Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sayla [25]

Part ini dulu pernah dipublish, tapi ini ada revisinya. Baca juga ya.

😋

"Sayla, tetap di sini. Papa ingin bicara sama kamu."

Makan malam baru saja usai. Sayla dan mamanya telah membersihkan piring kotor dan menyusunnya di tempat semula. Kedua ibu dan anak itu berpandangan. Sayla menatap Mama yang juga tampak cemas. Sudah lama Papa tidak menampilkan muka-muka serius. Apabila Papa berkata, semua harus mereka turuti. Bahkan gadis sekeras Ayla, tak mampu melawan perkataan ayah mereka.

"Ma, istirahatlah lebih dulu." Begitu istrinya pergi, Pak Hadi kembali menegur putri bungsunya itu. "Bagaimana kuliahmu?"

Sayla menangkap aroma basa-basi. Intuisi Sayla lebih dulu merangkai perkataan yang sebenarnya ingin disampaikan oleh papanya.

"Lancar, Pa. Alhamdulillah." Suara yang halus sebetulnya dirangkai kegugupan. Hanya saja Sayla berusaha mengontrol laju jantung yang menyebabkan tangannya gemetaran. Dia menyembunyikan kedua tangan di balik meja, luput dari kacamata sang ayah.

"Pekerjaan?"

Sayla mengangguk. Kepalanya menunduk. "Sama."

"Kamu bahagia, Say?"

Bahagia atau tertawa? Apakah keduanya sama? Jika tertawa, ya, Sayla bisa tertawa kecuali dengan Putra yang sangat menyebalkan itu. Lalu apakah bahagia itu hidup bersama Syahda dan laki-laki yang Sayla cintai? Apa definisi kebahagiaan buat Sayla jika Sayla jelas-jelas tidak mendapatkan keduanya? Berarti Sayla meninggalkannya sejak beberapa tahun lalu. Kebahagiaan merupakan sesuatu yang sangat berharga yang telah hilang dalam kehidupan Sayla. Sejak ia mengalami peristiwa kelam itu, berlanjut sampai sekarang. Kesedihan selalu datang beruntun dalam hidup Sayla.

"Bahagia, Papa." Sayla nyaris berbisik. Mereka sama-sama tahu Sayla berbohong.

"Dari kecil kamu anak yang pintar dan rajin. Patuh pada orang tua. Bahkan membanggakan Papa dengan pakaianmu serta perilakumu. Kamu selalu bikin Papa senang."

Langsung saja, Pa. Sayla sudah tahu cepat atau lambat, Papa akan menegurnya, bahkan menyidangnya. Sejak beberapa hari kedatangan Sayla ke rumah ini, dia telah berpikir bagaimana caranya memberitahu papanya perihal rumah tangga. Lama juga papanya diam mungkin sambil memperhatikan. Satu minggu berubah menjadi dua minggu. Hari ini genab sebulan lamanya Sayla tinggal di rumah kedua orang tuanya. Istri mana yang meninggalkan suaminya selama ini? Tahukah bagaimana gejolak dalam dada ibunya Syahda itu? Dia bertanya-tanya, benarkah Putra menginginkan perpisahan? Jika iya, kenapa Putra malah menghilang? Kenapa tidak menjelaskan kepada Papa? Pada dasarnya Putra memang tidak bertanggung jawab. Dia bahkan belum mengaktifkan nomornya sampai hari ini.

Perkataan papanya lamat-lamat tidak lagi terdengar karena Sayla sibuk dengan pikirannya sendiri. Pak Hadi mengetuk meja dengan tangkai sendok untuk mencuri perhatian Sayla. Sang putri menatapnya dengan pandangan bingung.

"Papa minta maaf."

Sayla berpikir mungkin yang dimaksud ayahnya, minta maaf telah gagal mendidik Sayla?

"Bukan ... ini bukan salah Papa. Aku minta maaf, membuat Papa malu dan kecewa. Say gagal menjadi putri yang baik, justru membuat Papa banyak pikiran."

"Jadi besok pulanglah ke rumahmu."

Sayla menganga. Maksud papanya apa? Maaf karena mengusir Sayla? Rumah Sayla bukan di sini lagi?

"Kamu lihat kehidupan kakakmu." Papanya tak pernah memanggil Ayla 'kakak', sepertinya Sayla ketinggalan jauh. "Belajarlah untuk menerima. Papa tidak bermaksud buruk menikahkan kamu dengan Putra. Seperti ketika Papa memilih Ergi untuk Ayla, Putra adalah orang yang tepat untuk kamu. Sebagaimana Ayla yang menjalani pernikahan dan menjalani prosesnya. Papa yakin kalian semua akan bahagia. Apakah kamu pikir Ayla mencintai Ergi, sehingga mau menerima pernikahan itu? Sama, kamu juga bisa. Putri Papa adalah gadis-gadis yang layak dicintai. Oleh karena itu, Papa menikahkan kalian dengan pria-pria yang mencintai kalian. Tinggal buka hati kalian untuk menerima cinta dari suami kalian."

Paginya Sayla menemui Widya. Wanita itu selalu memberikan Sayla ketenangan. Tanpa Sayla sadari dia mendominasi kasih sayang mamanya, bahkan mamanya mengutamakan Sayla dibandingkan Ayla. Sewaktu hamil, Sayla merasa dunia tidak adil kepadanya, dibandingkan Ayla yang suka memberontak kepada orang tua. Ketika Mama meminta Ayla mengerjakan pekerjaan berat sampai keguguran, Sayla menyadari kesalahannya. Dia begitu egois. Dia dan Mama seharusnya meminta maaf pada Ayla, tetapi Sayla belum melakukannya.

"Ma, Say pernah punya pikiran buruk, bahkan sering. Menyangkut Syahda, anak Say."

Widya tidak mencoba menginterupsi kata-kata putrinya. Dibiarkannya Sayla menumpahkan keresahannya.

"Aku berdosa pada Mama dan Papa. Sama Ay dan Ergi. Mondy. Dan sama Putra. Say jahat sekali, Ma."

Sayla tidak menyadari mata Mama melebar. Widya tak menaruh pikiran bahwa Sayla akan merasa bersalah kepada Putra karena Sayla tidak menyukai suaminya. Yang salah tentu saja Putra, berani-beraninya melamar Sayla.

"Say bukan orang benar, justru aku orang munafik. Benar 'kan, Ma? Ayla saksinya gimana Say sering menyakiti Ayla. Berusaha merebut Princess. Bahkan Say ... Ma, aku punya ide buruk. Meminta Mondy untuk mengambil Syahda. Say pernah berpikir untuk menikah dengan Mondy, meninggalkan Putra, demi bisa mengambil Syahda."

"Lalu?"

"Syahda pasti tidak akan bahagia karena ibunya adalah Ayla. Ayahnya adalah Ergi. Dan Mondy juga bilang sama aku, dia sudah cukup bahagia hanya dengan dipanggil papi. Say sangat malu, Ma. Say menyayangi Syahda, sangat cinta sama Syahda, dan Say malah ingin memisahkan Syahda dengan Ay dan Ergi. Sementara aku ...." Sayla memasok udara banyak-banyak. Satu bulan dia merenung. Tiga puluh hari Sayla mengendapkan masalahnya. "Besok Sayla pulang."

Mamanya menatap Sayla. Apakah papanya memaksa Sayla lagi?

"Say punya rumah bersama suami. Aku mau belajar menerima Putra."

"Kamu yakin?"

Sayla mengangguk. "Sayla ingin bahagia. Selama ini Say larut dalam penderitaan sendiri, tidak pernah bersyukur, terlalu banyak mengeluh. Bukankah kita harus bersyukur atas apa pun yang kita terima? Say melupakan kuncinya karena sibuk memikirkan kesedihan berpisah dengan Syahda, sampai ingin memisahkan Syahda dari kebahagiaannya. Padahal Syahda sayang sekali sama Ayla. Dan Say selalu jahat sama Putra yang baik sama Say. Putra yang nggak salah. Putra yang bodoh, masih terima aku yang banyak kekurangan. Selalu ngalah dan diam kalau Say ngomel."

"Papa ngomong apa sama kamu?" Widya tidak percaya Sayla akan berkata seperti itu: merelakan Syahda dan menerima Putra.

"Papa bilang, putri Papa akan bahagia dengan pria yang mencintai kami. Papa selalu membuat keputusan yang tepat. Mama lihat Ay, Say juga ingin bahagia seperti Ayla."

"Kamu mau sama Putra?" tanya mamanya sangkat sangsi.

Sayla menggeleng pelan. "Aku tidak menyukai Putra." Sayla merasa tidak adil kepada laki-laki itu. Apa kesalahan terbesar Putra sampai Sayla begitu membencinya? Lalu bagaimana dengan Mondy yang sudah jelas penyebab seluruh kehancuran di hidup Sayla? Dan Sayla tidak memperlakukan Mondy dengan buruk.

"Ma tolong dukung aku. Minta doanya supaya Putra tidak menceraikan aku."

"Dia? Beneran mau pisah dari kamu? Laki-laki petakilan itu?"

Sayla menggumamkan iya. "Putra menyerah. Tapi dia bilang, kalau-kalau setelah berpisah, Say ingin rujuk. Jika Say mau balikan, dia bersedia. Putra belum mau kalah, Ma."

"Walaupun menurut dia, Sayla jalan dengan orang lain, selingkuh dalam pernikahan kami."

"Memangnya, Mama tidak suka sama Putra?"

"Kamu aja nggak suka, apalagi Mama. Intinya jika kamu tidak suka, Mama juga nggak akan suka. Sekarang saja kamu mau terima dia bukan karena suka, cuma karena disuruh Papa. Banyak laki-laki lain yang lebih baik dari dia. Papa ini kenapa memaksa kamu dengan dia? Mama suka sebal ingat tingkah Putra. Model seperti Putra nikah sama kamu. Alay begitu. Mama ingin protes sama Papa dan kamu tahu, kita nggak akan berani sama Papa. Ditambah menimbang kesehatan Papa juga."

"Ma, Sayla nggak mau sama Putra. Nggak suka jadi istri dia. Tidak tahu kenapa Putra selalu bikin Say marah-marah. Semua yang Putra lakukan, aku tidak senang. Say bicara kasar, membentak dia, menghina dia. Say rasa laki-laki mana pun akan tersinggung dan balas aku karena egonya diganggu. Putra masih selalu lembut. Seperti orang bodoh dia tersenyum saja dibegitukan. Justru waktu dia bilang, akan tiba saatnya Say menangis saat dia nggak ada, Say sadar dia benar."

Widya menggenggam tangan putrinya. Dia selalu mendukung Sayla. Widya berada di garis terdepan untuk membahagiakan putri dari saudara kembarnya itu.

"Mama pasti tidak percaya, aku sama Putra tiap hari berantem. Bukan kita, tapi aku selalu ngomelin Putra. Tahu nggak gimana Putra? Putra masih perhatiin Say. Peduliin aku. Say takut Putra salah pahamnya lama."

"Kamu bisa bahagia dengan Putra? Mama cuma nggak mau kamu salah mengambil keputusan. Jika memang Putra bisa membuat kamu selalu tersenyum, bisa menerima kamu apa adanya, dan bersama kamu sampai maut memisahkan, Mama rela menantu Mama sejenis ulat bayam. Kamu janji sama Mama kalau Putra nggak bakalan macam-macam?"

"Selama menikah, Say yang banyak macam, Ma." Sayla hanya menggumamkan kalimat itu dalam hati.

Sayla percaya Putra anak baik. Terbiasa bersama Putra, membuat Sayla mengenal pribadi bujang keturunan Sumatra itu. Putra Pelindung hanya ingin Sayla cintai. Putra membuang Sayla karena memang Sayla yang menunjukkan ingin dibuang.

Sebetulnya, wanita mana yang bercita-cita menjanda di usia muda? Papa bilang, Sayla akan bahagia karena Putra mencintai Sayla. Sayla harus berpegang pada kata-kata Papa. Ketika Sayla masuk ke rumah mereka berdua dan tak ada Putra di sana, Sayla merasa ada yang hilang dari dirinya. Barangkali dia memang membutuhkan pasangan sejenis ulat bayam yang selalu bergerak ke sana-ke mari saat joget di depan kameranya. Kekosongan itu akan terisi full.

***

Putra Pelindung tersenyum cerah melihat followers-nya di TikTok bertambah. Video terakhir Putra menembus like 689 ribu dalam sehari. Menurut Putra, pencapaiannya sungguh luar biasa karena baru setengah bulan merambah ke TikTok. Para pengikutnya di Instagram dahulu bak menemukan oase melihat Putra sekarang aktif lagi bahkan hampir setiap hari sang Pelindung membuat video baru. Wajahnya yang bawaan tampan keturunan bujang Sumatra sangat memikat hati para gadis tak terkecuali ibu-ibu. Sangat banyak komentar masuk dari para nyonya yang mau menjadikan Putra sebagai menantunya. Wajah pria 26 tahun semringah melihat penerimaan baik di aplikasi 'hitam' tersebut. Putra bersiul sembari menari setelah memasukkan sepeda motornya di garasi kecil sebelah rumah. Sambil berjoget dia berjalan untuk membuka pintu.

Putra Buana terbatuk mencium bau masakan. Tenggorokan yang tiba-tiba gatal membuat lelaki jangkung itu berlari ke lemari pendingin. Membuka pintunya, mengambil sebuah botol, dan menenggak isinya dengan rakus. Kemudian kedua bola matanya melotot melihat penampakan perempuan rambut panjang dan berdaster putih yang membelakanginya.

Pelan-pelan Putra menutup pintu kulkas kemudian memegang kepala botol sebagai senjata, sedangkan tonfa dibiarkan tergantung di pinggangnya. Tanpa suara Putra mendekati perempuan itu, memukul pundaknya dengan botol, hingga berbaliklah si perempuan dan menatap Putra tanpa terkejut. Sayla yang sejak tadi mendengar siulan Putra mengambil alih senjata pamungkas si Pelindung.

"Kamu?" Putra mundur dua langkah, melihat kesibukan Sayla memindahkan isi masakan ke dalam mangkuk yang besar. Tangan Putra segera memegang erat mangkuk yang diberikan Sayla. Mengikuti arah kedikan kepala Sayla bahwa Putra harus meletakkan benda di tangannya ke atas meja.

Pemuda Komering itu menggerak-gerakkan kakinya di lantai. Sambil duduk Putra mencuri pandang kepada Sayla yang sedang mengelap piring untuk makan malam mereka. Tubuh Putra menjadi kaku ketika Sayla tanpa terlihat canggung berdiri di sebelah Putra saat meletakkan mangkuk cuci tangan. Sayla duduk berseberangan dengan Putra.

Didengarnya Sayla berdeham. "Rumah ini nggak disapu?" tanya Sayla. Sayla mengusap hidungnya yang merah. Sepertinya kebanyakan bersin akibat debu.

Putra pulang hanya untuk tidur dan rebahan—berselancar di sosial media. Jika lapar, Putra makan di warung. Jangankan membersihkan rumah, bajunya saja Putra bawa ke binatu. Tanpa dipersilakan Putra mencuci tangan lalu menyanduk nasi banyak-banyak. Ia rindu masakan orang rumah. Sama sekali Putra tidak melihat Sayla sebelum nasinya habis. Begitu selesai, Putra mengucapkan terima kasih dan pergi ke kamar.

Dia menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur. Diraba dadanya sambil melihat ke loteng. Apa satu bulan masih kurang untuk belajar melupakan putri bungsunya Pak Hadi? Kenapa Putra masih merasakan jantungnya bereaksi atraktif ketika melihat sosok Sayla Lovaiza? Dan satu bulan belum cukup untuk mengatakan kepada Sayla bahwa Putra siap berpisah selamanya. Putra malah menggunakan waktu itu dengan mencari pengalihan dan kembali melakoni hal yang paling Sayla benci.

Setengah jam posisinya masih sama. Suara notifikasi yang biasanya dibuka Putra dengan antusias sekarang tidak dia hiraukan. Pikirannya masih menerawang jauh, bersiap untuk mengajak Sayla berbicara.

"Oke. Gue mandi dulu biar gak malu-maluin." Putra bangkit untuk membersihkan diri.

Dia melakukannya amat terburu-buru karena meragukan kejadian tadi. Putra takut yang dia lihat itu bukanlah Sayla. Hanya ilusi saking rindunya ia kepada sang belahan jiwa. Setelah memasang kaus biru pudar dan celana selutut serta menyisir rambut basah dengan tangan, Putra berjalan tergopoh-gopoh ke dapur. Keadaan di sana sudah berbeda. Tidak terlihat makanan dan piring-piring kotor yang Putra tinggalkan. Putra membuka lemari tempat Sayla menaruh sambal sisa, dan bernapas lega melihat ada isinya. Putra tidak berhalusinasi.

Didatanginya Sayla ke kamar perempuan itu. Ragu-ragu Putra mengetuk pintu. "Ekhem." Mengetuk lagi. "Sayla." Memberi jeda sebentar. "Di dalam?"

"Ya, Put?"

Putra menelan ludahnya mendengar suara Sayla. Betul-betul Sayla, tapi terdengar berbeda.

"Bisa keluar sebentar?"

"Iya, tunggu." Sayla membuka pintu beberapa saat kemudian. Pakaiannya diganti dengan tunik kuning kunyit dan celana panjang hitam. Rambutnya ditutupi hijab instan senada baju. Di tangan Sayla terdapat dompet.

"Maksudnya keluar ... keluar kamar." Putra menggaruk-garuk lehernya, agak mundur memberikan spasi di antara mereka.

Sayla menunduk.

"Heem ... cuacanya cerah. Mau motoran?" tawar Putra karena dilihatnya Sayla berpakaian rapi.

"Ayo." Sayla berdiri di sebelah Putra. "Bentar, ya." Sayla mengambil sepatu dari rak dan memasangnya. "Yuk." Sayla berjalan lebih dulu di depan Putra.

Sempat ragu untuk duduk di boncengan motor Putra yang tinggi. Tak tahu kenapa Sayla agak sungkan untuk menyentuh Putra. Namun, segera dia lupakan semua rasa tidak nyaman itu dan naik ke jok motor. Sayla mengamankan baju panjangnya yang menjuntai, memegang kaus Putra dengan kedua tangan, lalu bilang 'siap'.

Putra mengendarai roda duanya santai. Tak ada niat modus agar Sayla memeluk pinggangnya. Putra berusaha menjadi baik dan tidak menyebalkan supaya Sayla kehilangan kesempatan untuk memarahinya. Namun, saking berkonsentrasi agar tak terjadi benturan antara tubuh mereka, Putra justru kaget saat kendaraan di depannya berhenti tiba-tiba. Berusaha mengerem pelan, tapi Sayla akhirnya menempel juga di punggung Putra.

Jantung sang Pelindung jadi jumpalitan. Apalagi Sayla melingkarkan tangan di pinggang Putra. Putra ingin membaca ayat kursi supaya setan dalam dirinya kabur atau setan yang menampakkan wujud sebagai Sayla lenyap. Namun, pelukan itu masih nyata sampai Putra menepikan sepeda motor di depan kafe.

***

OKI, 15 September 2021

Mana suaranya???

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro