Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sayla [26]

Hello, selamat menikmati hidangan. 🍰

🌶🌶🌶

Keduanya terdiam berhadapan walau tidak berani bertatapan. Putra Buana dan Sayla Lovaiza menatap ke sembarang arah asal tidak ke mata lawan. Kejadian tadi membuat keduanya bungkam, tidak tahu apa yang lebih dahulu mesti diucapkan. Kafe yang sedang ramai tak lagi dipedulikan. Mereka bertransformasi menjadi tiang bangunan. Hanya angin malam yang berani melenggang dan mengejek pasangan yang tengah diserbu kecanggungan.

"Pulang." Pada akhirnya sang hawa yang lebih dulu mengusulkan. Dia sudah tidak lagi berminat duduk berdua dalam kafe yang sesak oleh keramaian. Mau bicara apa memang? Makan? Keduanya sudah kenyang oleh nasi dan balado nila yang Sayla sajikan.

Kalimat yang terdiri dari satu kata itu membuat Putra de javu. Di kencan pertama mereka yang berlangsung hikmat, Sayla merusaknya dengan kata 'pulang.' Diajak makan Sayla enggan. Gadis bungsu Pak Hadi itu bersikeras ingin pulang. Kabar baiknya, Sayla pulangnya ke rumah mereka, bukan rumah orang tuanya. Kini terjadi lagi hal yang demikian alasannya karena tidak sengaja berpelukan.

"Segini aja nih jalan-jalannya?" Putra berusaha santai.

Mata Sayla membesar. Tanda-tanda akan ada amukan. Putra Buana bersiap menuruti permintaan sang bidadari. Ah, sampai saat ini Sayla selalu yang memegang kendali.

Putra memasang lagi helm full face miliknya. Sayla juga memakai helm khusus yang walau sederhana berkualitas SNI. Duduk wanita yang baru pulang ke rumah suaminya tadi siang itu menyamping, tak lagi menghadap punggung sang adam.

"Nggak mantap duduknya begitu, Dek. Kakak cemas nanti Adek jatuh."

Kedua pipi di balik helm berkaca separuh wajah itu menghangat. Beruntung Putra sang dalang tidak melihat. Alasannya karena panggilan kakak-adek yang beberapa lama ini absen di telinga Sayla. Kenapa sekarang terdengar normal? Mana api membara yang selalu muncul kala Putra menyebut panggilan demikian?

Sayla menepuk pundak Putra, "Pelan-pelan saja!"

Setibanya kendaraan roda dua itu di rumah, langkah Sayla sangat cepat menuju kamar. Sang satpam baru saja menstandarkan kendaraan. Lalu, bagaimana dengan rencana yang telah tersusun rapi di otak? Masa dilewatkan? Sampai pagi Putra akan terjaga saking penasaran.

Pukul sepuluh setelah lama berjibaku dengan pikiran, Putra memberanikan diri memanggil Sayla.

"Sayla."

Tidak ada tanggapan.

Tiga kali jari Putra mengetuk pintu berdaun satu di depannya. Putra bicara saja, walau tidak didengarkan oleh belahan jiwa yang bersembunyi di dalam.

"Kenapa kamu balik ke rumah ini, Sayla? Kamu sudah memutuskan ingin mendaftarkan perceraian kita. Kalau benar, kirimkan saja dokumen pada Kakak atau bisa kirim pesan di mana kita bisa membicarakannya."

Pintu kamar terbuka dan menampakkan wajah Sayla yang bengis seperti biasa. Hijab kuning kunyit masih terpasang rapi di kepala si wanita. Sayla yang bersamanya tadi seolah hanya ilusi. Sosoknya yang asli telah kembali.

Satu tamparan mendarat di pipi berisi milik Putra. Sekuriti Karra Mart terkejut atas perlakuan putri dari bos besarnya. Alih-alih marah, Putra merasa bingung sambil menahan sengatan sakit yang menjalar ke seluruh wajah. Tamparan itu tidak seberapa dan sebentar lagi hilang. Tetapi apa alasan Sayla melakukannya?

"Kamu marah? Belum tahu salah kamu apa?" Bola mata Sayla memerah. "Kamu!" Telunjuk Sayla menekan dada Putra. "Memaksa aku untuk masuk dalam hidup kamu lalu kamu keluarkan lagi semau kamu. Kamu punya hak apa atas aku? Kamu siapa?!" Air mata Sayla mengalir lancar.

"Bagi kamu aku selama ini jahat. Kamu juga. Apa kamu tahu kejahatan kamu apa? Kamu tidak pernah memberikan aku pilihan! Semua orang melakukannya kepadaku! Dan saat aku mulai terbiasa, semuanya menghilang. Lagi-lagi akulah yang salah."

"Pilihan ada pada kamu. Aku bilang, kamu yang menentukan, Dek."

Melihat air mata orang yang dicintai, hati Putra luluh. Dia lupa pada tamparan yang dilayangkan padanya. Lupa pada semua perlakuan kasar dan buruk yang diterima selama ini. Justru Putra tengah menyesal karena membenarkan perkataan Sayla.

"Kamu bilang seperti itu, tapi kamu mengusir aku dari sini!!!"

"Kakak nggak mengusir kamu, Dek. Kamu boleh memilih ingin sama—"

"Apa? Kamu mengelak? Tidak mau mengaku karena merasa selalu benar!"

Putra semakin bingung melihat air mata bercucuran seperti keran lepas di wajah Sayla.

"Dek Sayla." Putra maju selangkah. "Kakak minta maaf."

Sayla menutup wajahnya dengan tangan. Dia terlalu kesal karena Putra tidak bertanya bagaimana pendapatnya. Putra hanya mengambil keputusan sendiri. Lebih dari itu, ledakan emosi Sayla karena dia malu. Begitu melihat Putra datang, dia lupa memasang hijabnya. Dan dengan spontan darahnya dibanjiri suka cita saat Putra mengajak naik motor. Tak sengaja pula dia memeluk Putra. Karena terlanjur nyaman, tidak dilepaskan sampai pemberhentian. Setelah semua yang Sayla lakukan, Putra mengingatkan perceraian.

"Aku tidak selingkuh. Jangan menuduh aku seperti itu."

Putra mengangguk. Tangannya tergerak mengusap puncak kepala Sayla. Cincin putih melingkar indah di jari manis. Perasaan Putra remuk melihatnya. Semua yang keluar dari bibir Sayla berlainan dengan hatinya. Putra mengela napas.

"Kakak nggak nuduh kamu. Kakak percaya sama kamu, walaupun kamu memakai cincin dari orang lain dibanding yang Kakak belikan untuk kamu." Putra semata-mata sedang mengeluarkan sesak karena hatinya sakit saat mengingat telepon itu. Bukan menuduh namanya jika ada bukti.

Mata Sayla menatap tajam, walau matanya berair dan pandangannya buram melihat Putra.

"Tidak peduli siapa yang memberikan, dia hanya perhiasan. Kamu sengaja ingin cari alasan agar aku yang salah di mata semua orang. Kamu bahkan tidak mau menerima benda kecil ini melekat padaku. Bagaimana kamu bisa menerima semua masa lalu aku? Kalau kamu nggak bisa menerimaku, kenapa kamu menikahi aku? Kamu juga sudah menghancurkan hidupku. Dari awal jangan menikah!"

Keadaan Sayla kali ini membuat hati Putra sakit. Sekali sentak, Sayla masuk dalam pelukannya. Tubuh perempuan itu meronta. Putra Buana menekan kuat Sayla ke dadanya sehingga tak bisa bergerak sama sekali.

"Aku sayang kamu. Aku mencintai kamu. Aku tahu kamu tidak memiliki perasaan yang sama dan Kakak tetap berharap kamu lama-lama cinta sama Kakak. Aku egois. Aku sakit hati melihat kamu bisa tertawa dengan orang, tapi dengan Kakak tidak. Aku sangat mencintai kamu sampai rela melepaskan kamu kepada orang yang bisa membuat kamu bahagia. Kakak sangat mencintai kamu dan masih berharap kamu tetap bertahan di sisi Kakak. Maafkan Kakak. Kakak belum siap berpisah dengan kamu. Kakak ingin lebih lama bahkan selamanya menjadi suami kamu."

Putra tidak mendengar Sayla bersuara. Dia tergesa merenggangkan pelukan. Semoga tulang Sayla tidak patah akibat perlakuannya. Pundak Sayla disentuhnya. Sangat kecil di tangan Putra. Juga lembut dan rapuh. Jika saja Putra memeluk dengan keterlaluan, bisa dipastikan Sayla membutuhkan tukang urut keesokan pagi.

Wanitanya menunduk dengan isakan kecil yang tersisa. Putra ingin menghapus air mata di pipi Sayla seperti pria romantis lain. Dia menyentuh dagu Sayla yang sangat mungil dengan tangannya yang terbilang besar.

Mata yang basah itu menemukan mata Putra. Kemarahan yang tadi berkobar hilang. Kenyataan yang terlihat di hadapan Putra saat ini adalah seorang wanita yang sedang kacau. Matanya seperti menaburkan duka. Membuat perasaan Putra dijangkau lara. Perlahan ibu jari Putra mengusap bawah mata Sayla.

Sayla juga menatap Putra lama tidak teralihkan. Debaran dalam dada Putra mengentak keras sewaktu wajahnya mulai menunduk. Tatapannya turun ke bibir yang merah dan basah di depannya. Putra sedikit membungkuk untuk menemukan bibirnya dengan Sayla. Dia berhenti di gerbang manis tersebut, mengira-ngira akankah ada penolakan? Tidak ada. Putra menekan dagu Sayla agak sedikit ke atas agar ia lebih mudah mencium belahan jiwanya.

Tidak ada ketergesaan dalam sentuhan Putra. Ia mencium Sayla dengan lembut dan mengusap pipi Sayla yang basah. Semakin lama Putra merasakan Sayla hanyut oleh irama yang dia ciptakan. Cinta Putra yang begitu besar dia ceritakan lewat kecupan. Tak disangkanya Sayla membalas. Putra memeluk pinggang Sayla dan memperdalam ciuman.

Kening mereka bersandaran ketika tautan bibir itu terlepas. Napas keduanya berkejaran. Sayla bernapas dengan mulutnya membuat Putra merasa bersalah. Kalau tidak segera dihentikan, Sayla mungkin akan kehabisan oksigen. Hidung gadis itu sudah pasti mampet karena kebanyakan menangis. Putra tersenyum walau hanya bisa Sayla rasakan melalui gerakan.

Saat kesadarannya muncul, Sayla mundur. Kedua matanya membesar. Dia segera berbalik dan menutup daun pintu kuat-kuat. Tubuh Sayla merosot di balik pintu. Jantungnya memompa dengan sangat keras. Rasa hangat di bibirnya masih tertinggal. Sayla merasakan wajahnya juga ikut memanas.

Sayla meraba dadanya. Tangannya masuk ke balik hijab dan tunik yang dia kenakan, meraba bagian di bawah leher lalu menemukan sebuah benda kecil. Sayla menggenggam sesuatu yang terasa dingin di tangannya. Perasaannya menghangat.

*** 

Muba, 16 September 2021

Akan banyak percikan ke depannya. 🙉🙉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro