Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Satu : Pembenaran dan Calon Manajer

— I —

Cahaya kamera terlihat menghujani ruangan itu. Para wartawan berbondong-bondong mencari posisi yang sesuai agar dapat menyorot meja serta enam kursi kosong yang akan ditempati personil KUDOS. Dan tak lama kemudian, enam personil utama KUDOS keluar dari belakang panggung. Menempati enam kursi kosong tersebut sesuai dengan name tag yang berada di meja.

Dimulai dari sisi kiri meja, ada Kyle Bernard, lalu Viona Morris, James Morgaine, Francis Holt, Cedric Moores, dan terakhir Riana Chris.

Saat keenam orang itu telah duduk, puluhan pertanyaan langsung memenuhi seisi ruangan. Padahal, konferensi pers tersebut belum dimulai sepenuhnya. Tapi kemudian, ruangan itu hening seketika saat MC memasuki ruangan. Membuka sesi konferensi pers yang menyangkut soal salah satu personil KUDOS, Francis Holt.

"Uh ... Kuucapkan terima kasih atas kehadiran kalian," ujar Francis kemudian mengambil alih. "Dan tentunya, tujuan kami mengadakan konferensi ini adalah untuk meluruskan hal yang tersebar luas di media sosial beberapa hari yang lalu,"

Saat Francis memberikan jeda untuk mengambil napas, para wartawan langsung menyerangnya dengan pertanyaan. Entah berapa pertanyaan yang berhasil ia tangkap, tapi ia bisa menarik apa intinya.

Apakah foto itu membuktikan rumor yang ada, bahwa Anda sungguh seorang gay?

Apakah artinya Anda diam-diam menjalin hubungan dengan Von Dernmark?

"Mohon tenang," ujar MC mengangkat satu tangan. Dan membuat kicauan para wartawan, terhenti.

"Yang bisa aku katakan untuk kalian adalah," ucap Francis lagi kembali angkat bicara saat para wartawan telah diam. "Itu hanya sekedar editan photoshop atau sejenisnya. Aku memang dekat dengan sang musisi Von Dernmark, tapi kami tidak memiliki hubungan lebih dari sekedar teman sesama musisi,"

Keramaian kembali terdengar dari mulut para wartawan. Mereka saling berbicara satu sama lain.

"Pertanyaan," Salah satu wartawan mengangkat tangannya.

Nah, yang seperti ini benar.

"Silahkan," jawab Francis menyetujui.

"Soal manajer KUDOS. Dari apa yang kami dengar, manajer KUDOS menyatakan berhenti tanpa alasan," jelas sang wartawan sambil membaca artikel di ponsel di tangannya. "Lalu, bagaimana dengan tur yang akan dilakukan KUDOS dalam waktu dekat ini? "

Francis mengerjap sekali. Tur itu. Benar, KUDOS sudah membuat rencana untuk mengadakan tur terakhir mereka sebelum berhenti dari dunia permusikan.

"Itu tidak benar," jawab James angkat bicara. Sebisa mungkin, ia harus tetap berpikir jernih dan tak boleh menunjukkan keburukan KUDOS di hadapan umum. "Tur itu akan tetap diadakan di lima negara. Dan soal manajer kami, itu tidak benar. Manajer KUDOS bukan mengundurkan diri, melainkan cuti selama beberapa waktu sebelum tur. Dan selama ia cuti, kami dimanajemeni oleh seseorang yang masih kami rahasiakan dari publik. Tolong jangan mempercayai apa yang Anda baca atau dengar sebelum kepastian betul dari kami,"

"Lalu apa tindakan KUDOS untuk masalah ini?" tanya wartawan lain.

James melempar pandang ke arah Francis yang ada di sisi kanannya. Memberikan tatapan lurus agar menjawab pertanyaan wartawan tersebut.

"Kami tetap akan bergerak seperti biasa." Jawab Francis dengan tegas.

— I —

Cedric menjatuhkan dirinya di sofa hitam panjang yang digunakan Kyle untuk berbaring.

"Demi buah citrus, ini konferensi yang melelahkan," gerutu Cedric menyadarkan punggungnya. Sedikit merosot turun untuk mencari posisi yang lebih nyaman. "Dan apa-apaan dengan pertanyaan tadi? 'apakah sesungguhnya ada personil KUDOS yang memang seorang gay?' gila."

"Ya, aku tak habis pikir dengan yang itu," balas Viona menggeleng. Wanita itu duduk di sofa yang berseberangan dengan Cedric dan Kyle. "Itu berlebihan,"

Ia meraih ponselnya. Membuka akun Twitternya, lalu mendapati banyak notifikasi komentar dari penggemar dan tag dari beberapa official account surat kabar. Tapi, komentar yang ada, kurang lebih sama dengan pembicaraan yang dibahas Cedric barusan.

"Kini aku berpikir, apakah bagus memiliki personil yang seorang biseksual?" tanya Viona kemudian. Entah ditujukan kepada siapa. Karena sang keyboardist itu sendiri, tengah sibuk mengutak-atik akun Twitternya itu.

"Entahlah," James menyahut, pria itu terlihat berdiri bersandar punggung sofa yang ditempati Cedric dan Kyle. Sibuk membaca sesuatu di tangannya. "Mungkin antara ya dan tidak,"

"Tapi, negara ini sendiri tidak melarang hubungan semacam itu, 'kan?" balas Viona lagi. Ia mengalihkan pandangannya dari layar ponsel, menyandarkan kepalanya di atas punggung sofa. "Dan kerja bagus berbohong soal manajer itu, James,"

"Itu yang disebut power of netizen," sahut James lagi, "semua hal yang sedikit berbeda dimata mereka, pasti akan menjadi masalah. Dan ya, terima kasih untuk pujiannya."

"Bicara soal biseksual ...," Viona menurunkan pandangannya. Melirik ke sekitar untuk mencari sang vokalis. "Kemana Fran?"

"Carol menyeretnya pergi setelah konferensi selesai," balas Kyle tanpa memandang Viona. Bahkan pria itu, terlihat memejamkan matanya. Sepertinya setengah tertidur.

"Carol? Pergi kemana?"

Kyle menggedikkan bahu.

"Apapun itu, kuharap itu adalah hal baik." Sahut James kemudian.

— I —

— I —

"Kau mau membawaku kemana?" tanya Francis yang berjalan berdampingan dengan Carol. "Jika ingin mengajakku lunch kau bisa mengatakannya baik-baik. Tidak perlu menyeretku begini."

Manik biru menyala itu menatap Francis tajam. Seperti siap untuk menerkam sang vokalis.

"Aku hanya bercanda," sambung Francis lagi meneguk ludah.

Wanita di sampingnya ini, memang cantik. Meski tubuhnya kurus--tidak terlalu ideal--dan kulitnya putih pucat, itu tampak cocok untuknya. Surai hitamnya yang panjang begitu legam nan lembut, iris biru menyala itu terasa tajam. Mungkin, ini yang disebut kecantikan yang mematikan.

"Aku ingin mempertemukanmu dengan seseorang," jelas Carol memandang ke depan lagi.

"Siapa?"

"Vivi,"

Francis mengerutkan kening. Siapa lagi itu?

"Bisa jelaskan lebih rinci?" tanya Francis memohon. "Aku memang cukup cerdas, tapi aku bukan google search yang bisa mengetahui sosok seseorang dalam hitungan detik hanya dengan ucapan 'oke google, cari nama Vivi',"

"Dia calon manajer baru kalian," ujar Carol menghela napas. Salahnya juga karena memang hanya mengatakan setengah--bahkan seperempat--dari tujuannya membawa Francis.

"Manajer baru?" Francis mengulangi. Kedua alisnya melengkung naik, terkejut dengan penjelasan tersebut. "Kau sungguh melakukan itu?"

"Kenapa? Bukankah saat ini kalian perlu seseorang untuk mengisi bangku itu?"

"Memang benar KUDOS perlu manajer baru. Ditambah lagi, tur Goodbye World kurang dari sebulan. Tapi, yang jadi masalah—"

"Kau takut dia akan berhenti sebelum tur berakhir karena tahu bahwa salah satu personil KUDOS punya kelainan?" Carol memotong cepat. Dan langkah kakinya, sesaat terhenti di depan sebuah pintu berwarna hitam kecokelatan.

"Y-ya ... begitulah," Francis menjawab gugup. Iris merahnya jatuh memandang lantai. "Meski negara ini tidak melarang hal tersebut, tapi tetap saja itu dianggap hina dimata orang tertentu. Kau lihat sendiri, 'kan apa yang terjadi saat Von memposting foto itu?"

"Well ... aku tak bisa berkomentar soal tindakan Von. Entah apa yang dipikirkan pria satu itu," balas Carol memutar bola matanya. Tangan kirinya menepuk bahu Francis, memupuk kembali kepercayaan diri pria bersurai cream kecokelatan itu. "Tapi orang yang akan kau temui kali ini, bukanlah sosok yang ada dalam bayanganmu. Ia wanita yang tak memikirkan hal semacam itu. Trust me."

Mendengar ungkapan itu, Francis mengangkat kepalanya. Menatap lurus permata biru di depannya, serta senyum hangat yang terukir di bibir Carol.

"Kau selalu menjadi kepercayaan KUDOS, Carol," ungkap Francis dengan senyum, "kami sangat beruntung karena James datang membawamu,"

"Dan terima kasih juga karena memercayaiku," balas Carol menurunkan tangannya dari bahu Francis.

"Tapi, kenapa tidak kau saja yang menjadi manajer kami? Kau sudah kenal akrab dengan kami semua, 'kan?"

Carol berdehem panjang. Matanya menatap ke langit-langit. "Kurasa karena aku memang tak menyukai, bahkan membenci bidang itu," jawabnya kemudian terkekeh garing. "Sudahlah, ayo masuk. Aku tak mau membuat Vivi menunggu lama."


Carol pun segera membuka pintu di depannya. Begitu itu terbuka, keduanya berhadapan dengan sebuah ruang rapat. Ada sebuah meja panjang bertaplak putih berenda emas. Di setiap sisi meja, ada sepuluh kursi yang dibungkus sarung kursi berwarna putih, layar proyektor yang menggantung di seberang ruangan, lengkap dengan mesin proyektor yang menggantung di seberang layar.

Di ruang tersebut, seorang wanita berambut cokelat, terlihat menempati salah satu kursi yang ada--yang paling dekat dengan pintu. Tubuhnya yang sedikit lebih berisi dari Carol, terbungkus dengan setelan hitam dan celana katun panjang berwarna senada. Salah satu tangannya--tangan kiri--terbungkus dengan sarung tangan cokelat gelap. Surai cokelatnya tergulung dengan rapi.

Wanita itu tak menyadari kedatangan Francis dan Carol--meski ia berada di posisi dekat dengan pintu--karena sibuk dengan laptop hitam yang ada di depannya. Tapi ketidaksadaran itu, tak berlangsung lama.

Saat Carol melangkah mendekat dan mengangkat tangannya--hendak menepuk salah satu bahunya--ia telah lebih dulu menoleh kepada dua orang tersebut. Menunjukkan sepasang manik hijaunya yang tampak tak bersahabat sama sekali.

"Maaf membuatmu menunggu, Vivi," ujar Carol tak enak, "konferensi pers-nya memakan waktu lebih lama dari perkiraan,"

"Tidak masalah," jawab lawan bicaranya dengan datar. Lalu fokus sejenak ke laptopnya lagi.

Jika diperhatikan lebih jelas, wanita di hadapan Francis dan Carol, memiliki aura kecantikan yang berbeda dengan wanita bersurai hitam itu. Jika Carol adalah penggambaran kecantikan yang dingin dan mematikan, wanita berambut cokelat itu memiliki kecantikan dewasa nan anggun. Meski wajahnya tampak tak bersahabat, hal itu justru memberikan nilai plus untuk kecantikannya.

Selama beberapa detik, Francis seolah terhipnotis dengan kecantikan itu. Tapi kemudian, ia tersadar bahwa sekarang bukan waktu yang tepat untuk terkagum.

"Uh ...," Francis kembali gugup. Mungkin karena atmosfer yang ada di sekitarnya terasa canggung juga dingin. Apakah AC-nya menyala?

"Halo, aku Franc—"

"Vivian Adrienne," sela wanita tersebut cepat. Bahkan ia tak mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya. "Tolong panggil Vivi, dan silahkan duduk."

'What the fuck!?' batin Francis spontan saat Vivian seenaknya menyela sesi perkenalannya. Yah, walau ia sendiri tak yakin apakah itu perlu.

Maksudnya, siapa yang tak tahu Francis Holt? Sang vokalis grup musik KUDOS. Tentu semua orang tahu tentangnya.

Tapi, yang jadi masalah di sini bukanlah soal ia kenal atau tidak. Melainkan soal attitude. Dan siapapun tahu tentang ini. Tentang sikap yang baik saat bertemu dengan orang baru. First impression is everything. Namun wanita ini--Vivian Adrienne, sama sekali tak memiliki satu dari sekian sikap baik.

Satu, ia tak berniat bertatap muka--berbicara sambil memandang lawan bicaranya. Kedua, tidak berniat berjabat tangan atau sejenisnya yang merupakan hal dasar. Apakah ia seorang clean freak? Jika ya, kenapa hanya membungkus sebelah tangannya saja? Ketiga, menyela seenaknya.

Benar, 'kan? Tidak ada satupun poin positif terkait sikap yang ditunjukkan pertama kali oleh Vivian. Semuanya negatif!

Tapi untungnya, dia cantik. Jadi keburukannya tidak terlalu nampak dipermukaan--tertutup oleh kecantikannya. Namun, apa gunanya punya wajah cantik jika sikap sangat buruk? Sekarang adalah zaman dimana attitude menjadi poin utama dalam suatu hal.

Francis ingin memprotes pilihan Carol yang tidak biasanya buruk. Tapi, saat ia baru saja menolehkan wajahnya ke samping, Carol telah menghilang dari tempatnya. Wanita bermanik mata biru menyala itu telah duduk--sesuai intruksi Vivian--di salah satu kursi lainnya. Berhadapan dengan Vivian.

"Sedang apa kau?" tanya Carol menatap bingung. "Kau tak dengar apa yang dia bilang? Silahkan duduk."

Francis memutar bola matanya.

'Bersyukurlah kau cantik, dan juga teman dekat James. Jadi aku masih akan menahan diri untuk tidak melukaimu.' Batin Fran menarik napas dalam. Membantunya untuk tetap tenang.

Yang kemudian, ia segera duduk di kursi yang bersebelahan dengan Carol. Lalu memulai sesi protesnya dengan nada lirih.

"Aku yang akan mengurus tur terakhir kalian," ujar Vivian tiba-tiba. Membuat Francis yang sebelumnya sibuk memprotes Carol soal manajer pilihannya, berhenti dan menaruh pandang kepada Vivian.

"Apa?" balasnya tak percaya. Kini, Vivian telah menatapnya penuh dari atas layar laptop hitam itu.

"Carol sudah mengatakan soal tur terakhir KUDOS," sambung Vivian lagi, "dan aku yang akan mengurusnya. Aku akan mengisi kursi manajermu mulai detik ini hingga tur kalian berakhir,"

"Kau yakin dengan itu?" tanya Francis memastikan. Sungguh, ia tak mau mengalami hal yang sama untuk kedua kalinya. Dan ia harus mencegahnya sebelum itu benar-benar terjadi. Ia tak ingin merugikan teman-temannya. "KUDOS tidak sebersih yang terlihat dimata orang-orang,"

"Tidak bersih? Kau bicara soal skandal yang baru saja menyeret namamu?" terka Vivian mengangkat kedua alisnya. Ia ingat, KUDOS baru saja menghadiri konferensi pers beberapa jam yang lalu dengan topik soal sang vokalis dan Von Dernmark.

Francis mengangguk menanggapi tebakan Vivian.

"Itu bukan masalah untukku," jawab Vivian menggedikkan bahu. Membuat Fran membulatkan mata. "Tugasku di sini bukan untuk menilai satu demi satu kehidupan pribadi personil KUDOS. Melainkan untuk membuat semua berjalan sebagaimana mestinya. Aku netral di sini.

Aku tak berpihak padamu yang sedang tertimpa masalah, atau berpihak pada Carol yang memperkerjakanku atau salah satu personil KUDOS. Aku berpihak pada diriku sendiri. Jadi, hentikan ini dan mari bicara topik sesungguhnya."

— I —

*Note:
Homoseksual sifatnya berbeda dengan biseksual. Homoseksual memiliki ketertarikan terhadap sesama jenis. Gay untuk laki-laki, lesbi untuk perempuan.

Sedangkan biseksual, ia tertarik dengan keduanya. Bisa perempuan, bisa laki-laki.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro