Sayla [30]
Kejam sungguh kejam.
💉💉💉
Lalu apa yang terjadi saat wanita dengan gengsi yang tinggi terlanjur memperlihatkan perasaan ingin disayang oleh lawan yang dianggap remeh? Begitu sadar apa yang sudah dilakukannya, istri Pelindung Buana lantas menjauh seakan sosok yang baru dipeluk akan menularkan virus yang dapat membuat terinveksi mati mendadak. Sayla bergegas lari ke dalam dan mengunci dirinya di kamar.
Putra yang ditinggal menelengkan leher ke belakang ingin melihat lendir yang menempel di tubuhnya. Apalah daya mata sang Pelindung dan seluruh manusia ciptaan tak mampu berevolusi layaknya bumi mengelilingi matahari. Putra tidak dapat melihat dan hanya bisa merasakan lehernya dingin karena sesuatu yang ditinggalkan istrinya.
"Dikasih cinta kek, ini malah dikasih ingus." Putra menutup mobil dengan membanting sedikit keras.
Sesampai di bawah atap cinta, dia mendapati pintu tempatnya memadu kasih tertutup rapat. Hal itu mengisyaratkan bahwa Putra membutuhkan istirahat sehabis melakukan ritual penenangan diri. Sang Pelindung Buana melarikan langkah ke kamarnya beberapa waktu belakangan ini. Enggan mengetuk pintu Sayla. Kenyataan yang dipaparkan Sayla sangat memukulnya. Bagaimana tidak? Gadis yang disanjung selama ini ternyata tidak sebaik dugaannya.
Bukankah wajar jika dia menginginkan gadis yang dinikahi sama lajangnya dengan dirinya? Putra tidak pernah mencium wanita di bibir kecuali istrinya. Apakah salah jika dia sangat kecewa dan memilih pergi ketika mendengar kebenaran diri Sayla? Apalagi selama ini wanita yang dipuja sering merendahkan dirinya. Putra Buana menangis di rumah sahabatnya sebab merasa dibohongi dan dibodohi. Entah kepada siapa dia ingin marah.
Kecewa, sedih, dan kesal menginvasi seluruh pikiran dan perasaan Putra selama beberapa waktu, akan tetapi dia tetap mengintai kekasih nan dicintai dari jauh. Jiwanya lemah akibat virus cinta lalu melihat belahan jiwa menangis, dia kembali bertekuk lutut. Bukan hanya menangis, Sayla sampai sakit. Bagaimana Putra akan berlaku muak seperti yang pernah dia katakan? Beruntung yang melihat tingkah Putra hanya Sayla. Dia tidak menjadi bahan ledekan sebagai pria berhati Hello Kitty.
Ketika akan merebahkan punggung, Putra menerima telepon dari Widya. Tanda tanya besar timbul sebelum menjawab panggilan tersebut. Dia menjawab santai khas dirinya. Seperti tidak pernah terjadi apa pun dalam rumah tangganya dengan Sayla. Meski dalam kepala sang Pelindung berkelayapan kata-kata mengusik batin dari ibunda mertua atas tindakannya belakang ini terhadap sang putri dalam keluarga Hadi Baskara. Tentunya, sang ibu akan mengadili Putra.
"Apa kabar, Ibu Mertua?" sapa Putra secerah mentari.
"Tidak perlu basa-basi. Ke sini sekarang."
Putra menelan ludahnya. Dia belum memperhitungkan orang tua gadisnya. Namun, Putra wajib mendatangi kediaman mertua demi menjelaskan segala yang telah dan akan terjadi.
"Sayla diajak?" tanyanya basa-basi.
"Kalau saya perlu dengan anak saya, tentu saya tidak perlu bicara dengan kamu. Datang sendiri."
"Oke. Segera berangkat, Ma—" –ma Mertua.
***
"Hei, ini peringatan pertama untuk kamu. Kalau kamu sampai melukai hati putri saya, saya enggak akan segan-segan bayar orang untuk membuang kamu ke lautan. Kamu mesti ingat kata-kata saya, Sayla rela menerima kamu lagi karena percaya kamu mencintai dia. Dia anak yang patuh terhadap orang tua. Dia mau kembali sama kamu karena keinginan suami saya. Jadi, jangan kamu rusak kepercayaan keluarga kami untuk menitipkan putri kami kepadamu."
Selama mertuanya berbicara, Putra hanya menyimak. Putra tidak perlu meyakinkan mertuanya bahwa dia akan menerima Sayla. Pada kenyataannya, Putra selalu melebarkan pintu untuk menanti kedatangan Sayla. Seperti dalam pikiran ibu mertua dan kata-kata Putra sendiri kepada sang istri.
Sampai detik ini, Putra masih dibandrol murah sekali. Hal itu susah diperbaiki sebab ketika ingin jual mahal, hatinya langsung merintih sedih dan kasihan kepada tuan putri keluarga Pak Hadi. Cinta memang sekonyol itu mempermainkan dirinya.
Putra semakin merasa bodoh ketika mengetahui alasan Sayla datang karena diperintah oleh ayahnya. Pernikahan Putra dan Sayla pun terjadi selain karena lamaran gentleman Putra Pelindung Buana, juga karena sifat berbakti Sayla Lovaiza Baskara terhadap orang tuanya. Putra tersenyum kecil saat menyadari kebenaran itu.
"Kakak antar, ya?" sapa Putra di pagi hari pertama setelah berbaikan. Beberapa jam setelah Putra mendengar wejangan ibu mertua.
"Tidak perlu. Aku biasa berangkat sendiri." Ketus lagi. Datar lagi. Tanpa senyum.
"Alasan Kakak belajar menyetir sudah Kakak bilang dulu. Kamu lupa? Kakak ingin mengantar dan menjemput kamu."
"Aku bilang enggak, ya, udah. Kok jadi maksa sih?"
Putra mengangguk dan meneruskan sarapan. Nasi goreng cumi yang gurih dan pedasnya sesuai di lidah Putra. Masalah makanan, perut Putra selalu dipuaskan. Lainnya, Putra selalu dikecewakan.
Siang ketika Putra akan berangkat bekerja, Sayla belum tiba di rumah. Jam pulang istrinya paling terlambat pukul setengah dua. Sementara Putra akan berangkat pukul dua dan sampai motornya di-starter, Sayla belum kembali. Putra yang hafal nomor istrinya menghubungi kontak tersebut dengan nomor barunya. Sayla tidak menjawab. Lalu dia mengirimkan pesan.
Dek Sayla, ini Kak Putra. Kamu baik-baik saja? Kenapa belum pulang?
Lama pesannya hanya dicentang biru dua. Putra tiba di Karra Mart dan memulai tugasnya baru kemudian mengecek ponsel. Sayla belum memberikan jawaban. Putra menelepon Sayla begitu selesai menerima laporan dari sekuriti yang berjaga di bagian dalam.
"Ya?" Sayla menjawab. Terdengar suara-suara berisik di sekitar Sayla.
"Kamu enggak kenapa-kenapa? Kamu di mana, Dek?" Putra dirundung cemas sejak pesannya tidak dibalas. Saat ini dia sangat lega setelah mendengar suara wanitanya. Namun, Pelindung masih ingin mengetahui alasan kenapa istrinya tidak memberikan kabar.
"Aku di luar sama Syahda."
"Itu Om Putra, Tante?" Sayla tidak berdusta. Anak itu kedengaran kepo. Suaranya lebih jelas ketika menyapa Putra sekali lagi, "Om Ulet Bayam ke sini! Kita di tempat kerja Om nih. Mau makan bersama. Om boleh ikutan kok, biar Tante ada temannya. Aku sama Papi. Om sama Tante."
Putra menggenggam erat ponsel yang hari ini belum berselancar ke TikTok setelah mematikan sambungan.
"Gua ada perlu ke atas, Bro," kata satpam itu kepada rekannya sebelum meninggalkan kantor menuju foodcourt.
Mata Putra Buana memonitori area tempat makan satu per satu. Dia ingin memuaskan rasa ingin tahu terhadap wajah pria yang dicintai istrinya. Saat netra di balik kacamata hitam itu mendapatkan objeknya, senyum separuh terbit di bibir sang sekuriti. Pria yang dia lihat bersama Sayla dan Syahda saat ini sama dengan pria berjaket denim tempo hari. Orang yang berhasil menarik garis bibir Sayla membentuk senyum dan tawa.
Bahu satpam berseragam cokelat tersebut turun. Sesak kembali dirasakan dadanya saat melihat pemandangan itu. Sayla kembali menorehnya dengan luka.
***
"Mondy," bisik Sayla saat Syahda fokus menyendok sop sayuran, "udah aku bilang, aku nggak perlu ikut kalian." Perasaannya mulai gelisah saat masuk ke mobil Mondy dan kini menguasai sebagian besar hatinya.
"Aku mengikuti apa kata Syahda. Dia ingin mengajak kamu."
"Kamu bisa menolak."
"Kamu juga bisa menolak." Mondy membalas telak.
Keduanya sama-sama terdiam.
"Princess. Tante ingin menemui Om. Kamu sama Om—Papi lanjutin makan berdua. Tadi Om Putra kirim pesan nggak bisa ke sini. Tante yang harus ke sana. Nggak apa-apa, Princess?"
"Ih, Om Ulet Bayam sibuk banget. Oke, Tante. Aku nanti kasih kabar sama Tante kalau Papi nakalin aku."
Sayla tersenyum kecil. Dia mengacak poni Syahda dan mencium pelipis putrinya sebelum pergi.
"Titip Syahda, Mondy."
Langkah kaki Sayla begitu terburu-buru. Rasa khawatir berjejalan dalam hati begitu panggilannya diakhiri sepihak oleh Putra. Di ruangannya Putra tidak ada. Sayla menunggu selama satu jam, tetapi pemuda yang mulai kemarin membuatnya berdebar itu tidak kunjung tiba. Kecemasan Sayla makin menggunung. Sayla amat takut. Sangat.
Dengan taksi Sayla kembali ke TK untuk mengambil mobilnya. Lalu dari sana dia menuju rumah. Sayla memilih untuk menunggu Putra di tempat lelaki itu akan pulang.
***
"Putra." Satu kata itu meluncur bebas dari bibir Sayla waktu yang punya nama masuk rumah.
Laki-laki yang mengenakan kemeja cokelat mirip aparat kepolisian itu melirik Sayla sekilas. Panggilan Sayla dijawabnya dengan bergumam, kemudian pergi. Sayla juga ke kamar. Dilihatnya Putra membuka lemari dan mengambil pakaian ganti. Laki-laki itu mandi di kamar mandi luar. Sayla tetap di tempatnya karena yakin Putra takkan lama. Dia mengambil krim malam untuk diolesi di wajah sembari menunggu Putra. Sayla ingin mengatakan kepada Putra bahwa dia tidak berniat keluar kalau saja Mondy tak datang secara tiba-tiba.
Jarum jam bergerak maju. Detik berubah ke menit dan menit berubah menjadi jam. Sayla menggeleng mengingat kebiasaan Putra satu lagi. Diayunkannya langkah menuju ruang tamu untuk mencari keberadaan Putra. Namun, pria yang biasanya siaran langsung di media sosial sehabis mandi malam tidak ada di sofa. Sayla pelan-pelan ke dapur dan tidak menemukan orang yang dicari. Wanita berambut sepunggung tersebut menghela langkah ke pintu kamar satunya. Gagang pintu sekarang menjadi objek tatapannya. Sayang, Sayla tidak berani mengetuk. Malam itu Sayla tidak berhasil menyudahi kesalahpahaman Putra.
Sampai hari ini, dua minggu setelahnya, Putra Pelindung kembali memasang sikap diam. Makanan Sayla dihabiskan, tetapi perkataan Sayla tidak ditanggapi seperti sebelumnya. Putra sekarang akrab dengan kata 'hmm'. Dia bersahabat dengan gumaman sejak kejadian di mal. Tak lagi ada cerita soal pekerjaan, pemberitahuan shift hari itu, atau pembicaraan remeh-temeh yang dulu membuat kediaman mereka ramai.
Hari ini Putra berangkat pagi. Sayla yang melihat Putra bersiap di waktu yang sama mengambil inisiatif.
"Aku tidak bawa mobil."
Putra tengah menyisir rambut di depan cermin. Lelaki itu masih ke kamar mereka berdua untuk mengambil baju atau seperti sekarang. Hanya saja, tidurnya tetap mengungsi di ruangan haram.
"Hm."
Sayla mengerahkan segala keberanian dan melunturkan malu untuk mengatakan, "Bisa antarkan aku ke sekolah?"
Putra juga menjawab dengan bergumam.
"Kalau nggak ikhlas, ya sudah, tidak jadi."
"Oke."
Putra melangkahkan kaki yang panjang ke luar. Baru tiba di ambang pintu kamar, Sayla menghentikannya dengan kata-kata.
"Mau sampai kapan kamu diam begini? Kamu menyesal dengan keputusan kamu?"
Putra meninggalkan Sayla. Pertanyaan Sayla belum dijawab sama sekali. Dalam kesalnya Sayla merasa takut. Dia tidak mengerti kenapa sejak sikap Putra berubah, dia merasa kehilangan. Kehilangan menyebabkan kesedihan. Beberapa hari ini perasaannya sendu. Namun, kontrol bibirnya sungguh di luar kendali. Dia selalu mengatakan hal-hal yang tidak sesuai dengan otaknya. Sayla ingin Putra mengantarkan, tetapi mulutnya berkata lain.
Suara mobil menyentak pikiran Sayla. Bibirnya tersenyum mengetahui kalau Putra menuruti permintaannya. Namun, Sayla menelan buncahan bahagia sewaktu Putra hanya membantu Sayla memanaskan mobil. Lelaki itu menstarter sepeda motornya dan pergi.
***
Muba, 22 September 2021
Ngacung zuzur yang mau lihat malam pertama mereka. Mereka berantem terus. Berantem lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro