Sembilan belas : Itu Tidak Profesional
— XIX —
KUDOS telah kembali dari latihan mereka yang berujung masalah. Sungguh, Vivian tak mengira hal itu bisa membuat Francis dan James berselisih seperti anak kecil.
Oh astaga, mereka itu sudah berumur 20 tahunan. Dewasalah sedikit.
"Jadi ...," Carol yang berdiri di samping Vivian sambil meneguk kopi, memandang Francis dan James bergantian. Kedua laki-laki itu tengah duduk bersebelahan dengan saling memunggungi.
Kekanak-kanakan sekali.
"Siapa yang memulai lebih dulu?" sambung Carol lagi.
"Jelas dia!" jawab Francis dan James bersamaan. Bahkan mereka saling menunjuk satu sama lain.
Carol menghela napas. Melirik Vivian yang tertunduk sambil mencubit bagian tengah hidungnya.
Di antara Francias dan James, personil KUDOS yang lain juga ada di sana. Duduk di sofa yang lain, mengawasi kedua biang keladi itu.
"Aku akan mengurus ini," ujar Vivian tiba-tiba. Ia menurunkan tangannya dari salah satu bagian wajahnya.
Mendengar ucapan Vivian, semua perhatian--kecuali Francis dan James--langsung jatuh kepadanya.
"Kau yakin bisa mengurusnya sendiri?" tanya Viona khawatir.
Vivian mengangguk. "Ini hanya pertengkaran anak kecil. Mudah untuk mengurusnya," ungkapnya sambil melipat tangan di depan dada.
KUDOS saling melempar pandang. Lalu ganti menatap Vivian, kemudian Francis dan James.
"Um ... baiklah," jawab Viona akhirnya. "Kami akan meninggalkan kalian bertiga kalau begitu. Kalau kau butuh sesuatu, hubungi saja kami."
Vivian tersenyum dan mengangguk kepadanya. Dan jujur, senyuman itu cukup membuat Viona terpaku. "Terima kasih." Ujarnya kemudian.
KUDOS pun beranjak dari duduknya. Dan tak ada yang menyangka, Francis serta James juga ikut bangkit dari tempatnya
Sadar akan gerakan itu, Vivian langsung memasang wajah tegas. "DUDUK." Pintanya jernih dan dalam. Menandakan itu bukan lagi permintaan, tapi perintah.
Suara sang manajer itu terasa menggema di ruangan itu. Membuat semuanya terpaku pada posisi masing-masing. Tapi, karena sadar perintah itu hanya ditujukan kepada Francis dan James, yang lainnya pun kembali melanjutkan. Menyingkir pergi dari sana dengan halus.
Saat mendengar perintah itu, Francis dan James langsung duduk secara bersamaan.
Anak pintar. Itu baru anak mama.
"Jadi," Vivian melangkah lebih dekat ke sofa yang mereka duduki. Duduk di sofa yang berseberangan dengan keduanya. "Aku tak mau masalah ini membuat konser kalian sendiri berantakan. Jadi, minta maaf,"
"James yang seharusnya minta maaf," ujar Francis langsung. Melirik James dengan tak suka. Seolah, pria pirang di sampingnya itu adalah musuh bebuyutannya. "Jelas-jelas dia yang salah,"
"Manusia tak luput dari kesalahan, Holt," balas Vivian datar namun terasa menenangkan.
"Tapi yang ini keterlaluan! Aku tahu dia bukan orang bodoh. Jadi seharusnya James bisa segera mengoreksi apa yang menjadi kesalahannya," sahut Francis lagi, masih mencari celah agar bisa menyalahkan James sepenuhnya.
"Kau sejak awal terus-terusan menyalahkanku, Fran," timpal James kemudian. Iris ungu yang bersembunyi di balik lensa kontak biru itu melirik Francis kesal.
"Tentu saja aku berhak menyalahkanmu!" jawab Francis bangkit dan meletakkan tangannya di dadanya. "Selain itu aku adalah ketua dari KUDOS. Aku punya hak untuk itu!"
"Aturan dari mana itu?" sahut Vivian memiringkan kepalanya. "Karena kau adalah vokalisnya, begitu?"
"T-tentu saja, 'kan? Vokalis adalah tonggak utama dalam grup musik. Jadi, ia memiliki hak lebih besar terhadap ini itu," balas Francis terdengar bangga.
Vivian mengerutkan kening. "Aku ... jujur tak tahu soal aturan semacam itu," ungkapnya kemudian, "tapi yang aku tahu, ucapanmu barusan jelas sebuah kesombongan,"
"Dia memang sombong," sahut James. Membuat Francis menatap bengis kepadanya.
"Oh benar ya?" balas Vivian lagi dengan nada mengejek. "Tak mengherankan. Tapi, bukan itu masalahnya saat ini."
Vivian menoleh menatap James lurus. Diam sejenak, sebelum akhirnya kembali membuka mulut. "Morgaine," panggilnya.
"Ya?"
"Apa kau sedang dihadapkan dengan masalah?"
"Maksudmu?"
Vivian menghela napas. Menjatuhkan punggungnya ke sandaran sofa. "Dengar, aku akan berkata jujur padamu soal latihan hari ini," jelasnya, "sejujurnya, saat latihan hari ini, kau terlihat tidak fokus, Morgaine. Tidak bersemangat. Kesalahan yang sama terjadi hingga tujuh kali, bukanlah hal yang bisa dikatakan wajar. Terutama untukmu yang jelas sudah menguasai teknik bermusik,"
"Nah! Aku benar, kan," timpal Francis bangga, "kau yang—"
"Bisa kau tutup mulut sebentar?" potong Vivian kesal.
Francis pun langsung menutup mulutnya. Menghindar kontak mata dari Vivian.
Setelah Francis diam, Vivian pun kembali memperhatikan James. "Jadi, bagaimana?" tanyanya kemudian.
"Aku ...," James sedikit tertunduk. Kedua tangannya mengepal tanpa ia sadari. "Aku sakit hati dengan Fran,"
"Ha?" Francis dan Vivian merespon bersamaan.
"Apa maksudmu?" sambung pria berambut cream cokelat itu.
"Saat di pesawat,"
"Oh," Kembali, Francis dan Vivian merespon secara bersamaan.
Tapi kali ini, Vivian melanjutkannya dengan helaan napas panjang.
"Dengar, aku tahu setiap orang punya masalah pribadi yang muncul setiap waktu. Entah itu disadari, atau tidak," ujar Vivian kemudian, "tapi untuk saat ini, aku ingin kalian lupakan itu sejenak dan fokus dengan apa yang ada.
Mencampur adukkan masalah pribadi dengan pekerjaan, sama sekali bukan tindakan profesional. Kalian tahu itu, 'kan?"
Keduanya diam. Tapi perlahan mereka mengangguk.
"Hari ini, istirahatlah," lanjut Vivian lagi usai melihat respon dari keduanya. Ia kemudian bangkit dari duduknya, bersiap untuk pergi. "Kuharap, besok kalian sudah berbaikan dan fokus dengan pekerjaan kalian.
Aku sadar aku terkesan egois, ingin segalanya sesuai dengan arahanku. Tapi, aku takkan begini jika kalian sendiri tidak berulah. Sampai jumpa besok, jernihkan pikiran kalian."
Tanpa menunggu balasan dari sang vokalis maupun basis, Vivian segera pergi dari ruang tengah itu.
Setelah Vivian pergi, keduanya masih diam. Saling berpandangan saja juga tidak. Kedua laki-laki itu hanya diam mengiringi kesunyian tempat itu.
— XIX —
Rasanya hening. Dan kamar tidur itu terasa sesak bagi James.
Pria itu masih dalam keadaan terbangun. Setelah pembicaraannya dengan Francis dan Vivian selesai, ia tak segera terlelap. Tidak. Itu salah.
Pria itu bukan menolak untuk tidur. Tapi ia tak bisa tidur. Kepalanya terasa pusing karena masalah yang terjadi antara dirinya dan Francis. Aneh. Ini aneh. Ini seperti bukan dirinya.
James mengganti posisi tidurnya. Berbaring menghadap ke sisi kanannya. Menatap dinding gelap yang berada di seberang kasurnya. Ia lalu memejamkan matanya. Mencoba untuk mengistirahatkan penuh dirinya. Baik fisik, maupun mental.
Tapi sayang, itu tetap gagal.
Meski sudah mencoba memejamkan matanya--hingga ia merasa ingin merekatkan kelopak matanya agar terpejam--ia tetap tak bisa pergi ke alam mimpinya. Pikirannya jelas merasa letih. Tapi di sisi lain, pikirannya juga menolak untuk beristirahat.
"Argh!!"
James menggerang kesal. Bangkit dari kasurnya, dan menginjakkan kaki ke lantai. Lalu melangkah menuju pintu untuk keluar dari kamar tersebut.
Mungkin, berjalan-jalan sedikit bisa membantunya untuk mengantuk.
— XIX —
— XIX —
Belajar itu adalah hal yang merepotkan. Terutama, belajar tentang hal yang tak disukai.
Coba pikirkan.
Untuk apa seseorang belajar keras terhadap sesuatu yang tak disukainya? Itu hanya membuang tenaga, pikiran bahkan waktu. Tapi, seperti itulah kehidupannya.
Wanita itu adalah putri tunggal yang terlahir di dalam silsilah keluarga kelas atas. Bangsawan? Tidak. Tepatnya keluarga pebisnis terpandang.
Namun, ia tak menyukai dunia bisnis. Baginya itu membosankan. Hal itu tak bisa membuatnya mengekspresikan perasaannya.
Itu terasa hambar untuknya.
"Sungguh Clovis, buat apa aku belajar hal seperti ini?" Wanita itu mengeluh kepada pelayannya yang tengah menemaninya belajar. Ia melempar alat tulis di tangannya, menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi.
"Saya rasa, itu karena sir Luc ingin Anda melanjutkan perusahaannya," jawab Clovis dengan lembut, "Anda pasti akan menjadi pewaris Randolphy Corporation,"
"Menjalankan perusahaan itu?" Perempuan bersurai hitam itu mendelik. "Tidak terima kasih. Aku tidak suka dengan hal-hal seperti itu. Bisnis, perusahaan, inventasi, saham. Aku lelah mempelajari itu semua, Clovis. Itu sungguh menyiksaku."
Sejak kecil, ia telah terikat akan rantai tak kasat mata. Siapapun tak bisa melihatnya, termasuk dirinya sendiri.
Namun, ia bisa merasakannya dengan jelas. Rantai itu mulai menjeratnya sejak ia menginjak umur 10 tahun, dimana iblis yang menyebut diri mereka 'ORANGTUA' memberikan pelajaran pertamanya tentang bisnis.
Luar biasa, bukan? Bocah berumur 10 tahun telah dicecoki ilmu semacam itu. Yang jelas, sangat tidak dia sukai. Ditambah dengan cara didik mereka yang keras--ringan tangan--semakin melahirkan rasa benci dalam benaknya.
Ia merasa, terlahir dalam garis keturunan Randolph adalah bencana.
— XIX —
Asbak marmer itu melayang cepat di udara dan mendarat di kepala Carol. Darah perlahan mengalir keluar, terus jatuh menodai pipi putih pucatnya dan menetes ke permukaan lantai bersih di bawah kakinya.
Carol mengangkat satu tangannya. Mengusap darah yang menodai kepala dan pipinya dengan punggung tangan. Menatapnya sejenak, sebelum akhirnya pandangannya ganti mengarah kepada pria bersurai hitam yang mengenakan jas setelan mahal.
Luc Randolph, ayah kandung Carol.
"Untuk apa kau kembali kemari, Kid?" tanya pria itu merasa tak bersalah usai melemparkan asbak marmer sebelumnya.
"Kid?" Carol agak terkejut. Ia membungkuk, meraih asbak yang ada di dekat kakinya dan membersihkannya dengan ujung lengan bajunya. "Kau bahkan tak ingin menyebut putrimu dengan nama. Sudah sebenci itukah kau denganku, Dad?"
"Untuk apa aku menyebut nama anak tak tahu diri sepertimu!?" balas Luc menunjuk Carol lurus. "Anak tak tahu terima kasih sepertimu, seharusnya membusuk saja di luar sana!"
Carol menghembuskan napas. Meletakkan asbak di tangannya di meja terdekat, dan fokus kembali kepada ayahnya.
"Tapi sayangnya, aku tidak membusuk seperti yang kau harapkan," tutur Carol menggedikkan bahu, "aku sehat-sehat saja. Bahkan, berani menginjakkan kaki di rumah ini lagi.
Oh tapi tidak masalah, 'kan? Toh secara teknis, ini rumahku juga. Jadi aku bebas pulang pergi dari rumah ini."
Luc menggertakkan giginya. Pergi dari belakang meja kerjanya, dan berjalan mendekati Carol.
Pria itu mengangkat tangannya tinggi. Mata biru Carol spontan bergerak mengikuti kemana arah tangan ayahnya bergerak. Dan saat tangan besar putih pucat itu bergerak turun, Carol memejamkan matanya. Membiarkan wajahnya mendapat tamparan telak dari pria tersebut.
"Tidak tahu diri!" sebut Luc usai menampar wajah Carol. "Setelah semua yang aku berikan padamu, sekarang kau berani memandangku rendah, begitu? Beraninya kau!"
Luc kembali menampar pipi Carol. Namun di sisi yang lain. Terus, hingga tamparan itu berubah menjadi tinjuan yang membuat wanita muda itu sedikit memuntahkan darah.
"Sayang, sudah cukup," henti seorang perempuan pirang menahan tangan Luc yang berada di udara. "Dia pasti sudah menerima akibatnya atas ketidaksopanannya itu,"
Katia "Poulin" Randolph. Ibu kandung Carol.
Luc menyentakkan tangannya dari Katia. Meraih saputangannya untuk membersihkan tangannya dari darah Carol.
"Astaga. Kau bahkan merasa kotor saat tanganmu ternoda oleh darahku,Dad," komentar Carol terkekeh geli. "Sepertinya aku benar-benar telah menjadi aib di matamu. Kenapa tidak kau coret saja namaku dari daftar kartu keluarga? Jadi, pemerintah takkan tahu bahwa kalian punya putri semata wayang bernama Carol Randolph.
Baiklah, karena peranku sebagai samsak tinju dan target lempar asbak sudah selesai, aku akan pergi sekarang. Lagipula, aku yakin Dad dan Mom ingin waktu istirahat setelah perjelanan bisnis. Sekaligus, mencari tempat untuk bercinta sampai salah satu di antara kalian memohon pengampunan."
Carol berbalik memunggungi kedua orangtuanya. Meraih knop pintu, sebelum akhirnya melangkah keluar.
Tapi, saat tiba di ambang pintu, langkahnya terhenti.
"Oh ya, aku akan menetap di rumah ini selama sekitar lima hari lagi," ujar Carol tanpa berbalik. "Dan aku juga membawa teman-temanku untuk menginap di sini,"
"Apa?! Beraninya kau membawa manusia rendah ke rumah ini!" balas Luc murka.
Carol tertawa geli. "Tentu saja aku berniat menolak pada awalnya. Tapi, saat aku membayangkan ekspresi kalian ketika melihat KUDOS, aku jadi ingin melakukannya. Aku ingin mengusik orangtua berengsek seperti kalian."
— XIX —
Carol menutup pintu di belakangnya sedikit bertenaga. Dan agak tersentak saat melihat Clovis ada di dekat pintu.
"Maaf saya tidak bisa membantu, My Lady," ujar Clovis menyesal. "Saya juga tak mengira sir Luc dan miss Katia akan kembali secepat ini."
"Sudahlah jangan dipikirkan," balas Carol tak ambil pusing. "Sedari awal mereka sudah tak waras. Jadi, aku tak terkejut akan siksaan salah satu dari mereka. Toh sejak kecil mereka sudah ringan tangan terhadapku.
Daripada itu, tolong bawakan aku kotak obat ke ruang tengah. Aku ingin mengobati luka-lukaku. Dan aku yakin, KUDOS pasti akan menerjangku dengan pertanyaan ketika melihat lukaku. Terutama James."
"Itu akan menjadi hal yang berat," komentar Clovis sebelum akhirnya meninggalkan Carol untuk mengambil kotak obat.
— XIX —
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro