Enam : Dua Wanita Terluka
— VI —
Carol duduk di sebuah sofa yang ada di ruang tengah merangkap ruang santai apartemen Vivian. Dengan sebotol wine dan sekotak pizza, ia berhasil menyogok Vivian untuk mau berbicara dengannya. Sudah ia duga, wanita berambut cokelat itu takkan bisa menolak bujukannya. Dua kombinasi itu takkan mungkin gagal.
Ia memandang sekitar. Rasanya sudah lama ia tak berkunjung. Padahal kenyataannya, ia baru saja mengunjungi Vivian beberapa hari yang lalu. Saat ia meminta Vivian bekerja sebagai manajer KUDOS. Dan bohong jika Carol tak terhipnotis dengan kehadiran sebuah piano hitam yang berada di sudut ruangan. Meski Carol tidak tinggal di sana, ia yakin piano itu masih sangat dirawat oleh Vivian. Karena piano itu terlihat amat sangat bersih.
Di meja depannya, berserakan kertas-kertas lirik lagu dari penulis bernama Enne. Sepertinya, ia sangat menyukai lagu buatan Enne itu.
Saat Carol hendak membaca salah satu kertas lirik itu, Vivian keluar dari dapurnya sambil membawa dua gelas wine. Lalu meletakkan keduanya di meja tersebut.
"Kau masih melakukan ini?" tanya Carol menggoyangkan kertas di tangannya.
Vivian menatap kertas tersebut. Lalu mengangguk. "Hanya sebagai pelampiasan emosi. Yah, seperti menulis buku diary," jawab Vivian kemudian duduk di sofa yang berseberangan dengan Carol. "Aku mengharapkan kau membawa wine yang berkelas,"
"Kau bercanda?" balas Carol meletakkan kertas tersebut, dan ganti meraih botol winenya untuk membuka tutupnya. "Kau pikir aku siapa? Aku tidak level minum wine murahan." Ia lalu menuangkan wine tersebut ke gelas mereka masing-masing.
"Tapi aku melarangmu merokok di sini. Asapnya mencemari ruangan," peringat Vivian meraih gelasnya dan menyesap wine yang dituangkan Carol untuknya.
Saat cairan merah keunguan itu menyentuh indera pengecap Vivian, dan terus mengalir ke tenggorokannya, ia membelalak. "Hm, Grueilon Doux. Nice wine," komentarnya puas. Walau wajahnya tampak tak menunjukkan ekspresi itu.
"Tepat sekali~!" sahut Carol menunjukkan botol winenya. Lalu ia pun menyesap wine jatahnya.
Kedua wanita itu diam beberapa saat, tidak segera memulai topiknya. Mereka masih ingin menikmati wine yang mereka minum.
"Baik, kali ini mau bagaimana?" tanya Vivian meletakkan gelasnya. Akhirnya buka topik lebih dulu.
"Apanya?"
"Cara apa yang hendak kau lakukan untuk membujukku kembali sebagai manajer KUDOS?"
"Oh, kau tahu itu tujuanku kemari ya,"
Vivian memutar bola matanya. Menyandarkan punggungnya ke sofa, dan melipat kedua tangannya di depan dada. Kakinya bergerak memangku satu sama lain.
"Setelah semua yang terjadi beberapa hari yang lalu, mana mungkin aku tak bisa menebak tujuanmu," jelas Vivian jujur.
"Cerdas," komentar Carol meletakkan gelasnya.
"Pastinya," Vivian menjeda sesaat. Menarik napas dalam, dan menghembuskannya. "Carol, tidakkah kau terlalu baik dengan mereka?"
"Dengan KUDOS?"
Vivian mengangguk.
"Yah ... mungkin. Tapi, aku tak tahu kenapa sulit sekali menolaknya. Sebelumnya Fran sudah mencoba membujukku, dan aku berhasil menolak. Tapi kemarin, ia kembali melakukannya. Dan aku ...,"
"Tak bisa menolak?" Vivian mengangkat sebelah alisnya. Menebak.
"Ya," jawab Carol singkat.
Vivian kembali menghembuskan napas. Sudah lama ia tak berbicara dengan sesama wanita diluar aspek pekerjaan. Tidak, tunggu. Bukankah ini masih berhubungan?
"Carol, apa kau masih belum mampu berpaling dari Holt?" tanya Vivi kemudian. Wajahnya lebih serius dari sebelumnya.
Jemari tangan Carol sedikit berkedut. Ia meraih pergelangan tangannya, mengusapnya dengan ibu jari. "Kenapa ... jadi membicarakan itu?" protesnya.
"Karena jelas, dasar kau melakukan ini semua adalah karena dia, bukan karena James ataupun KUDOS,"
"Bisa tidak kau menggunakan perumpamaan? Jujur, ucapanmu menyakitkan,"
"Tidak. Sama sekali bukan gayaku,"
Carol menghela napas dan menggeleng beberapa kali. "Vivi—"
"Tidak," potong Vivi tegas, "aku sudah disakiti oleh Mark, lalu kali ini oleh Holt. Dan itu sudah lebih dari cukup, Carol. Sudah cukup!"
"Vivi, aku tahu kau sangat terluka dengan perlakuan Fran," bujuk Carol dengan wajah bersalah.
Ia kini berpikir, andai saat itu Carol tak mengatakan sejujurnya, apakah akan jadi seperti ini? Tidak, lebih cepat lebih baik. Walau berat, tapi lebih baik KUDOS mengerti kenyataan yang ada terlebih dulu. Sebelum mereka melangkah lebih jauh dengan dipandu oleh Vivian, dan dikejutkan dengan kenyataan Itu.
"Dan aku juga tahu ini bukan kali pertamanya kau merasa sangat dijatuhkan," lanjut Carol lagi. Manik birunya melirik ke tangan kiri Vivian yang terbungkus sarung tangan. "Tapi kumohon Vivi, mereka ... mereka sungguh sudah pada batasnya. Mereka tak tahu harus bagaimana. Mereka ... KUDOS memerlukanmu!"
Vivian memejamkan matanya erat. Gigi atasnya menggigit bibir bawahnya, namun tidak sampai membuatnya terluka.
Sebenarnya, KUDOS tidak salah. Francis lah yang sepenuhnya salah. Karena jelas sekali, dialah yang mengolok-olok kekurangan Vivian. Dan ia sadar betul akan hal itu.
Saat ia tengah memikirkan berbagai hal di otaknya, ia merasakan sesuatu yang hangat mendarat di salah satu punggung tangannya. Membuat kedua matanya terbuka perlahan. Dan saat ia melihat siapa itu, tubuhnya bergerak otomatis untuk menjauh. Walau Vivian tahu, itu tak bisa dilakukan karena punggungnya sudah menyentuh punggung sofa.
"Vivi, please," ujar Carol memohon dengan puppy eyes. Membuat Vivian terpaku sesaat.
"Tidak." Jawab Vivian singkat dan tegas. Membuat Carol mematung di tempat.
— VI —
Esok paginya, KUDOS mendapat email dari Carol untuk berkumpul di studio mereka pukul 12 siang. Tujuannya tentu saja untuk melanjutkan rapat mereka yang tertunda, dan menyelesaikannya hari ini juga. Beruntung, kali ini tidak ada yang terlambat. Cedric datang tepat waktu.
"Terima kasih sudah datang, kawan-kawan," ujar Carol dengan senyum. Ia yang memimpin rapat kali ini. "Kalian sudah baca emailku, 'kan kenapa aku meminta kalian datang kemari,"
"Jadi, kita sungguh akan melalukan tur tanpa manajer?" tanya James kemudian. Melihat tak ada Vivian di studio, sepertinya KUDOS gagal mendapat kesempatan kedua. Dan siapa penyebabnya?
Tidak lain dan tidak bukan adalah vokalis terpercaya mereka, Francis Holt.
"Kau gagal mem—"
"Hush!" Carol memotong cepat perkataan Francis. "Kita tidak akan membahas itu lagi. Semua itu sudah selesai. Kini, yang kita bahas adalah soal tur kalian. Fokuslah pada itu, mengerti?"
KUDOS saling melempar pandang--kecuali Cedric, Riana dan Kyle yang tak terlibat dalam aksi bujuk membujuk. Tapi kemudian, mereka semua mengangguk.
"Terima kasih," ucap Carol melihat anggukan itu. "Uh ... kita akan melanjutkan bahasan soal lagu. Sebelumnya, Vivi sudah menuliskan lagu apa yang rencana akan kalian nyanyikan. Dan aku sudah mendapat salinannya. Aku akan menyebutkannya lagi.
Here We Go, Unspoken Bullet, Chaos, Beyond Infinity, Blank Canvas, Final Hour dan Last Candidates. Kalian yakin ingin membawakan lagu Last Candidates? Bukankah itu lagu yang belum dipublikasikan,"
"Itu cocok untuk kejutan akhir," komentar Cedric, "perpisahan harus dengan sesuatu yang spesial,"
"Aturan dari mana itu?" komentar Carol tersenyum getir. "Tapi ya sudahlah, itu terserah pada kalian.
Soal lagu-lagu yang aku sebutkan barusan, apa kalian merasa keberatan? Jujur, aku cukup keberatan dengan lagu Chaos,"
"Karena kami akan menyanyikan di negara orang?" terka James mengangkat sebelah alisnya. "Dan karena lagu itu pula, KUDOS sempat berurusan dengan pihak berwajib, begitu?"
"Tepat,"
"Kurasa itu tidak masalah," lanjut James lagi. Tangannya bergerak meraih dagunya, berpikir sesaat. "Maksudku, masalah itu sudah terselesaikan. Lagu itu pun sudah punya hak penuh untuk dipublikasikan. Atau kita ambil jalan lain saja?"
"Jalan lain?" Kini ganti Francis yang membalas.
James mengangguk. "Kita ganti lagu Chaos dengan lainnya dari album yang sama. Bagaimana jika Expert Opinion?"
"Lagu itu tidak jauh berbeda dengan Chaos," komentar Riana kemudian. "Jika kau memilih yang sama, lebih baik tidak diganti saja sekalian. Lagipula, dulu kita menulis lagu Expert Opinion karena merasa belum puas dengan Chaos, 'kan,"
"Ya, para penggemar menganggap Expert Opinion adalah versi lanjutan dari Chaos," jawab Francis sadar.
"Jadi, kalian mau bagaimana?" tanya Carol kembali angkat bicara.
KUDOS bungkam sesaat. Memikirkan hasil finalnya.
"Chaos," jawab Francis mewakili.
"Kalian tidak keberatan?" tanya Carol lagi, kini ditujukan kepada personil yang tidak menjawab.
Mereka menggeleng.
"Lagipula, rasanya tidak asik jika tur kita tidak diisi dengan lagu itu," komentar Cedric kemudian sambil menggedikkan bahu.
Carol memutar bola matanya. "Oh astaga," celetuknya tak habis pikir. "Oke, kita lanjutkan. Soal lagu lainnya bagaimana? Apa ada di antara kalian ada yang keberatan? Final Hour?"
"Sepertinya Viona keberatan memainkan lagu itu," terka Riana melirik Viona.
"Yah, album Final Hour memang kebanyakan berisi lagu yang bergenre sedih, muram ataupun sejenis itu," sambung Carol mengingat-ingat. "Viona, kau bagaimana?"
"Sebenarnya aku cukup keberatan," jawab Viona dengan senyum getir. "Tapi kurasa, tak ada salahnya menyanyikan satu lagu yang agak menyayat hati,"
"Kau yakin?" tanya James memastikan. Ia tak mau ada konflik internal karena hal semacam ini.
Viona mengangguk. "Tapi cukup satu saja, kumohon," mintanya kemudian.
"Tidak masalah," jawab Francis setuju.
"Baik, jika tak ada di antara kalian yang keberatan, maka tujuh lagu itu yang kalian nyanyikan nantinya," ujar Carol lagi. "Pembahasan soal tur sudah selesai. Lokasi sudah kalian tentukan—diawali di Roma, lalu Las Vegas, Paris, Rotterdam dan terakhir London. Lagu pun ... sudah kalian tentukan barusan. Kalian siap pergi. Walau tanpa manajer, masa bodoh. Yang utama adalah, tur ini tetap berjalan!"
— VI —
— VI —
Sebuah limosin hitam terparkir di depan gedung pribadi milik KUDOS. Dan tak lama, seorang pria bersurai perak dengan manik senada dan mengenakan kacamata, keluar dari kursi pengemudi.
"Seth!"
Suara Francis terdengar nyaring, membuat pria berkacamata itu menoleh kepadanya.
"Fran," balas Seth memberikan pelukan kepada sang vokalis. "Bagaimana kabarmu? Semua baik?"
Francis melepas pelukan itu dan menggedikkan bahu. "Baik dan tidak, mungkin?" jawabnya tak yakin, "tapi setidaknya, aku masih hidup hingga hari ini,"
Seth tertawa lepas, menepuk punggung sang vokalis beberapa kali.
"Yakinlah, dibalik sebuah masalah, pasti ada sesuatu yang lebih baik," celoteh Seth menasehati.
"Sejak kapan kau jadi bijak begitu?" komentar Francis tersenyum mengejek.
"Gallagher~!" panggil orang lain lagi, kini terdengar seperti seorang wanita.
Seth menoleh ke sumber suara itu. Dan kala manik peraknya menangkap siapa itu, ia melebarkan kedua tangannya. "Oh! Carol!" Dan memeluk wanita berkulit pucat itu sesaat.
Carol membalas pelukan itu. Mengusap punggung tinggi dan lebar milik Seth, lalu melepas pelukannya. "Oh ya ampun, lidahku masih kesulitan menyebut namamu," komentar Carol menjulurkan lidahnya.
"Siapa juga yang menyuruhmu untuk memanggil nama margaku? Panggil saja nama depanku," balas Seth tersenyum. "Ngomong-ngomong, bagaimana persiapannya? Apa semua sudah siap?" Sambungnya kini ditujukan kepada Francis.
"Siap!" sahut Francis mengacungkan jempol.
'Kecuali manajer.' Sambung Francis namun dalam hati.
Suara ketukan terdengar dari balik punggung Francis. Ia menoleh, memandang suara yang berasal dari kaca limosin bagian belakang. Tunggu, ada orang di dalam sana?
"Seth," panggil Francis menepuk salah satu bahu Seth.
"Hm? Kenapa?"
"Ada seseorang di dalam," Francis menunjuk bagian belakang mobil limosin tersebut.
Sesaat, Seth berpikir. Ada seseorang? Siapa?
"Oh astaga! Bagaimana aku bisa lupa?" celoteh Seth buru-buru mendekati limosin tersebut, dan membukakan pintu bagian belakang itu.
Saat pintu terbuka, Francis mengernyitkan kening. Dan seketika, tubuhnya membatu.
Mustahil. Mustahil!
"Bisakah kalian cepat sedikit?" tanya seorang wanita berambut cokelat dan manik mata hijau. Ia keluar dari limosin tersebut, dan berdiri sambil berkecak pinggang. Ekspresi tak bersahabat itu, masih setia menghiasi wajahnya.
"Jika kalian ketinggalan pesawat, aku tak mau ganti rugi atas kelalaian itu." Sambungnya lagi.
Francis tak bisa menyembunyikan senyumnya. Ia di sini. Benar-benar di sini!
Wanita itu kembali.
— VI —
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro