Dua puluh delapan : We Love You Infinity
— XXVIII —
Hari ini, serasa kembali seperti ke awal mula. Berkumpul di studio milik KUDOS pribadi. Bersantai dengan masing-masing tempat favorit mereka.
Kali ini, semua anggota KUDOS telah tiba. Terima kasih Tuhan, Cedric tidak membuat acara bernama 'terlambat'. Tapi, manajer mereka belum tiba di sana. Memang ini belum memasuki waktu janjian mereka, hanya saja, terasa aneh jika manajer mereka itu datang terakhir.
Tiba-tiba, saat KUDOS sedang menanti waktu yang dijanjikan, pintu studio terbuka keras. Dan seseorang berlari masuk dengan cepat.
"H-O-N-E-Y-B-E-A-R!"
Semua tampak bingung mendengar suara panggilan itu. Tapi bagi James, itu tak berlaku. Karena tampak jelas bahwa sang bassist itu langsung menegang kala mendengar panggilan tersebut. Yang kemudian, sebuah pelukan penuh semangat datang menghampiri James.
"I miss you!" sebut seorang wanita yang tiba-tiba datang memeluk James dari samping. Tak peduli dengan perbedaan tinggi mereka yang begitu signifikan.
"C-Carol! Hentikan!" pekik James malu. Bukan karena Carol memeluknya di depan KUDOS, melainkan karena cara Carol memanggilnya. Tapi sejujurnya, ia suka saat sahabatnya memanggilnya dengan panggilan semacam itu. Rasanya ia berada dalam posisi spesial.
Sombong.
"Eh? Tapi aku merindukanmu, James," balas Carol melawan. Tetap bersikeras merangkul pada James seperti seekor koala.
"Iya, iya, aku tahu. Tapi kau tak perlu memanggilku 'honeybear' sekeras itu," balas James membela diri.
Carol mendongak, memandang iris ungu yang tertutup lensa kontak berwarna biru itu dan menatapnya cemberut.
"Huh!" Ia membuang muka dan melepaskan diri dari James. "Padahal, kelihatan jelas kau menyukainya,"
"M-m-m-menyukainya? Tidak!" bantah James cepat. Ia bahkan tak sadar bahwa wajahnya sudah memerah.
"Kau memerah," komentar Kyle yang berada di sisi kiri James.
"Itu karena di sini panas!" jawab James cepat dan sebisa mungkin menutupi kebohongannya. Bodoh.
"Panas?" Carol menyahut lagi. Seringai jahil mengembang di bibir berhias lipgloss pink itu. "Tubuhmu tidak sehat ya? Jelas sekali AC-nya sangat dingin. Lihat," Ia menunjuk dua AC putih yang berada di ruangan tersebut. Menunjuk lurus ke angka yang menunjukkan suhu yang dikeluarkan AC tersebut.
"T-tapi bagiku masih panas!" elak James lagi. Walau jelas sekali, ia sudah kalah.
"Ngomong-ngomong, Carol," Riana menyahut tiba-tiba. Dan ia sungguh menyelematkan James dari sesi buly-nya
Mendengar Riana berbicara kepadanya, Carol pun mengalihkan pandangannya dari James. Memandang wanita berambut hitam panjang yang duduk di salah satu sofa dengan sebuah headphone silver di lehernya. Sepertinya ia baru saja mendengarkan lagu lewat itu.
"Ya?"
"Bagaimana kau tahu kami di sini?"
"Bagaimana?" Carol mengangkat sebelah alisnya. Tak percaya akan pertanyaan tersebut. "Sungguh kau menanyakan itu? Jawabannya sudah jelas, Riana! Aku tahu karena—"
"Aku yang memberitahunya," sela Vivian tiba-tiba bergabung dalam kerumunan. Membuat Carol mematung sesaat. "Ia terlalu berisik. Terus-terusan mengirim spam yang berisi 'apakah besok KUDOS akan berkumpul di gedung mereka?'"
"Aku, 'kan merindukan mereka!" elak Carol menoleh langsung ke tempat Vivian berada. "Jadi tidak masalah toh jika aku ingin tahu dimana mereka,"
"Ya memang tidak masalah," jawab Vivian sembari meletakkan tas dan laptopnya. "Tapi caramu itu salah. Mengerti?"
Carol menggembungkan pipinya, membuang muka sambil melipat tangan di depan dada.
"Selamat datang," sapa Viona yang menghadap Vivian langsung.
Vivian agak terkejut dengan sapaan itu. Tapi segera, ia mengangguk. "Terima kasih," jawabnya.
"Tidak biasanya kau terlambat," sambung Carol berkomentar. Pindah duduk di samping Viona sehingga Vivian bisa memandangnya. "Ada apa?"
Vivian mengangkat sebelah alisnya. "Sudah selesai marahnya?" godanya dengan seringai tipis.
Carol membuka mulutnya cepat. Tapi kemudian menutup kembali. Tak tahu ingin memulai apa.
"A ... aku masih marah padamu!" ungkap Carol akhirnya sambil membuang muka. "Aku hanya penasaran saja!"
"Aku tak tahu kau bicara apa," balas Vivian sembari membuka layar laptopnya. "Jika bicara denganku, tolong tatap aku langsung. Lagipula, aku tidak terlambat. Ini masih belum pukul 10 tepat. Perhatikan baik-baik jamnya,"
Carol tak menyahut. Tampak tetap membuang muka dari Vivian.
Viviqn hanya menghela napas sambil menggedikkan bahu. Terserahlah. Toh, itu takkan lama. Ia yakin itu.
"Baiklah," Vivian kembali berucap. Melupakan Carol untuk sementara dan fokus pada tugasnya. "Aku senang kalian tidak terlambat. Terutama kau, Moores,"
Cedric hanya memutar bola matanya dramatis. Seketika teringat saat pagi tadi, dimana Francis seenaknya menerobos masuk ke rumahnya agar ia segera bangun. Itu tidak sopan. Bagaimana jika ia sedang dalam suatu kegiatan yang membutuhkan privasi? Itu akan memalukan jadinya.
"Dan, karena London adalah lokasi tur kalian yang terakhir ...," Vivian melipat kedua tangannya di depan dada. Mempertemukan punggungnya pada sandaran sofa. "Mari bicarakan soal tur di empat negara sebelumnya. Sederhananya, kita evaluasi tentang semuanya. Apa yang ingin kalian bahas lebih dulu?"
Semua diam. Saling melempar pandang satu sama lain. Sedangkan sang penanya itu sendiri--Vivian--terlihat menunggu dengan sabar.
"Tidak ada yang ingin kami bicarakan," ujar Francis akhirnya, "menurut pandanganku pribadi, overall is good. Bahkan saat dihadapkan dengan masalah dadakan, kalian bisa segera menyelesaikannya. Walau dengan cara kabur begitu saja,"
Manik merah itu melirik ke arah James. Menunjuk jelas siapa yang dimaksud.
"Dan aku minta maaf pada kalian, jika permasalah orangtuaku membuat kalian merasa tidak nyaman," potong Carol, "karena mereka menentang keras posisiku sebagai pemusik, hal seperti itulah yang kudapatkan sebagai balasannya,"
"Dan aku juga," sambung Vivian bangkit, berdiri dengan tegap. "Karena kerja sama ini akan segera berakhir, jadi aku akan mengatakannya. Maaf atas semua tindakan, ucapan atau apapun. Aku sadar diriku bukanlah makhluk sempurna, baik secara fisik ataupun jiwa. Karena itu, atas segalanya, maafkan aku."
— XXVIII —
— XXVIII —
Dari backstage, KUDOS dapat mendengar suara penonton yang menggema keras. Terus menyebut nama KUDOS bersamaan seperti orang-orang yang memanjatkan doa di tempat peribadatan.
"Ready, guys?" tanya Francis kepada teman-temannya. Yang langsung dibalas mereka dengan anggukan mantap. "Ini ... adalah panggung terakhir kita. Mari lakukan yang terbaik untuk London!"
Personil lain menjawab dengan semangat membara. Kecuali Kyle, Riana dan Citrus yang hanya mengangkat tangan. Setelahnya, mereka pun mulai naik ke atas panggung. Menempati posisi mereka masing-masing, dan menunggu dalam kegelapan.
Menanti lampu panggung menyala dan menyinari mereka dengan indah.
"Good evening, London!" Francis menyapa dengan lantang, tepat setelah lampu panggung menyala. Dan para penonton, membalas sapaan itu dengan histeris.
Ya, itulah tanggapan yang diharapkan Francis dan lainnya.
"Karena aku tahu kalian sudah terlalu haus akan sosok kami, KUDOS takkan membuat kalian menunggu lebih lama lagi," sambung Francis menyeringai. Membuat penonton wanita yang melihat seringaian itu berteriak lebih histeris. "Nikmatilah persembahan dari kami."
Francis melirik Viona, memberikan sinyal tersirat agar memulai instrumen dari lagu mereka. Dan setelah alunan keyboard mulai terdengar, alunan drum datang menyusul. Diikuti dengan gitar, bass serta vokalis yang mulai menyanyikan lirik mereka.
Para penonton semakin histeris saat suara Francis yang khas mulai terdengar. Mengucapkan serangkaian kata manis dengan suara serak basahnya.
Di sisi lain, Vivian tampak menonton penampilan KUDOS dari ruang monitor. Kali ini, ia memilih untuk tidak melihat aksi panggung mereka dari tempat penonton. Ditemani Carol, wanita bersurai cokelat itu terus memandang salah satu layar monitor yang merekam aksi panggung KUDOS. Terus, hingga ia lupa berkedip.
"Hei,"
Vivian terlonjak ketika Carol menepuk bahunya. Buru-buru, sang manajer itu menoleh. Melotot kepada wanita berambut hitam legam itu.
"Merasa sedih?" tanya Carol tak mempedulikan tatapan itu.
Vivian mengangkat sebelah alisnya. "Sedih? Kenapa?" balasnya balik bertanya.
"Karena harus meninggalkan KUDOS setelah ini,"
Vivian diam sesaat. Iris hijau itu bergerak memandang layar monitor selama beberapa detik. Sebelum akhirnya kembali menatap lurus manik biru cerah milik Carol.
"Well ... kurasa sedikit," jawab Vivian akhirnya sambil menggedikkan bahu.
"Sedikit? Benarkah?" balas Carol sedikit menggoda.
Vivian menyipitkan mata, heran akan balasan itu.
"Ya," jawab Vivian kini dengan anggukan.
"Hm ... baiklah jika kau bilang begitu." Balas Carol menyengir. Dan cengiran itu justru melahirkan rasa penasaran dalam benak Vivian.
Tapi untuk sekarang, ia akan mengabaikannya dan fokus kembali pada KUDOS.
— XXVIII —
Lagu terakhir telah selesai dinyanyikan. Peluh keringat nampak membasahi masing-masing wajah personil KUDOS. Namun, semua rasa penat yang mereka rasakan, terbayarkan dengan melihat penggemarnya yang puas akan konser mereka.
Itu sepadan. Bahkan lebih.
"Para OSIVER," ucap Francis menyapa penggemarnya dengan sebutan fans dari KUDOS. "Kuucapkan terima kasih telah datang ke konser terakhir kami. Sesungguhnya, ini adalah pilihan yang berat bagi kami. Tapi karena suatu alasan, perjalanan KUDOS akan berakhir,"
Sorak-sorak penggemar terdengar keras. Mereka tampak sedih dan kecewa akan pernyataan itu.
"Aku tahu," balas Francis mewakili, "karena kami juga merasa demikian. Rasanya berat harus berpisah dengan para sahabat, bahkan keluarga kami. Tapi sayang, takdir meminta kami untuk berpisah.
Namun demikian, selama perjalanan tur ini, KUDOS telah mengalami banyak hal. Mulai dari yang konyol, sampai yang merepotkan sekalipun. Tapi itulah yang akan terus teringat dalam memori kami, dan selamanya akan terus dikenang.
Tak lupa, kami juga berterima kasih pada kalian, para OSIVER. Tanpa kehadiran kalian dalam hidup KUDOS, kami tak mungkin akan sampai sejauh ini."
Francis menarik napas dalam. Menahannya beberapa detik, lalu menghembuskannya sekali.
"For all OSIVER in the worlds ...," Francis menjeda sejenak. Menoleh ke personilnya sesaat, dan kembali menghadap penonton dengan senyum yang mengembang di bibirnya. "We love you infinity." Sambungnya lalu memberikan sebuah kiss bye terakhirnya kepada para OSIVER.
— XXVIII —
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro