Sayla [02]
Wajah imut milik lelaki berkaus oblong hitam itu semakin manis saat pemiliknya menggigit bibir bawah. Melihat wajah dan kelakuan Putra Pelindung saat ini, siapa pun takkan percaya jika si pelindung berprofesi sebagai petugas keamanan. Tampangnya berkebalikan dengan badan yang gagah dan kekar serta warna kulit cokelat terpanggang. Alih-alih bersikap cool dan dewasa seperti binaragawan di tempat latihan, Putra mengacak rambut cepaknya untuk kali kesekian sehingga terlihat menggemaskan.
"Benda dalam tas putri saya sangat berharga dan jika sampai itu hilang, dia pasti akan sangat bersedih. Sebagai rasa terima kasih saya karena Anda mengembalikan tas putri saya, saya akan memberikan imbalan kepada Anda. Katakan berapa yang Anda inginkan."
Putra ingin menjawab, saya diimbalin putri bapak saja. Namun, akal sehat sang pelindung masih bekerja. Itulah yang kini disesalkan oleh si tukang selfie tersebut.
"Saya ikhlas menolong putri Bapak. Bapak tak perlu memberikan saya imbalan. Kalau saya menerima sesuatu dari Bapak, sama saja upaya saya kemarin nol sebab Tuhan takkan suka manusia yang pamrih. Lagian itulah tugas saya, melindungi—" putri Bapak "—orang lain."
"Kenapa tak langsung lamar aja, Putra?" gerutu lelaki bercelana pendek tersebut.
Otak matematika Putra kemudian melakukan tugasnya. Bibir Putra Pelindung berkomat-kamit menghitung uang simpanan dalam rekening bank-nya. Kalau yang mau gue lamar si Yesi, cukuplah duit segitu. Tapi yang gue ingin nikahin ini anak bos besar. Bapaknya punya saham lebih mahal dari harga nyawa gue ditambah uang tabungan gue dalam ATM. Akibatnya rambut hitam menjadi korban acakan Putra lagi dan berhenti begitu munculnya sang bidadari.
Kalau sedang bebas tugas seperti ini, Putra lebih suka nongkrong di depan TK Anak Cerdas tempat Sayla mengajar. Dia paling suka jam bebasnya di pagi hari sehingga bisa melihat kegiatan ibu guru anak-anak.
"Kakak enggak salah dari dulu naksir Adek. Adek pintar banget ngejagain anak orang, apalagi nanti menjaga anak kita."
Putra menurunkan kaca helm ketika manik Sayla menatap ke arahnya duduk. Calon bidadari Kak Putra itu membawa seorang anak perempuan dan menuntunnya ke samping kelas. Mereka duduk berdua di ayunan.
"Sama anak orang saja seperti dengan anak sendiri."
Putra menyudahi aksinya mengingat ia belum tidur dari semalam. Segera setelah men-starter mesin, dia meninggalkan sekolahan.
***
"Tante. Kata Bunda, Tante disuruh anter aku pulang. Bunda lagi sakit."
Oh Tuhan! Panggilan itu masih belum bersahabat di telinga Sayla. Seluruh anak di sekolah diajarkan memanggil bunda kepada pengajar. Di luar sekolah Syahda mengatakan jika bundanya yang tak lain kakak kembar Sayla menyuruh Syahda tetap memanggil Tante Sayla.
"Ayah enggk jemput?" Ini cuma basa-basi! Sayla tak mungkin melewatkan waktu berduaan dengan anak cantik copy-an parasnya ini.
Syahda menggeleng. Wajah anak enam tahun itu kelihatan murung. "Ayah jagain Bunda di rumah."
Sayla mengeluarkan napas lega. Ini tahun terakhir Syahda berada di TK. Setelah dia tamat, Sayla akan jarang bertemu Syahda. Sayla bisa saja datang ke rumah Ayla—ibu Syahda, tetapi dia hanya bisa melakukan itu sore hari setelah Syahda pulang sekolah. Artinya, dia akan bertemu Ayla dan suaminya yang selalu tampak mesra. Hati Sayla akan sedih melihat keluarga bahagia kakak kembarnya itu.
Sayla akan memberi tahu orang tua Syahda jika dia akan mengajak Syahda keluar sebentar. Namun, jawaban Syahda mengempaskan angan-angan Sayla.
"Bunda bilang enggak boleh mampir ke mana-mana harus langsung pulang. Aku juga mau nememin Bunda. Aku nggak mau Bunda sakit lagi. Aku sedih lihat Bunda sakit."
Syahda sangat menyayangi Ayla sebab yang Syahda tahu Ayla adalah ibunya. Sayla hanya tante padahal di rahim Saylalah Syahda dulu bernaung. Mengingat hal itu membuat mantan bidan itu mengusap matanya.
"Ayo, Tante, cepat pulang! Aku ingin ketemu Bunda. Tante kok malah bengong sih?"
Mulut anak itu betul-betul pedas seperti Ayla.
"Princess anak gue! Jangan pernah deketin Princess gue dan ngaku-ngaku lo ibunya. Princess putri gue sampai kapan pun. Berani lo bilang macem-macem, mulut lo gue sobek!"
Ayla Lovelya dilahirkan lebih dulu lima menit. Sayla sangat mencintai Ayla, meskipun kakaknya sangat kasar. Jarang tersenyum pada Sayla. Hobi menghardik, membentak, dan menyindir Sayla. Terakhir Ayla suka memanas-manasi Sayla. Apalagi semenjak Syahda lahir. Ayla semakin gencar membuat hati Sayla diruangi iri dan perih. Namun, Sayla percaya Ayla pun menyayangi dirinya. Ayla akan sangat perhatian ketika Sayla sakit. Perhatian yang dia sampaikan dengan cara mengomel. Menurut Sayla, kakaknya lucu. Dia seperti adik bagi Sayla. Meskipun telah bersuami, masih terlihat seperti anak-anak.
Kakaknya itu yang diberikan hak oleh papa mereka membesarkan Syahda.
"Kenapa Papa tega pada Say? Syahda itu anak Say. Aku mengandungnya. Aku yang melahirkannya. Aku juga ingin menyusui Syahda. Papa jangan pisahkan Say dengan anak Say."
"Tante! Kok masih bengong sih? Aku telepon Ayah aja deh," ancam Syahda.
"Ayah kamu enggak bisa, Princess." Sayla menghela tangan kecil Syahda ke mobil.
Ayahmu enggak akan pernah meninggalkan Bunda kamu yang sedang sakit. Pun terima kasih kepada suami Ayla yang sering memberikan kesempatan bagi Sayla untuk memiliki waktu bersama Syahda.
"Say, aku enggak bisa jemput Princess. Tolong dibawa ke rumah Papa dulu, ya. Ay masih di kampus."
"Hari ini aku meeting di luar dan lupa bilang Ay enggak bisa jemput Princess. Tolong sekalian bawa pulang Princess. Nanti aku yang ngomong ke Ay."
Sayla paham apa yang dilakukan Ergi. Itu bukan karena dia tidak mencintai Syahda. Semata-mata Ergi ingin memberikan Sayla kesempatan bertemu Syahda tanpa larangan Ayla.
Mobil mereka memasuki kompleks perumahan tempat tinggal Ayla.
"Bunda!!!" seru Syahda setelah pintu mobil Sayla bukakan.
Anaknya tumbuh menjadi gadis yang aktif, riang, dan pintar. Berkali-kali pula perasaan Sayla serasa ditikam oleh sebilah pisau tajam ketika Syahda memanggil bunda kepada Ayla. Tak lama setelah itu Sayla dapat menguasai diri. Hidupnya masih berjalan baik meskipun tak bisa memeluk Syahda dan menemani Syahda tumbuh besar.
Sayla tidak langsung pulang sebab ia juga ingin tahu keadaan kakaknya.
"Kenapa sampai drop, Ay?" tanya Sayla murni karena heran sebab Ayla sangat jarang terkena demam panas.
"Gue juga manusia kali bisa sakit." Dengarlah jawaban itu. Sedang sakit saja, Ayla masih bisa mengajak Sayla berdebat.
"Terima kasih, Say, sudah membawa Princess," sela Ergi.
"Kamu sih, Gi, aku bilang kamu aja yang jemput. Aku nggak apa-apa ditinggal bentar. Aku juga masih kuat—"
Perkataan Ayla terhenti karena Syahda menutup mulut bundanya. "Orang sakit itu harus banyak istirahat. Bunda jangan ngoceh terus nanti enggak sembuh-sembuh."
Sayla memperhatikan interaksi Syahda dan Ayla dari kursinya. Dia teringat sesuatu setelah menyadari keberadaannya saat ini adalah di kamar pribadi Ayla dan Ergi.
"Syahda masih tidur dengan kalian?" tanya Sayla kepada Ergi.
Suami Ayla mengangguk sambil menatap anak serta istrinya yang sedang berdebat. "Ay nggak akan pernah mau pisah tidur dengan Princess. Seharusnya kamu percaya bahwa Ayla sangat mencintai Princess. Jangan pernah meragukan Ay lagi."
"Ay nggak bisa menjaga Syahda, Pa, sampai Syahda bisa jatuh dari tangga. Kembalikan Syahda pada Say. Say mohon."
"Ay juga jatuh! Istriku bahkan baru keluar dari rumah sakit dan dia nggak ingin dirawat karena memikirkan Syahda!"
Perdebatan itu adalah manivestasi kecemasan Sayla melihat tubuh Syahda bergulingan dari tangga akibat didorong oleh Ayla. Sayangnya, Sayla melupakan Ayla yang ikut menggelinding bahkan kepalanya membentur besi tangga.
"Maafkan aku," bisik Sayla. Dia salah. Saat itu dia dikuasai emosi.
"Berikan Ay kesempatan. Kamu tidak tahu gimana inginnya Ay memiliki anak."
Dan kalian tidak tahu rasa sakitnya dipisahkan dari anak sendiri.
Sayla melahirkan Syahda di luar pernikahan. Dia salah karena tidak dapat menjaga tubuhnya dengan baik. Sayla sendiri pun malu. Kadang ada keinginan untuk membuka hijab yang telah menjadi kesehariannya semenjak kuliah. Namun, dia tak ingin menjadi lebih buruk lagi dengan melalaikan kewajiban menutup aurat. Bagi Papa, Mama, Ergi, Ayla, dan mungkin Bunda Mala—orang-orang yang tahu siapa Syahda sebenarnya, Sayla adalah wanita kotor dan munafik. Kata-kata semacam, 'percuma pakai jilbab kalau mau saja tidur dengan lelaki yang bukan suaminya' akan Sayla maklumi. Toh semua itu betul. Yang mereka tidak tahu adalah Sayla tidak sadar kenapa dia melakukan perbuatan itu. Entah mengapa Sayla bisa menyerahkan kesuciannya kepada ayah kandung Syahda.
"Ayla dibawa teman sekosnya ke hotel. Aku tadi melihat mereka naik mobil. Ayla kelihatan mabuk. Kamu pasti enggak mau sesuatu terjadi kepada Ayla."
Sayla langsung berpikir bahwa orang itu pasti Arya sebab Nada masih bersama Dewa di pesta mereka berdua. Jadi, tak mungkin Nada yang membawa Ayla ke hotel. Bodohnya Sayla percaya kepada pria itu. Pun sebabnya Sayla melihat Ayla berdiri di sebelah Arya sebelumnya.
"Kamu kelihatan cemas sekali, Sayla. Coba kamu minum dulu supaya agak tenang sedikit."
Sayla yakin minuman pemberian lelaki itu adalah penyebabnya. Samar-samar Sayla sadar apa yang dia lakukan dengan lelaki itu. Karena itulah, dia semakin malu pada diri sendiri. Lalu ketika mengetahui kehamilannya, Sayla semakin bimbang. Ada kalanya Sayla ingin menuruti bisikan iblis jahat dalam kepalanya. Imanlah yang ia perkuat agar tak sampai bunuh diri. Meskipun kesedihan kerap datang, Sayla berusaha agar tak terpengaruh karena bayi dalam kandungan. Begitu berat upaya Sayla saat mengandung Syahda dan setelah lahir anak itu diambil darinya. Orang-orang hanya mengerti perasaan mereka, tanpa pernah memikirkan perasaan Sayla.
***
Muba, 26 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro