Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sayla [32]

"Aku sayang kamu."

Kalimat tersebut mengalir indah dari bibir Sayla setelah mereka menyelesaikan sambung raga. Putra bukan hanya mendapatkan malam pertamanya, dia pun mendengar kalimat yang ditunggu-tunggu. Melihat betapa Sayla terbuai ketika mereka melakukannya dan cara Sayla menatap, Putra percaya. Meskipun hanya bohong, Putra tetap akan memercayai Sayla.

Sayla bercerita akan keresahannya setelah mereka membersihkan diri dan bersiap untuk tidur. Malam itu seperti mimpi Putra Buana selama ini. Mereka berbincang perkara hal apa saja, mulai topik yang tak penting hingga bicara hati ke hati. Malam itu pula Putra tahu di mana Sayla meletakkan cincin pernikahan. Hanya Putra yang tahu, sehingga dia takkan protes lagi terhadap perhiasan perak putih di jemari manis Sayla. Cincin milik Putra disimpan Sayla tepat di dekat jantungnya berdetak.

"Aku belum siap untuk menikah dan tidak pernah siap. Ada masa lalu yang seharusnya aku sembunyikan. Aku tidak ingin orang lain tahu, cukup mereka yang terlibat di hidupku dulu yang mengetahui siapa aku."

"Aku sangat takut jika orang yang menikah denganku akan menyesal. Dia akan mencelaku habis-habisan. Menambah luka yang belum sembuh."

"Aku takut waktu kamu tahu siapa aku. Semua bayanganku tentang hal-hal buruk membayangi pikiran ini. Aku ingin memegang tangan kamu, tapi aku tidak dapat menahan betapa aku malu sama kamu."

"Menikah sama kamu adalah perubahan besar dalam hidupku. Aku menikah saat aku sama sekali tidak siap dan belum punya gambaran. Aku menikah dengan dibayangi rasa takut. Saat itu, aku merasa tidak ada yang mengerti apa yang aku mau. Bahkan aku sendiri tidak tahu. Seandainya, aku bisa menjelaskan kepada semua orang apa yang aku takutkan, mungkin aku bisa menolak."

"Andai kamu datang saat aku siap. Aku tidak akan melukai kamu terus-menerus. Aku bersalah sama kamu, Putra."

Kelopak mata Sayla bergerak-gerak. Putra segera menutup mata sebab ingin mengetahui apa yang dilakukan istrinya di pagi pertama mereka sebagai suami istri sebenarnya. Pertama, Putra merasakan Sayla menjauh perlahan-lahan. Dengan sangat pelan Sayla merangkak ke ujung tempat tidur lalu duduk. Saat itulah Putra mengintip di balik punggung Sayla. Putrinya Pak Hadi itu terdiam tanpa menoleh ke belakang. Tangannya diletakkan di dada. Putra menebak Sayla sedang meraba seberapa kencang debarannya. Lalu kedua tangannya menutupi wajah dan menyisir rambut dengan jari. Sayla berdiri untuk meneliti pakaiannya sendiri. Terakhir wanita itu berjalan amat pelan seakan jika bisa tidak menyentuh lantai, Sayla pasti memilih melayang. Sayla menutup pintu tanpa menimbulkan suara klik. Benar-benar pro dalam hal melarikan diri setiap ada adegan skinship. Putra mengangguk mulai paham akan sifat istrinya. Saat itu setelah ciuman yang mereka sadari—bukan kali pertama ketika mereka terbawa mimpi, Sayla pun langsung menjaga jarak. Begitu juga ketika pulang dari dokter, Sayla langsung menjauh. Mengingat semua itu, Putra merasa gemas dengan sikap istrinya.

"Pagi yang cerah, ya," tegur Putra ketika menemui Sayla yang sedang berkutat di dapur.

Tiada jawaban dari Sayla yang membelakangi Putra dan menghadap kompor.

"Oh, tidak! Bukan cerah. Mau hujan," ralatnya setelah mengintip ke jendela di dapur. "Yang pertama hanya basa-basi negur Adek Manis."

Putra berdiri di sebelah Sayla lalu sedikit menunduk dan menyerong agar bisa melihat raut istrinya. Tahu-tahu pipinya didorong hingga berputar 180 derajat. Tak kalah mengenaskan, pipi bulat sang Pelindung ditempeli serbuk kelapa. Tak ia sangka meski sedang memeras santan, Sayla tega menyentuh wajah Putra. Mungkin mereka akan makan gulai ayam rasa pipi.

Putra telah selesai membersihkan pipinya ketika bertanya, "Ada yang bisa Kakak bantu?" Mungkin memasak berdua akan terasa romantis, pikirnya.

Krik krik. Oke, Putra akhirnya nekat. Dia mengambil bumbu dari cangkir penggiling kemudian menuangnya ke panci. Alat masak tersebut Putra taruh di atas tungku. Dia berinisiatif mengambil daun-daun yang terserak di meja. Putra ingat bahwa dia menemukan daun tersebut dalam masakan yang Sayla sajikan sebelumnya. Dengan terampil juga Putra membasuh dan memotong kemudian memasukkannya ke dalam panci bersama bumbu tadi. Tanpa dia sadari, Sayla melirik kegiatan itu sejak awal. Tak ada komentar dari wanitanya.

"Kuahnya udah?" sentak Putra mengakibatkan Sayla segera berpaling.

"Mau meremasnya berdua?" tanya Putra dalam jarak yang sangat dekat dengan wajah Sayla. Ketika wanita itu kembali ingin menghadapkan mukanya kepada sang Pelindung, pipi tersebut sukses menempel di bibir suaminya.

"Terima kasih, Sayang!" Putra juga menambah ciuman di bibir sang istri. Seringan kapas walau efeknya jauh lebih dahsyat bagi Sayla. Kedua mata Tuan Putri Sayla Lovaiza membola mendapatkan kejutan tak terduga.

"Putra!" Suara si istri menggema di rumah tersebut.

Putra tersenyum saja melihat semu di wajah Sayla. Ia justru lebih berani menggoda.

"Mau lagi, dong," ucapnya disertai mencolek pipi mulus Sayla.

Kini Sayla bukan hanya malu, Putra dapat merasakan kemarahan menguar dari mata istrinya. Tidak, Putra takkan mundur. Ia harus memadamkan amarah tersebut. Putra menyingkirkan pekerjaan Sayla—mangkok berisi kelapa peras—ke sisi yang lebih jauh dari wanita itu. Dengan kekuatan ototnya, sang Pelindung mengangkat tubuh Sayla dan mendudukkan wanita itu ke kitchen set yang telah kosong dari benda.

"Kamu ngapain, Putra?" bentak Sayla hendak turun. Jelas takkan dibiarkan oleh Putra.

Putra menangkup pipi Sayla dengan kedua telapak tangannya supaya kepala si wanita tetap menghadapnya. Dia menunggu perubahan ekspresi Sayla. Jangan berharap Putra akan melakukan adegan mesum kepada istri di dapur. Satpam itu hanya menatap Sayla lama.

Sayla terpana sebab tak bisa menghindar ke mana-mana. Seluruh adegan semalam menerjang isi kepala. Jantungnya berdegup seperti kencan dengan cinta pertama. Ah, ia kembali menjadi remaja SMA saat jatuh cinta kepada pacarnya, dan kini pria di hadapan adalah suaminya. Rasanya mendebarkan seperti dulu. Matanya menurun ke bibir Putra dan itu adalah pilihan yang salah. Otaknya semakin kusut mengingat detik demi detik yang dilalui sebagai malam pertama mereka. Kemarahan yang dirasakan sirna begitu pula yang dilihat Putra melalui mata Sayla. Detik itu juga Sayla merasakan sentuhan bibir Putra di keningnya.

Putra melepaskan tangannya hendak mendekat lagi dan Sayla menahan Putra dengan menempelkan tangan bekas kelapa ke bibir Putra. Kembali wajah Putra Buana bertaburkan kelapa parut.

"Jangan macam-macam."

Alis Putra naik. "Emang macam-macam yang seperti apa?" tantangnya. Niatnya hanya mengerjai dan tanggapan Sayla berlebihan sekali.

"Kamu kotor dan aku gak jadi memasak. Kamu tanya bisa bantu apa tadi? Pergi dari sini itu sungguh membantu."

"Enggak, ah, Kakak suka di sini sama kamu."

"Dan bisa nggak, kamu jangan nyebut kakak? Put, aku nggak suka."

"Aku suka, Dek Sayla. Tapi ... akan dipertimbangkan kalau kita pilih panggilan lebih unik untuk kamu sama aku. Hm ... misalnya, Kak Putra ayah dan Dek Sayla bunda." Putra menggeleng. "Enggak bisa, itu udah dipake Bang Ergi dan Ayla. Kita ... mimi papi? Eh, papi udah ada yang pake." Ekspresi Putra berubah.

Sayla menyadarinya. "Putra aja, gak ada kakak. Kakak aku itu Ayla."

"Oke." Putra berkata pendek. Dia mengembalikan wadah yang dia jauhkan sebelumnya dan meletakkan ke pangkuan Sayla. "Aku nggak ganggu kamu lagi."

Putra akan pergi. Ia telah berbalik badan dan berjalan selangkah saat suara terdengar.

"Put."

Kini Putralah yang berdebar mendengar nada manja. Secara slow motion Putra kembali menghadap Sayla.

"Turun," pintanya. Ternyata pangkuan Sayla telah kosong dan kedua tangan wanita itu terulur ke arah Putra.

"Putra," pintanya dengan menekankan suara.

Putra memeluk Sayla dalam diam ketika menggendongnya, melakukan permintaan si Tuan Putri. Namun, ketika kaki Sayla telah menginjak lantai, pelukan itu belum dilepaskan.

"Marah, ya?" tanya Sayla. Dia membalas pelukan Putra tak kalah erat. "Maaf. Jangan ngambek sama aku. Aku takut nggak bisa membujuk kamu. Kalau kamu beneran pergi lagi bagaimana? Maafkan aku."

Putra tersenyum di balik punggung Sayla. Setakut itukah Sayla? Sang Pelindung jadi merasa dibutuhkan oleh kekasih hati. Lagian, Putra mau ke mana? Ngambek? Ayolah, Putra bukan perempuan. Dia menuruti Sayla, kok, waktu diminta menghilangkan panggilan 'kakak'. Asal Sayla senang apa pun akan dia lakukan.

"Aku aneh, iya. Semua seperti bom yang mengejutkan. Berdekatan seperti ini bahkan lebih," katanya tak sanggup mengatakan hal-hal yang berenang di kepalanya. "Aku janji akan berubah." Semalu apa pun, Sayla takkan mendiamkan Putra seperti pagi ini.

"Aku minta tolong, kamunya duduk di sana. Kalau di sini, aku gak bisa konsen," memasak, lanjutnya dalam hati.

"Kamu menyesal sama—"

"Enggak! Aku suka. Hah? Menyesal apanya?"

Putra tertawa. Dia memaksa untuk melepaskan diri dari rangkulan Sayla. "Oke oke. Kamu suka. Lanjutin masaknya. Aku udah lapar."

"Berhenti ketawa, Putra!" teriak Sayla saat punggung Putra menghilang di balik pintu kamar mandi.

Satu jam kemudian mereka duduk bersebelahan di kursi meja makan. Putra terlihat segar dengan rambutnya basah dan aroma samponya menggelitik. Keduanya kini menatap lurus ke meja di depan mereka.

"Cobain, Put, sudah pas atau belum. Itu gulanya dua sendok dan kopinya satu sendok makan," jelas Sayla mengutip perkataan Putra.

Putra mengambil gelas putih tersebut dan menyesap isinya. "Semanis kamu, Dek." Ia tersenyum menatap Sayla.

"Mulai." Sayla memanyunkan bibirnya. Kembali ia memusatkan perhatian kepada kopi. "Kalau begitu, setiap pagi akan ada kopi untuk kamu. Lalu apa lagi yang aku lakukan, Putra?" Matanya terlihat sungguh ingin tahu.

"Nggak ada."

"Kenapa?"

"Ada kamu di samping aku, udah segalanya bagi aku."

Sayla menepuk lengan atas suaminya sambil tersenyum. "Lebay."

"Dek, sebetulnya Kakak—oh maaf keterusan," kata Putra memamerkan giginya hingga tampak manis bagi perempuan yang disenyumi. "Aku sif pagi. Udah terlambat nih, gawat."

"Senyaman kamu aja. Tapi aku nggak akan panggil kamu 'kakak', Put." Sayla mengecek waktu pada jam di pergelangan Putra. "Aku siap-siap dan ikut kamu. Ayo, cepat sedikit habiskan sarapannya." Sayla ke kamar meninggalkan Putra dalam kebingungan.

Ketika Putra masuk kamar untuk mengganti seragam, Sayla tengah menusuk hijabnya dengan jarum pada bagian leher. Baju Sayla telah diganti dengan pakaian untuk bepergian.

"Putra katanya udah terlambat?"

Putra melihat seragamnya telah tergantung di gagang lemari.

Sayla juga melihat itu, "Benar 'kan?" katanya mulai ragu karena takut salah ambil.

"Iya, terima kasih." Putra memasang kemeja cokelat tersebut di luar kausnya juga celana panjang menutupi celana pendek yang sedari pagi ia pakai.

"Dek Sayla beneran ikut Kakak?"

Sayla mengangguk. "Sudah izin sama Lisa." Sayla berdiri ke sebelah Putri. "Aku mau di samping kamu," katanya mengingatkan perkataan Putra tadi.

"Ada kamu di samping aku, udah segalanya bagi aku."

"Aduh!" Putra memeluk Sayla dengan penuh bahagia. "Aku merasa mimpi kamu bisa manis sekali sama Kak Putra. Dari tadi ingin memeluk kamu dan gak mau dilepas. Dek Say, jangan bangunkan mimpi Kakak."

"Put jangan kencang-kencang, jilbabku rusak."

"Dek Sayla beneran sayang aku?"

"Iya."

"Cinta?"

"Belum. Mau menunggu?" Sayla menengadah menatap mata Putra.

"Seumur hidup akan Kakak tunggu."

Kedua bibir Sayla melebar. Di luar hujan turun dengan deras. Udara serta-merta berganti dingin. Pelukan keduanya semakin mengerat.

"Ayo, Put. Tinggal pakai sepatu," peringat Sayla setelah beberapa menit mereka terdiam.

Putra mengangguk. Sebelum keluar kamar dia memastikan, "Beneran pergi? Hujan lebat kenapa gak di rumah aja?"

"Kamu?"

"Ya kerja."

"Oh, aku pikir mau nggak berangkat juga."

"Nggak bisa, Sayang. Nanti dipecat atasan."

"Ck. Ayo, tuh makin jalan waktunya. Memangnya kamu sif pagi jam berapa lagi?" protes Sayla waktu melihat jam kecil di meja menunjuk angka sembilan.

Putra hanya tersenyum. Dia memasang kaus kaki kemudian sepatu.

"Otak aku kececeran kayaknya, Dek." Putra menarik Sayla ke atas pangkuannya. "Aku masuk siang hari ini."

"Dipungut, dong, dikumpulin lagi jadi satu." Sayla melingkarkan tangannya di leher Putra.

"Bantu, ya?"

Putra mengangkat Sayla dalam gendongan dan mengunci kamar mereka.

Selepas Zuhur dan makan siang tentunya, pasangan Sayla dan Putra berdiri di depan pintu. Putra tersenyum lebar tanpa memperlihatkan gigi kepada Sayla yang juga senyum dalam keadaan menunduk. Tangan Sayla berada dalam genggaman Putra.

"Ada yang ketinggalan?" tanya Putra memecah suasana. Hujan tinggal gerimis kecil.

"Enggak ada. Aku kan ikut, bukan tinggal."

"Iya. Ikut, selalu di samping Kak Putra."

Keduanya masuk ke mobil. Putra menyetir dengan hati-hati menuju tempatnya bekerja.

"Kamu waktu pergi itu ke mana?" mulai Sayla. Dia teringat dengan misi penting sang Pelindung kala itu. "Waktu kamu bilang ada urusan penting sama Ay."

"Oh, nganter Yesi ke suaminya di Aceh."

"Kamu berdua saja sama dia?"

Putra melirik wajah Sayla. Ada raut tak suka di sana. Jangan sampai Sayla tahu bahwa dia juga berduaan pulang-pergi bersama Mentari naik bus.

"Gaklah, rame-rame. Banyak penumpang lain."

"Ya." Sayla memalingkan muka. "Teleponnya dimatikan sampai akhirnya ganti kartu SIM. Kenapa?"

Karena kamu, ingin menjawab seperti itu, dan Putra tahan saja.

"Aku lupa kenapa. Oh, kayaknya lupa isi pulsa."

"Ketahuan bohong. Jawab saja apa adanya. Aku tahu, aku yang salah. Karena isi pesan aku. Aku waktu itu emosi, dan sebelumnya selalu emosi, sih." Sayla tersenyum untuk Putra. "Sekarang enggak akan seperti itu. Bisa-bisa kamu lari lagi dari rumah."

Putra tersenyum saja. Sayla hari ini betul-betul penuh kejutan.

Mobil telah diparkirkan. Mereka berjalan bersisian masuk ke Karra Mart. Di depan pintu utama, Sayla Lovaiza dan Putra Buana bertemu pandang dengan dua pasang mata. Laki-laki digandeng oleh perempuan yang memakai pasmina biru tua. Bibir perempuan muda itu tersenyum kepada Putra. Saat pandangannya beralih kepada Sayla, rangkulan pada lengan pasangannya ia lepaskan.

Sayla sedikit menjauh dari Putra. Ingatannya kembali kepada kejadian saat Putra menarik tangan gadis itu dan menatap penuh benci kepada Sayla. Perlahan tanpa ia sadari, kaki Sayla mundur dengan langkah kecil.

"Sepertinya Putra mau nikah lagi deh, Say."

"Nanti aku adukan sama ayahku apa yang udah Kak Putra lakukan sama aku kemarin."

"Dek," panggil Putra dan terkejut mendapati mata Sayla memerah. Putra menatap pria berjaket di sebelah Mentari.

Pandangan pria bermata tajam itu pun tak lepas dari wajah Sayla, walaupun kakinya tak bergerak seinci pun ke arah Sayla.

***

Bersambung  ....

Sumatra Selatan, 25 Oktober 2021 (Ini satu bulan kemudian ya.)

Eh masih lanjut niih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro