Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua puluh enam : Melepas Pelindung

*Note: This chapter involves a rather mild nudity. But trust me, hanya sedikit, sungguh. Penggambarannya tidak terlalu mendetail.

— see more note in end chapter

— XXVI —

Tiga laki-laki itu jelas terlihat terengah-rengah. Peluh keringat mengalir lembut membasahi pipi mereka masing-masing, dan akhirnya jatuh menetes di permukaan.

Selama beberapa saat, tak ada yang berucap lebih dulu. Entah pihak perempuan, maupun laki-laki. Tapi, jika pihak laki-laki tidak berkata apa-apa, itu bisa dimaklumi karena mereka benar-benar kelelahan.

Mereka nyaris mati.

"Lame," Akhirnya, salah satu dari pihak wanita berucap lebih dulu.

Namun, ucapan yang keluar dari mulut sang manajer sama sekali tak membangkitkan semangat. Belum ditambah dengan tatapan merendahkan yang ditujukan kepada tiga laki-laki itu.

"Jangan lupa soal taruhannya," sambungnya lagi, "atau aku akan terus memintanya bahkan hingga kalian mati sekalipun." Sebelum akhirnya berbalik meninggalkan lapangan, dan kembali duduk di tempat ia berteduh tadi.

— XXVI —

Usai konser mereka berakhir, malamnya KUDOS menikmati waktu bersantai mereka. Berkumpul bersama di salah satu tempat bersantai yang ada di hotel mereka. Vivian pun juga ikut andil dalam waktu bersantai itu. Walau sebenarnya, ia cenderung sibuk dengan dunianya sendiri.

"Ayo pergi ke pantai!"

Seruan Viona melengking keras. Ceria, dan begitu energik. Membuat orang di sekitarnya--kecuali Vivian--menaruh perhatian penuh ke arah sang keyboardist itu.

"Pantai?" Francis mengangkat sebelah alisnya. Kue yang hendak ia makan, terhenti di udara.

Viona mengangguk-angguk dengan semangat. "Ada pantai bagus tak jauh dari hotel ini," jelasnya masih dengan semangat membara, "tidak ada salahnya, 'kan bersantai di pantai. Toh besok adalah hari terakhir kita di kota ini. Sebelum akhirnya kembali ke London,"

"Kurasa ... itu ide yang bagus," sahut James tertarik. "Tapi aku tidak membawa celana renang, artinya aku harus berbelanja dulu. Hahaha,"

"Tidak masalah, 'kan? Kita bisa belanja bersama-sama!" balas Viona menyarankan.

"Belanja bersama?" tanya Cedric memastikan. Hidung laki-laki itu tampak kembang kempis. "Kita, belanja perlengkapan renang bersama? Sungguh? Tidak bohong, 'kan?"

Lima pasang mata langsung memandang Cedric kemudian. Memandang dengan ekspresi jijik atau sejenisnya.

"Kurasa kita akan berbelanja sendiri-sendiri," saran Francis kemudian, "aku lupa kita punya penjahat kelamin,"

"Apa?!" Cedric bangkit dari duduknya. Menatap Francis tak percaya. "Aku bukan penjahat kelamin!"

"Ya tapi kau tidak perlu menyebutnya keras-keras begitu juga," balas Francis menepuk keningnya.

"Aku bukan penjahat kelamin. Dan bukankah hal umum jika seorang laki-laki menyukai hal-hal semacam itu? Jangan bertingkah sok suci, kalian para lelaki!"

Viona yang mendengar pernyataan konyol itu, hanya bisa memandang rendah laki-laki bersurai pirang lemon itu. Sebelum akhirnya beralih ke tempat Vivian yang tengah sibuk bermain game di laptopnya. Sambil menikmati segelas jus.

"Vivi," Viona memanggilnya sambil pindah duduk di samping manajernya itu.

Sadar ada seseorang yang duduk di dekatnya, wanita berambut cokelat itu menoleh. Berhenti menyedot jusnya, tapi tetap membiarkan sedotan stainless itu berada di mulutnya.

"Morris," Vivian mengangkat sebelah alisnya. "Ada apa? Ada yang bisa kubantu?"

"Err ....," Viona menggaruk tipis salah satu pipinya dengan telunjuknya. "Ayo pergi ke pantai bersama,"

"Pantai?" Vivian melepas bibirnya dari sedotan minumnya. "Tidak, terima kasih,"

"Oh ayolah," bujuk Viona memasang ekspresi memohon. "Kau tidak ikut berenang juga tak apa kok. Hanya duduk di bawah payung, kami tidak keberatan,"

"Tidak," Vivian menggeleng, tetap bersikeras dengan jawabannya.

"Vivi ...," Viona meraih tangan kanan sang manajer. Mengangkatnya, dan menggenggam erat. Melemparkan tatapan puppy eyes kepada Vivian. Yang ia sendiri tak tahu, apakah itu akan berhasil.

Ia tak pernah mencobanya ke Vivian.

Vivian agak terlonjak saat tangan Viona meraihnya. Dan ketika matanya menatap puppy eyes itu, ia merutuki dirinya sendiri, juga seseorang yang hobi memasang tatapan itu untuknya.

'Shit. Apakah Carol yang menyuruhnya melakukan itu jika ingin membujukku?' batin Vivian dalam diam.

Vivian mengalihkan pandangannya, mencoba fokus kembali pada game di laptopnya. Namun, meski ia telah mengalihkan diri dari sang keyboardist itu, entah bagaimana Vivi masih bisa merasakan arah tatapan Viona. Lurus kepadanya dan penuh harap.

So annoying.

"Baiklah," ujar Vivian menghela napas panjang. Kalah dengan wanita di dekatnya. "Aku ikut."

"Wohoo!!" Viona langsung bersorak senang. Dan memeluk Vivian tanpa sungkan. "Thank you, Vivi!"

XXVI

Suara deru ombak berpadu dengan suara gelak tawa orang-orang, baik anak-anak maupun orang dewasa. Mereka semua menikmati liburan mereka di pantai tersebut.

Termasuk KUDOS juga. Meski tak jarang mereka harus berurusan dengan penggemar yang juga berlibur di pantai tersebut, mereka benar-benar menikmati waktu ke pantai mereka dengan sepenuh hati. Kecuali Kyle yang menolak dan hilang lebih dulu sebelum KUDOS mencoba memaksanya.

"Oh, inilah surga," gumam Cedric menikmati udara pantai pagi. Menghirupnya dalam, dan menghembuskannya.

Namun, bukan hanya udara pagi yang tengah dinikmati sang gitaris itu. Tapi juga pemandangan para pengunjung wanita yang hanya berbikini dengan berbagai jenis motif. Menampakkan lekuk tubuh mereka dengan epik, serta kulit mereka yang eksotis. Juga tak lupa, dada mereka yang terdiri dari berbagai ukuran. Mulai dari yang rata, hingga montok sekalipun.

Mata penuh nafsu terpancar jelas di mata Cedric. Iris lemon itu terus mengedar ke setiap wanita yang ada di pantai itu. Pikirannya menilai semua yang ia lihat--mulai dari size hingga membayangkan rasa kenyalnya saat diremas--tanpa berhenti satu detik pun. Otak liarnya benar-benar sudah aktif sepenuhnya.

"Fran, James, lihat wanita yang di sana," panggil Cedric diam-diam menunjuk dua wanita yang tengah bermain di pinggir pantai. Bermain lempar bola karet. "Tubuhnya benar-benar epik. Dadanya, pantatnya, pinggul itu. Kalian tahu? Itulah yang namanya tubuh seksi,"

Francis dan James memang memandang ke arah yang ditunjuk Cedric. Tapi pandangan mereka tampak biasa saja. Bahkan lebih ke arah tidak tertarik.

"Biasa saja," ungkap Francis dan James bebarengan.

"Apa?!" Cedric tampak tak percaya. "Apa kalian buta? Apa kalian sudah kehilang libido kalian, huh? Bagaimana bisa kalian menganggap itu biasa? Lihatlah surga ini! Surga para pria!"

Suara Citrus yang tak tahu malu itu--sungguh, apa urat malunya sudah putus?--menarik perhatian orang di sekitar. Terutama para wanita, yang kini memandang mereka dengan sinis. Walau sejujurnya mereka tahu siapa yang tengah dipandang.

Tapi, siapa juga yang mau mendengar komentar ataupun ditatap dengan pria mesum? Well, mungkin para wanita masokis? Entahlah.

"Tentu saja kami masih punya libido," balas Francis mengarahkan telapak tangannya ke wajah. Menutupi rasa malunya. "Tapi memang dasarnya otakmu itu mesum, Cedric,"

"Tolong jangan bawa kami ke fantasi liarmu." Sambung James kemudian.

Tak jauh dari tempat tiga laki-laki itu, para wanita KUDOS tampak mengawasi mereka. Tubuh mereka yang termasuk seksi juga, tertutup oleh jaket berwarna terang. Sehingga hanya menunjukkan bagian bawah tubuhnya.

"Sepertinya, aku berdosa karena membawa Citrus juga," komentar Viona memandang tiga personil laki-laki itu dengan tatapan dingin.

"KUDOS membawa pemburu wanita. Bahaya." Lanjut Riana ikut berkomentar.

"Bodoh." Ungkap Vivian dengan singkat.

"Memang." Jawab Viona setuju begitu saja. Tanpa pikir panjang.

XXVI

"Panas. Terbakar, tubuhku rasanya terbakar," gumam Vivian yang berlindung di salah satu payung. "Aku akan meleleh sebentar lagi."

Waktu berpantai KUDOS masih berlanjut. Setelah mengabaikan kegilaan pribadi Cedric beberapa saat yang lalu, kini mereka tampak sibuk bermain voli pantai. Walau yang bermain hanya empat orang, Riana memilih untuk jadi wasit. Dan Vivian menolak karena tak kuat dengan panas.

"Persetan. Bagaimana bisa mereka tahan dengan hawa panas ini?" keluh Vivian lagi meneguk minumnya. Lalu memandang orang-orang yang ada di sekitarnya. "Apa mereka menggunakan cheat kebal seperti dalam game GTA San Andreas?"

"Ah! Vivi awas!"

Tiba-tiba, Viona berseru keras kepada Vivian. Tapi, karena wanita itu jelas tak bisa mendengar apapun, ia tak menyadari teriakan itu. Dan alhasil, sebuah bola voli sukses menghantam kepalanya dari samping.

"Ah, maaf," sebut Cedric masih dalam posisi usai men-smash. Dialah pelakunya.

Viona dan Riana buru-buru menghampiri tempat Vivian. Yang mana, wanita itu tampak masih diam terpaku.

"Oh Vivi, maaf," ujar Viona bersalah. Tunggu, itu salah. Seharusnya Cedric yang begitu. "Kami berusaha memperingatkan. Tapi—"

Vivian melirik ke arah lapangan voli. Mencari siapa pelakunya. Usai menemukannya, ia bangkit tiba-tiba. Mengambil kembali bola voli yang menghantam kepalanya tadi. Lalu kemudian, melambungkannya rendah ke udara dan memukulnya dengan sekuat tenaga.

"OUCH!" Cedric merintih keras saat sebuah bola voli menghantam keras wajahnya. Ia langsung berjongkok sambil memegang wajahnya. Rasanya panas dan sakit.

Bola yang baru saja mencium keras wajah Cedric, kembali memantul--membuktikan kerasnya pukulan barusan--ke tempat semula. Tapi Vivian berhasil menangkapnya dengan sempurna.

"Ah, maafkan aku," ujar Vivian dengan nada bersalah yang dibuat-buat. "Kau terlalu pendek sehingga aku tidak bisa melihatmu. Padahal aku berniat mengembalikan bola kalian,"

"Bohonf!" sebut Cedric bangkit kembali. "Kau jelas sekali mengincarku!"

"Eh? Tidak. Jangan fitnah seperti itu. Tidak baik," balas Vivian masih berpura-pura tak bersalah.

Sisa personil KUDOS memandang perdebatan itu dalam diam. Mereka tak tahu harus bagaimana.

"Aku menantangmu, manajer membosankan!" tantang Cedric menunjuk Vivian yang ada di seberang net.

"Membosankan? Kau tak pernah berkaca ya?" komentar Vivian sarkastik, "tapi baiklah, kuterima tantanganmu itu. Aku suka tantangan, dan melihat wajah mereka yang dipecundangi.

Laki-laki melawan perempuan. Chris, kau juga ikut,"

"Eh?" Riana agak terkejut. Tapi kemudian ia mengangguk.

"Apa taruhannya? Aku tak berminat jika kau tak punya sesuatu untuk dipertaruhkan," sambung Vivian lagi tanpa pikir panjang. Membiarkan sifat berjudinya mengambil alih.

"Tim yang kalah akan mentraktir makan malam," jawab Cedric langsung. Pikirannya bergerak cepat. "Deal?"

"Deal." Jawab Vivian langsung.

"Uh ... aku punya firasat buruk soal ini." Komentar James kepada Francis yang berdiri di sampingnya.

XXVI

— XXVI —

Tiga laki-laki itu jelas terlihat terengah-rengah. Peluh keringat mengalir lembut membasahi pipi mereka masing-masing, dan akhirnya jatuh menetes di permukaan.

Selama beberapa saat, tak ada yang berucap lebih dulu. Entah pihak perempuan, maupun laki-laki. Tapi, jika pihak laki-laki tidak berkata apa-apa, itu bisa dimaklumi karena mereka benar-benar kelelahan.

Mereka nyaris mati.

"Lame," Akhirnya, salah satu dari pihak wanita berucap lebih dulu.

Namun, ucapan yang keluar dari mulut sang manajer sama sekali tak membangkitkan semangat. Belum ditambah dengan tatapan merendahkan yang ditujukan kepada tiga laki-laki itu.

"Jangan lupa soal taruhannya," sambungnya lagi, "atau aku akan terus memintanya bahkan hingga kalian mati sekalipun." Sebelum akhirnya berbalik meninggalkan lapangan, dan kembali duduk di tempat ia berteduh tadi.

Viona yang berada satu tim dengan sang manajer, terpaku di tempat. Masih terpukau dengan permainan Vivian tadi.

"Siapa yang mengira, Vivi jago dalam voli pantai," komentar Riana kemudian.

"Dan dia sungguh menikmatinya," sambung Viona ikut berkomentar. "Ini kali pertamanya aku melihat Vivi begitu bersemangat. Senang melihatnya bisa mengekspresikan diri. Tapi ...,"

Viona menoleh ke sisi yang berlawanan. Melihat tiga teman laki-lakinya yang tampak muram karena kekalahan mereka.

"Mereka muram sekali," komentar Riana langsung.

Viona tertawa pahit mendengar komentar itu. "Yah, kurasa tidak mengherankan. Karena malam nanti mereka harus keluar uang makan malam."

"Kyle tidak masuk hitungan. Dia tak ikut dalam acara ini. Dia harus bayar sendiri."

"Setuju."

— XXVI —

Vivian melahap potongan kentang di garpunya. Meneguk minumannya sekali, sebelum menyadari enam pasang mata tertuju padanya. Tapi ia sadar, keenam tatapan itu bukan mengarah ke wajahnya. Melainkan ke arah garpu yang dipegangnya.

"Apa?" tanyanya menurunkan garpu di tangan kirinya.

"Uh tidak," Francis menggeleng. Dan cepat-cepat mengalihkan pandangan dari arah tatapannya barusan.

"Kalian penasaran dengan ini?" tanya Vivian lagi sambil mengangkat tangan kirinya yang terbungkus sarung tangan.

"Uh tidak, sama sekali tidak," jawab Viona bohong. "Hanya kebetulan saja kami memandang ke arah yang sama. Dan aku sedikit penasaran, apakah tanganmu baik-baik saja setelah tadi kau pakai untuk bermain voli."

Vivian mengangkat sebelah alisnya. Memandang Viona beberapa saat lagi, sebelum ganti melirik tangan kirinya itu.

"Mau darimana kalian ingin mengetahuinya?" tanya Vivian lagi sambil melepas sarung tangannya. Menunjukkan tangan prostetiknya secara gamblang. "Aku akan menjelaskan. Anggap saja sebagai bonus makan malam ini."

— XXVI —

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro