Dua puluh sembilan : Terima Kasih Yang Tak Biasa
*Note: This chapter involves a light-smut. Mohon bijak dalam menanggapi.
— XXIX —
"Vivi, datanglah ke pesta perayaan KUDOS!" ajak Viona tiba-tiba.
Konser KUDOS telah berakhir dan kini benar-benar menjadi yang terakhir. Setelah ini, takkan ada lagi tur atau sejenisnya. KUDOS telah selesai. Secara teknis.
Sekarang, mereka telah kembali ke gedung pribadi KUDOS. Berkumpul di studio hanya untuk sekedar menghabiskan waktu bersama. Karena mereka tak yakin, apakah setelah ini akan ada kesempatan untuk berkumpul bersama lagi. Terutama Vivian, yang jelas akan segera berpisah karena kontrak kerjanya dengan KUDOS akan segera berakhir.
Mengetahui tawaran itu, Vivian mendelik. Ia memiringkan kepalanya, "maaf, apa?" balasnya meminta pengulangan.
Mendengar Vivian meminta pengulangan, itu membuat Viona gugup. Karena jika boleh jujur, tawaran barusan sifatnya spontan. Ia berkata begitu tanpa berpikir terlebih dulu.
"Uh ...," Viona agak menundukkan kepala, bermain-main dengan jarinya sendiri guna mengurangi kegugupannya. "KUDOS telah berencana mengadakan pesta setelah seluruh konser berakhir. Dan ... dan kami ingin mengajakmu untuk hadir dalam pesta itu. Carol juga akan hadir kok, jangan khawatir,"
Vivian bungkam kemudian. Berpikir sejenak akan tawaran itu.
Dan tak butuh waktu sekitar satu menit, sang manajer pun membuka mulut. "Asalkan kalian bisa menjamin akan ada wine berkelas, aku akan datang," ungkapnya tanpa ragu.
"Kami bisa menjamin itu!" jawab Viona dengan penuh semangat.
— XXIX —
— XXIX —
Akhirnya, malam penuh suka cita itu dimulai. KUDOS tidak banyak mengundang tamu dalam pesta tersebut, hanya orang-orang terdekat mereka serta beberapa deretan pemusik serta artis.
Bagaimana dengan Von Dernmark?
Kali ini, Francis memilih untuk tidak mengundangnya. Ia tidak menuliskan nama mantan kekasihnya itu dalam list tamunya. Ia ingin pesta berjalan baik tanpa ada masalah sedikitpun.
Kini, Francis nampak duduk di bagian bar sendirian. Dengan segelas mocktail berwarna biru, berada dalam jangkauannya. Iris merahnya memandang ke segala penjuru, memandang personil KUDOS lainnya serta tamu yang hadir dalam pesta tersebut. Tapi sejujurnya, ia sedang mencari kehadiran seseorang.
Dalam daftar tamu, namanya tertulis jelas. Tapi, setelah pesta berlangsung cukup lama, tidak sekalipun Francis mendapati kehadirannya. Wanita itu sama sekali tak nampak dari pandangannya.
'Manajer itu kemana? Aku belum melihatnya sekalipun.' Batin Francis meneguk minuman di tangannya.
Tiba-tiba, ada sesuatu yang menyambar salah satu lengannya, dan menarik sang vokalis itu dengan kuat.
"What the f—!!" Ucapan Francis terhenti ditengah jalan saat matanya menangkap apa--atau tepatnya siapa--yang menariknya.
Iris hijau tak bersahabat itu menatapnya lurus. Namun, di balik tatapan khasnya itu, tersimpan tatapan memohon yang tak tersampaikan lewat kata-kata.
"V-Vivi," panggil Francis tak mengira. Panjang umur, ia baru saja memikirkan soal manajer satu ini. "Ada apa?"
"Ikut aku," ujar Vivian menarik lengan Francis yang masih berada dalam genggamannya.
"E-eh? K-kemana?" balas Francis menahan diri sejenak.
"Sudah diam dan ikut saja." Tolak Vivian menjawab, dan kembali menarik Francis agar mengikutinya.
Francis tampak panik. Dengan buru-buru ia menaruh kembali gelas di tangannya di meja bar dan melangkah mengikuti Vivian.
Dalam diam, Francis memperhatikan tangan Vivian yang berada di lengannya. Itu dingin, tapi entah bagaimana rasanya nyaman. Dan sebisa mungkin, Francis menahan diri untuk tidak membungkus tangan kecil itu dengan tangannya sendiri. Menahan diri untuk memberikan kehangatan kepada manajer itu.
Malam itu, Vivian mengenakan gaun berwarna merah gelap yang tak menutupi kedua bahunya. Surai cokelatnya diikat dan digulung rapi dan dihias oleh aksesoris berbentuk tangga nada berwarna emas. Tangan kirinya, tidak tertutup apapun. Wow, mengejutkan.
Tapi, yang membuat Francis lebih terkejut adalah, sosok Vivian yang berada dalam balutan gaun merah itu. Gorgeous.
Akhirnya, mereka tiba di belakang panggung. Di bagian depan, panggung tersebut sedang digunakan oleh Viona untuk memamerkan permainan pianonya.
"Kau ... mau apa?" tanya Francis menghentikan langkahnya dan menarik diri dari genggaman Vivian.
"Dengarkan pidatoku," jawab Vivian serius.
"Ha?" Francis menganga lebar.
Vivian mendengus sambil memutar bola matanya. "Ya, dengarkan pidatoku. Kau mengerti, 'kan?" jelasnya lagi sambil menunjukkan selembar kertas yang dibawanya.
"Tidak, tidak. Bukan itu," Francis menjawab segera, "maksudku, pidato apa? Kami tak pernah menyuruhmu untuk berpidato,"
Vivian menghela napas berat. "Carol yang menyuruhku," jawabnya simpel. Tapi Francis sadar, ada rasa kesal dalam ucapannya itu. "Sudahlah, jangan banyak tanya. Diam dan dengarkan aku. Lalu berkomentarlah, mengerti?"
"O-oke."
— XXIX —
"Ah! Itu dia!" Carol berucap semangat saat ia berhasil menemukan sosok Francis. "Fran! Kemari!"
Sadar akan lambaian yang mengarah kepadanya, Francis buru-buru menghampiri. Dan mendapati sosok Carol yang duduk bersebelahan dengan Cedric di kursi bar.
"Dari mana?" tanya Cedric simpel.
"Menemani Vivi berlatih," jawab Francis sambil duduk di samping Cedric lalu memesan segelas mocktail kepada sang bartender. "Vivi bilang, kau dalangnya ya Carol,"
Carol membalas dengan cengiran tak berdosa.
"Bersyukurlah dia bisa bersikap sabar denganmu," tambah Francis menerima minuman pesanannya dan meneguknya sekali.
"Maksudmu, tidak berakhir seperti Citrus?" balas Carol menunjuk pria pendek di dekatnya.
Cedric menatap Carol dengan bingung. "Aku?"
"Tidak ingat saat Vivi membantingmu hingga tak sadarkan diri?"
Cedric ber-oh singkat. "Itu mengerikan," komentarnya simpel. Lalu kembali meneguk minumannya.
"Oh! Itu dia!" sebut Carol melihat Vivian naik ke panggung.
Mendengar itu, Cedric dan Francis langsung ganti menghadap ke arah panggung. Menonton sang manajer mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya.
Saat Vivian naik ke panggung, musik pengiring menurunkan volume suaranya. Walau itu sia-sia saja dilakukan untuknya.
Ia menarik napas dalam, mendekatkan mic di depannya ke bibirnya.
"Hai," sapanya, seulas senyum terukir di bibir berhias lipgloss pink itu. "Untuk kalian yang tidak pernah bertemu denganku, namaku Vivian Adrienne. Atau simpelnya, aku adalah Enne,"
Saat nama Enne terucap dari bibirnya, desas-desus langsung terdengar. Seperti yang ia duga, tidak mustahil jika para pemusik yang hadir di pesta ini tak mengetahui nama itu.
"Benar, akulah penyair yang bermusik bersama Von Dernmark," lanjut Vivi lagi, "tapi kali ini, aku tak ingin membahas itu. Karena disini, peranku bukanlah sebagai seorang penyair, melainkan manajer KUDOS. Dan aku senang akan jabatan itu.
Sesungguhnya, ini adalah suatu kehormatan karena bisa menjadi manajer untuk KUDOS. Tapi sejujurnya, aku telah menolak menjadi manajer mereka pada awalnya karena suatu hal. Tapi kemudian, Carol datang kepadaku untuk kedua kalinya. Ia menggantikan Holt untuk membujukku kembali. Dan dengan sedikit taruhan di antara kami, aku menyetujui untuk kembali kepada mereka,"
Francis mengerjap. Dan spontan, ia menoleh ke arah Carol. Yang tampak sibuk memperhatikan pidato Vivian.
"Aku akan menceritakannya nanti." Ujar Carol tanpa menatap Francis. Tapi hebat, ia bisa menyadari tatapan pria itu.
"Lalu, kuucapkan terima kasih kepada Seth," sambung Vivian lagi, "yang telah mengantar kami dan tetap menjaga kami untuk tetap hidup dalam perjalanan. Para desainer, tim koreografer, dan orang-orang yang berperan di balik layar. Dan yang utama, KUDOS. Terima kasih telah menerimaku hingga akhir petualangan ini. Aku ... benar-benar bersyukur. Terima kasih telah menerima sikap merepotkanku—"
"Hei," Carol berucap tiba-tiba. Menoleh ke arah Francis.
Sadar tatapan si surai hitam mengarah kepadanya, Francis pun melepas pandang dari Vivian.
"Apa?"
"Apa kau tidak ingin balik memberi Vivi rasa terima kasih?" tawar Carol.
Francis mengangkat sebelah alisnya. "Tentu saja aku punya niatan untuk melakukannya. Tapi aku tak tahu apa yang bisa kuberikan," balasnya kemudian.
"Aku punya ide!"
Francis memiringkan kepalanya sebagai indikasi 'apa?'
"Beri saja dia lap dance," jawab Carol semangat. Yang ternyata, Cedric juga mengatakan hal yang sama secara bersamaan. Membuat Carol melempar pandang ke pria bersurai pirang lemon itu.
"Kalian gila? Aku tak mau dilempar dari gedung ini olehnya," balas Francis bergedik ngeri.
"Oh jangan khawatir," balas Carol menatap Francis segera, "dia hanya begitu dengan Citrus saja. Kau takkan mendapatkan perlakukan demikian,"
"Aturan dari mana itu?" celoteh Cedric heran.
"Ayolah~! Aku jamin akan baik-baik saja," bujuk Carol memohon.
Francis mengernyit. Otaknya otomatis membayangkan dirinya pergi ke atas panggung, mendorong Vivian ke kursi yang ia bawa. Dan ia tak bisa membayangkan bagaimana selanjutnya.
"Itu hanya akan membuat traumanya kambuh lagi," ujar Francis masih mencoba menghindar.
"Tidak akan. Asalkan kau tidak sembarangan menyentuh tangan kirinya," jawab Carol, "percayalah. Semua akan baik-baik saja." Ia menepuk bahu Francis, memberikan semangat pada sang vokalis.
Francis memandang Carol dengan ragu, lalu ganti menatap Vivian. "Baiklah, akan kucoba. Lagipula ini hanyalah ucapan terima kasih yang tidak biasa," ungkap Francis meneguk minumnya lalu bangkit dari duduknya.
Melihat Francis pergi dari sekitar bar, Carol langsung melirik ke arah Cedric. Memberikan pria itu senyum puas.
Francis meraih sebuah kursi yang ada di belakang panggung. Keluar menuju panggung sambil membawanya, dan meletakkan kursi tersebut di belakang Vivian. Tanpa takut diketahui oleh wanita itu.
'Tuhan, selamatkan aku dari segala mara bahaya.' Batin Francis berdoa dan melangkah ke samping Vivian.
"Holt?" Vivian jelas nampak terkejut ketika menyadari kehadirannya. Dan Francis sendiri hanya memberikan senyum polos. Sebelum akhirnya meraih mic di depan Vivi, lalu mulai berbicara.
"Sebesar Vivi berterima kasih pada KUDOS, aku juga demikian," ujar Francis penuh semangat. Melupakan sejenak rasa malunya. Ia kemudian menoleh ke arah Vivian, menatap manik hijau itu dengan lurus.
"Thank you for all your hard work, Mrs.Enne," sambung Francis menempatkan kembali mic-nya, dan mempersempit jarak di antaranya dan Vivian. "Kau adalah manajer terbaik yang pernah aku dapatkan."
Melihat jarak di antaranya mengecil, Vivian mundur secara naluriah. Dan Francis sendiri, justru menempatkan kedua tangannya di bahu Vivian, lalu mendorong wanita itu pelan.
"Dan maaf atas segalanya." Ujar Francis lagi.
Vivian nampak terkejut saat tubuhnya didorong, ia justru jatuh terduduk di sebuah kursi. Ia bertanya-tanya, sejak kapan kursi itu ada di sana?
Tapi segera, pikiran itu buyar saat ia menyadari Francis berada tepat di depannya dengan posisi mengangkanginya sambil melepas blazer yang ia kenakan, dan menjatuhkannya di lantai panggung.
"Holt," Vivian menatap tajam, suaranya mendalam, dan tangannya otomatis bergerak ke perut Francis. Memberikan peringatan keras untuk sang vokalis agar berhenti. "What the fucking hell you're doing?"
Francis bungkam, dan sejujurnya sedikit bergedik akan tatapan serta nada bicara itu. Tapi ia akan melawannya untuk saat ini.
"Apa yang kulakukan?" balas Francis justru balik bertanya, "Memberimu rasa terima kasihku dengan lap dance."
Semua hadirin tampak terkejut, termasuk Vivian dan para personil KUDOS lainnya. Apa dia gila?
Tapi hal itu tidak berlaku bagi dua biang keladi dari ide tersebut.
"I swear to God, if you really doing it, I'll make you regret it," peringat Vivian lebih dalam.
"Then, try it." Balas Francis menyeringai dan perlahan meraih tangan Vivian yang masih berada di perutnya.
Melihat Vivian tak bereaksi apapun saat ia menurunkan tangannya--justru hanya diam membelalak--Francis kemudian bangkit, mengitari Vivian dengan gerakan anggun. Lalu berhenti di belakang manajer tersebut, mengalungkan lengannya ke leher wanita itu. Memajukan wajahnya di atas bahu Vivi dan melirik wajahnya. Jika ekspresinya berubah takut, ia akan berhenti saat itu juga.
Tapi apa yang ia dapat, sungguh diluar dugaan. Vivian tetap diam tak berkata-kata. Tubuhnya mematung di tempat.
Yakin keadaan akan baik-baik saja, Francis perlahan mengusapkan jarinya di tubuh Vivian hingga ke bagian perutnya. Lalu naik kembali untuk mengusap bahunya.
Ia kemudian menjauh dari belakang Vivian. Berpindah ke hadapan wanita itu dan duduk di pangkuannya tanpa sungkan. Iris merahnya menatap Vivian lurus, tanpa teralihkan sedikitpun.
"Aku suka ekspresimu ini, Mrs.Enne," goda Francis dengan nada seduktif. Dan ia merasa sedih, Vivian tak bisa mendengar itu.
"Dan aku tak sabar melihat wajahmu saat menyesali ini." Balas Vivian seolah menantang.
Bukannya merasa takut atau sejenisnya, pria itu kembali berdiri. Mengangkat salah satu kakinya, dan memposisikannya di selangkangan Vivian.
Manik hijau itu membelalak. Ia mendongak, menatap Francis dengan ekspresi tak menyangka. Dan Francis hanya membalasnya dengan gerakan sensual. Mengusap bagian selangkangan Vivian dengan lembut menggoda. Dan sang manajer langsung menutup mulutnya untuk menyembunyikan desahannya yang keluar dengan spontan.
"Holt ...!" Vivian kembali memberi peringatan, tapi Francis hanya menyeringai kepadanya.
Pria itu kembali duduk di pangkuan Vivian. Tangannya meraih sandaran kursi untuk membantu menopang tubuhnya sebelum ia mulai menggoyangkan pinggulnya. Memutar, ke atas ke bawah. Dan sebisa mungkin, ia berusaha untuk tidak mencium leher Vivian yang berada sangat dekat dari pandangannya.
Tapi ternyata, nafsunya telah mengusainya.
Sehingga tanpa sadar, ia memajukan bibirnya ke leher Vivian dan mencium leher mulus itu dengan lembut. Membuat Vivian tersentak dan menjeritkan namanya.
"Holt!"
Dan Francis pun langsung tersadar akan tindakan itu.
'Oh, matilah aku.' Batin sang pria memucat seketika.
— XXIX —
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro