Dua puluh empat : Sisi Masing-Masing
*Note: Semua judul maupun lagu yang tertulis di chapter ini bukanlah buatan ane.
— see more note in end chapter
— XXIV —
Ia tak pernah sadar. Bahkan semenjak ia kehilangan kemampuan pendengarannya, ia tak menyadari akan ketakutan terbesar dalam hidupnya.
Kenapa?
Karena orang yang ia sayangi--kedua orangtuanya--tak menolaknya meski ia memiliki kekurangan itu. Bahkan, mereka lah yang terus menjaga api kehidupannya agar tidak padam.
'Ini bukanlah akhir dari segalanya, Honey.'
Kalimat itu selalu menjadi panutannya. Hingga mereka pergi meninggalkannya untuk selamanya, kalimat itulah yang terus menjaganya. Yang terus membuatnya tetap waras. Tak membiarkan dirinya sendiri memadamkan api kehidupannya.
Tapi, untuk kali pertamanya. Dalam sejarah hidupnya yang sudah tergolong panjang, ia menyadari ketakutan itu.
Dan itulah, yang membuatnya terus terjerat oleh rantai tak kasat mata bernama masa lalu.
— XXIV —
Vivian mengangkat kedua tangannya ke atas. Menarik otot-otot sarafnya yang mulai terasa kaku karena tak digerakkan cukup lama.
"Oke. Selesai sudah tugasku."
Ia menghembuskan napas. Menurunkan kedua tangannya, dan menempatkannya di atas masing-masing pahanya. Matanya memandang ke layar laptop di depannya, membaca kembali hasil kerjanya selama berjam-jam non stop.
"Kota ini akan jadi tempat terakhir," gumamnya menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. "Setelah itu, KUDOS akan kembali. Mengakhiri konser mereka di tempat asal. Dan itu juga akan menjadi akhir dari kontrak kerjaku."
Ia memiringkan kepalanya hingga sedikit bersandar pada sandaran sofa. Tubuhnya agak merosot dengan sendirinya untuk mencari posisi nyaman.
"Jika diingat-ingat ... rasanya agak sedih," gumamnya lagi memejamkan mata. Membiarkan otaknya beristirahat sejenak dan mengingat--seenaknya--kejadian yang ia alami selama bekerja dengan KUDOS. "Tapi itu juga bukan masalah. Karena memang itu kesepakatannya."
Vivian membuka kedua kelopak matanya. Meluruskan posisi duduknya, dan agak mencondongkan tubuhnya ke depan. Menyimpan hasil kerjanya, dan membuka sebuah homepage judi online yang sering ia mainkan.
Saat ia baru saja masuk ke home utama dari game judi itu, matanya tanpa sengaja teralihkan oleh sesuatu. Tepatnya oleh sosok Francis yang berjalan ke arah lobi tempatnya berada, sembari sibuk dengan ponselnya.
"Holt?" Tanpa sadar, Vivian memanggilnya.
Tunggu. Buat apa juga ia melakukannya? Ia tak tahu. Mulutnya bergerak menyebut nama itu begitu saja.
Francis pun terhenti di tempatnya. Tubuhnya menegang sesaat kala dirinya menangkap suara Vivian. Dan perlahan, ia menoleh ke arah manajer itu. Yang tengah duduk di sebuah sofa ditemani laptopnya dan kertas-kertas yang berserakan di meja di depannya.
"V-Vivi?" Francis membalas. Dan Vivian menyadari perubahan wajah vokalis itu.
— XXIV —
"Apa yang kau lakukan jam segini?" tanya Vivian kemudian. Mengabaikan ekspresi pucat yang dipancarkan Francis sesaat.
Francis meneguk salivanya. Tenang. Jangan tunjukkan rasa panik, dan jawab setenang mungkin.
"Tidak bisa tidur," jawab Francis kemudian. Ya, jawaban itu adalah yang paling alami dari sekian banyak jawaban yang terpikirkan otomatis di benaknya. "Mencari udara dini hari, atau sejenisnya,"
"Hm," Vivian hanya berdehem singkat. Dan itu melahirkan suatu kelegaan dalam benak Francis. Merasa beruntung Vivian tak bertanya lebih lanjut.
Vivian pun kembali fokus pada laptopnya. Yang kemudian, kesempatan itu langsung diambil Francis untuk melarikan diri.
"Benarkah itu?"
Tapi, ucapan Vivian membuat Francis terhenti di tengah jalan. Walau sesungguhnya ia belum melangkah jauh. Mungkin baru dua atau tiga langkah dari tempatnya. Dan menoleh kepada Vivian yang tengah balas memandangnya.
"Apanya?" balas Francis spontan. Bodoh, kenapa malah ditanggapi? Seharusnya biarkan saja, toh wanita itu tak bisa mendengar langkah kakinya. Tapi ia sudah melihat, jika kabur begitu saja, siapa yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya?
"Benarkah kau hanya ingin mencari angin karena tak bisa tidur?" ulang Vivian lebih jelas. "Wajahmu tadi seperti berkata lain. Saat aku memanggilmu, kau terlihat pucat. Seperti melihat sesuatu yang menakutkan,"
"T-tidak!" balas Francis agak tinggi. Shit. Don't panic, keep calm. "Aku baik-baik saja. Sungguh. Mungkin tadi hanya halusinasimu saja,"
Vivian diam beberapa saat. Tapi, iris hijau itu tak teralihkan sedikitpun darinya. Masih mencoba mengulitinya hingga bersih.
"Maybe," balas manajer itu akhirnya, "kurasa aku hanya berhalusinasi karena terlalu lelah. Aku ingat aku belum mengistirahatkan mataku,"
"Benar! Aku baik-baik saja! Aku hanya mencari Cedric yang belum kembali ke kamar sejak latihan hari ini."
"Apa?"
Francia membelalak, dan tangannya spontan menutup mulutnya.
Stupid mouth.
— XXIV —
— XXIV —
Jika diibaratkan, mungkin ia mirip seperti angin sepoi-sepoi. Yang bisa datang dan menghilang kapan saja.
Ia juga demikian. Di saat setan bernama 'niat' yang merasukinya, ia bisa menjadi sangat workholic. Tapi jika setan lain bernama 'malas' merasukinya, ia juga bisa menjadi yang paling bermasalah dari lima personil yang tersisa.
Dan sayang, ia lebih sering dirasuki oleh setan buruk ketimbang baik. Tunggu, apakah ada setan yang sifatnya baik ataupun bajik? Bukankah setan selalu diibaratkan dengan keburukan?
Itu artinya, dia adalah perwujudan dari keburukan, begitu?
Indeed.
Or maybe, moreless.
— XXIV —
Sejujurnya, Cedric sudah lupa kapan terakhir kali setan workholic-nya datang merasukinya. Mungkin setahun yang lalu? Sebulan? Seminggu? Sehari? Tidak, perkiraan yang terakhir itu jelas adalah dusta.
Tapi kali ini, ia memang dirasuki oleh setan itu. Dan rasanya tidak terlalu buruk. Apakah karena ia sudah lama tidak merasakannya? Sepertinya begitu.
Seusai latihan, dan setelah semua personil pergi, Cedric tetap diam di studio. Bagiannya yang sudah ia bereskan, kembali ia kacaukan olehnya. Well, tidak sepenuhnya berantakan. Setidaknya cukup untuk membuatnya nyaman akan posisi mereka masing-masing.
Cedric memetik senar gitarnya beberapa kali, memastikan jika suara yang diciptakan alat musik itu nyaman untuk didengar.
Masih sedikit sumbang.
Ia menyetem ulang gitarnya untuk sesaat. Lalu kembali memetik senarnya.
Belum.
Lagi, setem ulang.
Petik senarnya. And nice!
"Oke. Apa yang kuperdalam permainannya? Aku sudah puas dengan semua lagu yang akan dimainkan saat konser," gumam Cedric membuka notebook yang memuat lagu-lagu yang dikenalinya.
Ia membalik halaman-halaman yang ada. Berhenti sesaat untuk memikirkannya. Lalu lanjut ke halaman berikutnya. Berikutnya dan berikutnya. Hingga akhirnya gerakan tangan Cedric terhenti di salah satu lagu. Pria bersurai pirang lemon itu memandang lagu tersebut selama beberapa detik. Terus mematung hingga detik kesepuluh. Mungkin.
Sebelum akhirnya ia mulai memainkan lagu itu sendirian.
Permainannya berjalan dengan mulus. Setiap nada dimainkannya sepenuh hati seolah-olah ini akan jadi kehidupan terakhirnya.
"Dear God
The only think I ask you is
To hold her when I'm not around
When I much to far away
We all need the person
Who can be true to you
But I left her when I found her
And now I wish I'd stayed
Because I'm lonely and tired
I'm missing you again
Oh no
Once again,"
Lagu itu selesai dimainkan dengan baik. Dan ia bangga akan dirinya sendiri. Pencapaian yang baik. Pastinya.
Ia kemudian lanjut memainkan lagu lainnya. Dengan judul yang berbeda, tapi masih dengan hasrat yang sama. Ia merindukan hasrat itu. Saat dimana ia memainkan lagu-lagu oleh tangannya sendiri.
Saat ia dengan bangga melahirkan ratusan melodi dengan tangannya sendiri, untuk orang lain maupun dirinya.
"Lived a life so endlessly
Saw beyond what other see
I tried to heal your broken heart
With all I could
Will you stay?
Will you stay awake forever?
How do I live
without the ones I love?
Time still turns the page
Of the book it's burned,"
Dan Cedric terus menenggelamkan dirinya dalam ratusan melodi lainnya. Hingga ia melupakan dunianya sendiri.
— XXIV —
Wanita itu bersumpah, inilah ketakutan yang selama ini tak disadarinya.
Sejak penolakan yang ia terima dari orang yang dicintainya, itu berlanjut melahirkan rasa takut yang lain. Yang selama ini selalu berhasil dikurung olehnya dengan bantuan kalimat dari mendiang orangtua tercintanya.
Tapi kini, ia tak bisa menutupi ketakutan itu.
"Bagaimana kau bisa tak sadar jika Moores tak kembali, ha?!" tanya Vivian keras kepada Francis yang mengekor di belakangnya.
Kini, keduanya telah sepakat mencari keberadaan salah satu gitaris KUDOS itu. Setelah mulut bodoh Francis--ya, bodoh--tanpa sadar mengatakan masalahnya, mereka berakhir mencari Cedric bersama.
Mencari keberadaan seseorang.
Rasanya seperti deja vu.
"Itu karena aku langsung tidur setelah selesai berlatih," jawab Francis berterus terang.
Dan sebagai tambahan, kaulah yang membuatku memilih opsi itu.
Lanjut Francis. Walau sesungguhnya, ia tak kuasa mengatakan bagian itu.
"Dasar pemalas." Komentar Vivian sebelum akhirnya kembali fokus ke depan. Menghentikan pembicaraan mereka.
'Oh persetan.' Batin Francis tersenyum getir.
Mereka terus mencari. Terus dan terus. Bahkan keduanya juga meminta satu atau dua petugas hotel untuk mencari gitaris KUDOS itu. Dan ini bukanlah kegiatan yang mereka ingin habiskan di jam segini.
Setelah berputar-putar hampir ke seluruh bagian hotel--kecuali memasuki tiap kamar hotel--Francis dan Vivian berakhir melewati ruang studio yang dipakai KUDOS untuk berlatih. Dan di sanalah, Vivian menyadari sesuatu.
"Hei," Vivian terhenti. Menahan Francis juga lalu melirik kepada pria bersurai cream kecokelatan itu. "Apakah kalian sudah mematikan lampu studionya setelah selesai beres-beres?"
Francis mengerutkan kening. "Tentu saja," jawabnya tanpa ragu.
"Lalu, kenapa itu menyala?" Vivian menunjuk bagian bawah pintu ruang studio. Ada celah kecil di sana. Tapi bisa menunjukkan cahaya samar di balik pintu tersebut.
Tanpa pikir panjang, keduanya langsung berbalik menghadap pintu studio. Francis meraih knopnya, dan agak terkejut bahwa itu tidak terkunci. Sebelum akhirnya ia membukanya dengan panik.
Di studio itu, ada seorang pria dengan surai pirang lemon dan mengenakan sweater yang agak kebesaran untuk ukuran tubuhnya. Laki-laki tersebut, tengah meringkuk--tidur--di salah satu sofa yang ada, dengan sebuah gitar menjadi gulingnya. Dan jika diperhatikan dengan seksama, ada air liur yang mengalir dari salah satu sudut bibirnya.
"Oh God. There you're," celetuk Francis menghela napas lega. Orang yang mereka cari, ternyata berada di studio. Meringkuk seperti bocah TK yang tertidur tanpa sadar, karena kelelahan bermain.
Tapi sepertinya, hal itu tidak berlaku untuk Vivian.
Dari balik punggungnya, Francis bisa merasakan aura mencengkam datang mendekat. Membuat bulu kuduknya berdiri seketika. Dan dalam sekejap, ia bisa melihat Vivian berjalan melewatinya. Meraih kerah sweater yang dikenakan Cedric, lalu menarik tubuh pria itu hingga pelukannya terlepas dari gitarnya. Dan—
"WHAT ARE YOU DOING IN HERE, YOU FUCKING ASSHOLE?!" Wanita itu tanpa ragu langsung membanting Cedric ke lantai.
Dan seketika, itu sukses membuat Francis menganga lebar dan kehilangan kata-kata.
Sedangkan sang korban--Cedric--langsung terbangun dari tidurnya sambil menggerang kesakitan.
"What the f—" Cedric yang langsung mendapatkan penuh kesadarannya, siap untuk mengoceh kepada siapapun yang menyakitinya. Namun, saat ia tahu siapa, niatnya langsung hilang. "Oh, is that you. Hello,"
"Matamu yang halo," balas Vivian langsung. Tatapannya tajam menusuk. "Apa yang kau lakukan di sini, brengsek?"
"Apa?" Cedric menautkan alisnya. Sambil sesekali mengusap bagian tubuhnya yang sakit. "Kurasa ... tidur?" Ia menggedikan bahu. Tak yakin akan jawabannya.
"Kalau begitu tidurlah untuk selamanya, kau gitaris berengsek!" Vivian menjawab lantang, sembari menyahut kerah sweater Citrus lagi dan membantingnya ke arah lain hingga kehilangan kesadaran.
Sedangkan Francis yang menyaksikan itu, hanya bisa menepuk keningnya dengan telapak tangan. Dan menggelengkan kepala beberapa kali.
Bencana?
Indeed.
— XXIV —
*Note:
- Dear God by Avenged Sevenfold
- So Far Away by Avenged Sevenfold
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro