Savior - 3
🍂🍂🍂
"Uhuk, uhuk, uhuk." Aku terbatuk setelah membuka mata.
Di sekitar wajahku dikelilingi debu. Padahal kamar ini selalu dibersihkan setiap hari. Badanku terasa lemas. Tak bisa banyak bergerak.
Dari kecil memang aku selalu begini. Aku tidak tahu kenapa. Padahal aku sama sekali tidak pernah mengganggu mereka.
Bahkan aku rasa, tidak ada lagi rasa takut dengan berbagai film horor entah di dalam negeri atau luar. Semua terasa biasa, tidak ada yang membuatku merinding. Mungkin karena para hantu itu. Membuatku terbiasa dengan mereka.
Orang tuaku tidak percaya akan hal ini. Jadi percuma saja mengeluh pada mereka. Teman-teman menganggap aku hanya mengarang cerita, padahal tidak sama sekali. Jadi aku harus memendamnya sendiri. Dan menyelesaikan semua, sendiri.
Aku menegakkan tubuhku, kemudian pergi ke dapur untuk mengambil air. Setelah segelas air kutuang, langsung kuteguk isinya untuk meredakan rasa hausku.
Pria itu. Mungkin dengan pria itu aku bisa terbebas dari rasa takut akan hantu-hantu. Tapi sebenarnya siapa pria itu. Aku baru melihatnya. Atau karena aku saja yang jarang keluar. Bagaimana mau keluar jika penampakan hantu selalu ada di setiap sudut sekolah.
Di umurku yang ke lima belas tahun ini aku sangat berharap bisa terbebas dari ketakutan ini. Mungkin pria itu bisa mewujudkannya. Aku tidak peduli siapa pria itu.
Aku harus mendekati pria itu.
Dan mendapatkannya.
Pasti.
🍂🍂🍂
Saat bel istirahat berbunyi, teman-teman bergegas keluar. Hanya tinggal beberapa orang saja dikelas. Bagaimana ini, apa aku harus melakukan pendekatan dengan pria tampan itu.
Tapi aku tidak biasa keluar kelas saat istirahat. Kecuali ada keperluan penting saja. Aku tahu, mana bisa melakukan pendekatan dengan berdiam diri di kelas.
Aku harus memberanikan diri. Ini jugakan untuk keperluanku. Oke, akan kucoba.
Aku pun keluar kelas dan mulai berjalan ke kantin. Saat melewati mading sekolah, aku melihat pria tampan itu. Dia tampak sibuk menata kertas-kertas yang akan ditempelinya ke mading.
Aku bergegas menghampirinya. Mungkin ini saat yang tepat.
"Halo, kakak ganteng," sapaku ramah.
Pria itu sama sekali tidak meladeniku. Dia tetap sibuk dengan mading itu.
Aku merasa diacukan.
"Kakak lagi sibuk ngapain? Butuh bantuan?" tanyaku.
Dia menengok ke arahku. Kemudian membalikkan badan.
"Kamu? Ngapain kesini," katanya dengan wajah serius.
"Aku lagi liatin kakak. Kenapa? Kakak gak suka? Biarpun begitu aku tetap suka kok sama kakak." Aku mengembangkan senyum sok ramah.
Modus tingkat bidadari.
"Kamu gak jajan?" tanyanya.
"Dengan mandangin kakak aku udah kenyang kok. Kenapa? Kakak mau traktir aku? Aku mau kok!"
"Mau ditraktit? Bantuin aku dulu ya, lagi repot nih." Pria tampan itu masih sibuk dengan kertas-kertas yang tidak ada bagus-bagusnya sama sekali, cantikan juga aku.
"Ya udah. Siniin yang lain biar aku bantuin."
Kakak tampan itu pun menyerahkan sebagian kertas yang ada padaku.
"Tolong bantuin nempel ya."
"Oke, kak."
Aku dan diapun sibuk mengerjakan pekerjaan kami masing-masing. Aku tidak lagi mengganggunya. Kami hanya bicara di saat penting saja. Seperti di mana aku akan menempel puisi. Terus begitu hingga lima belas menit kemudian pekerjaan kami selesai.
"Makasih ya udah bantuin," katanya sambil tersenyum manis padaku.
"Iya. Tapi jadikan ditraktir? Cacing-cacing di perutku udah minta jatah nih," keluhku sambil memegang perut.
"Jadi kok. Kamu mau makan apa?"
"Batagor. Kakak kita belum kenalan. Aku Meisya. Nama kakak siapa?" Tanyaku.
"Aku Alvino." Jawabnya.
"Huaaa namanya keren kak Vino. Lope lope"
Kemudian seorang wanita dengan wajah pucat dan berlumuran darah muncul dari belakang Ka Vino. Wanita itu menatapku tajam dengan mata yang memerah.
Siapa dia?
🍂🍂🍂
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro