Bab 19
[2012]
"Yasmin kan? Adiknya Pandu?"
Mata Ayas membelalak saat mendapati pria yang baru saja menyapanya. Pria itu memakai celana jeans, kaos putih, dan jaket kulit cokelat tua. Wajahnya memang familier, sehingga Ayas langsung memaki kecil begitu mengingat siapa pria ini. Salah satu teman kakaknya yang beberapa kali mampir ke rumah.
"Ng...Nara kan?"
"Yap!"
Ayas semakin panik. Apalagi mengingat saat ini dirinya memakai kostum yang sangat berani. Rok lipit yang begitu mini dan blouse tanpa lengan dengan kerah rendah yang berbahan jatuh yang mengekspose lengan dan dadanya. Awas lo Jess! Decak Ayas dalam hati.
Jess memaksanya untuk ikut clubbing setelah berhari-hari Ayas memasang wajah seperti zombie pasca dicampakkan Deka yang tiba-tiba jadian dengan cewek lain. Dicampakkan mungkin kurang pas, sebab bagaimana pun juga, Ayas sadar bahwa antara dirinya dan Deka belum ada hubungan apa-apa. Sekadar teman jalan, teman makan malam-malam, teman nonton, dan segala kegiatan yang dilabeli dengan kata teman. Jadi menurut Jess, patah hati Ayas itu tidak make sense. Buang-buang waktu. Karena itulah, Jess mendadaninya habis-habisan dan menyeretnya ke diskotik untuk mencari cowok-cowok tampan yang potensial untuk dijadikan pacar.
Dengan iming-iming untuk balas dendam ke Deka, Ayas mau-mau saja. Sekarang Ayas mulai menyesal. Rencana Jess ini bisa-bisa berakhir dengan ultimatum jam malam dari Pandu. Dandanan yang sangat berani dan tempat main yang cukup berani tentu bukan hal yang disukai Pandu, abangnya. Ouh, apakah Nara sempat melihat tadi dia turun ke dancefloor dengan cowok hot berambut cepak tadi?
Ini jelas perlu penanganan.
Tanpa menunggu lama, digamitnya lengan cowok itu dan diajaknya mencari tempat yang aman. Di table yang terletak di pojok, dekat pintu keluar, Ayas mempersilakan Nara duduk.
"Sama siapa?" Tanyanya berbasa-basi.
"Sendiri." Jawab Nara sambil melepas jaketnya. "Kamu?"
"Sama temen-temen. By the way," Ayas mendekatkan tubuhnya ke pinggiran meja dan memasang ekspresi serius. "aku nggak sering kok main di tempat kayak gini."
"Oh gitu?"
"Biasanya aku juga nggak pakai baju kayak gini. Kostum kebanggaanku itu jeans sama kaos oblong."
"Oh?"
"Ini karena dipaksain temen aku aja jadi pakai baju kayak gini."
"Oke..."
"Aku juga nggak minum banyak-banyak. Malam ini aja aku cuma minum segelas. Aku totally sober."
"Oke. Tapi..."
"Jadi," Ayas menangkupkan kedua telapak tangannya di dada. "please, jangan bilang-bilang Mas Pandu."
Perlu waktu beberapa menit nampaknya bagi Nara untuk mencerna pembicaraan itu. Selama empat atau lima detik, pria itu hanya menatapnya dengan dahi berkerut. Di detik ke enam, Nara tertawa kecil.
"Ya ampun, kirain apaan!" Decaknya setengah geli. "aku butuh waktu buat proses semua info yang kamu kasih."
"Jangan kasih tau Mas Pandu, please? Bisa-bisa disate aku kalau ketahuan."
Nara masih tertawa. "Padahal Pandu sering juga nongkrong di club."
"Nah itu! Aku sebel kan jadinya! Dia aja boleh clubbing, masa aku enggak? Aku udah 18+ hellooooo?"
"Iya udah beres deh. Aku nggak akan bilang-bilang."
Ayas ber-yes! senang. Setidaknya dia sudah bisa menjinakkan saksi potensial. Kalau sampai abangnya tahu dia berkeliaran di club dengan baju seperti ini, Ayas yakin tidak ada lagi ceritanya keluar malam. Bisa-bisa Pandu mengantar-jemputnya seperti sopir pribadi. Sikap posesif abangnya itu terkadang sungguh menyebalkan.
"Mas Nara sendirian aja?"
Pria itu mengangguk.
"Mau gabung sama teman-teman aku?"
"Aku di sini aja."
"Mau..." Ayas menjentikkan jarinya ke arah dancefloor dengan alis terangkat. "Mau kutemani?"
Nara tertawa lebar. "Nggak. Di sini aja, lagi malas gerak."
Ayas menimbang untuk meninggalkan Nara dan kembali ke Harris dan Jess. Namun kemudian dia berubah pikiran. Pikirnya, Nara pasti kesepian sendirian di keramaian seperti ini. Bisa jadi, pria itu baru saja mengalami hari yang berat. Hanya itu kan alasan seseorang berada di club dan sendirian? Jadi Ayas memutuskan untuk tinggal sebentar. Hitung-hitung sebagai terima kasihnya karena Nara bersedia menjaga rahasia.
"Kalau begitu, kutemani di sini ya."
Toh dirinya memang perlu teman ngobrol. Jess tentu tidak bisa diharapkan. Sok akrab dengan orang asing, flirting, dan dancing tak bisa membuat perasaannya membaik. Ayas masih butuh pelampiasan. Dan barangkali seseorang yang dia kenal, sehingga dia bisa menegak gelas-gelas alkohol dengan perasaan aman.
Pukul dua dini hari, Ayas mulai merasa sedikit pusing. Beberapa kali dia mengusap lengannya yang telanjang dan menggosok telapak tangannya yang kedinginan. Sampai tiba-tiba Nara meraih jaket kulitnya, dan menyelimutkannya ke punggung Ayas.
"Nanti masuk angin." Terang Nara, kurang menjelaskan. "Mau kuantar pulang? Udah jam dua."
Bagaimana dia bisa pulang dengan kondisi tipsy begini? Dia harus pulang ke rumah Jess. Dan sahabatnya itu belum terlihat di mana-mana. Mungkin sibuk bermesraan dengan pria yang baru dia kenal di salah satu sudut club sana.
Jadi alih-alih menyetujui tawaran Nara, Ayas menggeleng. "Kecuali aku boleh ikut ke tempat Mas Nara." Tambahnya dengan senyum tipis, yang langsung dia sesali begitu diucapkan. Ayas yakin alkohol mulai mengambil alih kendali mulutnya.
Pria di hadapannya refleks tersenyum kecil. "Nice try, Yasmin."
"I am not flirting with you, FYI."
"Tentu saja."
Ayas kembali minta segelas alkohol. Dan dia yang tadinya berkata tidak suka minum banyak-banyak, esok harinya terbangun di sebuah ruangan yang asing. Sebuah kamar tidur dengan nuansa warna cokelat maskulin, yang jelas-jelas bukan kamar Jess. Dalam kondisi hangover, Ayas mendapati Nara berdiri di tengah-tengah pintu sambil membawa segelas susu putih.
"Kupikir kemarin kamu bilang mau ikut ke tempatku." Kata Nara, di antara pening dan mualnya yang kian menggila.
***
Ayas menggerutu kesal mendengar teriakan riuh rendah dari arah ruang tengah rumahnya. Hari ini rumahnya jadi lokasi nonton bareng sepak bola Indonesia vs Malaysia. Teman-teman abangnya berdatangan membuat rumahnya berisik. Padahal Ayas sedang berusaha fokus membaca bahan untuk menyusun paper kuliah untuk dikumpul esok hari.
Sia-sia Ayas menutup pintu dan memasang headphone di telinga. Teriakan-teriakan itu menerobos masuk ke gendang telinganya. Ayas merasa cowok-cowok memang selalu lebay kalau sudah nonton bola. Seolah-olah mereka sendiri yang main di lapangan. Sibuk mengutuk dan mengumpat, seolah mereka jauh lebih jago dari pemain timnas yang sebenarnya.
Ayas membuka jendela kamarnya, membuat udara dingin langsung terasa. Bersamaan dengan aroma tanah tersiram hujan yang masih lumayan deras.
"Ah, ngebakso enak nih..." Gumam Ayas.
Maka Ayas memutuskan untuk menyerah. Sambil menunggui cowok-cowok itu selesai nonton bola, mungkin dia bisa mengisi amunisi dulu. Maka setelah mengambil payung besar bergambar logo bank, Ayas berderap melewati ruang tengah yang riuh. Panggilan dan ajakan untuk bergabung dari teman-teman Pandu hanya dia jawab dengan lambaian tangan. Dia tak pernah paham di mana menariknya satu bola yang diperebutkan dua puluh dua orang.
Di luar hujan masih lumayan deras. Ayas membuka payungnya lebar-lebar, siap menerobos hujan.
"Mau ke mana?"
Ayas menjerit. Jantungnya seolah copot. Dia menoleh cepat, mendapati Nara yang duduk di ujung kursi teras nyengir lebar. Sebatang rokok terselip di antara jemarinya.
"Kaget aku!" Decak Ayas, menenangkan jantungnya. "Nge-bakso. Ikut?" Tawarnya basa-basi.
Sesungguhnya Ayas tidak berharap Nara ikut. Bagaimana pun juga, Ayas merasa wajahnya seperti dikuliti bila mengingat saat dia mabuk berat dan terbangun di apartemen Nara. Menurut cerita Nara, hingga subuh menjelang, Jess tidak terlihat. Sementara Ayas sudah mabuk berat. Nara yang tak mungkin mengantarnya ke rumah, sama tidak mungkinnya juga bila meninggalkannya di club. Jadi dengan sangat berat hati, Nara membawanya pulang ke apartemen. Tak ada yang terjadi memang. Tapi kalau ingat dia mabuk total dan barangkali dia mengoceh tak karuan waktu itu (mungkin juga muntah, walau pria itu tidak berkata apa-apa soal ini), rasanya Ayas ingin operasi plastik saja bila ada Nara.
"Boleh juga. Kayaknya enak tuh."
Ayas sedikit menyesal telah menawarkan saat pria itu berdiri. Menghisap rokoknya satu kali lalu mematikannya dalam asbak.
"Yuk?" Ajak Nara, mengambil alih payung yang Ayas pegang.
Ayas menelan ludah, dan memasang senyum terpaksa. Untung saja payung hadiah itu cukup besar untuk dipakai berdua. Keduanya berjalan beriringan di bawah hujan, menuju warung bakso Pak Kumis yang ada di ujung perempatan komplek rumah Ayas.
"Kok nggak ikut nonton bola?" Tanya Ayas, saat mereka sudah di warung bakso menunggu pesanan.
"Nggak tertarik." Jawab Nara, sambil menepuk-nepuk lengan kirinya yang lumayan basah. "Kamu kebasahan nggak?"
Ayas menggeleng. Rasanya tadi Nara memang sedikit mengalah, mencondongkan payung itu ke kanan, agar Ayas tidak terkena air hujan.
"Baru kali ini lho aku ketemu cowok nggak suka bola."
Nara tersenyum tipis. "Masa?"
Ayas mengangguk. "Terus sukanya apa?"
"Matematika. Fotografi. Rokok. Teater..."
"Teater?! Wah, kebetulan banget sebentar lagi aku ada pementasan teater sama teman-teman kampus."
"Oh ya?" Ayas bisa melihat mata Nara melebar sedikit. "Kamu ikut teater?"
Ayas mengedikkan bahu. "Awalnya cuma iseng sih ikut teater fakultas. Tapi lama kelamaan jadi enjoy. Sekarang aku gabung sama teater universitas. Ini pertunjukkan pertamaku sama mereka." Penjelasan Ayas sempat terhenti saat pesanan bakso dan teh hangat mereka datang. "Tapi ya, latihan teater itu ternyata strict banget. Capek gila! Latihan-latihan awal lebih parah lagi. Nggak cuma capek, tapi juga membosankan. Kudu teriak-teriak latihan vokal lah, apalah. Kalau udah mulai masuk adegan lebih seru..."
Sepanjang menikmati bakso urat yang mengepul, Ayas terus nyerocos menceritakan pengalamannya latihan teater. Nara tidak banyak menanggapi. Namun selama Ayas bicara ngalor ngidul, pria itu menatapnya. Itulah yang membuat Ayas merasa didengarkan. Sama seperti ketika mereka ngobrol di club malam itu. Nara tidak banyak bicara, tapi Ayas merasa dimengerti sepenuhnya.
Keseruan Ayas bercerita tentang pementasan pertamanya dengan teater fakultas terhenti, ketika Nara tiba-tiba berkata.
"Yasmin, kamu mau jadi pacarku?"
***
Noh, dah we update noooh. Tapi please nanti kalau file ini ilang/kosong/nggak bisa dibaca, ditunggu aja yaaa. Jangan minta direpublish lagi karena seperti yang khalayak ketahui: itu pertjuma. Wattpad memang sedang sakit, semoga lekas sembuh. Amin.
Setelah emosi habis-habisan di beberapa part terakhir, sengaja nih aku kasih beberapa bab flashback yang adem-adem. Napas dulu ah, capek deg-degan terus dari kemarin. Biar nggak mara-mara mulu, nanti hipertensi wkwk
P.S. Buat yang belum vote dan komen di chapter 18 karena kemarin enggak bisa, yuk diklik dulu tanda bintangnya. wkekekekek
Selamat menyambut hari Senin!
Jangan sedhi. Ingat, lima hari lagi weekend!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro