Sayla [21]
Gedoran pada daun pintu yang tak bersalah membuat lambat laun kayu jati bercat biru itu menguak. Pemiliknya membuka pintu lebar-lebar sebelum menghardik si pelaku penggedoran. Tak cuma itu, si tersangka yang tak lain Putra Buana mendapatkan satu kali tinjuan pada perutnya. Pria yang berwajah lebih muda dari usianya itu hanya cengengesan tak berdosa.
"Sinting lo!" maki si wanita sekali lagi dengan wajah amat kesal.
"Lo yang sinting! Bentar lagi lo merit, kawin! Ngapain masih di sini?" balas Putra tak kalah keras.
Yesi sang sahabat yang sama sekali tidak Putra menyangka akan menjadi pengantin, mendelik dan mengambil ancang-ancang untuk menutup pintu. Dengan gesit Putra menyelinapkan tubuh berotot tempaan olahraga rutinnya ke dalam rumah sang dara.
"Hoi Anj*ng! Keluar nggak lo!" Sekuat-kuatnya tenaga cewek, enggak akan mampu melawan kekuatan cowok. Meskipun Yesi perawan berkesing perjaka, ia tidak akan sanggup menghalau Putra dari sarangnya.
Sang Pelindung menjatuhkan seonggok tubuh padatnya ke satu-satunya sofa yang ada di kontrakan itu. Putra melirik benda hitam di pergelangan tangannya.
"Dalam satu jam lo nggak kelar beres-beres, gua angkat ke terminal. Kalau masih handukan pun, gua nggak peduli asal lo tiba di depan calon suami lo!"
Yesi hanya diam tanpa melakukan pergerakan yang Putra pinta. Putra melirik ke sebelah kanan bahunya tempat Yesi mematung.
"Kenapa diem? Langsung aja nih?" gertak Putra.
Bayangan kesedihan dari mata calon pengantin membuat Putra sedikit berbelas kasih. Suaranya ia turunkan beberapa oktaf. "Siap-siap gih. Gua yang bertanggung jawab membawa lo ke hadapan penghulu."
Yesi memejamkan matanya kemudian ke kamar. Putra menyilangkan kaki dan menyandarkan punggungnya ke sofa. Tanpa dikomando ia mengeluarkan ponsel dari saku celana. Telunjuknya menekan tombol kecil di sebelah kanan gawai sehingga layar itu hidup. Foto Sayla yang tengah tersenyum memenuhi benda 6,5 inci tersebut. Putra mengambilnya diam-diam ketika Sayla sedang berbicara dengan kembarannya.
Karena asyik dengan isi pikiran, Putra sangat kaget saat sebuah tali melingkari lehernya. Ia terpaksa mengikuti arah benda yang mencekik itu supaya lehernya tidak sakit. Putra berjalan mundur ke arah pintu dan memaki-maki dalam hati untuk perbuatan Yesi yang tidak berperikeperempuanan. Putra tidak menyangka Yesi akan berbuat sekejam ini untuk mengusirnya. Alasan jaka berkedok perawan itu pasti ingin menggagalkan tugas mulia Putra.
Sebelum sampai ke pintu, Putra mengerahkan tenaga dalam untuk melepaskan cengkeraman tali dari lehernya. Begitu benda terkutuk ia buang, Putra langsung berbalik menghadap sahabatnya.
"Lo harus dipaksa, ya!" hardik Putra.
Kata Idot, semua berkas telah selesai. Mereka hanya perlu membawa calon pengantin untuk menghadiri pernikahan. Tidak masalah membawa Yesi tanpa pakaian ganti dan perkakas lainnya. Putra kemudian mencekal tangan wanita itu. Tak peduli sang empu meneriaki Putra sebagai hewan yang suka menjulurkan lidah berulang-ulang.
"Pakai!" perintah Putra.
Helm yang Putra sodorkan tidak ditanggapi oleh Yesi. Perempuan itu justru tertawa.
"Eh, Put, sini gua ajarin supaya lo pinteran dikit."
Otomatis kepala Putra tertoleh ke samping, tempat seorang blasteran pria berdiri.
"Maksudnya, lo mau bawa sepeda motor ini ke Aceh? Begok dipelihara," ejek Yesi.
Putra melongo sejelek-jeleknya. Ia lupa bahwa kampung halaman duo satpam rekannya itu adalah Sumatra yang paling ujung. Sebelumnya Putra pikir ia hanya akan naik motor ke Tanjung Duren.
"Ya trus gimana? Ke sana naik apa?"
"Naik odong-odong! Ya naik pesawat dong begok!" Yesi mengegas suaranya.
"Oke. Ayo ke bandara!"
Yesi melotot kemudian memukul belakang kepala Putra Pelindung. "Lo kata mau ke dufan yak yok yak yok. Eh ini jauh. Lo mau pergi nginep bahlul. Pamit dulu sama bini lo."
"Wah kebalik ini. Gua cowok, Yesiii, gua suami. Cuma istri yang ke mana-mana harus pake izin suami." Ini harga diri. Putra tersinggung karena dirinya disamakan dengan kaum wanita.
"YA--ya lo tetap harus bilang sama anaknya bos! Kalau nanti lo dicariin gimana?"
"Udah lo tenang aja. Sayla nggak bakalan tahu gue pergi ke mana. Enggak akan peduli juga dia."
"Put," tegur Yesi mendekat. Suara Yesi tidak semengotot tadi. Yesi menepuk bahu Putra sehingga suami Sayla Lovaiza itu menoleh kepadanya. "Ada satu fakta yang harus lo dengerin tentang gue."
Putra menyilangkan kedua tangan di dada, bersiap mendengar cerita.
"Gue nggak akan menikah!"
Kedua bibir Putra menipis karena geram. Dia tidak peduli tubuhnya dipukul oleh Yesi dengan beringas. Menggunakan otot tangannya, Putra menaikkan Yesi ke boncengan sepeda motor. Sebelum Yesi turun lagi, Putra dengan cepat duduk di bagian depan Yesi. Kedua tangan Yesi Putra lingkarkan ke pinggangnya sendiri. Tanpa Putra sadari, perlawanan Yesi terhenti. Sepeda motor dengan mulus meninggalkan jalanan kampung tempat kontrakan Yesi dibangun.
***
"Aaaah! Ini si Ulet Bayam ke mana sih?" Ayla duduk di sebelah Sayla. Kedua matanya menyipit mengamati tingkah saudara serahimnya itu. "Udah selesai meweknya?" sindir istri Ergi Nugraha itu.
"Putra bilang apa sebelum nganter lo ke mari?" Suara yang tak pernah lembut kepada Sayla itu terdengar lagi. "Dia bilang apa, Say? Ngomong apa? Apa dia bilang, kamu aku ceraikan atau lo gue end?!"
"Dia mau kami pisah. Dia bilang sebaiknya kita pisah aja."
Ayla berdiri dengan histeris. Kedua tangannya menempel di pelipis. Dress selutut yang ia kenakan ikut bergerak ketika wanita beranak satu itu berputar-putar. Dengan gemas ia mengacak rambut panjang nan lurus yang jatuh di punggung.
"Gue butuh solusi! Gue bingung. Gue pikir yang Putra ucapin ke elo adalah dia benar-benar menceraikan lo. Tapi ... tunggu dulu! Dia bilang 'sebaiknya kita pisah', itu sudah pisah atau belum? Menurut lo, sudah jatuh talak? Sebentar gue cari di google."
"Enggak perlu."
Kegiatan tergesa-gesa Ayla mendadak berhenti. Bukan karena tanggapan Sayla, tetapi ada satu nomor yang sedang melakukan panggilan kepadanya.
"Nih Putra." Ayla memperlihatkan caller id pada ponselnya.
Ayla menggeleng-geleng saat melihat Sayla merebahkan diri dan menutup tubuhnya dengan selimut.
"Ke mana aja lo?" bentak Ayla. Ia tidak mengaktifkan speaker. Sengaja agar Sayla penasaran.
"Tadi lagi di jalan. Ada apa, Ayla?"
"Bawa balik bini lo sekarang! Ngehabisin beras Pak Hadi aja. Udah jadi tanggung jawab lo juga!"
"Udah pisah."
Ayla berdiri dari tempat duduknya. Dia keluar dari kamar saat melihat tubuh kaku Sayla sewaktu mendengar jawaban Putra. Meski loudspeaker tidak ditekan, suara renyah Putra tetap masuk ke liang telinga si kembar satu lagi.
"Kayak bocah aja berantem dikit minta udahan. Kalian nggak lagi pacaran, Putra."
"Terus lo maunya gue harus ngapain? Mempertahankan Sayla?"
"Iya."
"Gue pikir-pikir dulu."
Ayla menggeram. Kalau saja di hadapannya ada wajah Putra Pelindung si mantan selebgram abal-abal, sudah pasti hidung Putra sekarang patah-patah.
"Tiga hari itu udah lama. Lo mau mikir sampai berapa lama?"
"Setelah urusan gue selesai. Gue punya tanggung jawab besar yang sangat penting saat ini. Dan untuk beberapa hari ke depan gua nggak bisa lo hubungi. Dan bukan gue yang harusnya lo suruh mikir, tapi Sayla. Udah, gua udah dipanggil. Salamin buat Sayla."
"Gila! Ada urusan yang lebih penting dari istri yang sedang ngambek? Si bocah serius nggak sih sama Sayla?" gumam Ayla sambil berjalan kembali ke tempat Sayla tiduran.
"Sepertinya Putra mau nikah lagi deh, Say," gumam Ayla. Ia berusaha menahan tawa. Putri pertama Hadi Baskara itu menampilkan wajah bingungnya. Seolah ia baru saja mendengarkan penjelasan ambigu dari suami Sayla.
"Dia di bandara kirim salam sama elo. Sekarang pasti sudah terbang di langit tuh bocah. Cowok kecuali laki gue kalau dibiarin nggak dikasih service, ya, mana tahan kelamaan nunggu. Dia pasti akan jajan di luar. Sejenis Ulet Bayam yang lurus jelas akan milih nikah lagi sama yang mau kasih dia kenikmatan duniawi. Buat apa dia nungguin lo yang jual mahal? Lo bego, Sayla, dapat suami baik lo sia-siain."
"Ya udah, Ay, nggak apa-apa. Dia ingin berpisah. Justru bagus status aku jelas sebagai janda daripada sebelum menikah."
"Lo ngomong apa sih, Say?"
Sayla tertawa, tetapi tak sampai ke matanya. Tawa itu penuh ejekan, begitulah yang terlihat oleh Ayla.
"Suatu saat aku tidak perlu takut dengan diri sendiri. Lelaki yang menikah denganku enggak akan heran dengan keadaanku yang sudah tidak perawan karena aku memang janda. Dan aku juga bisa mengakui bahwa aku ini ibunya Syahda—"
Suara kulit beradu dengan kulit terdengar nyaring di kamar itu. Baru saja telapak tangan Ayla menempel di pipi Sayla.
"Sudah enggak waras lo, Say. Jadi niat lo ini? Lo menikah supaya harga diri lo balik lagi!"
Ayla membuang napas keras-keras. "Selalu begini, Say. Elo. Anak kebanggaan Mama dan Papa yang tercinta. Anak yang selalu dibela mati-matian, yang dipuji tinggi-tinggi. Enteng banget lo bilang pernikahan kalian sebagai jalan untuk memperbaiki penilaian orang lain terhadap elo. Bukan otak lo yang nggak beres, Say, tapi hati lo. Gue berharap Putra bener-bener membuang elo! O iya, gue memang sudah punya anak sendiri, tapi Princess nggak akan gue lepas ke ibu seperti lo. Dengar itu!"
Ayla begitu kecewa. Demi Tuhan, ia sangat mendukung Sayla bersama Putra. Ayla melihat betapa tergila-gilanya Putra kepada Sayla. Ia menyaksikan binar puja dari mata Putra ketika melihat Sayla. Pemuda itu menyerah. Bukan Putra yang salah. Sayla yang otaknya telah rusak. Sayla tidak pernah mau bersyukur terhadap hidupnya yang sempurna.
***
"Gue memang sudah punya anak sendiri, tapi Princess nggak akan gue lepas ke ibu seperti lo. Dengar itu!"
Kalimat-kalimat itu berulang di telinga Sayla. Di luar bulan telah lama menggantikan shift matahari. Suara celotehan Syahda juga gelak tawa Rista telah hilang. Anak-anak pasti telah dibawa Ayla pulang. Mama dan Papa pun pasti sedang beristirahat. Sejak terkena serangan pertama ketika Ayla keguguran, Pak Hadi sudah tidak sekuat dulu lagi. Tubuhnya lebih sering minta istirahat lebih banyak. Alasan itu pula yang membuat Sayla tidak bisa membantah saat Pak Hadi ingin menikahkan dirinya dengan Putra.
"Sebaiknya kita pisah aja, Dek."
Putra yang ingin berpisah. Kenapa Sayla yang bersalah? Ini kesempatan untuk Sayla keluar dari masalah. Dari awal ia tidak meminta untuk menikah. Hingga tengah malam Sayla masih tidak bisa tidur. Cukup sudah Sayla merasa buruk karena dicampakkan. Untuk apa ia bersedih hanya karena Putra ingin berpisah? Sudah waktunya Sayla mencari kebahagiaan sendiri.
[Aku ingin bercerai.]
Walaupun pesan itu hanya centang satu ke nomor Putra, Sayla telah merasa puas. Ia yakin Putra akan segera membaca pesannya. Malam itu Sayla berharap ia segera mengakhiri hubungan yang tak jelas bersama Putra Pelindung.
"Putra," gumamnya sebelum kedua matanya terekat. Satu kata yang tanpa sadar mengantarkan Sayla ke alam mimpi.
Paginya Sayla merasa sehat. Semalam ia bagaikan mendapatkan sihir, sehingga semua masalah dalam kepalanya terempas jauh. Sayla telah siap dengan setelan kerja dan turun untuk sarapan. Satu pesan yang masuk ke ponselnya menambah gairah hidup Sayla naik beberapa belas persen.
Mondy
Hari ini sudah masuk kerja lagi? Aku jemput, ya. Aku nunggunya agak jauh dari rumah. Enggak mau bikin papa kamu marah lagi.
***
Muba, 11 September 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro