Moodbooster
Aku buru-buru melepaskan jabat tangan mereka. "Ayo pulang," kataku sambil beranjak dan meraih tangan Filosofia.
"Baru juga nyampe." Filosofia melepas tanganku.
"Lo dateng ke sini kan buat jemput gue."
"Idih, GR. Gue mastiin lo nggak mabok aja. Nah, karena lo masih sober, boleh dong gue di sini sebentar dan kenalan sama temen lo? Lo nggak pernah kenalin gue ke temen lo satu pun. Kalau gini kan lo kelihatan normal."
Mataku membeliak. "Emang nggak punya temen itu nggak normal?? Gue introver."
"Introver tai kucing." Filosofia mengambil tempat dudukku tadi dan kini berhadapan dengan Kai. "Jadi, kamu temenan sama nih orang sejak kapan?"
Kamu? Orang?? Aku merapatkan bibir membentuk satu garis tipis, menahan jengkel.
"Kita temenan selama SMA."
"I'm not and will never be your friend." Aku memutar bola mata kesal. Mau tak mau aku duduk di bangku sebelah Filosofia.
Filosofia mengembuskan napas panjang. "Pasti lo sabar banget ya ngadepin tingkah dia yang begini."
Kai terkekeh. "Aku cuma kacung bapak dia." Ia mengusap tengkuk, tersenyum miring ke arahku.
Kupandang ia masih dengan satu ujung bibir terangkat. Aku memesan satu seloki wiski lagi, membiarkan mereka mengobrolkan omong kosong.
"Hah... ngadepin bapaknya juga pasti berat." Filosofia menyenggol sikuku saat aku sedang mengangkat gelas hendak minum. Aku mengabaikannya dan melanjutkan minum.
Sekitar setengah jam aku ditinggal ngobrol sampai akhirnya kepalaku yang pening tergeletak di atas meja. Tubuhku diguncang pelan dan semakin kencang.
"Oi... lo mabok beneran??" Suara Filosofia samar-samar terdengar. "Ish! Kan udah gue bilang buat stay sober!"
"Biar aku bantu pindahin dia ke mobilnya."
Suara Kai seketika menyentilku dan membuat kepalaku terangkat. Aku memandang mereka berdua yang tampak kabur dan terbelah-belah.
"Gue bisa sendiri," kataku, lalu beranjak dari bangku bartender. Beberapa kali badanku yang sempoyongan menubruk pengunjung lainnya. Kudengar langkah tergesa-gesa dan suara Filosofia di belakang.
*
Tidak enaknya kalau sudah teler begini, aku bisa mendengarkan omelan Filosofia sepanjang jalan. Ia yang selalu mengambil alih mobil dan mengantarku pulang. Baguslah. Aku lebih suka mendengar ia mengomel daripada mendiamkan aku. Aku masih memejamkan mata saat ia berhenti mengomel. Ia mengembuskan napas panjang.
"Kalau lo lagi nggak sama gue, lo juga begini?" tanyanya tiba-tiba yang praktis membuat mataku terbuka. "Terus, siapa yang nganterin pulang? Taksi? Uber? Siapa yang mesenin? Siapa yang ngerawat lo?"
Tiba-tiba selenting ingatan membawaku saat aku teler di London. Putus cinta dan stres akibat tekanan sana-sini membuatku hobi keluar masuk klub malam sampai mendekati subuh. Aduh... aku jadi membuka memori itu. Aku tak mau Filosofia tahu bahwa selama itu, Ratu yang mengantarku pulang.
Aku terdiam, tak membalasnya sama sekali. Ia juga tak melanjutkan pertanyaan atau menuntut jawabanku.
Sesampainya di tempat parkir, Filosofia memandangku. Aku sudah membuka mata, tak lagi berpura-pura tidur. Kami saling berdiam diri.
"Lo mau jalan sendiri ke unit apartemen lo atau tetep gue anterin?" tanya Filosofia.
Aku menoleh. "Gue maunya lo tetap di sini."
"Besok ada rapat internal. Nggak bisa telat." Ia melepas sabuk pengaman. "Gue langsung balik."
Aku menahan tangannya, memandangnya bagaikan anak anjing yang memelas. Filosofia melepaskan tanganku, juga melepaskan sabuk pengamanku. Ia turun dari mobil lebih dulu, kemudian membukakan pintu untukku.
Aku malas-malasan turun dari mobil. Badanku masih sempoyongan dan kepalaku berputar-putar. Seolah menyadari keadaanku yang payah sekali, Filosofia mendengus kesal dan menggamit lenganku, membantuku berjalan agar tak menabrak sana-sini atau bahkan terjatuh. Ia mengantarku sampai ke unit apartemen.
Sesampainya di dalam, aku langsung menjatuhkan badan ke sofa dengan posisi tertelungkup, lalu kupejamkan mata. Tanganku mengatung ke bawah, nyaris bersentuhan dengan karpet. Filosofia mendecak lidah. Ia mengambilkan selimut dari kamarku dan membentangkannya ke atas badanku.
"Gue balik duluan," katanya. "Besok gue sibuk ikut liputan sampai malem."
Mataku terbuka lagi. "Cium dulu."
"Ogah."
Bibirku mencebik kecewa. Filosofia mengembuskan napas pendek, lalu mengentakkan kaki mendekatiku lagi. Ia mengecup kedua jemarinya, kemudian menempelkannya ke bibirku. Aku masih memberengut.
"Besok aja kalau lo udah sober." Ia mengentakkan kaki meninggalkanku. "Bye."
Tanganku melambai letih. Aku memejamkan mata dan mulai tertidur karena kelelahan.
*
Suasana hatiku benar-benar buruk. Entah karena tak suka menghadiri pertemuan dengan para dewan komisaris atau karena melihat Malachai menjadi bintang karena diperkenalkan sebagai CBO di Divisi Domestik, yang mana akan mengontrol bisnis domestik. Aku tidak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang positif. Sebab, artinya Papa akan segera mengembalikanku ke Inggris agar fokus di Divisi Internasional. Bukan hanya untuk sementara, melainkan selamanya.
Ini malapetaka.
Aku tak tahu Papa akan melakukan hal seperti ini.
Suara tepuk tangan orang-orang membanjiri ballroom. Aku mengikuti tanpa antusias. Papa memandang Kai dengan tatapan yang tak akan pernah aku dapatkan. Aku sudah menduga si berengsek itu akan secepatnya menjadi anak emas. Atau bahkan, ironisnya, bisa saja ia diangkat sebagai anak. Setelah kedua orang tuanya meninggal, Papa yang membiayai pendidikannya. Kini, aku tak akan heran jika sewaktu-waktu ia didaftarkan sebagai anggota keluarga.
Aku mungkin tak akan peduli. Namun, itu bukan berarti aku akan bisa hidup lebih bebas. Yang ada, aku akan semakin diimpit dengan lebih banyak ekspektasi dan tuntutan. Dan bisa-bisa rencananya untuk menikahkan aku dengan Ratu agar perempuan itu mengambil alih tugas-tugasku akan terwujud.
Rasanya, udara seolah mencekikku hingga membuatku sesak. Aku melonggarkan dasi dan mengambil napas panjang.
Sepanjang pertemuan besar itu, aku tidak banyak bicara. Selesai acara pun, aku langsung mengambil langkah lebih dulu, meninggalkan pandangan Kai yang duduk satu meja denganku. Kulangkahkan kaki cepat menuju toilet.
"Shit."
Aku tak henti-hentinya mengumpat kesal. Rasa sesak di dada semakin membuncah sampai akhirnya kulepas simpul dasiku dan membiarkannya melingkar berantakan. Aku memandang diriku di hadapan cermin, lalu membasuh wajah dengan air segar yang mengalir. Aku mengembuskan napas panjang nan berat.
Kurapikan kembali baju dan dasiku sebelum ke luar toilet. Kai sudah menunggu di depan, menyandarkan punggung di dinding.
"You look awful," ujarnya.
"Thanks." Aku melengos dan melangkah mengabaikannya. Ia mengikuti di sebelahku, lantas mengangsurkan sesuatu—ponselku.
"Lo ninggalin hape di meja."
Aku menyambar ponselku dan memasukkannya ke saku celana.
"Dari tadi cewek lo kirim pesan dan nelepon beberapa kali."
Masih tak mengabaikannya, aku mengambil lagi ponselku dan melihat layar yang dibanjiri notifikasi Filosofia. Ia bilang sedang perjalanan ke kantor untuk mampir setelah melakukan lipsus bersama temannya.
Aku berhenti di balik birai, memandang pintu utama di lantai bawah. Selang beberapa saat, kulihat Filosofia muncul. Ia celingukan ke kanan-kiri
Aku mengeluarkan ponsel untuk meneleponnya. Kudekatkan gawai itu ke telinga, menunggu jawabannya.
"She's beautiful."
Mataku mengekori sosok di sampingku yang dengan kurang ajar mengatakan itu di hadapanku. Kai memandangku dan tersenyum singkat.
"She deserves better."
Aku menyeringai. "My name is 'better'." Lalu, Filosofia mengangkat panggilanku. Aku mengubah suara menjadi lembut. "Lihat ke atas."
Filosofia menengadah dan melambaikan tangan.
"Aku aja yang turun. Udah makan siang?" tanyaku.
"Belum. Makanya aku ngajakin kamu makan."
"Oke."
Aku melirik tajam Kai sebelum mematikan sambungan dan melangkah cepat menuruni anak tangga yang menghubungkan lantai LG dengan lantai 1. Begitu sampai di hadapan Filosofia, aku menerjang badannya, memeluknya erat dan memutar badannya. Kepalaku menengadah ke arah Kai yang mengamati kami berdua dari lantai 1.
"Are you okay?" tanya Filosofia memastikan sambil menepuk-nepuk punggungku.
Aku memejamkan mata dan tersenyum. "Hmm...." Berkat lo.
*
Sejak pertemuan tadi, aku tak menyentuh makan sama sekali. Meskipun makanan yang dihidangkan tadi sangat nikmat dan mewah, sama sekali tidak menggugah selera. Kini, aku bisa menikmati makan siang bersama Filosofia dan benar-benar menyentuh makanan di piring yang kami pesan. Aku mengajaknya ke restoran yang biasa kami datangi, agak jauh dari kantor.
"Kenapa Kai nggak lo ajak makan siang sekalian?" tanyanya.
Bola mataku berputar. "Please, nggak usah bahas dia di meja. Don't ruin my appetite."
Filosofia mengerjapkan mata. Namun, ia menurut. Ia meneguk lemon squash.
"Gimana lipsus lo hari ini?" tanyaku.
"Lancar.... Ngomongin soal itu, gue ada tugas wawancara seseorang yang sangat susah dijangkau. Tiap dihubungi selalu bilang sibuk. Padahal, gue butuh banget bikin artikel beritanya."
"Siapa?"
Filosofia menyodorkan ponselnya di hadapanku, menunjukkan foto seorang pria berusia lima puluhan.
"Kalau gue telusuri..." Ia merendahkan suaranya, "dia ada kerja sama dengan perusahaan lo."
Aku memperhatikan pria itu. Sebenarnya, aku mengenal orang itu. Hanya saja, obrolan bisnis sedikit membuatku tak nyaman. Meski begitu, aku tetap memberikan senyum terbaikku untuk perempuan di depanku.
"Akan aku urus."
Filosofia berseru kegirangan sambil bertepuk tangan. Ia kembali melanjutkan santapannya, lebih riang.
"Anyway, gimana hari ini? Lo kelihatan nggak semangat banget." Ia meneguk lemon squash setelah menghabiskan makanannya menyusulku.
"Biasalah. Boring. Gue bersyukur lo dateng ke sini nyelametin gue."
"Oh ya? Emang sengebosenin itu? Padahal, lo punya temen...."
"Please, setop bahas 'temen'." Kali ini aku bersungguh-sungguh. Nadaku lebih tegas dan serius. "Gue udah minta jangan bahas dia."
"Oh... sorry." Ia menghela napas panjang, tampak menyesal.
"Aku yang minta maaf. I'm just too tired."
Filosofia mengulurkan tangan dan menyingkirkan anak rambutku yang jatuh ke depan, merapikannya. Senyumnya mengembang. "Cukup kelihatan."
Terjadi kesenyapan di meja. Aku menyalahkan diri sendiri karena malah membawa emosi negatif. Kupandang Filosofia yang sekarang sibuk menggulir layar ponsel, seperti membalas pesan. Ia lalu memasukkan ponselnya ke tas dan memandangku.
"Maaf. Mbak Meri berisik banget dari tadi. Minta gue buruan balik."
Aku mengangguk. "Nggak apa, balik aja."
"Nope. Gue masih ada waktu dikiiit buat lo." Ia tersenyum hiperbolis. Senyum yang menular hingga membuat bibirku ikut tertarik membentuk lengkungan bulan sabit.
"Maaf, gue jadi bawa emosi negatif saat makan siang," kataku, menyadari bahwa perubahan sikap Filosofia yang tak biasa ini memang pengaruh dari diriku. Ia bisa bersikap lebih dewasa dan serius saat melihatku sedang tidak baik-baik saja.
Filosofia tersenyum. "Tenang aja." Ia menumpuk tangannya di atas tanganku. Aku menyingkirkan telapak tangannya dan beralih menggenggam jemarinya.
Gue udah banyak kehilangan. Gue nggak mau kehilangan lo juga.
*********
Coba absen yang masih nungguin cerita ini!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro