Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Delapan belas : Berhenti Sementara

— XVIII —

"Clovis?"

Carol menyebut nama seseorang kala ia dan yang lainnya telah masuk ke bangunan--rumahnya--sebelumnya. Bagian dalam penthouse itu banyak menyisakan ruang kosong dengan beberapa sentuhan furniture yang diperlukan. Dan dari bagian ruang tamu itu, mereka bisa melihat pemandangan menara Eiffel.

"At your service, My Lady,"

Suara seorang pria berhasil membuat Carol terpaku. Yang kemudian, ia menoleh pelan ke asal suara itu. Dan diikuti oleh KUDOS juga.

Di depan elevator yang sebelumnya dinaiki Carol dan yang lain, berdiri seorang pria dengan surai abu-abu, berpakaian setelan hitam dan dasi panjang berwarna senada. Seragam khas dari seorang pelayan.

Carol membelalak melihat pria itu. Tak bisa menahan perasaan senangnya. "Clovis!" Dan ia langsung berlari menghampiri pria tersebut. Melompat rendah ke dalam pelukannya.

"Lama tidak bertemu ya, My Lady," balas pria yang dipanggil Clovis itu sambil mengusap surai hitam Carol. Wajahnya begitu ramah dan hangat. Bahkan aura serta nada bicaranya, juga terasa demikian. "Bagaimana kabar Anda?"

Carol melonggarkan pelukannya. Mendongak untuk menatap manik honey gold milik Clovis. "Cukup baik." Jawabnya diakhiri dengan senyum lebar.

Clovis balik melemparkan senyum. Mengusap surai Carol sekali lagi dengan penuh kasih. Seperti seorang ayah yang memberikan kasih sayangnya kepada putrinya.

"Eh, tunggu," Francis menatap tak percaya. Dan sedikit memiringkan tubuhnya untuk mendekatkan diri ke siapapun yang ada di sampingnya. "Barusan pria itu memanggil Carol dengan sebutan 'My Lady', 'kan?"

"Kau tidak tuli, Fran," jawab Cedric simpel. "Semua orang tahu pria itu memanggilnya demikian. Bahkan, aku yakin manajer itu juga sadar,"

"Itu artinya, dia adalah pelayan pribadi Carol, 'kan?" sambung Viona berada di sisi Francis yang lain.

"Dia bukan pelayan pribadiku," jawab Carol mendengar pembicaraan mereka. "Clovis juga melayani orangtuaku,"

"Apakah mereka KUDOS yang sering Anda ceritakan, My Lady?" tanya Clovis kemudian.

Carol mengangguk dengan semangat. "Mari kuperkenalkan," Ia meraih tangan Clovis dan menariknya agar lebih mendekat kepada KUDOS.

"Itu Fran, vokalis KUDOS," jelas Carol kemudian, "lalu Viona pemain keyboard, Citrus--nama aslinya Cedric--gitaris, Kyle sang drummer, James bassist, Riana gitaris dua, dan terakhir, Vivi sang manajer,"

"Suatu kehormatan bisa bertemu langsung dengan Anda semua," Clovis sedikit membungkuk. Memberikan sebuah penghormatan tinggi kepada mereka. "Dan terima kasih sudah menjadi teman lady Carol,"

"Uh ... tidak," Francis menggaruk belakang kepalanya. Rona merah tampak menghias tipis pipinya. "Sebenarnya, James yang mempertemukan kami dengan Carol. Jadi, bisa dibilang dialah yang merupakan teman dekat Carol,"

"Hish," Carol mendesis sambil berkecak pinggang. "Kau ini bicara apa sih? Entah itu James ataupun KUDOS, kalian adalah teman dekatku."

Clovis menatap nonanya dengan tatapan hangat. Lega mendengar wanita itu telah mendapatkan teman.

"Ngomong-ngomong," Carol menoleh kepada Clovis. Nada bicaranya rendah seperti terlalu malas mengatakannya. "Apa mereka ada?"

Clovis mengejap sesaat. Sebelum akhirnya sadar siapa yang dimaksud. "Mereka sedang dalam perjalanan bisnis semenjak seminggu yang lalu," jelas Clovis.

"Nice," celetuk Carol senang, "kapan mereka akan kembali?"

"Grand Master tidak menyebutkannya, My Lady,"

"Kuharap tidak dalam minggu ini," Carol memejamkan mata dan menghela napas berat. "Kalau begitu Clovis, tolong antar mereka ke kamar tamu. Pisahkan kamarnya untuk laki-laki dan perempuan ya."

"Baik, My Lady." Jawab Clovis mengangguk.

"Kalian taruhlah barang kalian. Clovis yang akan menunjukkan kamarnya," pinta Carol kemudian.

Mereka mengangguk. Lalu beranjak dari tempat semula, dan melangkah mengikuti Clovis.

"Carol, setelah ini aku ingin bicara beberapa hal padamu." Ujar Vivian sesaat. Yang langsung diberikan acungan jempol oleh Carol.

— XVIII —

"Jadi, apa kali ini kau akan ikut membantu melatih seperti saat di Vegas?" tanya Vivian.

Vivian telah selesai menempatkan barang-barangnya di kamar tamu. Meninggalkan Riana dan Viona yang mengatakan masih ingin beristirahat sejenak. Kini, ia telah kembali berhadapan dengan sang tuan rumah--secara harfiah--untuk membicarakan apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Mereka duduk berseberangan di ruang tamu, ditemani cemilan kering dan kopi panas untuk masing-masing orang.

"Apa akan jadi masalah jika aku tidak melakukannya?" tanya Carol menyesap minuman yang dibuatkan Clovis sebelumnya.

Vivian menggeleng. "Jika kau ingin jawaban jujur, jawabannya adalah tidak. Sama sekali tidak," ungkapnya kemudian.

"Benarkah?" Carol mengangkat sebelah alisnya. Tak yakin dengan jawaban sang manajer.

"Carol, pada kenyataannya posisimu saat ini adalah sebagai relawan," jelas Vivian kemudian, "kau yang mengajukan diri untuk membantu KUDOS. Oh, tapi aku mengecualikan soal tempat tinggal saat ini. Karena jelas aku yang memaksamu. Maaf.

Selain itu, aku tak ingin KUDOS terlibat masalah dengan kedua orangtuamu,"

"Mereka, 'kan sedang pergi jauh. Lagipula, aku juga sudah meminta Clovis untuk merahasiakan kedatanganku. Dad dan Mom tak tahu putri semata wayang mereka yang pemberontak, pulang ke rumah setelah kabur selama kurang lebih sepuluh tahun,"

"Tapi tak ada jaminan mereka tidak di sini hingga KUDOS menyelesaikan turnya di Paris, 'kan?"

Carol diam. Memainkan kopinya dengan menggoyang-goyangkan cangkirnya pelan.

"Untuk kali ini, aku takkan memberikanmu izin," sambung Vivian lagi dengan tegas. "Memang, saat di Vegas aku mengizinkanmu melakukan ini itu dengan syarat tak merugikan KUDOS. Tapi kali ini, aku tak bisa memberikan ruang.

Tolong diam dan menonton saja, Carol."

— XVIII —

— XVIII —

Francis melangkah keluar dari kamar tamu yang ditempatinya. Tidurnya kemarin cukup nyenyak. Terlepas dari apa yang telah ia lewati saat di Vegas, ia benar-benar bersyukur bisa beristirahat penuh kemarin.

Thank goodness.

Saat ia tiba di ruang tengah, ia mendapati Cedric dan Kyle tengah duduk di sofa sambil sibuk mengutak-atik alat musiknya. Citrus dengan gitarnya, dan Kyle dengan tongkat drumnya. Yang entah bagian mana, Francis juga tak tahu.

"Pagi kalian berdua," sapa Francis kemudian duduk di sofa yang berseberangan. Kedua temannya membalas sapaan itu dengan anggukan. "Mana yang lain?"

Keduanya menggedikkan bahu bersamaan.

"Masih tidur mungkin." Jawab Cedric kemudian dengan asal.

Francis hanya merespon dengan deheman panjang yang lemah.

Ia kemudian menjatuhkan punggungnya ke sandaran sofa. Matanya mengedar tanpa sadar. Mencermati setiap bagian ruangan itu bersama perabotannya.

"Aneh," komentar Francis tiba-tiba.

"Apanya?" sahut Cedric tanpa mengalihkan pandangan dari gitarnya.

"Carol itu dulu adalah pianis, 'kan? Tapi kenapa tak ada satupun alat musik di sini. Bahkan, satu penghargaan saja tidak ada,"

"Mungkin disimpan di ruang khusus,"

"Tidak. Kurasa memang tak ada yang seperti itu di sini," sahut Kyle selesai dengan stik drumnya. "Saat kita tiba di sini kemarin, jujur aku tak melihat apa-apa yang berhubungan dengan musik ataupun seni. Yang ada justru hal tentang dunia bisnis,"

"Rasanya agak aneh, 'kan?" lanjut Francis lagi.

"Halo kalian!"

Suara wanita berhasil mengejutkan mereka bertiga. Bersamaan, ketiga laki-laki itu tersentak dan menatap ke wanita dengan surai cokelat ikal itu. Yang ternyata datang bersama Riana juga.

"Pagi," sapa Riana mengangkat tangannya.

"Bagaimana tidur kalian?" tanya Viona dengan penuh semangat.

"Tidak buruk," jawab Cedric.

"Lancar seperti biasa," lanjut Kyle.

"Cukup nyenyak," sambung Francis mengakhiri.

Viona memberikan acungan jempol kepada ketiganya. Dan ketika ia akan berucap sesuatu, Vivian muncul tiba-tiba. Memotong kesempatan Viona.

"Kalian, ayo pergi ke meja makan," ajak Vivian, "pelayan Carol sudah menyiapkan sarapan."

"Akhirnya," sebut Cedric tampak tak sabar. Ia kemudian menyimpan gitarnya, pergi sambil membawa gitar itu bersamanya di dalam tas.

Dan yang lain pun, segera mengikuti Cedric. Tapi Francis tidak. Pria itu justru datang menghampiri Vivian dan menghadapnya lurus.

"Kau masih pakai itu," komentar Francis menunjuk tangan kiri Vivian. Tanpa ia sadari.

Vivian mengerjap sekali, lalu mengangkat tangan kirinya. Menatap sarung tangan hitam yang membungkus tangan prostetiknya.

"Oh," Ia ber-oh singkat sejenak. Sebelum kembali memandang Francis lurus. "Sudah kebiasaan,"

Kini ganti Francis yang ber-oh singkat.

"Kudengar, kau terlibat perdebatan kecil dengan Morgaine," lanjut Vivian lagi mengganti topik.

"Eh?" Francis mengerutkan kening. "Perdebatan apa?"

"Saat di pesawat. Morris yang menceritakannya padaku. Dia bilang kau membentaknya karena sesuatu."

'Ah.' Francis membuka mulutnya tanpa sadar. Dan kemudian, menepuk keningnya pelan.

"Ya benar," akunya pasrah, "aku ... tak bermaksud membentaknya. Saat itu aku hanya sedang ...," Ia menggantung ucapannya. Tangannya bergerak menggaruk bagian belakang rambutnya. "Bad mood,"

"Oh," Vivian ber-oh pendek. "Kalau begitu, jangan sampai mood burukmu mengganggu latihanmu."

Tanpa menunggu balasan Francis, Vivian segera berbalik untuk meninggalkan sang vokalis.

Saat ia tak mendapat respon pertanyaan, Francis justru merasa heran. Dan spontam, ia menahan Vivian untuk pergi.

Vivian agak terkejut ketika tangan seseorang meraih pergelengan kirinya. Namun, saat ia menoleh dan melihat siapa, wanita itu merasa sedikit lega.

"Apa?" tanyanya usai tenang dan melepas genggaman Francis dari pergelangannya.

"Kau ... tak menanyakan apa-apa?"

"Tanya soal apa lagi?"

"Soal ... kenapa moodku buruk."

Vivian memutar bola matanya spontan sambil mendengus. "Tidak terima kasih," ungkapnya kemudian, "aku tak berniat menanyakan apapun soal itu. Karena aku yakin, kau juga akan membentakku,"

"Kau, 'kan tak bisa mendengarnya," balas Francis langsung.

"Ya memang. Tapi aku juga tidak tertarik melihat ekspresi wajahmu saat marah. Sama sekali tidak cocok untukmu." Seulas senyum tergambar di bibir mungil Vivian. Dan senyum itu, terasa hangat di hati Francis

"Ayo pergi," ajaknya kemudian. Berbalik memunggungi Francis untuk segera pergi. "Mereka pasti akan protes tak bisa segera menikmati sarapannya karena menunggu kita."

— XVIII —

Usai mereka sarapan, KUDOS pun segera meluncur menuju studio yang telah dipesan Vivian jauh-jauh hari. Dan sesuai permintaan Vivian, kali ini Carol memilih untuk tidak ikut. Ia tetap berada di penthouse-nya bersama pelayan setianya. Dengan perasaan cemas karena takut akan kepulangan kedua orangtuanya secara tiba-tiba.

Vivian benar-benar mengambil kendali penuh kali ini. Tanpa segan mengatur ini itu agar dapat berjalan sebagai mana mestinya.

Saat mereka tengah memainkan bait kedua lagu Blank Canvas, semua personil --kecuali James--merasakan sesuatu yang aneh. Dan mereka melirik ke arah sang bassist.

"Berhenti," pinta Vivian dari ruang yang ada di seberang KUDOS. Ia segera pergi dari ruang yang dibatasi oleh kaca itu, masuk ke studio untuk menemui KUDOS.

"Morgaine, kau salah di bagian we are people who will be artist in this universe," komentar Vivian kemudian.

"Ah, kupikir hanya aku saja yang merasa demikian," sambung Viona secara tak langsung menyetujui.

"Kalian menyadarinya?" tanya Vivian kepada KUDOS. Dan mereka serempak menjawab 'ya' dengan cara yang berbeda-beda.

"Uh, maaf. Bagian mana tepatnya kesalahku?" tanya James kemudian.

"Kenapa kau pakai kunci C?" jawab Cedric langsung, "seharusnya, kau pakai B untuk menghindari nada sumbangnya,"

"Oh astaga. Aku tak sadar melakukan itu, " balas James tak enak, "maaf, bisa kita ulangi?"

Francis menatap personil KUDOS yang lain, dan kemudian menggedikkan bahu.

"Tidak masalah," jawab Francis mewakili. "Kalau begitu, One two three go!"

Melodi kembali dilantunkan. Menyantu menjadi satu kesatuan dalam bentuk instrumen yang epik.

Semua berjalan mulus pada awalnya. Tapi sialnya, kemulusan itu harus terhenti di tengah jalan.

Lagi-lagi, James melakukan kekeliruan. Namun kini, pada bagian yang lebih awal. Tapi tetap saja itu hal yang tak bagus, 'kan?

Lagi. Lagi. Dan lagi. Sebenarnya, apa yang terjadi dengan sang bassist itu.

"James! Ada apa pula dengan otakmu!?" seru Francis tak bisa menahan kesabarannya lebih lama lagi.

Sumbu amarah telah dibakar, bersiaplah dengan penutup telingamu. Karena sang vokalis itu siap untuk melontarkan kata pedas tanpa memikirkan perasaan lawan bicaranya.

"Maaf, apa?" balas James mengerutkan kening.

"Sadarkah kau bahwa kita sudah mengulangi lagu yang sama berkali-kali?" balas Francis masih dengan nada yang sama. "Berhenti merepotkan satu sama lain! Kau pikir kami tidak lelah? Yang benar saja!"

"Hei, aku juga sudah berusaha," balas James tetap tenang. Jangan terusik, tetap tenang.

"Berusaha darimananya, huh?! Jika kau berusaha, kita tak perlu mengulang lagu ini hingga tujuh kali! Pakai otakmu!"

James mengepalkan tangannya. Hatinya terasa diremas-remas ketika mendengar semua itu.

"Kau ... kau tidak tahu bagaimana sulitnya memainkan benda ini, Fran!" ujar James sambil menunjuk bass-nya. Nada bicaranya kini juga sudah ikut meninggi. "Kau yang hanya menyanyi dadidu, tak mungkin tahu sulitnya!"

"Begitukah menurutmu, sialan?" balas Francis langsung, tak berniat mengalah. "Kalau begitu bagaimana jika kau tak mencobanya? Agar mulut tak tahu dirimu itu, bisa diatur!"

Perdebatan itu terus berlanjut. Mereka saling melempar komentar pahit tanpa henti. Membuat personil KUDOS dan Vivian harus turun tangan untuk menahan mereka.

"Kalian berhenti," henti Vivian berdiri di antara Francis dan James. Masing-masing tangannya menempel di wajah mereka. "Ada apa pula dengan kalian? Jadwal kalian datang bulan, begitu? Sehingga mudah sekali—"

"Dia yang memulai duluan!" potong James melepaskan diri dari tangan Vivian. "Dia seenaknya mengejekku tidak berusaha dalam latihan ini,"

"Aku tak mengejek! Aku bicara jujur!" jawab Francis menurunkan tangan Vivian darinya.

Dan debat itu kembali pecah.

Vivian bersyukur tidak harus mendengar ocehan mereka yang entah akan selesai kapan. Sedangkan personil KUDOS selain Francis dan James, tampak mulai lelah mendengar ejekan mereka. Tapi, saat Vivian melihat ekspresi mereka dengan jelas dan dalam jarak yang dekat pula, itu justru memicu kekesalan di benaknya.

Vivian mengeratkan giginya. Dan dalam gerakan cepat, ia menyambar bagian belakang kepala Francis dan James. Lalu tanpa ragu, saling membenturkan kepala mereka. Keduanya mengerang kesakitan, berjongkok sambil mengusap kepalanya yang sakit.

"Vivi! Apa yang—"

"Jika kalian terus membuat keributan, tidak mustahil kita akan diusir dari studio ini," potong Vivian menatap keduanya merendahkan.

"Lihat? Karena kau, kita berada dalam masalah," komentar Francis seenaknya.

"Seharusnya itu jadi kalimatku, Fran," balas James masih tak kalah keras.

"STOP IT, YOU ASSHOLE!" sela Vivian lantang. Ia tak bisa menahannya lagi. "Sekarang, keluar dari studio ini dan dinginkan kepala kalian. Latihan hari ini kita akhiri sampai di sini saja."

"Kenapa berhenti!? Aku belum selesai dengan—"

Vivian melemparkan tatapan tajam kepada Francis. Yang langsung membuat vokalis itu langsung menutup mulut.

Ini latihan terburuk.

— XVIII —

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro