Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua puluh tiga : Netherlands

- XXIII -

Sejujurnya ia tak sadar. Entah sejak kapan, ada rasa kesal yang lahir dalam benaknya saat melihat sorot mata yang berbeda dari manajernya itu.

Tidak.

Ketimbang rasa kesal, rasanya perasaan itu lebih cocok dikatakan sebagai kesedihan.

Ia tak tahu apa maksudnya, dan kenapa juga ia merasakan itu. Tak ada gunanya. Sia-sia. Membuang-buang tenaga saja.

Hanya satu kemungkinan yang terbesit dalam benaknya kala memikirkan perasaan itu dalam-dalam. Sebuah kemungkinan yang juga menjadi sebuah pertanyaan besar.

Apakah ... apakah ia telah 'jatuh' kepada wanita itu?

Memang tidak mustahil jika ia bisa memiliki perasaan kepada lawan jenis. Namun, apakah itu benar? Maksud dari semua itu karena ia mulai merasakaan rasa suka pada manajer itu.

Namun yang utama, jika memang pemikiran itu benar, mana mungkin wanita itu menyukai laki-laki yang 'rusak' sepertinya.

- XXIII -

"Hoi,"

Suara.

Ia mendengar suara seseorang yang sangat ia kenal akrab. Tenor namun berpadu dengan nada yang agak datar.

"Bangun, biseksual bodoh. Kita sudah sampai," ujar suara itu lagi.

Kali ini, ucapan yang berhasil didengar Francis, sukses membuat sang vokalis terbangun. Perlahan, ia membuka kelopak matanya. Menatap sinis laki-laki berambut pirang lemon yang berdiri agak membungkuk di hadapannya.

"Sorry, what?" balas Francis mengangkat kedua alisnya. "Siapa yang barusan kau panggil 'biseksual bodoh', boncel sialan?"

"Tentu saja kau," jawab Cedric tak ambil pusing. "Memang ada biseksual lain selain dirimu di KUDOS?"

"Dan memangnya ada boncel lain selain dirimu di KUDOS?" balas Francis balik mengejek.

Kemudian, keduanya diam. Hanya melempar pandang satu sama lain.

"Apa maumu?" tanya Francis kemudian. Melupakan permasalahan sepele--mungkin--barusan.

Cedric mendengus. "Aku, 'kan sudah bilang, kita sudah sampai," ulangnya.

"Sampai? Sampai kemana?"

"Netherlands, asshole."

"Hoi kalian berdua!"

Francis dan Cedric melirik ke asal suara itu. Dimana seorang pria bersurai perak dengan sebuah sunglass orange yang menutupi kedua manik peraknya.

"Jangan pacaran di sini," celoteh Seth tanpa ragu, "kita harus segera pergi. Atau kalian akan kutinggal,"

"Aku tidak sudi berpacaran dengannya," sahut Francis dan Cedric bebarengan.

Seth hanya mendengus sambil menggeleng kepala beberapa kali. Berbalik dan keluar dari pesawat. Meninggalkan dua personil KUDOS itu.

Setelah Seth pergi, Francis pun segera bangkit dari duduknya. Menenteng barang pribadinya dan berjalan menuju pintu keluar pesawat, bersama Cedric yang mengekor di belakangnya.

Saat ia telah berada di luar, semua personil telah menunggunya. Kecuali Vivian yang hilang entah kemana. Dan Carol yang kali ini benar-benar tidak ikut serta dalam tur mereka. Wanita kaya itu memilih tetap tinggal di Paris--di rumah kedua orangtuanya--selama beberapa hari kedepan untuk menuntaskan masalah pribadinya.

"Kemana Vivi?" tanya Francis kepada Cedric yang masih mengekorinya.

Cedric yang semula sibuk dengan ponselnya, seketika melirik ke arah Francis. Diam sejenak memikirkan jawabannya.

"Entah," jawabnya menggedikkan bahu, "memang aku pengawalnya yang selalu ikut kemana pun dia pergi,"

"Yah, mungkin saja kau tahu, 'kan," komentar Francis tak ambil pusing. "Lagipula, aku hanya bertanya. Kau tak perlu sensitif begitu menjawabnya. Seperti perempuan yang sedang datang bulan saja."

"Dan kau bertanya kepada orang yang salah, mengerti?"

Francis memutar bola matanya mendengar tanggapan itu. Seketika, ia jadi kesal sendiri karena memilih bertanya kepada seorang Cedric Moores. Seharusnya ia bisa memperkirakan jawabannya.

Bodoh.

- XXIII -

Kini KUDOS telah tiba di hotel tempat mereka menginap. Dan kali ini, mereka tak perlu repot-repot pergi keluar hotel untuk berlatih. Karena sungguh sebuah keberuntungan, tempat hotel mereka menginap juga menyediakan studio musik.

So lucky.

Usai mendapat kartu kamar masing-masing, Francis segera menuju kamarnya. Meninggalkan teman sekamarnya yang terlihat berjalan dengan malasnya.

Setibanya di kamar, ia segera meletakkan barang-barangnya. Mandi, berganti baju, lalu keluar untuk mencari udara segar. Beruntung, saat ia hendak pergi meninggalkan kamarnya, ia bertemu dengan Cedric. Sehingga ia tak perlu repot-repot mencari pria pendek itu.

"Ini kuncinya," ujar Francis menyerahkan kartu di tangannya.

Cedric langsung menerimanya tanpa pikir panjang. Menatap kartu itu sejenak, lalu mendongak menatap Francis.

"Kau mau kemana?"

"Jalan-jalan,"

"Mau kutemani?"

"No, thank you. Aku bukan bocah yang bisa tersesat dengan mudahnya saat tidak diawasi. Jangan kau kunci pintunya, mengerti?"

"Iya, iya. Jangan dikunci, got it." Cedric melambaikan tangan dengan malas. Lalu segera membuka pintu kamar di depannya dan masuk begitu saja. Meninggalkan Francis yang masih berdiri di koridor hotel.

Francis melepas pandang dari pintu kamarnya. Menatap jauh ke arah koridor dan berpikir mau pergi kemana dia.

Akhirnya, vokalis itu pun memutuskan untuk mengikuti kemana kakinya bergerak. Masa bodoh akan tiba dimana, yang utama saat ini adalah mencari suasana baru. Menjernihkan pikirannya dari masalah internal yang tengah menghantui pikirannya. Dan ia berharap, itu bisa hilang--atau setidaknya berkurang--besok, saat ia dan KUDOS akan memulai latihan mereka.

Saat ia tiba di lobi hotel, dirinya mendapati sosok Vivian dan Viona di sebuah sofa santai yang memang disediakan di sana. Keduanya tampak sedang membicarakan sesuatu yang entah apa. Francis bukanlah Vivian yang bisa membaca gerak bibir.

Tanpa Francis sadari, tatapan matanya tertuju otomatis pada sang manajer. Wajahnya tampak tak bersahabat seperti biasanya. Tapi, sorot mata yang disadari Francis masih ada di sana, bersembunyi di balik iris hijau itu. Dan Francis membenci dirinya yang menyadari itu. Sehingga ia memutuskan untuk segera pergi dari sana, tak ingin pikirannya semakin terganggu oleh sorot mata itu.

- XXIII -

- XXIII -

Hari telah berganti. Dan seperti biasa, sebelum konser KUDOS dimulai, mereka akan menjalani latihan sederhana. Tapi bedanya kali ini, mereka tak perlu pergi ke luar hotel, karena hotel kali ini,mempunyai fasilitas studio musik.

Latihan berjalan baik. Sungguh sebuah berkah bagi Francis karena masalahnya tidak mengacaukan latihannya sendiri. Ia sungguh merasa beruntung dengan itu.

"Latihan hari ini cukup. Kalian bermain bagus," puji Vivian kemudian, "jadi kalian bisa istirahat sekarang. Terima kasih untuk kerja kerasnya."

KUDOS menjawab bebarengan. Dan kala ia telah mendapat balasan itu, Vivian pun melangkah pergi dari studio itu.

Melihat Vivian yang melangkah keluar dari studio, Francis langsung melesat meninggalkan tempatnya. Mengabaikan tatapan heran personil KUDOS. Ia buru-buru mengejar manajer itu, sambil mencoba memanggil namanya. Walau sesungguhnya, cara terakhir itu sama sekali tidak efisien.

"Hei, Vivi," Francis berhasil mengejar Vivian dan meraih salah satu bahunya.

Vivian merasakan tangan seseorang meraih bahunya. Menahannya dan membuat rasa takut datang menyelimutinya tiba-tiba. Ia berbalik cepat sambil menepis tangan yang ada di bahunya. Menatap horor siapapun itu.

"Ah, maaf," Francis langsung mengangkat kedua tangannya seperti orang menyerah. Sadar akan rasa takut yang dipancarkan oleh sang manajer. "Aku tak bermaksud menakutkanmu,"

"Holt ...," sebut Vivian lirih. Namun ada nada kelegaan terdengar disana. "Ada apa?"

"Um ...," Francis menggaruk kasar belakang kepalanya yang tak gatal. Memiringkan kepalanya sambil berpikir.

Sekilas, iris merah itu tampak tertuju pada manik hijau Vivian. Masih ada sorot mata kekecewaan di sana, namun tidak sepekat beberapa hari yang lalu. Tapi, Francis membenci dirinya yang mampu menyadari bahkan menilai sejauh mana tingkat kekecewaan itu.

He really hated it.

"Hoi,"

Suara rendah Vivian terdengar tiba-tiba. Namun berhasil mengacaukan Francis dari lamunannya, yang ia sendiri tidak menyadarinya.

"Kau mau apa?" sambung Vivian lagi, "tolong jangan membuang-buang waktu. Masih ada hal yang perlu kukerjakan,"

"Ah itu! Aku ingin ber-"

"Fran!"

Ucapan Francis terpotong seketika kala suara Viona terdengar dari balik punggungnya.

Shit. Nice timming.

"Apa?" balas Francis dengan nada menggeram dan menoleh kepada Viona.

Viona agak terkejut dengan nada yang ditunjukan Francis. Ia sempat melambat, sebelum akhirnya berhenti di depan Francis.

"Kau belum membereskan bagianmu," ujar Viona kemudian, "jangan seenaknya kabur. Kami bukan pembantumu,"

Francis menggerang kesal mendengar itu. Kenapa sekarang? Ada hal yang lebih penting saat ini!

"Iya iya, aku ingat itu!" jawab Francis cepat, "akan kubereskan setelah ini."

Francis segera berbalik untuk menghadap Vivian lagi. Tapi, ketika ia menoleh, tak ada siapapun di sana. Sosok Vivian telah pergi begitu saja.

'Oh fuck.' Batin Francis dengan ekspresi datar. Namun sesungguhnya, memendam rasa kesal yang besar.

- XXIII -

Francis terbangun dari tidurnya. Tenggorokannya tiba-tiba terasa kering, dan itu sangat mengganggu tidurnya.

Usai ia selesai membereskan studio--bagiannya--Francis langsung kembali ke kamarnya. Tidak berniat untuk mencari Vivian dan melanjutkan pembicaraan mereka. Karena Francis sendiri tak yakin, apakah perlu menanyakan hal itu.

Sang vokalis bangkit dari posisi tidurnya. Menginjakkan kakinya ke lantai, dan berjalan mendekati kulkas kecil yang ada di kamarnya. Membukanya, lalu meraih sebuah botol air mineral dan langsung meneguknya.

"Hm?"

Kedua alis Francis melengkung tiba-tiba. Tepatnya saat matanya tanpa sadar jatuh ke arah kasur single size di samping kasurnya sendiri. Kasur itu kosong. Tidak ditempati oleh teman sekamarnya, dan masih tampak rapi. Seolah, itu memang belum digunakan sedari awal.

"Kemana si boncel itu?" gumam Francis usai meneguk minumnya. Ia meraih ponselnya, melirik waktu saat ini.

[01:27 AM]

Kening Francis mengernyit. Sudah dini hari, tapi Cedric tak ada bersamanya. Kemana pula dia?

Segera, Francis membuka daftar panggilang, mencari nomor telepon pribadi Cedric dan langsung menghubunginya.

Selama beberapa saat, hanya terdengar nada sambung di telinganya. Panggilannya terhubung dengan Cedric, tapi pihak seberang tak segera menerimanya. Itu melahirkan rasa kesal di benak Francis.

'Shit. Kemana pula dia?' batinnya semakin kesal saat mendengar suara panggilan dialihkan.

Vokalis itu melempar botol di tangannya--yang sudah ditutup pastinya--ke arah kasur. Menyambar jaketnya dan segera keluar dari kamar untuk mencari keberadaan Cedric. Kini ia ingat, pria bersurai pirang lemon itu memang tidak kembali ke kamar mereka seusai berlatih. Francis tidak terlalu ambil pusing karena sangat tahu bahwa pria itu memang hobi menghilang seenaknya. Bahkan saat latihan sekalipun.

Tapi, ia tak mengira bahwa Cedric belum kembali hingga dini hari. Dan itu sukses melahirkan rasa kesal. Belum ditambah ia tak bisa menghubungi nomor Cedric. Itu menggandakan rasa kesalnya.

"Holt?"

Langkah Francis terhenti tiba-tiba.

Ia telah tiba di lobi hotel, dan karena pikirannya hanya tertuju pada Cedric, ia tak memerhatikan sekitarnya. Bahkan sejujurnya, ia tak sadar jika kakinya sudah membawanya menuju lobi hotel.

Francia menoleh ke asal suara itu, mendapati sosok Vivian dengan pakaian simpel--celana olahraga hitam bergaris putih dan kaos lengan pendek hitam. Tangan kirinya masih setia dibungkus oleh sarung tangan. Wanita itu tengah duduk sendirian di salah satu sofa lobi hotel, dengan sebuah laptop dan kertas-kertas tersebar di meja di depannya.

"V-Vivi?" sebut Francis memucat tiba-tiba.

Ini adalah bencana.

- XXIII-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro