Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua puluh : Masalah Internal Itu Merepotkan

— XX —

"Aw!" Carol merintih spontan saat salah satu lukanya terkena obat merah.

"Ah, maafkan saya," Clovis yang membantu Carol mengobati lukanya, seketika langsung menarik tangannya mundur kala mendengar rintihan Carol.

"Tidak, aku baik-baik saja," jawab Carol mengangkat tangannya. Menenangkan pelayannya itu. "Aku hanya terkejut. Tolong lanjutkan."

Clovis mengangguk, lalu perlahan kembali melanjutkan tugasnya.

Carol menatap tangan pucat Clovis yang dekat dengan wajahnya. Tangannya tak kalah pucat dengan miliknya.

Kini, wanita itu berpikir. Ini bukan kali pertamanya orangtuanya memperlakukan Carol seperti itu. Dan ini juga bukan pertama kalinya ia terluka.

Saat kecil, perempuan itu sudah mengalami child abuse berkali-kali karena gagal memenuhi ekspentasi orangtuanya. Lalu ketika ia telah dewasa--ketika ia telah menjadi sosok pianis--tak jarang ia sering melukai dirinya sendiri, saat masalah datang menimpanya. Bahkan, bunuh diri pun sudah ia rasakan berkali-kali. Walau hasilnya selalu gagal, karena ada saja yang berhasil menyelamatkannya. Seolah, Tuhan masih tidak mengizinkan Carol untuk kabur dari masalahnya.

Tetapi, ada perbedaan rasa sakit yang dirasakan oleh wanita berambut hitam tersebut. Yang jelas bisa ia rasakan perbedaannya.

Luka yang ia dapat karena perbuatannya sendiri, terasa berbeda dengan luka yang didapat Carol karena tindakan orangtuanya. Rasanya, jauh lebih menyakitkan saat Carol mendapat perlakuan tak manusiawi itu dari orang yang melahirkan dan membesarkannya.

Ia adalah darah dagingnya, 'kan? Dan ia juga hanya manusia biasa. Tentunya bisa salah. Tapi, kenapa mereka justru memperlakukan putri semata wayangnya seperti itu? Mungkin mereka memang tidak waras.

Disaat Carol tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, pandangannya tak teralihkan dari pria di hadapannya. Yang baru saja selesai menempelkan plester luka di sudut bibirnya.

Selama ini, Clovis yang selalu membantunya. Mengobati luka-lukanya usai Carol mendapat 'hukuman' dari orangtuanya, menemaninya bermain saat ia bosan dengan buku-buku bisnis memuakan berhalaman tebal, menyemangatinya, bahkan membantunya kabur dari rumah.

Carol berpikir, andai ia tak memiliki Clovis di sisinya, sejak dulu ia pasti sudah gila.

"Baik, sudah selesai," ujar Clovis tiba-tiba, lalu menutup kotak obat di dekatnya. "Lebih baik Anda—"

Carol yang duduk di hadapannya, tiba-tiba datang menerjang. Kedua lengan putih pucat itu melingkari leher Clovis dengan kuat, namun tak sampai mencekiknya. Wanita tersebut memeluknya dengan sangat, sangat erat hingga masing-masing dari mereka, dapat merasakan denyut jantungnya.

"M-My Lady?"

"Terima kasih," ucap Carol lirih. Tapi karena posisi kepala wanita itu berada dekat dengan telinganya, Clovis bisa mendengar jelas ucapan itu. "Selama ini aku tak pernah berterima kasih atas semua yang kau lakukan padaku. Terima kasih, Clovis. Aku ... aku tak tahu apa jadinya diriku tanpamu di sisiku. Aku pasti sudah gila hidup dibawah tekanan dua setan bernama orangtua itu."

Clovis memandang leher belakang Carol beberapa detik. Pria itu tetap diam di posisinya. Tapi kemudian, tangannya bergerak pelan. Balik membalas pelukan Carol dengan erat.

"Saya senang bisa membantu Anda, My Lady," ujar Clovis menepuk pelan punggung Carol.

Carol mengangguk lemah. Mundur perlahan dan melepaskan pelukannya.

"Carol?"

Saat wanita itu hendak berbicara hal lain, suara seseorang datang memotong. Ia sedikit memiringkan kepalanya, memandang sosok laki-laki berpakaian kaus tanpa lengan yang dapat membuat siapapun bisa salah fokus dengan otot atletis itu.

"James," Carol mengangkat kedua alisnya. "Kau belum tidur?"

"Uh ...," James menggaruk tipis pipinya, malu dengan jawaban simpel itu. "Aku tidak bisa tidur,"

"Kenapa? Apa kamarnya tidak nyaman?"

"T-tidak!" James menyanggah cepat. Kamar seperti itu tidak nyaman darimananya?

"Itu ... pikiranku masih dihantui masalah antara aku dan Fran," lanjut James menjelaskan, "dan meski aku sudah berusaha untuk tidur, hasilnya tetap nihil. Jadi aku putuskan untuk jalan-jalan mencari angin sebentar,"

"Oh. Tunggu, kalian belum berbaikan?" balas Carol tak percaya.

James menggeleng. "Entah kenapa berat sekali rasanya," akunya, "ini kali pertamanya aku merasa seperti ini."

Carol diam sejenak. Jujur, ia juga berpikir demikian. James seolah bersikap tidak seperti biasanya. Ada apa? Apakah ia masih tersinggung dengan perdebatan di pesawat itu?

Saat Carol hendak memastikannya, James memotong lebih dulu.

"Wajahmu kenapa?" tanya James lebih dulu. Ia mendekat ke tempat Carol dan Clovis berada. "Siang tadi itu belum ada, 'kan?"

Carol dan Clovis menegang tiba-tiba. Shit.

"Ah ini ...," Carol mengangkat tangannya spontan. Jari telunjuknya menunjuk lurus ke langit-langit, mata birunya bergerak kesana-kemari untuk membantunya berpikir. Tapi jelas sekali bahwa ia gugup. "Aku jatuh dari tangga!"

"Apa?"

"Ya!" Carol mengangguk-angguk beberapa kali. "Kau tahu, sudah lama aku tidak kembali ke sini. Jadi, aku sudah lupa dengan denah penthouse ini. Yang jelas berbeda dengan milikku di London,"

'Persetan dengan kemampuan berbohongku yang sungguh buruk!' batin Carol.

James mengernyit, seperti mencoba memahami cerita itu.

"Sungguh karena itu?" tanyanya memastikan.

"Ya!" jawab Carol cepat, "tapi jangan khawatir, Clovis sudah mengobatinya."

Carol memberikan acungan jempol kepada James, yang tampak masih menilai dirinya dengan serius.

"Oke, baiklah. Lain kali, berhati-hatilah," Akhirnya, James pun menerima jawaban itu. Dan hal tersebut langsung membuat Carol bisa bernapas lega. "Kalau begitu, aku akan kembali ke kamarku,"

"O-oh oke. Selamat malam, James," balas Carol melambai pelan kepada pria itu. "Beristirahatlah."

"Malam untukmu juga, Carol. Dan kau juga, Clovis." Balas James kemudian berbalik meninggalkan keduanya.

Tangan Carol masih tetap berada di udara. Terus hingga sosok James benar-benar telah menghilang dari pandangan.

"Clovis," panggilnya sembari menurunkan tangannya, dan memposisikannya di atas pahanya. "Kau ikuti James. Awasi dia apakah ia sungguh kembali ke kamarnya,"

"Baik, My Lady," jawab Clovis langsung.

"Jika dia pergi menuju ruang kerja mereka, seret dia agar pergi. Dan bawa kembali ke kamarnya," lanjut Carol dengan nada serius.

Clovis mengangguk, "baik,"

"Terima kasih." Jawab Carol kemudian membiarkan Clovis pergi melakukan perintahnya.

— XX —

— XX —

Seperti yang Carol duga, plester luka di wajahnya pasti akan menjadi bahan pertanyaan. Oh, sekarang ia berharap, orangtuanya melukai tubuhnya di bagian yang tidak terlihat.

"Carol, ada apa dengan wajahmu itu?" tanya Viona dengan wajah yang memancarkan kekhawatiran.

Carol menghembuskan napas panjang ketika mendengar pertanyaan itu. Inikah yang namanya deja vu?

"Hanya luka kecil karena kecerobohanku sendiri," jawab Carol sembari duduk di kursi makan. Sarapan telah siap di depannya.

"Kecerobohan? Kenapa?" tanya Riana. Dan untuk kali pertamanya, Carol dapat mendengar nada khawatir keluar dari wanita yang cenderung pendiam itu.

"Yah ...," Carol memutar-mutar tangannya untuk membantunya berpikir. "Jatuh dari tangga karena lupa denah penthouse ini,"

"Memang yang begitu bisa terjadi? Lupa dengan denah rumahmu sendiri," balas Francis berkomentar. Karena jujur, ia merasa aneh dengan jawaban itu.

"Tentu bisa. Aku juga manusia, kawan. Bisa lupa akan sesuatu. Dan aku bukan Vivi yang punya ingatan kelewat kuat," balas Carol membela diri. Sekaligus, untuk tidak membuat KUDOS terlibat dengan masalah pribadinya.

"Hm, photographic memory ya. Rasanya keren punya kemampuan semacam itu." Komentar Viona dengan polosnya.

Mendengar itu, Carol hanya tersenyum kecil menanggapinya. Memang itu tampak hebat, tapi apakah selamanya terasa demikian? Terutama bagi Vivian yang punya pengalaman hidup tak kalah pahit.

— XX —

Orang yang tengah dipikirkan Carol, ternyata sedang menguap lebar sambil berjalan menuju ruang makan. Vivian sudah membersihkan diri--dan berpakaian juga pastinya--tapi rasa kantuk masih menghantuinya. Yah, itu tidak mengherankan. Terlepas dari masalah kemarin, ia dihadapkan dengan tugas baru yang merepotkan. Membuatnya harus begadang hingga pukul 5 pagi. Dan sekarang, pukul 8 pagi. Ia yakin dia pasti terlambat.

Tiga jam tidur. Itu tidak buruk. Justru itu adalah rekor. Karena saat Vivian sedang dihadapkan dengan tugas, ia rela tak tidur untuk segera menyelesaikannya dengan baik. Dan alasan atau dasar ia melakukannya, bukan karena rasa tanggungjawabnya. Tapi agar ia bisa bersantai--atau lebih enak dibilang berjudi--tanpa terganggu oleh tugas manajernya.

Mulia sekali alasannya.

"Pagi," sapa Vivian saat telah tiba di ruang makan penthouse milik Carol. Ia memandang menu sarapan yang ada di meja di hadapannya beberapa detik.

Hm. Roti.

Itu bukan hal baru. Bahkan sudah bisa ia duga. Tapi pagi ini, Vivian sedang tidak mood makan itu. Jadi ia memilih pergi dari sekitaran meja sambil menyahut mug putih yang ada, dan mendekat ke sebuah mesin coffee maker yang ada. Menekan tombol mesin itu, lalu menanti gelasnya terisi penuh dengan kopi.

Bukannya ia bersikap seperti pemilik rumah, tapi memang Carol sendiri yang menyuruhnya demikian. Dan itu berlaku untuk anggota KUDOS lainnya.

'Anggap saja rumah sendiri'. Kira-kira begitulah.

"Loh? Mana Morgaine?" tanya Vivian memperhatikan meja makan lagi, dan mendapati James tak ada di antara mereka. "Kupikir aku yang paling terlambat,"

"Oh, benar juga. Aku tak sadar dia belum datang," komentar Viona merasa bodoh.

"Bisa-bisanya kalian tak sadar anggota kalian tidak lengkap," komentar Vivian kemudian. Meraih gelasnya yang sudah terisi kopi dan berjalan menuju kursi kosong yang ada untuk didudukinya.

"Clovis, tolong kau bangunkan James," pinta Carol langsung. Yang dibalas pelayan itu dengan anggukan.

"Dan Holt," ujar Vivian lagi, membuat pihak yang disebutkan, terlonjak pelan. "Bagaimana?"

Francis tampak berkeringat dingin. Ia tahu kemana arah topiknya. "A-apanya yang bagaimana?" balasnya pura-pura bodoh.

Vivian memutar bola matanya. Menyesap sekali kopinya sejenak, sebelum kembali memandang Francis.

"Ini masih pagi. Bisa tidak, bersikap tidak pura-pura bodoh?" ujar Vivian kemudian. "Kau tahu jelas apa yang kubicarakan, 'kan,"

Francis kehabisan kata-kata. Laki-laki itu tertunduk sambil memainkan jemari tangannya sendiri.

"Aku belum berbaikan," jawab Francis akhirnya.

"Apa? Kenapa?"

"A-aku tidak tahu. Rasanya sulit untuk melakukannya,"

"Karena kau memang jarang menjadi orang yang meminta maaf," sela Riana tanpa ragu.

"Ya, kau selalu menjadi pihak yang dimaafkan," lanjut Cedric setuju.

"Bisa tidak, jangan diperjelas?" minta Francis menatap Riana dan Cedric bergantian. "Aku merasa terhina. Bolehkah aku merasa tersinggung?"

"Kurasa tidak bisa," jawab Riana dengan tenang, "karena ini memang kenyataan,"

"Oh benar juga. Aku juga pernah mengatakan itu kepada Fran," timpal Carol tanpa sungkan. "Saat Fran merengek padaku karena gagal mendapat maaf dari Vivi,"

"Carol!" teriak Francis malu. Oh, ia berharap Vivian tak tahu soal ucapan Carol barusan.

"Aku tak peduli soal kau yang sering menjadi korban atau pelaku," ujar Vivian kemudian. Ia terhenti sejenak untuk menyesap kopinya, lalu kembali melanjutkan. "Tapi untuk sekarang, buang jauh-jauh egomu itu, dan selesaikan ini, Holt. Jika tidak ada yang memulai terlebih dulu, maka ini takkan mencapai titik terang,"

"Entah mengapa, aku merasa ini seperti pertengkaran sepasang kekasih yang keduanya sama-sama keras kepala," ujar Cedric sambil menggigit rotinya sekali.

"Rasanya James bukan orang yang seperti itu," balas Viona, "tapi kalau Fran, kurasa ya,"

"Tambahan. Ia juga arogan, picik, hina," sambung Cedric menambahkan.

"Kenapa sekarang jadi sesi pembulian?!" protes Francis mengggebrak meja di depannya tanpa sadar.

"Tolong tenang saat di meja makan," ujar Vivian dengan tenang seperti biasanya.

"Tapi mereka yang memulai!" balas Francia membela diri. "Mereka terus-terusan menghinaku,"

"Kami tidak menghinamu, Fran," balas Viona menyengir tanpa dosa.

"Kami bicara soal kenyataan," sambung Viona, Cedric, Riana dan Carol bersamaan. Kyle sedari tadi tak tertarik ikut ambil bagian. Meski ia ada di sana bersama mereka.

Saat Francia hendak membela diri lagi, kedatangan Clovis mengintrupsinya.

"Maaf mengganggu Anda semua," ujar Clovis dengan sopan.

Mendengar suara itu, perhatian Carol langsung tertuju pada pelayannya. "Ada apa, Clovis? Mana James?" balasnya heran.

"Itulah yang ingin saya katakan, My Lady," balas Clovis, "sir Morgaine tidak ada di kamarnya."

Hening beberapa saat. Semua orang--mungkin--tengah mencerna ucapan Clovis dengan seksama. Detik itu, otak mereka sedikit lama prosesnya.

"What?" Sebelum akhirnya keheningan itu pecah oleh ucapan Vivian yang penuh akan rasa tidak percaya.

— XX —

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro