Enam belas : Retak
— XVI —
Francis membuka kedua matanya kala telinganya mendengar suara berdengung. Selama beberapa detik, ia tetap diam. Mengerjap beberapa kali dengan pandangan mengarah kepada Von yang tidur di hadapannya. Lengan kirinya terulur panjang dan berpangku di atas tubuh Francis.
Perlahan, pria bermata merah menyala itu bangkit dari tidurnya. Menurunkan tangan Von darinya, dan duduk di pinggiran kasur dengan posisi punggung menghadap ke Von.
'Uh ... sakit.' Batinnya mengusap pelan pantatnya. Yah, nilai yang ia dapat jika melakukan hal 'itu'.
Francis kemudian membungkuk, meraih celananya yang tergeletak di lantai. Karena dari sanalah suara dengungan itu berasal.
Dengan malas dan keadaan setengah sadar, ia meraih ponselnya. Menerima panggilan itu tanpa berniat melihat panggilan dari siapa. Terlalu malas melihatnya.
"Halo?" ucap Francis sambil mengusap salah satu matanya.
[Fran? Apa ini kau?]
Francis mengerutkan kening. Dan kemudian, menjauhkan ponselnya dari telinganya. Melihat dengan siapa ia bicara.
[ Carol ]
"Oh Carol. Ada apa?" tanyanya usai mengembalikan ponselnya di samping telinganya. "Dan ya, ini aku. Apa-apaan pertanyaanmu barusan?"
[Oh Fran, syukurlah aku bicara langsung padamu. Kembalilah ke hotel sekarang!]
"Huh?" Sang pria memandang sekitar, mencoba melihat pemandangan di luar hotel Von dari celah gorden. "Kenapa kau menyuruhku kembali malam-malam begini? Pagi aku—"
[Sesuatu yang buruk terjadi pada Vivi! Cepat kembali dan datanglah ke kamarnya, right now!]
Rasa kantuk Francia hilang begitu saja. "Vivi? A-aku akan segera kesana!" jawabnya cepat, dan mengakhiri panggilan tersebut.
Francis mengarahkan ponselnya ke mulut, dan kemudian menggigitnya. Ia turun dari kasur king size itu, meraih seluruh pakaiannya yang berserakan di lantai, lalu segera mengenakannya satu demi satu.
Setelah selesai berpakaian, ia pun melangkahkan kakinya menuju pintu. Tapi tiba-tiba, gerakannya terhenti oleh suara seseorang.
"Mau kemana?"
Francis menoleh pelan, memandang Von dari atas bahunya.
Pria itu sudah terbangun dari tidurnya. Yah, walau tampaknya belum terbangun sepenuhnya.
"Aku harus pergi," jawab Francis langsung.
"Kemana?" balas Von bangkit dari tidurnya. Duduk di atas kasur lalu meraih bantalnya, dan mendekapnya erat. "Kita tak bisa bertemu lagi besok pagi,"
"Maaf," Francis melepas pandang dari Von. "Sesuatu yang buruk baru saja dialami manajerku. Aku harus kembali dan memeriksa keadaannya,"
"Bukankah ada personil KUDOS yang lain?"
"Ya memang ada. Tapi aku juga bagian dari KUDOS. Sudah sepantasnya aku khawatir dengan manajerku sendiri,"
"Eh? Jadi kau mau pergi demi manajermu itu? Kau lebih memilih dia daripada menghabiskan malam denganku?"
Francis tak menjawab langsung. Sang vokalis hanya diam sambil mengarahkan tangannya ke knop pintu. Memutarnya, dan kemudian membukanya.
"Maaf Von, tapi saat ini KUDOS adalah prioritas utamaku," ujar Francis sebelum melangkah keluar. "Aku menikmati waktu bersama kita. Sampai jumpa, aku akan menghubungimu lain waktu."
"Um ... baiklah," balas Von akhirnya mengalah saja. "Sampaikan salamku untuk Enne kesayanganku ya~"
Von melambaikan tangannya dengan malas. Francis menatap pria itu dengan heran.
Apa maksudnya itu? Enne bukanlah bagian dari KUDOS, dan wanita itu juga telah menghilang entah kemana.
Namun, untuk sekarang Francis akan mengabaikannya. Karena hal yang lebih penting tengah menantinya sekarang.
— XVI —
Darah.
Dan itu memang nyata adanya.
Cairan merah itu sungguh mengalir dari telapak tangan Vivian. Menodai bilah pisau perak yang menusuk tangannya, serta permukaan tanah tempat tangannya berada.
Rasanya begitu pedih. Bahkan ketika Vivian menjerit keras, rasa sakit di tangannya semakin menjadi. Kenapa ia harus mengalami itu? Kenapa Von hanya menontonnya saja? Menikmati setiap jeritan kepedihan yang dilepaskan oleh mulut Vivian.
Kenapa pria itu tak beranjak sedikit pun dari tempatnya, kala orang-orang berengsek itu mencuri keperawanan Vivian? Memuaskan nafsu bejat mereka, kepada wanita muda yang lemah tak berkutik itu.
Pertanyaan itu selalu terbayang dalam benaknya. Dalam mimpi maupun tidak, pikiran Vivian selalu terbayang akan pertanyaan itu.
Kenapa?
Kenapa?
"Vivi."
Apa? Siapa itu?
Ada yang mengusap tangannya dan menyampaikan kata-kata. Usapan yang lembut, tapi juga diselimuti kekhawatiran.
"Hei kawan, tenanglah."
Tenang, katamu?
Bagaimana mungkin, ia bisa tenang dengan keadaan seperti itu? Bagaimana mungkin, ia bisa tenang saat dirinya kembali merasakan siksaan serta pelecehan itu.
Bagaimana mungkin?!
"Vivi, please. Breathe with me, buddy. Breathe."
Bernapas?
Siapa pun itu, ia menyuruh Vivian untuk bernapas?
Bernapas. Benar. Ia hanya harus bernapas. Menenangkan pikirannya agar terbebas dari mimpi traumatik itu.
Tapi bagaimana caranya? Bagaimana caranya bernapas? Bahkan, Vivian merasa jantungnya telah berhenti berdetak.
Tak berdetak? Itu artinya ia sudah mati, 'kan? Oh, itu jauh lebih baik.
"Breathe. In, out. Again. In, out. Please Vivi, breathe with me."
Benar.
Hirup. Buang. Hirup lagi, lalu hembuskan lagi.
Tapi itu belum cukup!
Pemandangan keji nan tak beradab itu masih dirasakan Vivian dengan jelas. Ia masih bisa merasakan rasa sakit yang menyerang tubuhnya. Tangan, badan bagian atas, mulut, bahkan daerah vitalnya.
Ia takut.
Seseorang tolong!
"Vivi, it's okay buddy. KUDOS takkan melukaimu. Kau akan baik-baik saja dengan kami, pasti!"
KUDOS.
KUDOS takkan melukainya? Sungguh?
Tunggu, siapa itu KUDOS?
"Hei, manajer hebat, ayo lawanlah rasa takutmu itu. Jangan biarkan masa lalu terus menguasaimu. Lawan mereka, Vivi. Lawan."
Benar. Mereka itu tak lagi nyata.
Semua siksaan itu sudah usai!
Ini hanyalah mimpi buruk, dan Vivian harus segera bangun dari mimpi itu. Lalu kembali bersama mereka.
KUDOS.
Ya, ia harus kembali kepada mereka. Para bocah nakal itu, mereka harus segera diatur agar tidak keluar jalur.
"Benar, kawan. Bernapas, tenang. Tarik, hembuskan. Lagi. Tarik, hembuskan."
Benar. Ia harus tenang.
— XVI —
— XVI —
Vivian membuka matanya pelan. Mengerjap beberapa kali untuk memperjelas pandangannya.
'Oh. Aku bisa sampai di kamarku lagi ya. Baguslah.' Batinnya tersadar.
Ia bangkit perlahan dari posisi tidurnya. Duduk bersandarkan sandaran kasur, dan menyadari kehadiran Riana di samping kasurnya. Tengah tertidur di sebuah kursi.
'Chris?'
"Ah!"
Suara teriakan jelas tak dapat didengar Vivian. Tapi, saat sebuah cekikan yang cukup kuat datang menyerangnya, wanita itu langsung tersentak.
"Oh astaga! Vivi kupikir aku akan kehilanganmu! Oh ya ampun, aku sungguh khawatir!" isak Carol tanpa melepaskan pelukan yang sejujurnya lebih mirip cekikan itu
"C-Carol, lepaskan!" Vivian segera melawan. Mendorong wanita bersurai hitam itu semampunya. "Kau mencekikku ...!"
Riana yang sebelumnya tengah tertidur, akhirnya membuka matanya karena suara hiruk pikuk. Ia mengangkat kepalanya, mengusap sebelah matanya sambil menguap.
"Selamat pagi," sapanya dengan nada mengantuk.
"Oh, pagi Riana," balas Carol terhenti sesaat, "terima kasih sudah menjaga Vivi. Kau boleh kembali ke kamarmu dan kembali tidur. Dan tolong katakan pada yang lain bahwa Vivi sudah siuman."
Riana mengangguk. Memandang Vivian yang tengah menatapnya balik dengan wajah bingung. Oh, ini kali pertamanya ekspresi sang manajer bisa dibaca dengan jelas bagi Riana.
"Lain kali, jangan membuat kami khawatir." Ujar Riana bangkit dari posisinya lalu melangkah pergi dari kamar Vivian.
Saat Riana telah pergi dan menutup pintu kamarnya, Vivian pun kembali memandang Carol.
"Bagaimana aku bisa kembali?" tanyanya kemudian.
"Kau ingat apa yang terjadi?"
"Ya. Sebelum akhirnya pemandangan yang kulihat hanya kegelapan dan keningku yang menabrak benda keras."
"Hm ...," Carol berdehem panjang kemudian. Berpikir harus menceritakan darimana. "Riana mendapat panggilan dari Fran. Tapi yang berbicara dengannya bukanlah Fran sendiri. Mungkin orang yang ditemui Fran? Kami tidak tahu. Bahkan Fran sendiri juga tak tahu,"
'Orang yang ditemui Fran? Artinya ... Mark. Pria itu ... aku tak pernah mengerti jalan pikirannya.' Batin Vivian dalam diam.
"Jadi, apa mereka melihat semuanya?" tanya Vivian kemudian. Mengganti topik awal.
Carol hanya menggedikkan bahu sambil memiringkan kepalanya.
"Artinya tak ada lagi yang bisa kusembunyikan dari mereka?"
"Kurasa begitu. Kenyataan bahwa kau mempunyai gejala PTSD, tangan kirimu palsu, kau adalah korban pelecehan, lalu—"
"Stop," potong Vivian mengangkat tangannya. "Kau tidak perlu memaparkan semuanya. Aku sudah tahu itu,"
Carol menutup mulutnya sejenak, lalu kembali melanjutkan. "Oh, tapi mereka tidak tahu soal kau suka dengan laki-laki yang—"
"Aku bilang berhenti!" potong Vivian lagi. Kini nadanya sedikit meninggi. "Please don't said it, Carol."
"Kenapa? Kau merasa hina dengan tipe laki-laki yang kau sukai?"
Vivian menggerang kesal dengan pertanyaan Carol. Wanita yang satu itu, memang hobi membuatnya kesal.
Carol terkekeh. Melihat Vivian bisa seperti itu, menandakan ia sungguh sudah baik-baik saja. "Lalu, kau mau bagaimana selanjutnya?" tanyanya kemudian.
"Entahlah," jawab Vivian lebih memposisikan tubuhnya lebih nyaman bersandar. Dan sesaat, arah pandangannya tertuju pada hal lain. "Itu semua tergantung pada mereka. Jika mereka ingin aku berhenti ya sudah. Aku tak berhak menolak.
Tapi, jika aku memang diminta berhenti oleh mereka, artinya taruhan kita batal," Ia menoleh kembali kepada Carol.
"Apa? Kau masih memikirkan soal itu?"
"Tentu saja. Itu, 'kan alasan utamaku kembali kepada mereka. Jika aku tak lagi berhubungan dengan mereka, apa gunanya kita terus menjalankan taruhannya,"
Carol hendak membantah. Tapi, ketika mulut wanita itu telah terbuka lebar, tak ada sepatah kata pun yang keluar darinya. Hingga akhirnya, ia menutup kembali mulutnya.
"Oh, kau benar juga," balas Carol kemudian, merasa tak berkutik. "Tapi aku yakin, itu takkan terjadi!"
"Huh?" Vivian mengangkat kedua alisnya.
"Aku percaya mereka takkan mempermasalahkan itu dan tetap ingin kau bersama mereka!" jelas Carol dengan semangat membara.
Vivian memutar bola matanya dramatis sambil mendengus tipis. Itu pemikiran yang naif.
"Jangan konyol, Carol," komentar Vivian kemudian, "siapapun takkan mau berurusan dengan orang yang punya pengalaman traumatik. Itu merepotkan."
Vivian meraih selimutnya, menjatuhkan tubuhnya lagi untuk kembali tidur. Punggungnya menghadap Carol, menandakan ia tak mau berbicara lagi.
"Oh ayolah, kenapa kau jadi pesimis seperti ini? Tidak seperti dirimu saja." Keluh Carol yang ia yakini, Vivian takkan mendengarnya.
Vivian memejamkan kembali matanya, berniat kembali tidur saja. Tapi, baru saja ia memejamkan mata, pikirannya teringat akan sesuatu.
"Tunggu," Ia bangun dari tidurnya. Kepalanya menoleh ke arah Carol lagi. "Siapa yang membantuku sadar? Maksudku, saat aku bermimpi buruk, aku merasa tangan seseorang mengusap telapak tanganku. Ia menyampaikan kata-kata yang membantuku untuk sadar,"
Carol diam sejenak. Iris biru menyala itu memandang ke arah lain, telunjuknya menggaruk tipis pipi kanannya.
"Fran," jawab Carol akhirnya. "Dia yang membantumu."
Kini ganti Vivian yang terdiam. Mulutnya mengunci rapat, namun matanya terlihat membulat. Mengekspresikan rasa tidak percaya.
"Oh," Namun pada akhirnya, sang manajer itu menyahut balasan Carol. "Begitu. Aku mengerti."
Yang kemudian, ia kembali menidurkan tubuhnya dan benar-benar memejamkan matanya.
— XVI —
Vivian menghela napas panjang. Hari ini hari terakhir ia dan KUDOS berada di Vegas. Besok mereka akan lanjut terbang menuju Prancis.
Usai berpakaian, Vivian keluar dari kamarnya. Menguncinya, lalu pergi dari depan pintu sembari mengenakan sarung tangannya. Kemarin, ia tak banyak beraktivitas. Setelah ia siuman dan berbicara dengan Carol, ia terus tidur hingga hari berganti. Dan hari inilah, Vivian baru bertemu--bertatap muka--dengan KUDOS lagi.
Saat ia tiba di cafe hotel, mereka telah berada di sana. Saling berbicara dan bersenda gurau dengan satu sama lain. Vivian yang tengah berdiri di ambang pintu masuk cafe, diam memandang keseruan mereka. Ia bisa mengerti apa yang mereka bicarakan, tapi wanita itu tak bisa mengerti candaannya.
James yang tengah tertawa puas, menyadari sosok Vivian di ambang pintu cafe. Spontan, ia langsung menutup mulut dan bangkit dari duduknya.
"Oh, Vivi!" panggilnya melambaikan tangan, "senang melihatmu sudah tampak segar!"
Semula, Vivian berniat untuk mengabaikan itu. Tapi saat personil KUDOS yang lain--serta Carol dan Seth--sudah menoleh kepadanya, ia pun melangkah mendekati meja mereka. Lalu, duduk di kursi kosong yang ada.
"Uh ...," Vivian menggaruk tipis pipinya. Merasa bingung harus bagaimana. "Aku minta maaf karena telah membuat kalian khawatir. Dan maaf sudah merepotkan kalian,"
KUDOS, Carol dan Seth saling memandang satu sama lain. Yang kemudian, beberapa dari mereka kembali memandang Vivian.
"Untuk selanjutnya, jangan takut untuk meminta tolong, Vivi," ujar Viona dengan senyum, "kau tahu? Kau adalah bagian dari KUDOS, jika kau punya masalah ceritakan saja pada kami. Mungkin kami bisa membantu,"
"Membantu? Tidak, terima kasih untuk tawarannya," tolak Vivian dengan gelengan, "masalahku bukanlah hal yang bisa kalian selesaikan,"
Viona menatap bingung. Ia diam sesaat, sebelum akhirnya kembali berucap. "Yah, mungkin kau benar. Tapi setidaknya, kami bisa membantumu saat pikiranmu terganggu dengan traumamu. Jadi, jangan khawatir. Dan kami takkan menyakitimu, sungguh,"
"Dan kami juga sudah memutuskan untuk tetap berada dibawah manajemenmu," sambung Francis dengan senyum. "Kami ... tak peduli dengan hal yang menjadi kekuranganmu. Manusia itu memang makhluk yang sempurna. Tapi di sisi lain, mereka juga tidak sempurna dalam hal tertentu,"
"Kalian ... tidak berniat memecatku?" tanya Vivian tak percaya.
Francis menggeleng. "Kau adalah manajer yang luar biasa. Dan kami tidak ingin kehilangan kesempatan ini lagi." Ucapnya dengan senyum yakin.
Vivian diam beribu bahasa. Matanya mengerjap beberapa kali, pikirannya terasa kosong. Ia tak tahu harus berekspresi seperti apa.
Senang? Sedih? Ia tak tahu.
Tunggu. Bahkan ia sendiri tak tahu bagaimana caranya mengeskpresikan diri.
Dan tanpa sadar, perasaan dingin datang menyerang kedua pipinya.
"Ah!" Carol yang duduk di samping Vivian, menjerit keras sambil beranjak dari kursinya. "T-tunggu Vivi. K-kenapa kau malah menangis?"
"Eh?" Vivian mengerjap sekali. Lalu buru-buru mengusap pipinya. Memang benar, rasanya basah dan itu ...
Air mata.
Dia menangis. Tapi kenapa?
"Oh astaga," Kini Francis ganti berubah panik. "Vivi maafkan aku. Aku tak berniat membuatmu menangis,"
"Fran kau memang payah dalam—"
"T-tidak," potong Vivian menyeka air matanya. Tapi entah kenapa, cairan bening itu tak bisa berhenti mengalir. "Ini bukan salah Holt. Ia sama sekali tak bersalah,"
"L-lalu ada apa, kawan?" tanya Carol lagi. Oh, ia sungguh khawatir.
"Aku tak tahu," Vivian menggeleng lemah sambil terkekeh pahit. "Aku sendiri tak mengerti kenapa aku menangis. Apa yang kutangisi? Aku tak tahu itu ...,"
Vivian menunduk sesaat, berusaha menyeka habis air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Yang ia yakin, saat itu tampak berantakan.
"Tapi ... tapi hatiku sama sekali tidak terasa sakit," sambung Vivian lagi, "justru ... hatiku terasa bahagia. Rasanya lega sekali .... karena sesungguhnya ...," Ucapannya terhenti lagi. Oh astaga, ia sungguh payah dengan tangisannya. "Sesungguhnya aku takut kalian akan membuangku seperti yang dilakukan Mark. Tapi ... tapi ...."
Vivian terdengar semakin terisak. Air matanya tak bisa berhenti mengalir meski ia berusaha melakukannya. Tapi kini ia sadar, air mata itu bukanlah kesedihan, melainkan kebahagiaan.
Dan manajer itu akan melepaskannya untuk beberapa saat lagi. Di dalam pelukan Carol yang hangat.
— XVI —
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro