Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sayla [33]

Saat ini tiga orang sedang mengelilingi sebuah meja di salah satu tempat makan yang berada di Karra Mart. Ada Mentari, Mondy, dan Sayla yang diliputi keheningan. Meski di sekitar mereka sedang riuh oleh pengunjung yang hilir-mudik, datang pergi, serta bercerita apa saja di bangku masing-masing. Ketiga orang itu seakan sedang menyusun kalimat yang akan mereka ucapkan.

Bagi Sayla sendiri, ia butuh waktu untuk menguasai diri. Terlebih Putra tidak ikut bersama Sayla. Sang satpam memilih untuk melaksanakan tugasnya, tanggung jawabnya terhadap pekerjaan. Sebelum pergi, Putra berpamitan kepada Sayla kemudian meninggalkan istrinya itu bersama ayah anaknya ... dan Mentari. Walaupun menyaksikan tiada tegur sapa dari Putra kepada gadis itu, tetap saja perasaan Sayla diliputi kecemasan. Apa maksud pernyataan gadis itu kepada Putra?

"Apa yang telah kamu lakukan kepadanya, Putra?" Pertanyaan itu tertahan dalam kepala Sayla. Bahkan sampai detik ini, ketika diingatkan kembali, batin Sayla jauh dari kata tenang. Dan ya, keterkejutan Sayla ketika tiba di mal ini bukan tentang Mondy, melainkan gadis yang menggandeng lengan Mondy. Mentari.

"Bagaimana keadaan kamu, Say?"

Keheningan itu dipecahkan oleh suara bariton Mondy. Suaranya lembut dan sopan terdengar di telinga Sayla.

"Baik-baik saja. Bagaimana denganmu, Mondy?"

Sayla sedikit lama mendapatkan jawaban sebab sepasang mata Mondy tengah asyik memperhatikan Sayla. Tiada menyadari kalau di sebelahnya, gadis kecil yang biasanya berisik, mendadak menjadi pendiam, memperhatikan Mondy dengan saksama.

"Sama." Mondy membalas dengan suara lirih. "Sepertinya, ada yang sedang kamu pikirkan, Say?" Pertanyaan itu keluar begitu saja sejak mengamati wajah Sayla.

Lalu pandangan Sayla beralih kepada gadis mungil yang mengenakan penutup kepala berwarna cokelat tua itu.

"Kamu tidak ingin mengenalkan perempuan cantik ini sama aku, Mondy?" Sayla berusaha tersenyum. Tangannya lebih dulu terulur di depan Mentari."Aku Sayla. Istrinya Putra."

Mondy menatap Sayla dengan alis mengerut.

"Saya Mentari. Calon istrinya Bang Emon."

Kali ini kedua alis Sayla-lah yang tampak mengerut. Sayla mengonfirmasi melalui Mondy.

Pria itu menggeleng. "Dia hanya bercanda. Tidak mau kalah karena kamu bawa-bawa nama suami."

"Memangnya aku mengajak lomba? Aku hanya menjelaskan agar tidak ada yang salah paham." Sayla mengangkat bahu.

Sayla merasa sudah saatnya dia menjadi petarung. Dia capek menangisi nasib dan mencemaskan Putra akan berpaling kepada gadis baik-baik. Sayla Lovaiza tidak mau kehilangan Putra yang jelas-jelas secara hukum dan agama sudah sah sebagai miliknya.

"Saya tahu. Saya ... saya minta maaf kalau sebelumnya sudah membuat Kak Sayla tidak nyaman."

Mondy memperhatikan gesture Mentari yang duduk dengan pandangan menunduk di sebelahnya. Suara Mentari terdengar mencicit seperti ketakutan.

"Saya salah karena sempat memiliki niat yang jahat. Untuk itu, saya minta maaf sekali lagi. Saya janji, saya tidak akan mengganggu Kak Putra!"

Sayla mengangguk. "Sesama perempuan, saya rasa kamu paham bahwa sebagai istri, tentu saya tidak suka melihat kamu mengejar-ngejar suami saya. Jangan datang ke rumah kami, walaupun dengan Mondy."

"Say?" Mondy bertanya heran.

"Aku juga menjaga perasaan suamiku," ungkap Sayla enteng.

"Kakak gak perlu khawatir. Saya pasti gak akan menemui Kak Putra. Kak Putra galak. Dan saya juga sudah ada Abang Emon." Mentari melingkarkan tangannya di lengan Mondy.

Namun, masih ada yang menggelitik rasa ingin tahu Sayla. Dia tidak akan mendapatkan jawaban kalau tidak bertanya. Dengan menyiapkan benteng pertahanan terhadap kekecewaan setelah mendengarkan pernyataan Mentari, Sayla berani menanyakannya secara langsung.

"Apa yang sudah Putra lakukan sama kamu? Dia berbuat buruk?" tanya Sayla dengan menjaga ekspresi tetap tegar agar terlihat superior di hadapan gadis muda itu.

Mentari mengerjab-ngerjab tidak paham.

Sayla meneruskan, "Yang kamu bilang akan melaporkannya kepada ayahmu."

Sayla yakin kalau Putra adalah orang yang setia. Namun, di saat keadaannya kacau, bisa saja Putra mencari pelampiasan bukan? Bahkan orang bisa khilaf dalam sedetik. Walaupun tidak ada gunanya juga mengetahui apa yang dilakukan Putra, tetapi rasa ingin tahu Sayla sangat menggebu. Sayla ingin tidur tenang dan jika bertemu Mentari lagi, Sayla tidak mau ada prasangka seperti ini.

"Wah! Saya jadi kesal nih kalau mengingat kejadian itu!" jawab Mentari dengan suara naik beberapa oktaf.

"Saya masa ditinggalkan di pinggir jalan! Saya gak tahu Jakarta, baru pertama kali menginjak ibu kota negara ini. Tega-teganya tuh orang mencampakkan saya di jalan, sendirian lagi."

Mondy menyela, "Oh? Putra membuangmu kepadaku." Mondy juga ikut kesal mengingat pertemuan pertama dengan Mentari ternyata karena ulah Putra.

"Putra melakukannya?" Sayla tidak menyangka kalau Putra berani berbuat seperti itu kepada perempuan.

"Saya pikir Kak Putra Pelindung yang lucu adalah orang yang lemah-lembut kepada wanita, seperti waktu kita ketemu di Aceh itu. Makanya saya berani ikut ke sini. Tahunya, punya tanduk."

"Putra?" Sekali lagi Sayla dibuat heran oleh pernyataan Mentari. "Ya, kadang-kadang."

Sayla teringat kejadian beberapa hari yang lalu. Sosok Putra yang marah terlihat menakutkan, tapi bukan menakutkan dalam arti akan menyakiti secara fisik dan verbal. Yang membuat Sayla sangat takut adalah Putra meninggalkan Sayla.

"Saya ngefans banget sama Kak Putra Pelindung. Awalnya, saya pikir itu perasaan yang dalam. Bahkan nekat meninggalkan Aceh ke sini, menyusul Kak Putra. Sekarang tidak lagi ada pikiran seperti itu. Saya murni hanya fans saja. Mohon jangan tersinggung, Kak Sayla. Saya lebih suka kepada Abang Emon kok."

"Tidak perlu mengaitkan cerita itu denganku!" Mondy mengibaskan lengan Mentari. Namun, Mondy terpaksa menuruti sandiwara gadis itu ketika merasakan cubitan di pinggangnya. Mengingat hal itu dilakukan demi Sayla, Mondy mengikuti alur yang diciptakan Mentari.

"Saya juga minta maaf," ungkap Sayla. "Dan maafkan Putra juga sudah melakukan hal itu kepada kamu."

Mentari tersenyum. Mondy meremas telapak tangan gadis itu yang sedang menjalankan sandiwara dengan sangat baik. Mondy dapat merasakan apa yang Mentari rasakan. Berusaha menyelamatkan perasaan orang lain di saat perasaannya sendiri tidak keruan.

"Saya juga minta maaf kepada Kak Putra melalui Kak Sayla. Hm, kami ingin meneruskan belanja. Boleh kami jalan duluan?"

Sayla tersenyum. "Boleh. Terima kasih atas traktiran minumannya," ucap Sayla kepada Mondy.

***

"Put."

Sayla menyentuh bahu Putra yang sedang memperhatikan keramaian pusat perbelanjaan.

"Dek Say. Baru datang?"

"Hm." Sayla berbisik di sebelah Putra.

"Tahu Kakak di sini?"

Sayla mengangguk. "Aku puterin mal ini."

Putra mengerucutkan bibir. "Gak capek? Kenapa gak telepon Kakak saja?"

"Ih, seru tau. Put aku lapar."

Sayla senang mengatakan kalimat itu dengan suaranya yang manja. Tangan Sayla ingin sekali melingkari lengan Putra. Tapi dia menjaga nama baik mereka berdua di saat Putra sedang bekerja.

"Lapar, ya? Tadi tidak makan?"

Sayla menggeleng. "Put."

Putra mencubit pipi Sayla. "Adek mau makan apa?" Putra menelusupkan jemarinya di antara jari-jari lentik milik Sayla sambil menarik wanitanya berjalan.

"Put."

"Apa lagi, Sayang?"

Sayla tertawa kecil. "Gak ada apa-apa."

"Dek Say gemesin banget sih. Udah bikin Kakak penasaran, senyum sendiri. Tadi ngomong apa aja sama papinya Princess?"

Tangan keduanya yang terayun itu berhenti. Putra meliarkan tatapan ke sekeliling, memilih hendak makan di mana. "Adek mau makan apa, Sayang?"

"Kamu maunya apa?" tanya Sayla.

"Makan kamu aja! Kakak terserah kamu, Sayang."

"Ya udah ya udah, kita ke sana. Ada nasi bakar bebek." Mereka pergi ke konter pemesanan.

Waktu tiba di sebuah kursi kayu yang berhadapan, Sayla menarik tangan Putra ke tempat lain dengan sofa panjang hitam yang saling berhadapan. Dia mendorong Putra duduk di ujung kiri dan Sayla duduk di sebelah Putra.

"Dek Say gak malu jalan dengan satpam mal ini?" Putra menunjuk seragamnya.

Sayla menarik tangan Putra yang menggenggamnya sejak berjalan ke depan wajahnya sendiri. Sayla Lovaiza tanpa ragu mengecup punggung tangan suami, ulat bayamnya, itu.

"Sejak tadi aku ingin memeluk kamu seperti ini," aku Sayla lantas melingkarkan kedua tangannya di pinggang Putra.

"Dek," panggil Putra melihat sekitar. "Tempat umum."

"Kamu gak suka?"

"Yaelah, Dek! Pake nanya gitu. Tersinggung nih Kakak."

Sayla tertawa.

Tidak lama makanan mereka tiba. "Jangan lupa berdoa, Pak Suami." Sayla pun makan dengan rapi, tanpa melihat Putra lagi.

"Jadi, Adek ingin cerita gak nih sama Kak Putra tentang yang tadi?" tanya Putra setelah Sayla selesai dengan makanannya.

"Mau. Aku pasti cerita semua."

Sayla menyandarkan kepala ke bahu Putra. Sejak kejadian tadi malam dan berulang pagi tadi, Sayla merasakan keinginan untuk selalu menempel dengan suaminya. Entah dorongan dari mana, Sayla tidak menghiraukan alasannya. Tidak ada salahnya dia memeluk suaminya sendiri bukan? Mungkin Putra pun heran, seperti diri Sayla sendiri.

"Lebih banyak mengobrol dengan Mentari. Mondy cuma menanggapi sedikit saja."

Putra berkomentar, "Oh, ya?"

"Aku memastikan Mentari tidak mengambil kamu dari aku. Dia lalu mengakui kalau sekarang menyukai Mondy. Aku jadi tenang."

"Begitu, ya? Adek gak perlu takut sih kalau soal itu. Gampang, Kak Putra punya cara sendiri mengusir parasit di hubungan kita."

Sayla pun mencubit tangan Putra karena sangat percaya dengan perkataan sang Pelindung, bahkan merasa kasihan kepada para gadis. Ketakutan Sayla yang diakibatkan oleh rasa tidak percaya diri kini lenyap tanpa sisa.

"Put."

"Ya?" Putra mengusap puncak kepala Putra.

"Kamu bisa cuti waktu libur sekolah? Ajak aku liburan."

Putra tidak sempat menanggapi karena kata-kata Sayla datang secara beruntun dan mengejutkan sekuriti itu.

"Ajak aku bulan madu yang seru."

***

"Om Ulat Bayam!" teriak Syahda sewaktu Putra dan Sayla hendak meninggalkan ruangan keluarga kediaman Hadi Baskara.

Ergi buru-buru menarik tangan putrinya yang hendak mengekori kepergian om dan tantenya itu. Tadinya di ruangan itu ada nenek-kakek serta bunda dan adik Syahda. Karena sudah larut, mereka semua masuk kamar. Termasuk pasangan Sayla dan Putra juga. Mereka semua memenuhi undangan sang tuan rumah untuk makan malam bersama-sama.

"Kata Bunda Ayla, bikin adeknya yang kembar!" Lalu Ergi mengangkat Syahda ke kamarnya dengan Ayla.

Sayla tertawa. "Om Ulat Bayam."

Sayla selalu tertawa oleh kelakuan putrinya yang benar-benar meniru sang bunda. Celotehan Syahda selama mereka bersama tadi juga sangat menghiburnya. Dan kali ini, tidak ada perasaan sedih ketika berkali-kali Syahda, putri kandungnya, memanggil Sayla dengan sebutan tante. Panggilan itu cocok disandingkan dengan Putra yang dipanggil om.

"Lucu banget, Dek." Putra mengerucutkan bibir. "Bukannya diajarin tuh ponakannya memanggil om ganteng dengan benar."

Sayla tidak menanggapi. Dia menarik tangan Putra ke kamarnya. "Ada yang ingin aku perlihatkan!"

Setiba di kamar, Putra diminta duduk di lantai di ujung tempat tidur. Sayla menggeledah laci meja rias. Lalu dia datang kepada Putra membawa setumpuk album.

"Kamu mau melihat momen ketika aku mengandung Syahda?" tanya Sayla pelan.

Suara Sayla kali ini kembali kepada mode Sayla zaman dahulu, dengan aksen pelan yang selalu membuat Ayla kesal mendengarnya.

"Tentu saja. Mana album yang lebih dulu aku buka?" tanya Putra antusias. Putra Pelindung merasa harus melihatnya secara berurutan. 

Sayla menyerahkan album foto yang kecil. Putra membuka halaman pertama. Di sana terlihat sosok Sayla dengan tatapan kosong. Sayla tidak mengenakan hijab jadi Putra dapat melihat betapa kurusnya Sayla. Putra Buana mengusap wajah istrinya di foto. Lalu foto selanjutnya, kondisi Sayla masih sama. Bawah mata Sayla terlihat bengkak. Hidungnya memerah.

"Pasti sangat berat ya, Sayang?" ucap Putra dengan tangan terus membalik album kecil itu.

Sayla tidak ingin menanggapi Putra. Album kecil itu menyimpan seluruh masa berkabung Sayla. Pada album kedua, Putra sudah bisa tersenyum melihat keadaan Sayla jauh berubah. Meskipun melihat foto-foto selanjutnya yang merekam Sayla bersama Mondy membuat buku-buku jemari Putra menegang.

Sayla berbisik, "Dia ada di masa lalu aku. Maaf, ya?" ucap Sayla mengusap bahu Putra.

Putra menggeleng karena menyadari dirinya terlalu berlebihan. Selanjutnya, Putra tidak menghiraukan keberadaan Mondy meski sesekali muncul lagi dalam foto Sayla. Perhatian Putra telah tersedot kepada paras cantik Sayla yang sangat memukau ketika berperut besar. Putra seolah dibuat jatuh cinta yang lebih jatuh dari sebelumnya.

"Cantik sekali." Bibir Putra mengucapkan isi kepalanya dengan gamblang.

Putra menutup album karena merasa bahwa album berikutnya hanya akan menyakiti Sayla. Album yang pastinya menyimpan kenangan ketika Sayla melahirkan Syahda kemudian harus dipisahkan dari putrinya sendiri. Sang Pelindung mengecup kening istrinya yang hangat.

"Terima kasih kamu sudah kuat." Putra sekali lagi melabuhkan bibirnya ke kening Sayla dan kali ini lebih lama.

Sayla memeluk suaminya. "Kamu mau punya anak dari aku?"

Putra lantas merenggangkan pelukan mereka. Kedua tangannya meremas tangan Sayla.

"Kamu mau mengandung anak aku?"

Sayla tertawa. Ibu kandung Syahda itu pun mengangguk. "Aku ingin memiliki anak dari pria yang aku cintai. Aku ingin hamil lagi dan kali ini harus diurus oleh laki-laki yang menyayangi aku. Dan aku mau melahirkan ditemani suamiku."

"Dek Say! Kakak tidak bisa berkata-kata." Putra sangat terpukau. Sejak kapan Sayla Lovaiza putri Hadi Baskara pintar membuat Putra tersanjung oleh kata-kata?

"Kalau begitu, dengan tindakan?" Kemudian Sayla tersenyum.

Putra dengan perlahan mengusap puncak kepala Sayla lalu mencabut jarum di dagu Sayla. Hijab Sayla dilemparkannya ke sembarang arah.

"Begitu, Sayang?" tanya Putra dengan berusaha menahan senyuman atas perasaan yang menggebu.

"Kita cicil di sini saja. Tiket liburannya untuk ibadah lain," kata Putra menarik Sayla ke tempat tidur.

Begitu baiknya sang mertua kepada Putra dan rasa cintanya kepada sang putri. Ketika Putra mengatakan dirinya ingin mengajak Sayla berbulan madu, mertuanya itu mengundang Putra dan Sayla untuk makan malam merayakan kebersamaan Putra dan Sayla. Melalui Ayla, Tuan Hadi menyerahkan sebuah hadiah berupa sebuah amplop yang isinya adalah tiket untuk berangkat umrah.

"Put!" panggil Sayla di tengah ibadah malam mereka, "Aku udah jatuh cinta kepada suamiku."

***

SELESAI.

Sumsel, 20 Februari 2023

Extra Part di Karyakarsa dengan judul Sayla.

Terima kasih sudah menemani perjalanan sang Pelindung bersama  Tuan Putri.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro