijak seperti ini? Tidak pantas untuk orang licik sepertimu. ]
[ Sejak kapan? Sejak aku jatuh hati pada Vi— ]
Belum selesai ia membaca keseluruhan pesan itu, Vivian segera melempar ponselnya ke atas meja. Melipat kedua tangannya di depan dada, dan memandang ponselnya jijik.
Seth mengetuk-ketuk salah satu jarinya di atas meja. Membuat Vivian menatap langsung ke pria itu. "Kenapa?" tanyanya heran.
"Tidak, hanya sedikit kesal," jawab Vivian masih dengan sikap sama. "Barusan dari Carol. Dia mengatakan berniat mencerahkan pagiku. Tapi yang ada, ia membuatku kesal,"
"Ah dia ya. Aku bisa bayangkan itu," Seth meraih gelas tehnya. Menyesapnya sekali dan membiarkan cairan panas berwarna cokelat itu, menyiram tenggorokannya. "Tapi kau tahu? Aku suka dengan dirinya yang sekarang,"
Vivian meraih croissant punyanya. Melahapnya hingga tak tersisa sedikitpun.
"Setuju," ungkapnya usai menghabiskan croissant terakhirnya. Lalu lanjut meneguk kopinya.
"Aku lelah melihatnya sering berbaring di kamar atau rumah sakit dengan perban yang melilit anggota tubuhnya," gerutu Seth mengingat bagaimana Carol dahulu. "Luka jahitan, kekurangan darah, dan lainnya, "
"Ya, setiap aku mendapat kabar bahwa dia berulah, rasanya seperti bencana," sambung Vivian bertompang dagu dengan tangannya yang berada di atas meja.
"Ngomong-ngomong, kau orang yang mudah bergaul ya," komentar Seth mengganti topik.
'Berbanding terbalik dengan tampangmu yang sama sekali tak bersahabat.' Sambungnya namun mengutarakannya dalam hati.
"Ha? Maksudmu?" tanya Vivian.
"Yah ... maksudku, kau bisa mengobrol dengan orang baru sepertiku," jelas Seth.
Vivian memutar bola matanya. Sungguh? Apakah penting menanyakan hal itu? Bukankah seharusnya bagus jika wanita itu bisa segera menyesuaikan diri.
"Itu bagus, 'kan?" balas Vivian kemudian, "selain itu, karena kau juga mengenal Carol, ini semua jadi lebih mudah."
— X —
— X —
Usai menyelesaikan sarapan mereka di cafe hotel, Vivian membawa mereka ke sebuah studio musik--berada di tempat yang berbeda dengan hotel mereka. Dan di dalam salah satu studio, mereka mendapati seorang wanita berambut cream panjang dengan gaya ekor kuda tengah berdiri di sana.
Wanita tersebut tak menyadari kehadiran Vivian dan lainnya, karena sibuk berbicara dengan orang lain. Tapi kemudian, iris mata yang senada dengan rambutnya itu, melepas pandang dari orang yang tengah diajak bicara. Meski hanya sekilas, Vivian sadar wanita tersebut senang melihat kedatangannya.
"È tutto. Grazie per il tuo duro lavoro." Ujar wanita bersurai cream itu menepuk bahu orang di depannya. Orang tersebut mengangguk, lalu berlalu pergi dari studio itu.
Setelah ia yakin telah ditinggal pergi oleh orang sebelumnya, wanita itu menatap penuh kepada Vivian. Melebarkan kedua tangannya seperti menantikan pelukan sang manajer.
"Mio amico!" teriak wanita itu riang.
Vivian melangkah pelan mendekatinya. Siap memberikan pelukan kepadanya.
"Mi manchi tanto, E—ouch!"
Ucapan wanita itu terhenti dan digantikan dengan rintihan pelan, karena Vivian memeluknya dengan cukup bertenaga.
"Uh ... ada yang bisa jelaskan apa yang dikatakannya tadi?" tanya Francis kepada teman-temannya.
"Ah, jangan terlalu dipikirkan ucapanku barusan," ujar wanita yang berada dalam pelukan Vivian.
'Oh, american accent.' Batin Francis otomatis saat dirinya mendengar wanita itu berbicara dengan bahasa yang sama, tapi sedikit berbeda aksennya.
Wanita bermanik mata cream itu melempar pandang kepada Francis dari balik punggung Vivian. Mengunci pria itu dengan tatapannya, sebelum akhirnya mengukirkan senyum menggoda.
"Jangan menggodanya. Ini bukan waktu yang tepat." Bisik Vivian seolah sadar akan senyuman wanita di dekatnya.
Ia melepas pelukannya kemudian. Berbalik, menghadap kepada KUDOS.
"KUDOS, izinkan aku memperkenalkanna," ujarnya kemudian, "dia Tina Davenport, penanggungjawab sekaligus pemilik tempat ini,"
"Tina Davenport, piacere di conoscerti, KUDOS," sambung Tina tanpa sadar kembali menggunakan bahasa sehari-harinya. "Ah, maksudku, senang bertemu denganmu, KUDOS,"
Vivian memutar bola matanya sesaat. Lalu kembali berbicara. "Dia yang akan membantu kita selama di Roma. Aku mengharapkan kerja sama kalian, KUDOS,"
"Meski singkat, mari berusaha yang terbaik!" ujar Tina bersemangat. "Dan ayo, aku akan menunjukkan studio yang bisa kalian gunakan untuk berlatih."
— X —
Vivian berdiri diam di luar ruang studio tempat KUDOS berlatih. Fokus dengan ponselnya untuk melihat berita soal skandal yang dialami Francis. Ia sudah meminta bantuan Carol untuk mengurusnya, dan ia merasa lega melihat wanita tersebut dapat menyelesaikannya dengan baik.
Ia keluar dari website berita terpercayanya. Lalu ganti membuka Line untuk mengirim chat kepada Carol.
[ Aku sudah membaca beritanya. Terima kasih untuk bantuanmu. ]
Dan kirim.
Tanpa menunggu balasan dari pihak seberang, Vivian segera beranjak dari tempatnya. Masuk ke studio di belakangnya untuk melihat latihan KUDOS.
"Oke, tidak buruk KUDOS," ujar Tina bertepuk tangan, "kita lanjut ke lagu berikutnya, Final Hour. Ms.Morris, silahkan memulai."
Viona mengangguk. Menatap barisan tuts keyboard di depannya selama beberapa detik. Sebelum akhirnya mulai menarikan kesepuluh jemarinya di atas tuts tersebut. Melahirkan melodi indah yang--sangat disayangkan--tak bisa didengar Vivian.
Tak lama, Francis pun memulai. Masuk ke alunan tersebut untuk mulai menyanyikan lirik dari lagu tersebut. Dan Vivian, mulai melihat setiap permainan dari personil KUDOS.
Tempo lagu dari Final Hour terasa pelan dan cukup sedih. Bisa dibilang, nyaris serupa dengan Good Times of Yesterday yang dimainkan Cedric kemarin. Tapi, bukan berarti keduanya sangatlah mirip. Kedua lagu itu memiliki perbedaan yang cukup signifikan.
Final Hour adalah lagu bertempo pelan yang tak diiringi dengan pukulan drum. Lagu tersebut, sungguh hanya mengutamakan alunan keyboard--ataupun piano--dan petikan gitar serta bass. Selain itu, ada kehalusan dalam alunan tempo yang lambat itu.
Sedangkan Good Times of Yesterday, ia masih diiringi oleh pukulan drum. Walau lebih mengutamakan iringan keyboard atau piano, ketimbang alat musik lainnya seperti drum, gitar maupun bass. Dan ada beberapa bagian yang dimainkan dalam tempo cepat.
Akhirnya, lagu tersebut berakhir.
Francis menghela napas panjang. Napasnya terdengar terengah-rengah karena menyanyikan empat lagu secara nonstop.
"Istirahat 10 menit," ujar Vivi tiba-tiba, "thank you for your hard work, KUDOS."
KUDOS menjawab serempak. Lalu kemudian bubar dari tempat mereka masing-masing, dan duduk di sofa yang telah disediakan.
"Bagaimana?" tanya Vivian mendekat kepada Tina.
"Mereka bermain dengan baik," jawab Tina memberikan acungan jempol, "mereka benar-benar fokus pada permainan mereka,"
Vivian menghela napas lega diam-diam. Syukurlah.
"Baguslah kalau begitu," jawab Vivian mengangguk paham.
Hening kemudian. Tina meraih botol minumnya, meneguknya beberapa kali sambil terus memandang Vivian. Wanita itu terus memandang KUDOS tanpa berpaling sedikitpun.
Kemudian, ia menarik ujung baju Vivian. Meminta perhatian dari wanita itu.
"Hm?" Vivian berdehem sambil memandang kepada Tina.
"Sei felice con loro?" tanya Tina menggunakan bahasa sehari-harinya lagi.
"Loro chi?" balas Vivian balik bertanya. Salah satu alisnya naik.
"KUDOS,"
Vivian bungkam sesaat. Memandang KUDOS lagi, yang terlihat saling berbicara satu sama lain. Dan Vivian tahu apa yang mereka bicarakan lewat gerak bibir mereka.
"Kenapa kau menanyakan itu?" ujar Vivian akhirnya. Kembali menoleh kepada Tina. Tapi belum menjawab pertanyaan wanita bersurai cream itu.
"Yah, karena kurasa aku memang perlu menanyakan itu. Kau dulu pernah bilang, 'kan? Buat apa berusaha terhadap sesuatu yang tidak menyenangkan hati,"
"Ya, kau benar,"
"Jadi, bagaimana? Apa kau bahagia dengan mereka?"
Vivian kembali diam. Tatapannya jatuh tanpa sadar.
"Belum untuk saat ini," jawab Vivian akhirnya. "Tapi aku mengharapkan itu terjadi."
Tina mengulas senyum. Meraih punggung Vivian, dan mengusapnya beberapa kali. Memberikan ketenangan untuk wanita tersebut.
"Kau pantas mendapatkannya kembali, mio amico." Ujar Tina, yang ia sangat yakin Vivian takkan bisa mendengarnya.
— X —
Note:
Percakapan asing yang tertulis, bisa dilihat artinya di kolom komentar.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro