Empat belas : Dalang Masalah
— XIV —
"Tidak ada,"
Jawaban Carol yang sederhana dan mantap itu, membuat kesunyian datang menghampiri. Tak ada yang membalas ucapan wanita bermanik biru menyala itu. Semua bungkam dengan pemikiran mereka masing-masing.
"Tunggu," Akhirnya, Vivian menjadi orang pertama yang memecah kesunyian. "Apanya yang tidak ada?"
Carol menghembuskan napas, kedua bahunya jatuh. "Barusan, kau bertanya soal alasanku berada di sini, 'kan?" jelasnya kemudian.
Vivian mengangguk.
"Dan ya itu tadi jawabanku," lanjut Carol lagi sambil menggedikkan bahu. "Alasanku adalah tidak ada,"
"Apakah kau terlalu banyak punya waktu luang sehingga memutuskan datang kemari?" balas Cedric mengambil kesimpulan. "Tidak tahu mau berbuat apa, begitu?"
"Yak! Tepat," balas Carol menunjuk Cedric. "Sebenarnya, alasan aku tidak ikut dalam tur kalian adalah, karena aku harus mengurus masalah Fran atas permintaan Vivi. Tapi, seperti yang kalian tahu--sudah tersebar di internet--masalah itu sudah terselesaikan.
Meski kedua belah pihak menyelesaikan masalahnya tanpa orang yang terlibat--Von tidak hadir, dan Fran juga demikian--skandal itu dinyatakan selesai. Lalu, karena masalah itu sudah selesai dan aku juga tak bisa bertemu kalian, aku pun memutuskan untuk terbang ke Vegas,"
"Hanya karena bosan, kau datang kemari?" tanya Vivian. Ia berusaha menahan diri untuk tidak memijat bagian tengah hidungnya.
"Tepat sekali~!" jawab Carol memberikan dua acungan jempol kepada Vivian.
Dan usaha Vivian untuk tidak melakukannya, gagal.
Riana yang berada paling dekat dengan Vivian, bergerak mengusap punggung wanita itu. Memberikan ketenangan kepada sang manajer.
"Lagipula," Suara Carol kembali terdengar. Dan Riana segera menyadarkan Vivian agar fokus kembali kepada Carol. "Bukankah lebih baik aku yang menemani KUDOS berlatih, ketimbang orang itu, Vivi?"
Vivian menurunkan tangannya dari hidungnya. Keningnya mengerut dalam.
"Siapa? Aku tak berniat menghubungi siapapun karena aku tak punya kenalan di Vegas," balas Vivian kemudian.
"Tapi aku tahu dia akan jadi opsi terakhirmu," sahut Carol tersenyum misterius.
Vivian menghela napas, menepuk keningnya pelan karena tak tahu lagi harus bagaimana.
"Sudahlah," ujar James berdiri di depan Vivian dan menepuk salah satu bahunya. Meminta perhatian wanita itu. "Toh Carol sudah terlanjur tiba di sini. Akan tampak jahat jika kita menyuruhnya pulang lagi,"
Vivian menatap manik biru--karena kontak lensa, aslinya berwarna ungu--itu selama beberapa saat. Sebelum akhirnya sebuah helaan napas terlepas darinya.
"Baiklah," jawab Vivian akhirnya. Mengalah dengan keadaan. "Tapi, karena Carol adalah pendatang gelap, kau takkan masuk dalam anggaran tur. Biayai kehidupanmu sendiri,"
"Oh ayolah kawan," Carol mendengus, tak habis pikir dengan tanggapan Vivian. Dan tiba-tiba, ia menarik enam kartu debit yang sedari awal entah disimpan dimana. "Aku memiliki terlalu banyak kartu debit!"
"Persetan dengan keluarga Randolph." Gerutu Vivian dengan nada rendah.
— XIV —
Hari berikutnya, semua berjalan normal. KUDOS melakukan persiapan yang sama seperti sebelum konser mereka di Roma. Namun kali ini, mereka berada dibawah pengawasan teman dekat mereka, Carol. Tentu saja Vivian juga. Tapi, sang manajer cenderung diam saja. Membiarkan Carol yang mengambil alih.
Selain karena ia percaya dengan Carol, wanita juga yakin dengan kemampuan yang dimiliki personil KUDOS. Sehingga ia tak memberi masukan apapun. Kecuali jika mereka memang perlu mendapat bimbingan khusus, Vivian akan memberikan masukan penting.
Dan tibalah, waktu besar mereka.
Selama persiapan, Vivian terlihat sibuk di bagian backstage. Mengarahkan para teknisi agar mereka bisa memberikan yang terbaik untuk KUDOS. Sedangkan Carol, ia sedang menghadap KUDOS langsung. Mencairkan suasana tegang yang mereka rasakan.
"KUDOS," panggil Vivian kemudian. Urusannya dengan para teknisi, sudah selesai. "Apa kalian sudah siap?"
"Sejak tadi," jawab Francis tersenyum sombong. Ia kemudian bangkit dari duduknya, menghadap teman sesama grup musiknya.
"KUDOS, mari kita guncangkan Vegas seperti kita mengguncang Roma!" ucap Francis memberikan semangat. Sebelum akhirnya mereka bergerak ke atas panggung. Bersiap di posisi mereka masing-masing.
Sebelum panggung mereka dimulai, Vivian dan Carol segera pergi dari belakang panggung. Well, sesungguhnya Carol tak perlu melakukan itu. Karena jelas, ia bisa mendengar permainan KUDOS sepenuhnya. Tapi, ia merasa tak enak hati membiarkan Vivian sendirian.
Dan tak lama, permainan KUDOS dimulai. Keenam personil, memainkan keahlian mereka menjadi satu kesatuan yang epic dengan penuh gairah. Seolah, ini akan menjadi detik-detik terakhir mereka sebelum hal besar mematikan datang menyerang.
Vivian dan Carol menonton mereka dengan rasa bangga. Senyum lebar merekah indah di bibir wanita bermanik biru menyala. Namun, kali ini Vivian tak mengukir senyum sedikitpun seperti saat konser KUDOS di Roma. Bibir sang manajer sama sekali tak tertekuk. Bahkan untuk satu inci saja.
Carol yang tersadar akan hal tersebut, seketika berubah cemberut. Ia mencium bau-bau kekalahan.
"Hei," panggil Carol menepuk bahu Vivian.
Vivi menoleh kepadanya. Kedua alisnya melengkung naik.
"Apakah membosankan?" tanyanya kemudian.
"Apanya?"
"Permainan KUDOS,"
"Tidak sama sekali. Aku bangga dengan permainan mereka,"
"Benarkah?"
"Oh please, jangan mulai Carol."
— XIV —
— XIV —
"That's so amazing!!" seru James semangat.
Konser mereka telah selesai, dan berjalan dengan sangat baik. Permainan mereka tak kalah luar biasa seperti di Roma sebelumnya.
"Kerja bagus KUDOS," ujar Carol bertepuk tangan beberapa kali. Ia telah berada di backstage lebih dulu--bersama Vivian juga--sebelum KUDOS menyelesaikan lagu terakhir mereka. "Kami bangga dengan keberhasilan kalian,"
"Terima kasih Carol. Itu juga berkat bantuanmu," balas James dengan senyum. "Kau juga Vivi, terima kasih untuk masukannya selama ini."
Vivian hanya mengangguk menanggapi ucapan tersebut.
"Karena kalian sudah selesai dengan konser kalian, bersantailah," ujar Vivian kemudian, "tapi ingat satu hal, jangan membuat masalah."
KUDOS mengangguk kompak. Lalu mereka tampak sibuk merencakan sesuatu.
"Hei, bagaimana jika kita pergi ke game arcade?" tanya Viona menyarankan, "aku melihat ada satu yang cukup besar tak jauh dari sini,"
"Game arcade? Kurasa tempat ramai seperti itu takkan cocok untuk Kyle," komentar James, "dia takkan bisa tidur di sana,"
Kyle memandang James tak suka. "Tidak, ayo pergi," ujar Kyle tak menyetujui perkataan James. "Dan James, aku menantangmu bermain Dance Revolution,"
"Apa? Dance Revolution?" Carol yang mendengar rapat mereka, tampak terkejut bukan main." Kyle menantang bermain game irama itu? Kyle, kau baik-baik saja? Kau tidak sakit 'kan?"
Carol mengarahkan tangannya ke kening Kyle. Memastikan suhu tubuh sang drummer, tidak terlalu tinggi juga rendah. Standar suhu tubuh manusia.
Kyle menepis tangan Carol yang menempel di keningnya. Menatap tajam wanita itu.
"Hanya bercanda, kawan," ujar Carol menyengir, "jangan dipikirkan. Daripada itu, aku setuju jika kita pergi kesana!"
"Kenapa justru kau yang semangat?" komentar Kyle heran.
"Karena aku butuh piknik!" jawab Carol putus asa. "Aku lelah!"
"Jika kau lelah, seharusnya kau beristirahat, Carol," balas James khawatir, "bukan pergi bersenang-senang,"
"Tidak!" Carol menyanggah cepat. Jari telunjuknya menunjuk James tepat di tengah-tengah wajahnya. "Kesendirian memang menyenangkan. Tapi disisi lain, bisa membuatku gila juga. Jadi, aku menolak beristirahat di hotel,"
"Er .... oke baiklah, jika itu maumu," jawab James menyetujuinya saja.
Carol mengulas senyum lebar. Lalu berlari menghampiri Vivian yang sedari tadi sibuk dengan sesuatu. Melompat rendah ke arah wanita itu, dan memeluknya dari belakang.
Vivian tersentak dan mematung saat seseorang mengunci tubuhnya dari belakang. Inilah susahnya jika ia tak bisa mendengar.
Dengan rasa takut, Vivian menoleh ke sisi kanannya. Melihat siapa orang yang memeluknya, dari atas bahunya sendiri.
"Carol? Ada apa?" tanya Vivian sedikit lega setelah tahu siapa.
"Ayo pergi ke game arcade! Kita berpesta!" ajak Carol semangat.
Vivian menggeleng. "Tidak terima kasih, pergilah tanpaku. Aku sibuk,"
"Oh ayolah," Carol mengerang panjang kala mendengar penolakan itu. "Ayolah, ayolah, ayolah, ayolah."
Carol merengek-rengek tanpa henti sambil mengusap pipinya ke pipi Vivian. Terus seperti itu hingga membuat Vivian kehilangan kesabaran.
"Ugh .... baiklah aku akan ikut," ujar Vivian akhirnya. Kalah dengan rayuan paksa Carol.
"Yeah!" Carol berseru senang, lalu fokus kembali kepada KUDOS.
"Manajer kita akan ikut!" sambungnya.
"Good job." Balas Viona memberikan acungan jempol.
"Kalian pergilah tanpaku," sela seseorang tiba-tiba.
Semua terpaku tiba-tiba--kecuali Vivian tentunya. Tapi, saat Vivian sadar bahwa tatapan orang-orang tertuju ke arah lain, ia pun ikut menoleh ke arah yang sama. Yaitu ke arah sang vokalis.
Oh benar juga, sedari tadi Francis tak berkomentar apapun. Ia justru sibuk dengan ponselnya sendiri.
"Kenapa kau tak ikut?" tanya Viona heran.
"Uh ... aku ada kepentingan," jawab Francis agak ragu, "aku perlu bertemu dengan temanku di Vegas,"
Kening Vivian mengerut dalam. Merasa ganjil dengan ucapan itu.
"Kupikir kau tak punya teman manusia yang lain," komentar Cedric merendahkan.
Francis tak menyahut komentar menohok itu. Hanya memutar bola matanya sambil mendengus.
"Well, jika kau bilang begitu, apa boleh buat," sahut Viona kemudian. "Walau sebenarnya sangat disayangkan kau tak bisa ikut,"
"Aku akan pergi menemui kalian jika urusanku selesai lebih awal," ujar Francis tersenyum simpul, "kirim saja lokasi tempat game arcade yang kalian datangi,"
"Oke!" jawab Viona memberikan acungan jempol.
"Baik, selamat bersenang-senang kalian." Francis melambaikan tangan kepada mereka sesaat, sebelum akhirnya pergi meninggalkan mereka. Tanpa menyadari, ada sepasang manik hijau yang mengawasi kepergiannya.
— XIV —
Francis kini berada di sebuah halte bus, sembari sibuk menghubungi seseorang.
"Baik, aku akan menemuimu di tempatmu." Ujar Francis kemudian mengakhiri panggilannya. Dan menghembuskan napas panjang.
"Kau akan menemuinya?"
Francis terlonjak cepat. Melompat rendah dari duduknya dan menoleh ke sumber suara itu.
"Vivi?"
Vivian memiringkan kepalanya. "Jadi, teman yang kau maksud itu Von Dernmark?" tanyanya kemudian.
"Kau mengikutiku?"
"Kurang lebih. Untuk memastikan sesuatu,"
"O-oh ...,"
"Jadi?"
Francis bungkam sesaat. Pandangannya seketika jatuh begitu saja. Sebelum akhirnya ia kembali mengangkat wajahnya.
"Ya, aku akan menemui Von," jawab Francis kemudian, "ada yang harus kuurus. Tapi, bagaimana kau tahu soal itu?"
Vivian memutar bola matanya. "Aku masih ingat dengan jelas kau mengatakan akan menemui Von Dernmark saat di Vegas," jelasnya kemudian.
"Kapan?"
"Saat dinner,"
"Oh benar juga," Francis mengangguk-angguk paham. Bagaimana bisa ia lupa akan hal itu. "Dan apa kau kemari untuk menghentikanku? Mencegahku terkena masalah lagi dengannya,"
Vivian menggeleng. "Buang-buang waktu," jawabnya acuh, "aku hanya ingin menyampaikan satu pesan padamu,"
"Pesan?"
"Berhati-hatilah dengannya. Tapi, mengingat ucapanmu yang mengatakan dia sangat protektif padamu, aku ragu dia akan bertindak gila padamu,"
Francis mengerutkan kening. "Kau ... khawatir padaku?"
"Tentu saja. Aku manajer KUDOS, dan kau adalah personil KUDOS. Bukan hal baru jika seorang manajer khawatir dengan anak yang dirawatnya,"
Francis membelalak. Ucapan sang manajer barusan, terasa menggema di benaknya. Menyetuh sekali.
"Kau sungguh baik," komentar Francis kemudian, "terima kasih untuk kekhawatirannya. Senang ada seseorang yang peduli padaku selain KUDOS dan Carol,"
"Jangan terlalu senang. Karena rasa sakitnya nanti akan terasa lebih mengerikan," balas Vivian serius, "sampai jumpa. Berhati-hatilah dalam perjalananmu. Dan sampaikan pesanku untuk Mark."
Tanpa menunggu balasan Francis, Vivian segera berbalik. Meninggalkan Francis yang tengah berdiri dengan mulut terbuka.
"Apa? Menyampaikan pesan?" gumamnya bingung.
— XIV —
Francis duduk sambil menghentakkan kakinya ke lantai berkali-kali. Kedua tangannya, terkepal kuat dan berpangku di atas masing-masing pahanya. Ia tak bisa sabar. Ia resah, ia ingin segera menyelesaikan semua ini hingga ke akar-akarnya.
Saat ini, ia telah berada di kediaman--sementara--seorang pemusik solo terkenal. Yang juga, teman terdekatnya selain dari KUDOS. Dan tak lupa, ia juga adalah dalang dari masalah yang menimpa Francis.
"Kenapa kelihatan resah begitu?"
Suara seorang pria, sukses membuat Fran menghentikan gerakan kakinya. Sang vokalis sedikit mengangkat kepalanya, menatap lurus pria tinggi--seperantara dengannya--dengan surai hijau gelap. Dan jika Carol memiliki warna mata biru yang menyala terang, pria di hadapan Fran ini memiliki manik biru pucat, nyaris seperti silver.
Von Dernmark.
"Karena aku ingin segera menyelesaikan masalah ini," jawab Francis beranjak dari duduknya.
Von nampak tak peduli. Ia dengan santai meletakkan gelas berisi teh untuk Francis.
"Menyelesaikan apa?" tanyanya kemudian. Tetap berdiri di hadapannya.
Francia menyambar kerah baju Von. Mendorong pria itu hingga terduduk di sofa yang ada di belakang Von. Dan Francia, langsung duduk mengangkanginya.
"Apa maksudmu menyebarluaskan foto itu, Von?" tanya Francis dalam. Manik merah itu nampak berkilat.
Von mengerjap beberapa kali. Gerigi di otaknya baru saja bergerak, mencerna maksud ucapan Francis barusan.
"Oh, jadi kau kemari untuk itu?" balas Von menahan diri untuk menjawab pertanyaan Francis. "Kupikir, kau setuju menemuiku, karena alasan yang sama sepertiku. Tapi ternyata, aku salah,"
Francis mengerutkan kening. Namun, kekesalan yang bersemayam di benaknya, terasa semakin menjadi.
"Apa maksudmu?" balas Francis kemudian.
Von menyeringai. Dan tiba-tiba, kedua tangan pria itu jatuh di masing-masing bahu Francis. Saat Fran hendak mencerna apa yang kemungkinan terjadi, pria bersurai hijau gelap itu bergerak lebih dulu. Menggulingkan Fran yang duduk di atas pangkuannya, lalu menidurkan sang vokalis di sofa tersebut. Dan kemudian, menduduki kedua kakinya.
"Maksudku adalah, alasan memintamu datang menemuiku karena ...," Von menjeda kalimatnya sejenak. Memandang Francis yang berada di bawahnya. "I miss you, Fran,"
"Miss me? Ha! Bullshit!" balas Francis sarkastik. "Jika kau memang merasa demikian, seharusnya kau penuhi saja nafsumu itu dengan foto yang kau sebarluaskan seenaknya,"
"Yah, itu memang bisa menjadi jalan keluar. Tapi, menemui sosok yang asli, jauh lebih menggairahkan, Fran. Kau tahu itu, 'kan?"
Francis hanya mendengus sambil memalingkan muka. Menghindar dari sepasang manik biru pucat itu.
"Oh ya, aku belum menjawab pertanyaanmu itu ya," celetuk Von kemudian. Tapi Francis, masih menolak untuk menatapnya. "Pertanyaan soal kenapa aku menyebarluaskan foto terlarang itu,"
Mendengar ucapan terakhir Von, Francis langsung menoleh kepadanya. Menatap sang musisi solo itu dengan tak sabaran.
"Katakan padaku, Von," ujar Francis terdengar seperti perintah.
Von melukiskan seringaian. Yang dari sudut pandang Francis, senyuman itu membuat sosok Von Dernmark tampak mempesona.
What?! Tidak! Fokus, fokus!
"Jawabanku sangatlah sederhana, Fran," lanjut Von lagi. Ia menurunkan badannya, mendekatkan bibirnya tepat di samping telinga Francis. "Karena aku ingin menunjukkan pada dunia, bahwa kau ada untukku,"
Mata Francis membelalak, tak menyangka dengan jawaban menggelikan itu.
"Dasar gila!" sebut Francis lantang. Membuat Von meluruskan kembali tubuhnya. Namun diam-diam, Francis merasakan kehilangan sesuatu saat telinganya tak lagi merasakan hembusan napas Von.
"Gila?"
"Aku bukanlah barang, Von. Aku bukan boneka atau mainan yang diciptakan hanya untuk memuaskanmu. Dan satu hal lagi yang perlu kau ketahui, kawan. Aku tak lagi menyukaimu."
Francis mendorong tubuh Von agar menyingkir dari atas tubuhnya. Namun, kedua tangan Von bergerak menahan tangan Francis dan memposisikannya di atas kepala si vokalis. Mencengkeram pergelangan tangannya kuat hingga membuat Francis sedikit kesakitan.
"Hei, itu sakit," protes Francis berusaha melonggarkan cengkeraman Von.
"Kau tidak menyukaiku lagi?" tanya Von berbisik di samping telinga Francis. Yang sukses membuat Francis menggigil. "Benarkah? Aku meragukan itu, Francis."
— XIV —
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro