Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3 - Manik Zamrud

Kamu menyimpan sisa makanan yang belum habis itu di dalam kulkas. Lalu menyadari bahwa lemari es itu penuh dengan makanan sisa milikmu yang belum habis sejak beberapa hari yang lalu.

Kamu pun mengambil beberapa yang dirasa sudah tak enak lagi. Lalu membuangnya ke tong sampah. 

Solar yang baru sampai di dapur dan menyadari kamu tengah membuang sisa makanan yang sudah basi di kulkas itu, lantas berkomentar dengan mimik jijik. "Jorok sekali, meninggalkan makanan basi di kulkas selama berhari-hari."

Kamu mengendikkan bahu. "Kupikir akan ada yang membuangnya setelah dua hari masih ada di kulkas."

Solar membuka kulkas dan mengambil minuman kaleng. Ia membuka dan meminumnya. Baru menjawab pertanyaanmu lagi. "Kupikir kakak suka makanan basi."

Celaan yang membuatmu memutar mata dan Solar hanya tertawa remeh. Ia lantas meminum lagi minuman kalengnya hingga habis dan membuangnya di tempat sampah. 

"Ais kemarin hampir akan memakannya. Tapi Blaze mencegahnya dan bilang mungkin kakak akan memakannya lagi." Pemuda itu berjalan menjauh, keluar dari dapur. Namun, ketika sampai di pintu, ia bersuara lagi. "Aku yakin kakak sudah paham dengan posisi kakak di rumah ini, kan? Kakak tidak perlu bersusah payah bertingkah normal lagi."

Kamu meneguk ludah. Menatap diam punggung Solar yang masih diam di ambang pintu dapur. Pemuda itu juga sama-sama diam. Memegang tiang pintu dengan erat.

"Apa maksudmu, Solar?"

Mendengar dirimu yang bertanya seperti itu. Justru membuat Solar tertawa terbahak-bahak dan memegang perutnya. 

Bukannya kamu tidak mengerti mengapa Solar berkata demikian. Karena alasan yang sama juga membuatmu harus mengguyur pakaianmu perlahan-lahan tanpa sepengetahuan mereka bertujuh. 

Solar mengetahui hal tersebut pun bukan sesuatu yang mengejutkan. Kamu sudah menduga-duga bahwa anak bungsu ini akan berpikir demikian. Sejak fakta bahwa dirimu adalah seorang mata-mata dari aliansi ilegal itu terungkap. Dan kembalinya dirimu adalah sesuatu yang dianggap mustahil.

Jika bukan karena Amato yang mencari dirimu ke seluruh penjuru tempat. Bahkan menghentikanmu untuk membunuh lebih banyak orang karena jawaban yang tak kamu temukan. Serta pada akhirnya membawamu kembali ke titik awal.

"Mengapa tertawa?"

Solar menoleh ke arahmu. Melirik melalui ekor mata. Manik silvernya yang tertutupi lensa kacamata. Dan kantung mata yang selalu ada. Sosok Solar yang dulunya cuma bisa menutup dunia luar dan tidak peduli dengan apapun.

Setelah ia membuka matanya hari itu. Ia mempelajari segalanya.

"Kakak pikir, apa hanya ada satu kamera yang ada malam itu?"

Kamu tertegun. Mengernyit dengan ekspresi marah. 

"Kamu yang pasang?"

"Tidak," sanggahnya. "Aku cuma membiarkan itu ada di sana."

"Mengapa?"

Solar mengangkat bahunya. 

Pemuda itu membalikkan tubuhnya. Menghadap lurus ke arahmu. Menaruh jari telunjuk di depan bibirnya sambil tersenyum tipis. "Hanya kak Taufan yang tahu kebenarannya."

Taufan?

Padahal, orang yang paling kamu percaya di rumah saat ini adalah lelaki itu. Ia dan senyum tulusnya yang menyapa dan tidak bertindak mencurigakan. Jawaban polosnya yang membuatmu yakin.

Apa bisa seseorang seperti itu membohongimu yang adalah seorang mata-mata sejak usia muda?

"Apa kau sedang meng-kambinghitamkan orang lain?" ketusmu. 

"Aku adik bungsunya." Ia meninggalkan dapur. "Aku tidak mungkin mengkhianati saudara-saudaraku."

Kamu hanya bisa terdiam dalam sunyi di dapur. Sendirian ketika derap langkah kaki Solar mulai terdengar samar-samar. Dan kemudian menghilang.

Kamu menghela napas berat. Menyisir rambutmu ke belakang. 

"Yah, memang meragukan kalau segala sesuatu berjalan terlalu lancar."

Notifikasi dari ponselmu tak kamu hiraukan. Sebuah notifikasi berita tentang penemuan dua mayat yang berada di tempat sampah. Dengan identitas yang tak dikenal.

.

.

.

Kamu duduk di teras setelah membuang sampah berisi makanan basi milikmu itu. Enggan masuk, kamu lebih memilih untuk diam melamun menatap langit yang setengahnya tak terlihat akibat terhalang atap rumah.

Matamu menatap tenang langit biru dihiasi awan putih bersih yang begitu menawan di atas. Dan angin yang berembus pelan menampar kulit wajahmu dengan lembut.

Matamu perlahan tertutup. Menikmati tiap embusan angin yang membawa rasa damai. Yang kian membalutmu dengan banyaknya memori bagai puzzle.

Tak bisa dirimu salahkan siapapun atas apa yang telah terjadi. Seperti kedatangan Amato dan anak-anaknya di dalam hidupmu bagai hujan yang datang tanpa mendung.

Bagaimana bisa kamu tahu bahwa anak-anak yang kamu temui ketika masih balita itu justru sudah mampu untuk mencengkram lehermu hanya dengan satu telapak tangan mereka.

Yang bahkan tidak bisa kamu pungkiri bahwa hal ini terjadi karena dirimu terlalu sepele soal perasaan.

Penyelamatan yang kamu lakukan di masa lalu. Mungkin adalah satu hal besar yang menjebak dirimu kini.

Hal-hal rumit terkait perasaan yang tak kamu mengerti maknanya. Menjadikanmu sulit memproses kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut mereka.

Sebuah tepukan lembut mendarat di bahumu. Kamu perlahan membuka mata dan menoleh ke sosok pemuda bermanik hijau zamrud yang tengah melihatmu sambil tersenyum lebar.

"Ada apa melamun sendirian, Kak?" tanya Duri dengan nada suara yang begitu lembut. Tatapannya yang polos dan hangat.

Tak ada jawaban darimu. Sedangkan Duri hanya diam menunggu jawaban yang tak pasti keluar. Ia menaikkan kedua alisnya, tanda masih menunggu jawaban.

"Anginnya disini enak, Duri."

Kamu hanya bisa menjawab sedemikian.

"Begitu ya." Duri duduk di sebelahmu dan menutup mata untuk menikmati embusan angin yang semilir mengelus pelan pangkal kulit. "Kakak lagi banyak pikiran, ya?" terka Duri tepat sasaran.

Kamu hanya bisa tertawa miris.

"Terlihat jelas, ya?"

Duri menggeleng. "Engga juga, soalnya kakak selalu menyembunyikan segalanya dengan baik. Seperti waktu bersembunyi untuk menangkap orang yang menghancurkan tanaman di klub tanaman hari itu."

"Kamu masih ingat?"

Duri membuka matanya. Menatap langit biru yang bersembunyi di balik gumpalan awan putih. "Enggak mungkin Duri lupa, kejadian itu membuat Duri melihat segala sesuatu berwarna dan berubah dengan cepat."

Duri melihatmu. Bersemu pipinya merah muda. "Kakak yang datang seperti ibu peri, mengubah segalanya dalam satu ayunan tongkat sihir."

Kamu hanya menatap bisu Duri yang masih merangkai kata.

"Kami bersaudara yang awalnya renggang dan tak saling memahami, bisa jadi begini berkat kakak." Ia melebarkan kedua tangannya. "Jadi, Kakak engga perlu sedih. Kalau ada apa-apa, Duri dan yang lain akan senang hati membantu Kakak."

Kamu menerima pelukan pemuda itu. Ia yang awalnya lebih kecil darimu, kini bisa mendekapmu erat dan menyembunyikan dirimu di balik kedua tangannya dan punggungnya.

Ia yang memelukmu penuh kasih sayang. Terasa begitu tulus dan menenangkan.

Hal-hal yang barusan menjadi pusat overthinking-mu lantas lenyap seketika. Berkat Duri yang menghibur layaknya burung dengan cuitannya.

"Terima kasih, Duri."

.

.

.

"Makasih ya, Fan."

"Yoi."

Kamu menerima bungkusan berisi pesanan yang kamu titipkan ke Taufan melalui chat tadi siang. Meski akhirnya Taufan baru pulang pada sore hari.

"Kenapa lama banget?" tanyamu sembari memasukkan pesanan berisi seblak itu ke dalam mangkuk. Bau harum rempah-rempah semerbak itu menguar ke seluruh ruangan. Kamu yakin Ais pasti akan muncul tiba-tiba di depan mangkuk nantinya.

"Maaf Kak, tadi ngantri sama ada urusan bentar sih, hehe." tawanya sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.

Kamu salah fokus pada bagian pipi kiri Taufan yang lebam. Tangan kiri dan kanannya yang lecet. Bahkan pakaiannya yang kotor seolah habis berguling-guling di tanah.

"Kenapa kotor dan luka-luka begitu?" tanyamu lagi.

"Jatuh aja pas main skateboard," katanya sambil menunjukkan skateboard nya yang juga kotor. "Yaudah aku mau mandi dulu." Ia langsung melengos, buru-buru pergi ke kamarnya.

Kamu memberikan ekspresi curiga sesaat. Lalu menyeruput kuah seblak. "Hm, lumayan."

"Minta dong, Kak."

"He--!" Kamu kaget. Melihat sosok Ais yang sudah duduk di sebelah kirimu sambil menatap semangkuk seblak.

Namun wajah Ais tidak memberikan ekspresi lain selain ekspresi lapar.

Kamu menyendok seblak tersebut dan diarahkan padanya. "Yaudah, nih."

Dia membuka mulut tanpa ragu-ragu dan menerima suapanmu dengan lahap. Melihat ekspresinya, kamu jadi terus-terusan menyuapi nya tanpa sadar. Sedangkan kamu baru mencicipi seblak itu sesendok.

"Hah! Aku juga mau disuapin Kakak!" pekik Blaze yang muncul entah dari mana. Tiba-tiba saja berlari dan menghampiri kamu dan Ais.

"Makan sendiri-sendiri aja kalian, sudah gede."  Kamu menaruh sendok itu dan hendak berdiri. Blaze memberikan ekspresi kecewa.

"Tadi Ais disuapin. Kakak kok pilih kasih sih," rajuk Blaze.

Tak tega melihat ekspresinya yang seolah mau menangis berguling-guling seperti anak kecil itu. Kamu akhirnya mengalah.

"Belikan dulu seblaknya lagi, yang ini habis dimakan Ais." Kamu menyodorkan uang.

Ais mengangkat tangan. "Aku mau lagi."

"Hish, nanti gendut!" ejek Blaze. Lantas Ais melempar mangkuk bekas makan itu ke kepala Blaze.

"Woi! Jangan berantem! Ntar aku usir ya kalian," ancammu.

"Iya, Kak," jawab mereka berdua serempak.

Pada akhirnya Blaze menyeret Ais untuk pergi bersamanya membeli seblak.

Kamu memungut mangkuk yang dilempar Ais tadi. Beruntung mangkuk itu tidak pecah. Kelakuan mereka meski sudah dewasa tetap bikin geleng kepala.

"Eh, Gempa? Mau kemana?" Kamu mendapati Gempa keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi. Disusul Halilintar di belakangnya yang juga rapi.

Ada apa ya? Double date? Eh, mereka punya pacar?

"Mau temenin Bang Hali cetak skripsi, Kak. Sekalian ada yang mau dibeli," kata Gempa.

"Oh, oke. Hati-hati ya."

Gempa dan Halilintar mengangguk. Mereka berdua pun pergi setelah mengucap salam.

Tak lama. Kamu yang sudah duduk tenang dengan mangkuk baru itu dikejutkan oleh kedatangan Blaze dan Ais yang membawa satu plastik seblak yang terlalu besar.

"Kenapa sebanyak ini?“ pekikmu kaget.

"Engga tau kak, Ais asal ambil yang ada disitu," tuduh Blaze.

"Kau yang suruh aku ambil banyak-banyak," balas Ais tak terima.

"Kan enggak suruh ambil semua."

Kali ini, Ais hampir hendak melemparkan seblak itu ke wajah Blaze.

.

.

.

***TBC***

A/n:

Halo.

Tumben udah sesuai target kok gada yang nagih. Biasanya udah pada ribut di komen.

Update selanjutnya seperti biasa ya. Vote dan koment nya.

Oh iya, aku bikin saluran WA. Bagi yang mau masuk bisa cek di Instagram aku. AurumnPainT. Ada di highlight info ya. Ada link nya disana. Tinggal masuk aja.

Okei segitu dulu. See you.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro