Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua puluh satu : Terlalu Baik Tidak Bagus

— XXI —

Suara dentingan lift terdengar nyaring. Tak butuh waktu lama, pintu silver itu terbuka otomatis dan menunjukkan sosok Carol. Wanita itu pun keluar, melangkah di koridor yang tak terlalu panjang, lalu berhenti di depan sebuah ruang tertutup.

Wanita itu diam sejenak. Memandang pintu hitam di depannya beberapa detik. Sebelum akhirnya ia mengangkat tangannya, dan mengetuk pelan pintu tersebut beberapa kali.

Hening.

Tak ada jawaban dari sang pemilik ruangan. Dan Carol kembali mengetuknya beberapa kali.

Tapi hasilnya tetap sama.

Ia menghela napas pasrah. Ganti meraih knop pintu, memutarnya pelan dan mendorong pintu hitam tersebut.

"James? Kau sudah tidur?" tanyanya sembari membuka pintu.

Namun, pria yang menempati kamar tamu itu tidak ada di ranjangnya. Hanya barang pribadinya, serta alat musiknya yang berada di atas kasur.

Carol kembali menghela napas. Kini sambil menggaruk kasar belakang kepalanya yang tidak gatal.

'Tak heran Clovis tidak kunjung kembali menghadapku,' batin Carol sambil menutup pintu kamar itu lagi. 'Kuharap James tidak membuat masalah dengan mereka.'

"Karena aku juga yang bakal repot nantinya." Lanjutnya mengeluh sambil melangkah pergi dari depan kamar tamu milik James.

XXI

"Tidak ada di kamarnya?" tanya Carol tak percaya.

Clovis mengangguk.

"Bagaimana bisa? Maksudku ... aku jelas membawanya ... kembali setelah itu ...," lanjut Carol lagi. "Apa kau tidak sadar ketika dia pergi? Satu-satunya jalan keluar hanya lift itu, 'kan!?"

"Maafkan saya, My Lady," balas Clovis rendah, "tapi kepulangan saya cukup terlambat,"

"Kepulangan? Memang kau dari mana?!"

"Mengantar kedua orangtua Anda,"

"Oh fuck!"

"Hei, Carol," panggil Viona agak takut. Ia tak mengira wanita berambut hitam itu bisa seemosi itu.

Tapi, karena pikirannya tengah dilanda amarah, Carol jelas mengabaikan suara Viona. Wanita itu tetap mengoceh kesal pada dirinya sendiri.

"CUKUP!"

Dan saat suara teriakan Francis terlepas dari mulutnya, Carol langsung bungkam. Bahkan, suara sang vokalis itu berhasil membuat semua pandangan tertuju padanya. Kecuali Vivian, yang jelas tak mendengarnya.

"Kita tunda dulu soal kenapa James kabur begitu saja," sambung Francis lagi. Nadanya telah tenang, tapi terdengar tegas. "Yang utama saat ini, kita harus mencari James. Aku akan meminta bantuan Seth juga."

Carol membelalakkan mata. Tersadar akan tindakan bodohnya barusan.

Benar, sekarang bukan saatnya marah-marah seperti itu. Semua itu bisa ditunda. Yang penting saat ini adalah mencari James, dan ....

Dan membiarkan Vivian memberikan kultum pada sang bassis itu.

"Maaf," ujar Carol lirih. Menutupi wajahnya dengan telapak tangannya. "Kau juga Clovis. Maaf sudah menyalahkanmu." Sambungnya lagi sambil diam-diam menggigit bibir bawahnya. Tanpa ia sadari, ada beberapa pasang mata yang menatap tajam kepadanya. Menyadari sikap itu.

"Tidak apa, My Lady," balas Clovis tenang, "saya juga bersalah tidak bisa berbuat apapun."

"Yah, mari kita percepat sesi maaf-maafnya," ujar Francis lagi angkat bicara. "Sekarang kita berpencar untuk mencari James. Dan saling mengabari lewat pesan atau telepon, oke?"

KUDOS mengangguk.

"Begitu tidak apa, 'kan Vivi?" tanya Francis sejenak. Memastikan sang manajer setuju. Walau sesungguhnya, tindakan itu tak perlu lagi menunggu persetujuan.

Tapi ternyata, orang yang diminta persetujuan tengah sibuk menghadap ponselnya. Sehingga ia tak tahu apa yang diucapkan Francis barusan.

"Vivi," panggil Carol menepuk bahu manajer itu.

Vivian jelas terlonjak oleh tepukan itu. Dan cepat-cepat ia mempertemukan layar ponselnya ke dadanya, untuk mencegah siapapun untuk melihatnya, lalu menoleh ke asal tepukan itu.

"U-uh ... maaf. Apa yang barusan kau bilang?" balas Vivian tak enak. Karena jujur, pikirannya barusan terganggu oleh pesan Line dari seseorang untuknya.

Carol memandang Vivian heran. Sejenak, ia seperti mencari tahu apa yang terjadi. Tapi kemudian, Carol memilih untuk mengabaikannya dan mengatakan rencana Francis lagi.

"Kau tak perlu menunggu persetujuanku," ujar Vivian usai mengetahui rencana Francis. "Kita lakukan sekarang. Jika belum mendapatkan hasil hingga tengah hari, semua kembali berkumpul di depan penthouse. Oke?"

Semua mengangguk. Dan pencarian pun dimulai kemudian.

— XXI —

— XXI —

"Sir Morgaine,"

James terlonjak kala mendengar suara rendah Clovis.

Pria berkulit agak gelap itu segera berbalik. Menunda sejenak kegiatan mengupingnya dan memandang pelayan keluarga Randolph.

"Saya yakin, Anda barusan mengatakan 'kembali ke kamar'," ujar Clovis dengan sikap tenang dan sopannya.

"Ah itu ...," James tampak panik. Shit. Ia tak mengira akan dipergoki oleh pria itu. "Aku ingin jalan-jalan sebentar sebelum kembali ke kamar. Melihat-lihat lantai lainnya,"

"Hanya melihat-lihat?" tanya Clovis curiga, "sungguh? Bukan mencoba menguping pembicaraan Grand Master, 'kan?"

"Grand Master ...? Maksudnya ayah Carol? Kupikir mereka masih dalam perjalan bisnis,"

Clovis menghela napas. "Sir Morgaine, bukannya saya hendak bersikap tidak sopan kepada Anda. Tapi tindakan Anda ini sudah tergolong keterlaluan," ujar Clovis kemudian, "mohon segera kembali ke—"

Ucapan Clovis berhenti tiba-tiba ketika pintu ruangan di dekat James terbuka. Memunculkan sosok pria berambut hitam dengan manik senada, serta wanita pirang bermanik mata biru cerah. Warna biru yang mirip dengan milik Carol.

James pun spontan menjauh ketika matanya menangkap dua sosok itu.

"Clovis, siapa ini?" tanya Luc usai memandang James sesaat. Tatapan itu mirip dengan milik Carol. "Kenapa kau tak bilang padaku jika ada tamu berkunjung malam-malam begini?"

"Itu ... Sahabat lady Carol, Sir," jawab Clovis langsung dengan patuh, "sir James Morgaine,"

"Teman anak itu?" Tatapan manik hitam itu kembali kepada James. Memandang sang bassis dari atas hingga ke bawah.

"Hah! Kalau sedari awal otak anak itu memang tidak benar, pasti akan mencari teman yang sebanding juga." Celoteh Luc sembari berjalan melewati James.

Dalam sejarah hidup seorang James Morgaine, ia selalu berusaha untuk bersikap tenang dan berpikir kritis. Ia tahu betul, meluapkan emosi negatif karena suatu hal, hanya akan melahirkan masalah baru yang dua kali lipat merepotkannya. Karena itu, James melahirkan sikap positif dalam dirinya dan berharap itu membawa energi baik pada orang di sekitarnya.

Dan dalam sejarah hidupnya juga, ada orang asing yang berhasil mengusik ketenangannya dalam waktu sekian detik. Luc Randolph, ayah dari Carol. Sekaligus direktur Randolphy Corporation. Pria itu adalah neraka bagi seorang James Morgaine.

James berbalik cepat mengikuti sosok Luc yang melewatinya. Tangan kanannya terkepal kuat, siap untuk melampiaskan sesuatu yang lahir dalam benaknya.

Amarah.

Dan, penghinaan.

Clovis yang sadar akan tindakan James, segera menghampiri bassis itu untuk menghentikannya. Tapi tiba-tiba, sebuah teriakan menggema di sana.

"JAMES!!"

Semua orang terpaku. Baik James, Clovis, Luc maupun Katia. Dan semua mata, tertuju pada wanita berambut hitam yang berjalan ke tempat James dengan jenjang kaki lebar.

"C-Carol?" sebut James mengerutkan kening.

"Hentikan itu, anak bodoh!" lanjut Carol berdiri di hadapan James dengan tangan terbuka lebar. Melindungi sosok ayah dan ibunya di belakang punggungnya. "Kau mau apa dengan itu?"

James melirik sejenak tangan kanannya yang berada di udara. Lalu kembali menatap manik biru Carol. "Carol, dia sudah menghinamu," ujar James kemudian menurunkan tangannya.

"Lalu?"

"Lalu? Apanya yang 'lalu'?! Carol, dia itu ayahmu!"

"Iya, dia ayahku. Lalu kenapa dengan itu? Masalah untukmu?"

James mengeratkan giginya. Tak percaya dengan apa yang didengarnya. Ditambah lagi, kenapa tatapan wanita itu tajam sekali? Seolah James lah yang paling salah disini.

"Carol! Apa kau tidak mengerti maksudku?! Dia! Dia ...!" James menunjuk Luc--yang memandangnya santai--berkali-kali. "Dia ayahmu, dan dia sudah menghinamu! Yang merupakan putrinya!"

Carol menghela napas. Menurunkan kedua tangannya, lalu melipatnya di depan dada. "Maka dari itu, aku bertanya. Lalu kenapa jika ia menghinaku?" balasnya tak ambil pusing.

"Carol ... kenapa kau ...!" James kehabisan kata-kata. Ada apa dengan wanita di hadapannya ini?!

"Itu benar, Kid," sela Luc tiba-tiba. Membuat James menatap kepadanya, dan mengirim aura menakutkan kepada Carol. "Apa urusannya untukmu?"

James menatap tak percaya. Apa-apaan dengan keluarga ini? Ia perlu mengetahui yang sebenarnya. Karena selama James menjalin persahabatan dengan Carol, wanita itu selalu berusaha menghindari topik keluarganya. Ia hanya tahu orangtuanya seram, dan melarang Carol menjadi seorang musisi.

Itu saja.

"Semua ini tak ada urusannya denganmu, Kid," lanjut Luc lagi. Menyadarkan James dari pergulatan pikirannya. "Bahkan jika aku melakukan ini ...,"

Luc memukul belakang kepala Carol tiba-tiba. Dan tampak jelas sekali, itu dilakukan sepenuh hati dan sekuat tenaga.

Ayah macam apa dia?!

"Itu tak ada hubungannya denganmu," ujar Luc lagi, "kau hanya orang asing--bocah bodoh--yang dibawa anak ini ke rumahku. Dan sejujurnya, itu hanya mencemari udara di sini,"

Carol yang baru saja mendapat perlakukan tersebut, hanya diam beribu bahasa. Entah karena tak mengira, atau ia memang menerima begitu saja perlakuan itu.

"Ah sudahlah. Terlalu lama di sini akan mengotori paru-paruku karena menghirup udara yang sama denganmu," tutur Luc lagi, "Clovis persiapkan kepergianku dan Katia. Kami akan pergi untuk berlibur,"

"B-baik, Sir," jawab Clovis buru-buru. Dan saat pelayan itu berjalan di dekat Carol, ia berbisik kepadanya.

"Maafkan saya." Bisiknya sebelum pergi bersama Luc dan Katia.

"Daddy, Mommy,"

Tapi tiba-tiba, suara Carol terdengar jernih. Menghentikan gerakan Luc, Katia dan Clovis. Bahkan James juga menatap lurus kepadanya.

"Selamat berlibur," sambung Carol berbalik untuk memandang orangtuanya bergantian. "Semoga Tuhan selalu menjaga kalian." Sebuah senyum merekah di bibir Carol. Membuat James terpaku selama beberapa detik.

'Dia ... sudah gila ya?!' batin James melihat senyuman itu.

Luc dan Katia saling melempar pandang kala melihat senyuman itu. Sebelum akhirnya, terdengar suara dengusan dari pria bersurai hitam itu.

"Jaga ucapanmu, Kid." Ujar Luc sadar maksudnya. Yang kemudian, ia segera pergi bersama Katia dan Clovis yang mengikuti di belakangnya.

Setelah kedua orantua Carol dan Clovis tak nampak dari pandangan James segera menghadap Carol lagi.

"Carol, apa yang—"

"Ini bukan urusanmu, James," potong Carol tahu apa yang akan diutarakan James. "Aku bersungguh-sungguh soal itu,"

"Bukan urusanku? Aku ini sahabatmu, Carol!" balas James langsung.

"Dan bukan berarti sahabat bisa seenaknya ikut campur dalam masalah internal seperti ini," balas Carol sambil mengusap belakang kepalanya. Yang sebelumnya menjadi tempat ayahnya memukul.

Melihat James tak membalas apapun dan justru hanya menundukkan kepala, Carol menghela napas panjang. Ia tak tahu sikap diam James itu karena kehabisan kata-kata, atau tersinggung dengan ucapannya. Ia terlalu lelah memikirkannya.

"James dengarkan aku," ujar Carol kemudian, "kau boleh peduli kepada siapapun, tapi terlalu peduli itu juga tidak baik. Tidak semua orang merasa nyaman terus diberi perhatian, James. Kau harus tahu itu. Setiap orang punya perbedaan masing-masing,"

"Jadi maksudmu, aku ... mengganggumu? Rasa peduliku membuatmu terganggu?" tanya James murung.

"What? No, honeybear," jawab Carol cepat. Kedua tangannya menangkup wajah James, dan sedikit mengarahkannya. Sehingga pandangan James mengarah lurus padanya. "Aku senang kau peduli padaku. Tapi James, namanya suatu hubungan, juga ada batasan yang tak bisa sembarangan dilewati. Jika sembarang melewatinya, itu bisa merusak ikatan yang sudah terjalin,"

"Tapi, 'kan ... aku berniat membantu ...,"

Carol menghela napas lagi. "Terima kasih James. Namun, masalahku ini bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan begitu saja," Tangan Carol yang menangkup wajah James, perlahan jatuh. Dan berhenti di kedua bahu pria tersebut. "Masalah ini sudah terlalu berakar dalam. Dan satu-satunya cara untuk menyelesaikannya adalah, mencabut akar utamanya agar tidak kembali tumbuh."

XXI —

Carol terus berlari mencari sosok sahabatnya. Ia nyaris tidak berhenti berlari. Hebat. Jadi dia punya tenaga tidak terbatas, begitu?

Tapi tidak.

Setelah berlari entah seberapa jauhnya, Carol terhenti sejenak. Kedua tangannya berada di atas lututnya, menompang tubuhnya yang terengah-rengah.

"Ah, sial," gerutunya meluruskan kembali tubuhnya. "Kemana sih dia? Dihubungi pun juga tidak bisa. Repot."

'Jadi orang jangan terlalu mudah tersakiti. Aku menolak bantuanmu bukan karena membencimu,' batin Carol kembali berlari. Kini memasuki sebuah taman kota.

'Tapi karena aku peduli padamu, bodoh!'

Langkah Carol terhenti tiba-tiba saat matanya menangkap punggung seseorang yang familiar. Ia memandang punggung itu selama beberapa detik. Lalu mendekat perlahan.

Tapi seketika, langkah Carol terhenti karena suara dering ponselnya. Ia buru-buru merogoh sakunya, membuka chat Line dari Vivian.

[ Kau sudah menemukannya? ]

[ Ya. Aku akan segera menyeretnya kembali dan menyerahkannya padamu ]

Saat ibu jarinya hendak mengirim chat tersebut, tiba-tiba gerakannya terhenti di udara. Pandangannya terlepas seketika dari layar ponselnya, dan ganti memandang punggung laki-laki berambut pirang di seberangnya.

[ Tidak. Aku belum menemukannya ]

Dan kirim.

— XXI —


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro