Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sayla [20]



"Kakak masih berharap kalau-kalau setelah kita pisah, Adek ingin rujuk," kata Putra Pelindung yang ia lanjut dengan tawa. "Biar gimana juga kita menikah beneran, tiap malam tidur bareng." Putra berhenti sambil menunggu tanggapan Sayla yang tak datang-datang.

Beberapa saat hanya hening, Putra meneruskan, "Semoga Adek sadar kalau Kakak sudah kamu cintai diam-diam."

"Sampai detik ini ... tidak."

Jawaban Sayla mengakibatkan Putra terkekeh sebentar. Ah, jauh panggang dari api. Begitu ia berucap di dalam hati. "Besok Kakak yang anterin kamu pulang."

"Pulang?" Sayla membeo.

Putra mengangguk. Ia maju selangkah untuk mencapai posisi Sayla. Sebelah tangan Putra mengelus puncak kepala Sayla. "Karena pernikahan itu enggak main-main. Perpisahan juga bukan main-main, jadi tidak boleh asal diucapin. Karena Kakak udah bilang begitu tadi, artinya kita udah pisah," jelas Putra.

Sayla menjauhkan tangan Putra yang parkir di kepalanya selama berbicara. "Ya sudah. Bagus kalo kamu sadar aku enggak pernah suka jadi istri kamu." Sayla pun berjalan cepat masuk ke kamar dengan hadiah bantingan pintu untuk Putra.

"Dek ... Dek ... Remuk hati ini. Harapan tinggal harapan." Putra mengetuk pintu kamar mereka, "Sayla!" panggilnya.

Tiada jawaban.

Putra mengetuk lagi. "Kakak di kamar sebelah. Panggil aja kalau terjadi sesuatu."

Lalu terdengar suara klik pertanda pintu baru saja dikunci Sayla.

"Kamu bikin Kakak mikir kalau kamu tadinya bolehin Kakak masuk."

Sementara itu, di balik pintu kamar yang baru saja terkunci Sayla memegang kepalanya di kiri dan kanan. Gumaman istigfar terucap beberapa kali dari bibirnya.

"Siapa kamu, Putra? Siapa kamu memangnya bisa mencampakkan aku itu seperti ini?"

Putra tidak akan pernah tahu bahwa di balik pintu ada seorang wanita yang menangis dengan membekap mulutnya.

***

Sayla merasa kepalanya sakit ketika bangun di pagi hari. Beberapa waktu belakangan ini Sayla terlalu memforsir tenaganya akibat terlalu semangat mempersiapkan pesta Syahda. Sebelum berdiri, Sayla mengikat rambut panjangnya menyadari jika tempat tidur di sebelahnya kosong. Wanita 27 tahun itu tercenung. Ingatan semalam membanjiri kepalanya.

"Sebaiknya kita pisah aja, Dek."

"Perpisahan juga bukan main-main, jadi tidak boleh asal diucapin. Karena Kakak udah bilang begitu tadi, artinya kita udah pisah."

Kedua bahu Sayla bergetar saat tangisannya mulai pecah. Sayla membenci Putra. Dia tidak menyukai pria yang lebih muda darinya itu. Namun, mendengar kalimat pisah terucap begitu saja dari Putra membuat Sayla tak dapat membalas seperti biasanya. Lidah Sayla seolah kebas akibat kehabisan kata. Beberapa potong frasa yang ia ucap pun tanpa melewati sensor otaknya.

Betapa buruk nasib kehidupannya. Sayla meruntut peristiwa demi peristiwa buruk dalam hidupnya. Dahulu ia anak penurut bahkan sampai rela menikah tanpa cinta. Kepada siapa lagi Sayla lampiaskan kefrustrasiannya kalau bukan terhadap Putra, lelaki kekanakan yang menyebalkan.

Setengah jam lamanya Sayla duduk di tempat tidur sebelum pergi ke kamar mandi. Ia sempat oyong sehingga mengandalkan dinding sebagai tempat berpegangan. Selepas menunaikan ibadah pertama hari ini, Sayla memutar kenop dan membuka daun pintu. Lampu ruangan masih menyala. Keadaan ruang tengah yang benderang itu hening. Ragu-ragu Sayla mengetuk kamar yang ditempati Putra. Sebelum jarinya menyentuh kayu, pintu itu terkuak.

"Sudah siap?" tanya Putra.

Satpam itu melewati tempat Sayla menuju dapur. Putra mengambil gelas dari meja kemudian mengisinya dengan air mineral dari kulkas.

"Ke sekolah dulu, nanti pulangnya aku jemput. Kita langsung ke rumah Pak Hadi."

"Aku bisa pulang sendiri," sela Sayla. Ia menaruh teflon di atas kompor kemudian menyalakan apinya. Sayla memasukkan minyak dan menunggu hingga teflon panas. Sebutir telur Sayla pecahkan untuk dimasukkan ke dalam minyak.

"Sampai akhir kita, kamu masih keras kepala untuk nolak aku. Terserah kamu aja deh kalo gitu."

Kepala Sayla seolah ada yang memukulnya. Sakit yang ia rasakan nyaris membuatnya terjatuh. Sayla berdeham ketika Putra yang telah memunggunginya berbalik badan. Sayla mengangkat telur yang telah matang lalu memecahkan satu lagi ke dalam minyak.

"Kamu baik-baik saja?"

Pertanyaan Putra membuat Sayla kaget juga akibat kedatangan Putra yang tiba-tiba di sebelahnya. Ditambah dengan kedekatan wajah mereka berdua.

"Ini masih pagi. Kamu udah keringatan."

"Kamu nggak lihat di depan ada api?" bentak Sayla pelan.

"Mau aku gantiin? Kamu kan mau berangkat kerja, sebaiknya siap-siap aja."

"Nggak usah sok baik."

Putra mengangkat bahu tak acuh lalu duduk di bangku menunggu sarapannya disajikan Sayla untuk yang terakhir kali.

"Nanti aku tunggu kabar dari kamu, ya. Kamu yang putuskan kapan perceraian kita mau didaftarkan. Kalau kamu maunya kita balikan lagi, aku masih bersedia jadi suami kamu. Tapi kalau kamu sudah mantap dengan yang lain, aku bisa apa. Aku nggak akan memaksa kamu nerima aku lagi."

"Aku nggak bawa mobil," kata Sayla saat meletakkan piring berisi telur mata sapi serta semangkuk sup ayam yang telah dihangatkan. "Minta tolong anterin aku ke sekolah," kata wanita itu yang membuat bibir Putra menganga.

"Kayaknya kamu nggak sehat, bukan karena api."

"Cuma pusing aja sedikit."

Putra menggeleng. Sayla tak mengerti apa yang sedang Putra pikirkan. Setelah itu tak ada lagi obrolan di antara mereka. Sayla bersiap-siap. Putra mengantarkannya dan membawa mobil Sayla ke rumah. Sekitar pukul sebelas Putra datang lagi. Dia membiarkan Sayla mengemas baju yang akan dibawa pulang ke rumah orang tua.

***

"HOOOOOOOO."

Setiap pulang Putra akan berteriak di depan pintu. Suaranya bergema di rumah kosong itu. Telah tiga hari Sayla berada di kediaman orang tuanya. Putra nyaris merana hidup sendirian. Setiap detik ia dibayangi ketakutan yang luar biasa bahwa Sayla akan meminta pengesahan perceraian. Pascacerai Sayla menikah dengan pria berjaket jeans yang mukanya terlihat seperti preman jalanan. Putra memukul kepalanya agar bayangan itu enyah.

"Ternyata Sayla sudah punya seseorang," lirih Putra menyandarkan punggung pada dudukan.

Putra menampik dengan tegas pendapat Yesi yang mengatakan jika Sayla berselingkuh. Sayla bukan wanita seperti itu. Biarpun Sayla menyukai lelaki lain dalam hubungan pernikahan mereka, Putra takkan menyalahkan Sayla. Perasaan tidak bisa dipaksakan. Putra sudah berusaha untuk dicintai Sayla, tetapi hati Sayla tak mampu ia gapai. Kalau ada pria yang mampu merebut cinta Sayla, Putra tak mungkin memaksa Sayla tetap hidup bersamanya dalam pernikahan yang tak bahagia. Tujuan Putra adalah membahagiakan istrinya. Ini jalan yang bisa Putra lakukan, yaitu memberikan cinta kepada Sayla lewat pria bertampang perampok yang memang betul telah merampok hati istrinya.

Sedang memikirkan calon mantan istri, telepon genggam Putra berbunyi. Nama Idot tertera di layar. "Kenapa?" tegurnya lebih dulu.

Putra mengacak rambutnya setelah Idot menjelaskan masalah yang menimpa pria itu.

"Please, cuman lo yang bisa gue andalin," mohon pria berperut bola itu.

"Yang nikahnya elo, kenapa gue yang repot? Nyesel gue nggak nyeret lo ngurusin nikahan gue dulu."

"Yang lalu biarlah berlalu. Ayolah, lagian lo bilang mau nyari kegiatan biar nggak kepikiran Sayla. Ya udah bantu gue bawa calon bini gue yang lagi ngambek."

"Lagian elo, anak orang nggak mau lo paksa juga." Lalu Putra terdiam saat Idot membalas jika mereka setali tiga uang. Putra tak jauh berbeda bahkan telah berpisah akibat pernikahan yang hanya diinginkan oleh sebelah pihak, yaitu dirinya sementara Sayla tidak.

"Kok bisa?" Putra masih tak habis pikir dengan nasib yang menimpa Idot. "Tu anak cewek baik-baik, Brengsek! Parah lo, parah ... Sorry gue nggak bisa bantu selama ini. Kalau elo cerita dari dulu, mungkin gue bisa bantu dengan cara bener."

"Yang lalu biarlah berlalu—"

"Iya, Kampret! Gue bantu. Tenang aja. Gue bakal seret calon bini lo!"

***

"Sayla begok!" teriak Ayla dari depan pintu.

Sayla menegakkan punggung dan bangkit untuk memeluk kembarannya itu. Sayangnya, Ayla segera menolak pelukan yang dilakukan Sayla susah payah. Sayla terhuyung dan hampir jatuh kalau tidak dipegangi oleh Ayla.

"Lo sakit, Say. Lo sakit! Sadar nggak sih lo sakit apa?" ketus perempuan bermuka sama dengan Sayla itu.

"Sedikit demam," jawab Sayla.

Ayla membantu Sayla kembali ke tempat tidur. "Kalau gue bodoh, gue pasti mikir lo sampe muntah-muntah karena hamil lagi. Tapi itu nggak mungkin. Lo sakit parah setelah dipulangkan laki lo. Lo tahu artinya lagi sakit apa?"

"Aku kangen kamu, Ay," balas Sayla memeluk Ayla. "Aku kangen kamu yang begini."

"Lepasin. Gue jadi gerah."

Sayla tersenyum melihat penolakan kakaknya.

"Say. Gue pites juga pala lo. Jadi orang oon banget sih. Lamban banget soal beginian."

"Kamu ngomong apa sih? Rista nggak kamu ajak ke sini?"

"Diambil Mama. Syahda nggak lo tanya?" sindir Ayla.

"Ay ... aku bingung. Kemarin Mondy datang."

"Mau apa si kadal kurap?"

"Nggak bilang apa-apa. Kemarin Syahda ke sini sama Ergi. Waktu Ergi bicara sama Papa di ruangan lain, Mondy datang dan bilang gimana kalo kita bertiga bisa kumpul seperti itu selamanya."

"Kenapa nggak lo iyain? Putra udah talak elo 'kan? Nunggu bentar, nah kawin dah lo sama Pokemon tersayang."

"Aku serius, Ay. Kepala aku jadi sakit banget mikirin semua ini." Sayla bahkan tak menyadari jika Ayla sudah tidak over protective lagi terhadap Syahda.

"Mikirin Putra juga?"

"Siapa lagi," jawab Sayla cepat.

Ayla menatap mata Sayla dari dekat, "Elu sakit cinta 'kan?"

Sayla menggeleng dan mentertawai tebakan Ayla. "Nggak ada sakit yang seperti itu."

"Lo kangen Putra, ya?"

Sayla menggeleng-geleng.

Ayla menyilangkan kaki kanan ke atas kaki kiri. Ia membuat tubuhnya dalam posisi duduk yang tegak dengan punggung lurus dan menghadap ke depan.

"Lo tahukan kalo dulu gue nggak cinta sama Ergi? Gue mau nikah sama Ergi supaya bikin lo cemburu. Biar lo panas karena gue waktu itu masih mikir layaknya anak-anak mikir. Nikah gue jadikan sebagai alat. Gue jalan dengan Arya di belakang Ergi. Dan lo sendiri tahu kalo gue sama Arya juga tinggal satu rumah. Tapi Say ... tiap gue lagi sama Arya gue nggak tenang. Pernah sekali waktu itu, gue nggak bermaksud menolak ajakan Ergi ke rumah Bunda dan malah jalan dengan Arya. Terus Ergi ninggalin gue, gue nggak bisa mikir yang lain selain gue sudah bikin Ergi sedih. Gue udah bikin Ergi mikir kalo gue nggak menghargai dia dan ajakan dia ketemu Bunda Mala. Dan ... lo tahu, Say. Gue nggak bisa melawan Ergi. Dia selalu bikin gue patuh. Tahukan gue susah dijinakin. Kalau Ergi sudah bilang A, gue pasti nurut. Meskipun gue enggak cinta Ergi, tapi gue sadar kalo Ergi itu suami gue. Dia yang nantinya akan tanggung jawab ke Tuhan atas semua perbuatan gue baik dan buruknya. Di awal dulu gue berencana hubungan gue sama Ergi tidak selamanya. Gue ingin pisah dari Ergi. Hebatnya, Ergi lebih kuat dari gue. Keinginan gue lambat laun punah. Dan saat Papa minta Ergi cerai dari gue dan nikahin lo, dunia gue udah hancur. Dunia ini nggak adil. Lo yang bikin kesalahan kenapa harus gue dan suami gue yang membereskan? Untungnya Ergi ngelawan Bokap dan mempertahankan gue. Gue makin gedek sama lo. Gue kira hidup lo sempurna, Say. Lo disayang Nyokap Bokap. Apa pun yang lo lakuin dipandang bagus terus. Sekarang justru sebaliknya."

Sayla dapat membayangkan masa gelap itu. Sidang di keluarga mereka untuk menyembunyikan kehamilan Sayla. Ayla yang terlihat sedih dan Ergi yang terlihat menahan kekesalan. Sayla yang banyak diam hanya semakin menambah runyam keadaan. Suatu hari Ayla memutuskan untuk berpura-pura hamil atas permintaan mama mereka.

"Lo memang salah sama Putra. Lo istri durhaka karena ngelawan sama suami. Nggak pernah menghargai dan menghormati Putra ... Balik lagi sih, gue nggak bisa membela Putra sepenuhnya atau membenci Mondy selamanya. Cinta datang secara tiba-tiba kan? Seperti gue sama Ergi, lo dulunya benci sama Mondy. Tiba-tiba sekarang nggak pernah melepaskan cincin tunangan kalian sampai lupa memakai cincin nikah dari suami lo sendiri. Selesaikan dulu pernikahan lo sampai beres baru terima Mondy."

"Aku nggak bilang mau terima Mondy, Ay." Sayla melepaskan cinci dari Mondy. "Cincin ini nggak ada arti apa-apa, cuma perhiasan."

Bohong karena tidak mungkin Sayla terlalu jujur. Nyawanya hilang separuh ketika kehilangan si cincin. Siapa pun tidak boleh tahu, hanya Sayla yang berhak menyimpan kebenaran itu.

"Terus mau lo ganti dengan cincin dari Putra? Mau balikan sama Putra? Mau rujuk?" tanya Ayla dengan antusias.

"Rujuk? Aku kaget waktu Putra bilang ingin pisah. Aku nggak pernah berpikir sampai ke sana. Aku selalu emosi, marah, kesal, tapi enggak ... aku nggak berpikir kami akan pisah." Sayla hanya berharap Putra pergi. Entah pergi ke mana. Pikiran itu terlontar begitu saja jika sedang kesal kepada sang suami.

"Walau di hati lo ada Mondy."

"Aku hanya kasihan sama Mondy."

Ayla mencibir. Kembaran Sayla itu bisa meraba perasaan yang tidak pernah Sayla siarkan di depan umum. "Tapi bahagia lihat dia bebas. Senang diajak jalan bareng Syahda. Lo pikir gue nggak tahu? Sampe rumah, Ergi habis gue omeli karena memberi kalian kesempatan. Sekarang juga galau karena Pak Satpam Imut ninggalin elo. Yaudah, kesimpulannya, lo sedang sakit karena kangen berat. Gue teleponin Putra kalau lo gengsi."

Ayla mengambil ponsel dan mencari nomor kontak Putra.

"Sialnya gue nggak ada nomor Putra. Sini hape lo."

"Untuk apa?"

"Minta Putra datang—yah nggak aktif hapenya. Ke mana sih ulat bayam pas lagi dibutuhin? Eh, lo nangis, Say?"

*** 

Bersambung...

Muba, 10 September 2021

Hey, sudah saatnya Putra cari yang baru. Ingat gak, cewek yang ditemui Putra selanjutnya??

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro