Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sembilan : Sebelum Momen Besar

— IX —

Semua terlihat sibuk dengan kesibukannya masing-masing. Saling berbicara satu sama lain, tidur, membaca majalah, bahkan mengawasi. Tapi seketika, semua kegiatan mereka terhenti. Kecuali ia yang sedang tidur.

Dan dia, yang sejak awal memang tengah mengawasi tindak-tunduk Cedric bersama Vivian.

Enam pasang mata, tertuju pada satu titik. Ke arah kursi yang berada di bagian belakang kabin pesawat. Dimana sosok Cedric terlihat tengah memainkan sebuah lagu dengan gitarnya. Dan yang mengejutkan, ia memainkan lagu itu untuk ....

Vivian.

Apa?

Vivian?!

'Tunggu. Bukankah ini salah satu lagu yang dinyanyikan Von,' batin Francis yakin. Dan merupakan salah satu dari enam orang yang menonton konser solo Cedric.

"Good Times of Yesterday." Sambung Francis tanpa sadar melanjutkannya secara jelas.

— IX —

Jemari putih itu bergerak dengan lihai di bagian leher gitar. Setiap gerakannya, melahirkan melodi yang terasa merdu. Namun juga terasa memilukan bagi yang mendengarnya.

Manik hijau itu tak teralihkan dari gerakan tangan Cedric. Setiap gerakan yang begitu lancar nan cukup cepat itu, seolah menghipnotis Vivian agar tidak berpaling. Atau, memang begitulah caranya ia menikmati lagu.

Wanita itu tak bisa mendengarnya. Ia mengakuinya. Dan cara terbaik yang bisa dilakukannya adalah, melihat setiap nada yang dibuat lawan mainnya. Lalu menyenandungkannya--jika ia mau--dengan lirih untuk dirinya sendiri. Cara tersebut telah dilakukannya selama kurang lebih 6 tahun. Namun sesungguhnya, Vivi berharap bisa mendengar kembali semua lagu yang ada.

Sebelum ajal datang menjemputnya.

"Berhenti," pinta Vivian tiba-tiba. Membuat Cedric berhenti memainkan gitarnya.

"Kenapa? Kau memintaku memainkan lagu Good Times of Yesterday yang dinyanyikan oleh Dernmark, 'kan?" balas Cedric, "dan, inilah yang bisa kumainkan dengan membayangkan tiap nada yang dimainkan,"

"Jangan gunakan F Minor untuk bait ketiga dari lagu itu," jelas Vivian, "itu akan merusak nada sebelumnya, dan membuat sumbang tiga nada berikutnya,"

Cedric mengangkat alis. "Kau tahu maksudnya nada sumbang, 'kan?" tanyanya spontan.

"Aku tahu, asshole," jawab Vivian. Ia meraih tasnya, mengambil sebuah notebook dan pulpen pribadinya. "Usai kunci A7 jangan pakai F Minor. Nanti hasilnya buruk, seperti yang aku katakan tadi."

Vivian nampak menggambar sebuah fingerboard gitar sederhana--tidak bisa lurus garisnya--pada notebook itu, dan memberikan titik tertentu di beberapa bagian. Selesai menggambar dan memberi titik-titik, ia mengarahkan halaman itu kepada Cedric.

"Mainkan sesuai kunci yang kubuat ini," pintanya menunjuk halaman itu dengan ujung pulpennya. "Juga, setel ulang gitarmu. Sedikit saja,"

"Eh? Disetel ulang?"

Vivian mengangguk. "Senar 4 terlalu kaku untuk lagu ini. Kurangi sedikit. Tiga atau empat putaran. Lalu, mulai mainkan lagunya sesuai dengan kunci yang kubuat tadi,"

"Oh ayolah. Aku terlalu malas untuk—"

"Lakukan,"

"Oke."

Cedric pun--dengan terpaksa--segera menyetem ulang gitarnya. Sesuai dengan arahan atau instruksi Vivian barusan. Senar 4, oke. Putar tiga kali, longgarkan sedikit. Dan siap.

Tapi, sebelum laki-laki itu kembali memainkan lagu yang diminta Vivian, ia memainkan sebuah nada acak. Mencoba apakah arahan sang manajer tadi terasa enak di telinga.

'Oh tidak buruk.' Batin Cedric dengan alis sedikit terangkat.

"Mainkan mulai dari baris ketujuh bait ketiga saja," pinta Vivian lagi, "lalu lanjut hingga selesai. Tak perlu mengulangi bagian reff."

Cedric mengangguk. Menempatkan notebook milik Vivi di atas pangkuannya, lalu mulai memainkan lagi gitarnya sambil melihat buku kecil tersebut.

Melodi kembali memenuhi kabin pesawat. Meresap masuk ke semua indera pendengar orang-orang yang ada di sana. Mengiris perasaan bagi mereka yang bisa--sungguh--merasakan tiap alunan melodi itu.

Dan akhirnya, melodi itu berhenti dengan lembut.

Cedric menghela napas lega karena telah menyelesaikan lagu tersebut. Dan ia akui, itu lagu yang bagus namun juga cukup sulit untuknya. Karena memang, dirinya tak pernah mencoba memainkannya.

"Tidak buruk," komentar Vivian. Senyum hangat merekah--tanpa ia sadari--di bibir berlapis lipgloss merah muda itu.

Melihat senyuman itu, mata Cedric membelalak. Itu bohong, 'kan? Wanita dengan tampang tak bersahabat itu, mana mungkin tersenyum!

"Untuk orang yang tak pernah berduet dengan Mark ataupun terlibat langsung denganku ...," sambung Vivian lagi, meraih notebooknya dari atas pangkuan Cedric. "Kau bermain bagus. Yah, walau ada beberapa bagian yang masih terasa kurang,"

Cedric mengerutkan kening. "Terlibat?" tanyanya bingung.

Vivian mengangguk. Senyumnya masih setia mengembang di bibirnya. "Aku benar, 'kan? Kau maupun KUDOS, tak pernah melakukan featuring dengan Mark, 'kan?"

"Mark?"

"Von Dernmark. Penyanyi Good Times of Yesterday yang kuminta kau mainkan tadi. Apa kau menyukai lagu-lagu yang dinyanyikan pria itu?"

"Beberapa. Tapi aku lebih suka dengan lagu yang ditulis oleh Enne. Penyair yang kerap kali menuliskan lagu untuk Dernmark,"

"Ya, aku menyukainya juga. Lagu buatannya itu,"

"Tapi sangat disayangkan, dia sudah tiada," Cedric meraih tas gitarnya. Menyimpan gitar yang ia pegang ke tempatnya semula. "Yah, walau aku sendiri tak yakin. Karena ia menghilang begitu saja dari dunia permusikan. Dan Dernmark pun, tak lagi bernyanyi dengan lagu buatan Enne."

Mendengar ucapan Cedric yang datar, entah mengapa membuat perasaan Vivian terluka. Ia mencengkeram celana jeansnya tanpa sadar. Senyumnya sirna begitu saja, tanpa ia sadari lagi.

"Ya ...," balas Vivian kemudian. Nadanya rendah, terdengar sedih. Dan Cedric dapat merasakan itu. "Enne sudah tidak ada, dan takkan ada lagi."

— XI —

— XI —

Akhirnya, setelah perjalanan panjang mereka, KUDOS tiba di Italia. Tepatnya, di sebuah landasan udara khusus yang berjarak sekitar 10km dari ibukota, Roma. Artinya, mereka harus berjalan lagi dengan transportasi darat untuk menuju ke hotel mereka. Yang berada di kota tersebut.

"Daratan!!" seru Viona usai turun dari pesawat. Kedua tangannya berada di udara untuk meregangkan otot. Ia benar-benar lelah terus berada di pesawat.

"Terima kasih sudah mengantar kami, Sir," ujar Vivi berada di sisi lain dengan KUDOS. Berbicara secara pribadi dengan pilot pesawat mereka, yang merupakan kerabat dari Seth. Sopir pribadi KUDOS.

Viona yang sadar akan keberadaan Vivian, memandang punggung wanita bersurai cokelat itu beberapa detik. Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya, dan ia tahu bagaimana cara menghilangkan perasaan itu.

Cedric Moores.

Wanita berambut cokelat ikal itu menoleh ke arah lain. Mencari sosok Cedric. Tapi, sang gitaris tak terlihat ada di permukaan. Berarti, laki-laki itu masih berada di pesawat.

Dan memang benar. Usai Riana keluar dari pesawat, Citrus menyusul di belakangnya, sambil menggendong tas pribadi dan gitarnya. Lalu terakhir yang keluar dari pesawat adalah Kyle. Sambil menguap lebar usai bangun tidur.

Oh, makmur sekali hidup laki-laki yang satu itu.

"Citrus!" panggil Viona menghampiri sang gitaris. Yang baru saja menginjakkan kaki di permukaan.

Merasa terpanggil, Cedric mengurungkan niatnya menuju mobil mereka. Menoleh ke asal suara itu, dan seketika terlonjak pelan.

Tiga orang dari teman band-nya, datang menghampiri. Salah satunya adalah orang yang berhutang 200 dollar padanya. Sisanya, Viona dan James. Kyle serta Riana, telah berlalu pergi menuju mobil--limosin--mereka. Tak tertarik dengan apa yang terjadi di pesawat tadi.

Oh, tapi Kyle pengecualian. Ia tak tahu apa yang terjadi.

"Kenapa?" tanya Cedric menghadap mereka. Menitipkan tas dan gitarnya kepada Seth untuk disimpan di bagasi kendaraan mereka.

"Apa yang kau lakukan dengan Vivi?" tanya Viona langsung. Dan sejujurnya, ia agak terkejut melihat Francis dan James, juga datang kepada Cedric.

"Tak ada," Cedric menggeleng.

"Tapi, tadi kau jelas memainkan sesuatu untuknya, 'kan?" lanjut James.

"Oh itu. Ya benar. Dia sendiri yang minta," jawab Cedric dengan enteng. "Aku kalah bermain game dengannya. Dan taruhannya, dia yang kalah harus melakukan satu perintah dari yang menang,"

"Dan Vivi yang menjadi pemenang, memintamu memainkan salah satu lagu Von?"

Cedric mengangguk.

"Tapi apa yang ia dengar? Dia tak bisa ...," Francis menggerakkan tangannya. Membuat lingkaran bayangan di samping telinganya. "Yang ada, justru kami yang mendengarmu bermain,"

"Dia punya caranya sendiri," jelas Cedric menggedikkan bahu. "Dan aku tak bernyanyi. Hanya memainkan instrumen dari lagu Good Times of Yesterday,"

Tiga orang di hadapannya saling melempar pandang. Lalu kembali menatap Cedric.

"Lalu bagaimana menurutmu?" tanya Viona.

"Well ...," Cedric menggaruk belakang kepalanya. "Aku akui dia memang tahu soal musik. Dan saat ia tanpa sadar menyenandungkan lirik dari lagu itu ...,"

Cedric menjeda kalimatnya. Sikapnya tampak gelisah. Dan itu membuat Franciw, James serta Viona penasaran.

"Suaranya tergolong bagus," sambung Cedric..

"Benarkah?" balas Viona tak percaya. "Oh Fran, kau punya pesaing," Viona menyikut Francis dan mengedipkan matanya sekali.

Francis hanya memutar bola mata. Tak habis pikir dengan itu.

"Tapi, ada satu hal yang menggangguku," ujar Cedric kemudian. "Usai berkomentar soal permainanku, ia mengatakan sesuatu yang sedikit aneh,"

"Aneh?" balas Viona mengangkat sebelah alisnya.

Cedric mengangguk. "Dia bilang, 'Untuk orang yang tak pernah berduet dengan Mark ataupun terlibat langsung denganku, kau bermain bagus.',"

"Apanya yang aneh?" komentar Francis, "yang ada kau itu pamer. Dan siapa itu Mark?"

"Mark itu maksudnya adalah Von Dernmark. Dan soal hal yang menggangguku adalah, kenapa dia bilang 'terlibat langsung denganku'?" jawab Cedric memiringkan kepala. "Kita semua tahu jika lagu itu ditulis oleh penyair terkenal bernama Enne. Tapi, kenapa—"

"Hei kalian berempat!"

Ucapan Cedric terpotong tiba-tiba oleh teriakan Vivian. Keempatnya kemudian menoleh--bersamaan--ke arah sang manajer itu.

"Kalian mau ditinggal? Cepat masuk. Kita akan makan malam, lalu langsung menuju hotel," sambung Viviqn lagi. Telah berdiri di dekat limosin mereka.

"Well, kurasa tak perlu memikirkan ucapanku tadi. Lupakan saja pembahasan itu," ujar Cedric kemudian. Siap untuk pergi. "Intinya, aku hanya memainkan lagu untuknya atas permintaannya karena menang dariku. Mendapat senyum hangatnya--untuk pertama kalinya--lalu komentarnya. Itu saja,"

"Dia tersenyum?" balas Viona tak percaya.

Bohong, pasti bohong!

"Dia tersenyum. Tulus. Walau aku yakin, dia melakukannya tanpa sadar," jawab Cedric yakin, "dan Fran. Jangan lupa 200-nya."

"Oh persetan." Gerutu Francis memutar bola matanya.

— IX —

Usai makan malam di sebuah restoran, KUDOS akhirnya tiba di hotel mereka. Akhirnya, waktu istirahat mereka datang juga.

"Aku sudah membagi kamar kalian," jelas Vivian saat mereka berkumpul di loby hotel. Beruntung, loby itu sedang sepi. Jadi mereka tak perlu menjadi pusat perhatian orang-orang.

"Tiap kamar diisi dua orang," sambung Vivian membaca kertas di tangannya. "Holt dengan Moores. Morgaine dengan Bernard. Morris bersama Chris,"

"Bagaimana dengan Seth?" tanya James.

"Dia berada kamar berbeda. Sendirian. Sama sepertiku juga," jawab Vivian. Lalu berbalik mendekati meja resepsionis dan mengambil kunci kamar untuk KUDOS.

Ia berjalan ke sebuah meja bulat berukuran sedang. Yang dikelilingi oleh KUDOS. "Ini kunci kamar kalian. Kalian bebas memilih yang mana. Tipenya sama, dan nomornya berurutan," jelas Vivian meletakkan tiga kunci kamar hotel yang berbentuk kartu. "Beristirahatlah. Besok, pukul 7 pagi, kita akan bertemu di cafe hotel untuk sarapan. Lalu setelahnya, menuju studio yang sudah kusewa untuk kalian dan membicarakan ulang konser kalian, mengerti?"

"Baik~" jawab KUDOS kompak.

Vivian mengangguk. "Baik, selamat malam untuk kalian semua." Salamnya kemudian berlalu pergi.

— IX —

Vivian membuka pintu kamar hotelnya. Masuk, lalu menutupnya dengan salah satu kakinya. Tak lupa, menguncinya. Ia lalu memandang sejenak dekorasi kamarnya itu. Simple. Dengan warna dinding yang calm.

Vivian menjatuhkan tas pribadinya di kasur single size itu. Lalu menyusul tubuhnya yang--jujur--terasa pegal.

"Aaaaaaaa," Wanita itu menggerang sambil terus menenggelamkan wajahnya ke kasur. "Capek."

Ia memejamkan matanya sesaat. Tetap pada posisi itu selama beberapa detik. Sebelum akhirnya berbalik menghadap langit-langit, dan meraih tasnya yang ada di atas kepalanya. Mengambil laptop hitamnya, lalu menyalakan benda itu di atas perutnya. Sambil tetap berada dalam posisi berbaring.

Layar dekstop laptop itu dihiasi dengan foto wanita dan laki-laki. Wanita itu adalah dirinya--Vivian, yang tengah tersenyum lebar sambil membawa sebuah piala perak berbentuk salah satu not balok. Di sampingnya, ada pria bersurai hijau gelap yang tersenyum lebar--tak kalah lebar dari Vivian--sembari mengalungkan lengannya ke leher Vivian. Di belakang kedua orang itu, ada banyak orang-orang berpakaian rapi yang membawa alat musik. Seperti grup orkestra. Dan grup orkestra itu, juga terlihat senang.

Vivian menatap layar laptopnya beberapa saat. Dan kemudian, menghela napas berat. Kenapa pula ia tak menggantinya. Foto itulah, yang membuat lehernya terus terjerat oleh rantai masa lalu.

Vivian menggeleng. Mengarahkan pointer-nya ke salah satu icon yang ada. Mengkliknya dua kali, dan memunculkan sebuah badan email yang kosong. Lalu, segera mengetikkan sesuatu di sana.

[ Aku sudah tiba di Roma. Janji besok sesuai dengan jadwal, pukul 10. Sampai ketemu di studio. ]

Dan mengirimnya ke alamat email milik seseorang bernama Tina Davenport.

— IX —

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro