Dua puluh lima : Kejujuran Itu Penting
- XXV -
Keheningan jelas tercipta di sana. Hanya ada suara samar dari denting jam tangan yang dikenakan oleh salah satu dari mereka. Langit luar kota Rotterdam tampak telah membiru, dan penduduk kota itu juga mulai terlihat sibuk menyiapkan hari. Lampu-lampu jalan maupun bangunan, mulai padam secara berkala.
"So ...," James menjeda kalimatnya sejenak. Memandang Francis yang berdiri di sudut kasur dan Vivian yang duduk di tengah-tengah kasur.
Kini, semua anggota KUDOS--kecuali Cedric yang sedang tak sadarkan diri kamarnya--tengah berada di kamar James. Membicarakan soal apa yang terjadi di antara manajer mereka dengan sang gitaris laki-laki KUDOS.
"Bisakah salah satu di antara kalian menceritakan duduk perkaranya dengan lebih rinci?" tawar James lagi.
Francis dan Vivian terdiam. Keduanya saling bertukar pandang sejenak, sebelum akhirnya memecah pandangan masing-masing. Francis ganti memandang James, sedangkan Vivian bergerak menekuk kedua kakinya lalu menunduk hingga keningnya dengan kedua lututnya. Bersembunyi dari dunia di sekitarnya.
"Aku akan mengatakannya," ujar Francis mengajukan diri. Refleks mengacungkan tangan kanannya rendah.
"Please," pinta James.
Francis berpikir sejenak. Mencari awalan yang cocok untuk menceritakan masalah yang terjadi. Tapi tak butuh waktu lama, ia pun mulai buka suara. Mulai menjelaskan perkaranya.
"Sederhananya, kami hanya mencari keberadaan Cedric," jelas Francis melebarkan kedua tangannya. "Setelah berlatih kemarin, ia belum kembali ke kamar. Dan itu salahku juga karena bersikap pasif dengannya. Karena kalian tahu, 'kan? Dia memang hobi menghilang begitu saja. Bahkan ditengah-tengah latihan sekalipun,"
"Memang," sahut Riana simpel. Wanita itu tengah duduk di dekat Vivian. Menahan tangannya untuk tidak menyentuh Vivian satu inci pun.
"Lalu, saat aku terbangun dini hari tadi," sambung Francis kemudian, "aku mendapati kasurnya masih kosong dan rapi. Seolah-olah itu memang sudah tidak ditempati sedari awal,"
"Dan kau mencari Vivi untuk mengatakan bahwa Citrus belum kembali?" terka Viona, yang dibalas Francis dengan gelengan.
"Justru sebaliknya," jelasnya, "aku berniat mencari Cedric tanpa sepengetahuan Vivi. Tapi sial, aku malah bertemu dengannya di lobi. Dan sialnya lagi, mulutku tanpa sengaja mengatakan yang sebenarnya,"
"Stupid mouth," celetuk Viona.
"Indeed," sahut Francis tak berniat lalu. "Jadi, setelah aku menceritakan bahwa Cedric belum kembali ke kamarnya, kami pun berakhir mencarinya bersama,"
"Walau hasil akhirnya benar-benar diluar dugaan?" sambung James mengangkat sebelah alisnya.
"Rasanya itu lebih cocok dikatakan berlebihan ketimbang diluar dugaan," komentar Viona agak sungkan. Ia tak ingin melukai perasaan seseorang yang berada di tengah-tengah kasur. Sedang meringkuk seperti bola. Tapi sepertinya, mustahil pihak terkait bisa mendengarnya.
"Ya memang," lanjut Francis setuju. Otaknya secara otomatis memutar ulang perlakuan Vivian terhadap Cedric saat mereka berhasil menemukannya. "Dua kali bantingan. Dan yang terakhir sampai membuat Cedric kehilangan kesadaran. Yap, itu berlebihan."
Semuanya kemudian diam. James memandang Vivian dalam diam. Melirik Riana yang berada di dekatnya untuk menyadarkan Vivian dari pemikirannya.
Vivian sendiri merasa tak acuh dengan pembicaraan mereka. Tidak, itu salah. Ia bukan memilih untuk tak acuh. Melainkan ia tengah sibuk bergulat dengan pikirannya sendiri. Bertarung keras melawan memori pahitnya yang kembali berputar di pikirannya seenaknya sendiri.
Penolakan akan ketidakmampuan.
Benar, itulah inti utamanya. Ia akhirnya sadar apa alasan utama ia bersikap demikian.
Sejujurnya, manajer itu merasa kesal pada dirinya sendiri. Merasa kecewa akan ketidakbecusannya. Dan ia ingin seseorang menerima kekesalannya, ia ingin meluapkannya kepada siapapun. Tanpa pandang bulu, tanpa peduli bagaimana caranya.
Rasanya kekanak-kanakan sekali.
Saat Vivian masih terus bergulat dengan kegelisahannya, ia merasakan sesuatu yang menepuk salah satu bahunya. Membuatnya tubuhnya menegang dan melahirkan rasa takut di dalam benaknya.
Secepat mungkin, Vivian menepis apapun yang menepuk bahunya itu. Meninggalkan tatapan horor yang ditujukan kepada seorang wanita berambut dan beriris mata hitam. Tangan yang lain, tampak bersiap melakukan sesuatu untuk membantunya selamat.
"Hei, it's okay," ujar Riana menenangkan. Dan butuh beberapa detik bagi Vivian untuk menyadari sosoknya. "You in here with us. You'll be okay, promise. Breath with me, okay."
Bernapas. Benar. Ia harus bernapas dan tenang. Ini bukan saatnya untuk terkena serangan kecemasan.
KUDOS.
Ya, ia ingat. Ia ada di salah satu kamar hotel yang ditempati James dan Kyle.
Ia tidak bersama pria bersurai hijau. Ia tidak berada di rumah sakit.
Ia bersama KUDOS.
KUDOS.
"M-maaf," ujar Vivian akhirnya berhasil mendapatkan dirinya kembali. Tangan kanannya yang berada di udara, perlahan jatuh. "Aku ... sedikit gelisah,"
Riana tersenyum kecil. Meraih salah satu tangan kanan Vivian, dan menggenggamnya erat. Mengusap lembut bagian punggung tangannya dengan ibu jarinya.
"James ingin bicara padamu." Ujar Riana kemudian. Melepaskan tangannya dari Vivian
Vivian mengerjap sekali, lalu melepas pandang dari Riana untuk ganti menatap ke arah sang bassist.
"Ada apa?" tanya Vivian kemudian.
"Vivi, kau tahu tindakanmu terhadap Citrus itu berlebihan, 'kan?" balas James kemudian. Tapi, nada bicara laki-laki itu tak terdengar menuntut. Sebisa mungkin, tetap rendah agar tidak membuat Vivian jatuh.
Vivian mengangguk lemah. "Ya. Aku ... aku minta maaf. Aku tak bermaksud ... tubuhku ... pikiranku ... seperti bergerak sendiri. Aku ... aku sungguh menyesal. I'm so sorry," wanita itu tertunduk malu.
Payah, sungguh payah.
Ia sungguh tidak profesional. Ia ... payah!
Francia mengernyitkan kening. Menatap iba wanita yang masih duduk meringkuk di tengah-tengah kasur.
"Hei, Vi—"
"Aku akan minta maaf," potong Vivian sebelum Francis berhasil meraihnya. "Saat ini juga."
"Eh? Apa?" James menatap tak percaya, "hei, kau tak perlu terburu-buru. Lagipula kita tidak tahu apakah—"
"Aku tak peduli!" potong Vivian lagi, kini dengan nada yang agak tinggi. Yang setelahnya, wanita itu segera turun dari kasur dan berjalan menuju pintu kamar.
Namun, saat ia melewati sisi James, pria itu langsung meraih salah satu lengan Vivian. Dan sukses membuat sang wanita terkejut.
"Let me go!" pinta Vivian berusaha melepas cengkeraman James. Beruntung ia langsung menyadari siapa yang menahannya.
"Tidak. Vivi tenanglah, kau sedang tidak berpikir jernih," balas James berusaha menahan amarah Vivian.
"Aku tahu itu!" jerit Vivian keras, "aku tahu aku tak berpikir jernih! Aku tahu aku tidak bersikap profesional! Aku tahu semua itu! Karena itu ... karena itu ...,"
James membelalak kaget. Lengan Vivian yang berada dalam genggamannya, terasa gemetar di bawah tangannya.
"Biarkan aku menyelesaikannya," sambung Vivian lagi dengan suara parau. Iris hijau itu menatap James dengan penuh harap. Tapi tersimpan rasa sakit di balik tatapan penuh harap tersebut. "Please, Morgaine."
James merasa dilema selama sesaat. Ia melepas pandang dari Vivian, melirik ke arah Viona lalu ganti kepada Riana. Kyle--oh tunggu, laki-laki itu tampak masa bodoh. Jahat--dan terakhir adalah Francis.
"Biarkan saja," ujar Francis lirih nyaris seperti berbisik.
James semula ragu. Menatap heran ke arah vokalis kepercayaan mereka. Tapi, saat Francis balik melawan tatapan James dengan penuh keyakinan, sang bassist pun akhirnya menyerah. Melepaskan genggamannya dari lengan Vivian.
"Oke, lakukan apa maumu," ujar James kemudian, "tapi jangan berlebihan,"
"Tidak akan," balas Vivian langsung.
"Promise me."
"Promise."
- XXV -
Keheningan kembali lahir tepat setelah pintu kamar ditutup oleh Vivian. Personil KUDOS yang tersisa, masih tak bergerak dari tempat mereka masing-masing. Diam menyesuaikan diri terhadap suasana tegang barusan.
"Kurasa ... aku tahu kenapa dia begitu," sebut Francis tiba-tiba. Membuat teman KUDOS-nya menoleh langsung kepadanya.
"Apa?" Viona membalas tak percaya.
"Ya," Francis mengangguk, "tapi itu masih perkiraanku saja,"
"Kalau begitu ...," Viona mendekat lebih kepada Francis. Kedua tangan lembutnya meraih leher panjang Francis, dan pura-pura mencekiknya. "Kenapa kau tak mengatakannya dengan segera, bodoh!?"
"Itu karena aku ingin memastikan apakah tebakanku tepat," jawab Francis tak bersalah.
"Memastikan?! Makan nih kepastian!" balas Viona mengguncangkan leher Francis dengan kesal.
"So," Suara Kyle terdengar tiba-tiba. Membuat Viona menghentikan kegiatan menyiksanya. "Jika kau tahu, apa alasannya?"
Hening sesaat. Semua mata memandang Francis dengan penasaran. Dan vokalis itu terlihat tertunduk sekilas. Sebelum akhirnya melepaskan tangan Viona dari lehernya, lalu menatap James lurus.
"The reason is us. You and me, James." Jawab Francis serius. Manik merah itu nampak tak bercelah sedikit pun.
"Ha?"
- XXV -
- XXV -
Cedric membuka matanya perlahan. Mengernyit, lalu mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya.
"Hey,"
Suara rendah terdengar dari sisi kiri Cedric. Spontan, iris kuning lemon itu menoleh ke asal suara tersebut. Dan mendapati sosok wanita bersurai cokelat panjang dengan manik mata hijau, tengah menatap tak ramah kepadanya.
"Vivian," sebut Cedric lirih. Lalu perlahan bangkit dari posisi tidurnya.
"Maafkan aku," sambung Vivian, yang sukses membuat Cedric mendelik.
"Maaf? Kenapa? Kau punya salah denganku?"
Vivian menghela napas berat. "Aku telah melukaimu. Maaf, aku benar-benar tak bermaksud melakukannya," jelasnya kemudian.
Cedric diam selama beberapa saat. Mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya.
"Oh," Sang gitaris itu ber-oh singkat. Ia ingat apa yang terjadi. "Yah, kurasa aku juga salah karena tak mengatakan kepada siapapun dan malah tertidur di studio. Tapi yang utama ...,"
Cedric memandang Vivian lurus. Manik lemon itu tak teralihkan sedikitpun.
"Apakah ada yang sedang mengganggu pikiranmu?" sambung Cedric curiga.
"Maaf?" Vivian mengernyitkan mata.
"Mungkin kau dan yang lainnya tak sadar, tapi ekspresi wajahmu terlihat berbeda belakangan ini. Apa ada sesuatu?"
Vivian menyembunyikan kedua tangannya di balik punggungnya. Dan tanpa sadar, saling mengepal satu sama lain dengan kuat. Hingga ia bisa merasakan tusukan dari ujung kuku-kuku jarinya.
"No," jawab Vivian akhirnya. Tenang, tapi juga tak bernada. "Nothing else."
'And none of your business.' Lanjut Vivian lagi dalam hati.
- XXV -
Masalah yang dialami Vivian, tak pernah diutarakan sepenuhnya kepada KUDOS. Selalu ada cara yang bisa membuat KUDOS teralihkan dari topik itu. Namun sesungguhnya, KUDOS mengerti apa yang tengah dialami manajer sementara mereka itu.
Mereka hanya perlu mencari tahu kebenarannya saja. Tapi sayang, tak pernah berhasil.
Ingin berkata dunia itu kejam kepada kita, tapi memang itulah kenyataannya. Memang itu adanya. Sejujurnya, dunia tidak pernah kejam kepada siapapun. Kejam tidaknya dunia, itu bergantung pada bagaimana seseorang menghadapi dunia.
Ya, sederhana sekali.
Hari ini adalah konser KUDOS. Dan sehari sebelum konser, tak ada satupun yang ingin membahas soal masalah sebelumnya. Mereka memilih untuk mengabaikannya dan melupakannya saja. Toh, itu juga sudah terselesaikan.
Setidaknya secara teknis.
Dalam lubuk hati Vivian yang terdalam, sejujurnya ia merasa bangga dengan KUDOS. Setelah berbagai hal yang--entah bagaimana--selalu mereka hadapi sebelum konser, mereka selalu dapat tampil prima di depan penggemarnya. Entah mereka melakukannya karena 'tugas' atau karena hal lain, Vivian tak pernah tahu. Dan tampaknya, ia juga tak ingin tahu.
Yang terpenting untuknya adalah, mereka bisa tampil prima. Memuaskan nafsu para penggemarnya dengan performa mereka yang epik.
Itu sudah lebih dari cukup.
Dan mereka juga tak perlu terlalu ikut dalam arus masalahnya. Ikatannya dengan KUDOS hanya sementara. Dan akan segera berakhir tidak dalam waktu satu minggu.
- XXV -
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro