Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Malachai


Filosofia memukul kepalaku. Aku mengaduh kesakitan dan mengusap-usapnya.

"Heh! Jangan ngomong aneh-aneh. Ya kali gue kawin lari. Nanti nggak bisa gue pamerin di Instagram, dong? Nanti kalau gue dikira hamil di luar nikah gimana?? Gila lo."

Seketika, aku berhenti mengusap-usap kepalanya dan mencubit gemas kedua pipinya hingga membuat ia mengerang. Tangannya mencoba melepaskan tanganku yang masih di pipinya. Ia berhasil menghindar dan menggosok pipinya yang memerah. Bibirnya mengerucut jengkel.

"Kalau lo nggak mau makan, gue habisin semua," katanya sambil melahap odeng yang sudah dingin.

"Makan aja semua. Gue masih kenyang." Aku menepuk puncak kepalanya, lantas mengusap lembut rambutnya. Senyum mengembang samar di bibirku.

Filosofia memandangku dengan senyuman serupa. Ia membiarkan rambutnya kuelus. Aku mengamatinya dengan saksama dan menyadari senyumku perlahan lenyap.

*

Hampir sejam aku duduk termangu memandangi beberapa ekor anjing yang sedang bermain di salah satu ruangan. Melamun memikirkan banyak hal. Sudah lama aku tak mengunjungi pet shelter Dokter Ivanka. Jumlah hewan yang di-rescue pun makin bertambah—walaupun makin banyak pula yang datang mengadopsi. Namun, hewan-hewan yang sakit atau lemah tak pernah ada yang mau melirik sehingga banyak yang dieutanasia dengan terpaksa.

"We will take her down in a couple days." Dokter Ivanka berdiri di sebelahku.

Aku menoleh ke arahnya, lalu berdiri. Kuanggukkan kepala dan mengikuti perempuan itu menuju ruangan khusus hewan sakit. Di salah satu kandang, ada seekor anjing pomeranian teacup yang bergelung, tampak lemah tak berdaya. Ada selang infus yang dipasang di tangan kecilnya. Anjing bernama Misty itu tak mau makan sejak dibuang majikannya yang sakit keras dan tak sanggup merawatnya lagi, membuatnya jatuh sakit. Berbagai upaya sudah dilakukan, termasuk mencarikan majikan baru. Namun, Misty tetap tak bersemangat—termasuk saat melihatku. Dokter Ivanka bersama dokter lainnya di shelter itu mau tak mau mengambil tindakan eutanasia.

"Anjing yang malang," kata Dokter Ivanka. "Sebegitu patah hatinya sampai nggak mau percaya dengan orang lain. Kami sudah berusaha membujuk pemiliknya, tapi ternyata beliau sudah meninggal beberapa hari lalu. Anaknya nggak mau ambil untuk merawat karena dia punya bayi yang alergi anjing."

Ponselku bergetar. Aku merogoh saku, mengambil ponsel, dan melihat nama Filosofia. Kuangkat panggilan darinya.

"Gue udah di luar, nih. Lo di mana?"

"Masuk aja sini."

"Hm... oke oke."

Selang beberapa saat, Filosofia yang celingukan sana-sini masuk ke ruangan. Ia menyapa Dokter Ivanka, lalu memandang Misty yang sejak tadi kuamati.

"Aduh... kasihan. Dia sakit apa?" Filosofia membungkukkan badan, semakin mendekat untuk memandangi anjing itu. Jari-jemarinya diketuk-ketuk ke jeruji, membuat Misty mengangkat kepala lemah.

Ekspresiku berubah saat melihat Misty mengangkat kepalanya lebih tegak, mengendus-endus jeruji, tepat di mana Filosofia menekan telunjuknya. Dokter Ivanka segera mendekat dan mengamati pergerakan Misty.

"Wah... sepertinya dia sangat responsif. Tunggu sebentar." Dokter Ivanka memanggil salah seorang staf untuk membukakan pintu jeruji tersebut.

Filosofia memandangku dengan senyum semringah. "Eh, kayaknya dia suka sama gue."

Aku balas tersenyum. "Hm."

Dokter Ivanka dan seorang staf masuk lagi. Pintu dibuka. Misty diperiksa selama beberapa saat. Lalu, pandangan Dokter Ivanka berlabuh ke Filosofia yang masih memperhatikan Misty dengan mata polos.

"Sepertinya, dia punya ikatan dengan kamu. Boleh bantu saya?"

Filosofia memandangku. Aku mengedikkan bahu. Namun, ia akhirnya mengangguk sambil mengusap-usap kepala Misty yang tampak lebih membaik daripada sebelumnya.

Anjing malang itu akhirnya menemukan seseorang sebagai alasan untuk bertahan.

Seperti diriku.

*

"Kok bisa sih Misty dibuang?" Filosofia masih menggerutu sepanjang jalan saat aku mengajaknya jalan-jalan mengitari taman sebelum pulang. Aku butuh waktu bersamanya setelah setengah hari tadi sakit kepala mendengar ocehan Papa. "Harusnya, owner dia kan tetep setia." Ia memandangku. "Sedih banget nggak, sih? Kayaknya, cinta dan kesetiaan anjing itu lebih besar daripada pemiliknya."

"Gue nggak bisa nyalahin pemiliknya, sih. Karena... ya... dia juga nggak bisa ngerawat saat sakit parah."

"But, still... so cruel."

Aku tersenyum kecil. "Lo udah denger dari Dokter Ivanka, kan? Dia nggak mau diadopsi siapa pun sampai akhirnya ketemu sama lo. Responsnya tadi sangat positif."

Filosofia mengembuskan napas panjang. "Gue nggak yakin bisa ngerawat di apartemen. Apartemen gue nggak ramah hewan."

"Ya udah, bawa ke tempat gue aja. Nanti kita berdua yang ngerawat."

Ia menyipitkan mata. "Modus, ya?"

"Idih, gue ngasih solusi."

Kepalanya menggeleng-geleng.

"Kalau lo sepakat," lanjutku, "kita bawa ke apartemen setelah gue balik dari London, ya."

Ia memandangku, tampak menimbang, sementara aku memberikan wajah memelas memohon. Bibirku sampai mencebik demi membujuknya.

"Aegyo dulu."

Ekspresiku praktis berubah. "Ogah."

"Ya udah, gue nggak mau."

Bola mataku berputar. Gosh. "Oke, oke."

Akhirnya, langkah kaki Filosofia terhenti. Ia melipat kedua tangan di depan dada. Aku menatapnya, masih cemberut kesal. Ia menggerakkan kedua alis, menyuruhku cepat. Sebelum aku memulai, ia memotong.

"Bentar! Gue mau rekam dulu." Ia mengambil ponsel dari tas.

"Apaan, sih? Nggak usah!"

"Ssstt!" Ia mulai merekam dengan ponselnya. "Buruan."

"Astaga... jahat banget lo," keluhku.

"Buruan!" Matanya memelotot.

Aku memandang ke kanan-kiri. Banyak orang yang memperhatikan kami. Namun, pada akhirnya, aku mengikuti permintaannya. Dengan amat sangat rendah hati. Filosofia tertawa cekikikan. Orang-orang di sektar kami juga menyengir.

"Udah, ah!" Aku mengubah raut muka menjadi kesal.

"Iya, iya, udah."

Bahkan saat kuseret tangannya untuk berjalan lagi, ia masih saja tertawa.

Setidaknya... aku melihatnya senang. Tawanya begitu candu di pendengaran. Aku senang setiap kali melihatnya seperti itu. Aku tak mau senyum dan tawanya lenyap. Aku ingin menebus semua hal buruk yang kulakukan waktu itu, yang pasti membuatnya terluka.

Dengan tangannya yang ada di genggamanku, aku seperti menggenggam seluruh dunia.

*

"Kalian resmi menjadi pasangan suami istri. Sekarang, cium pasangan kamu."

Senyumku mengembang. Aku memandangi tangan yang sedang kugenggam, lalu berpindah ke sepasang mata di hadapanku. Satu tanganku menyentuh pipi Filosofia yang mulai memerah.

"Cium! Cium!"

Saat aku semakin mendekatkan wajah ke arahnya hingga hidung kami bersentuhan, seketika itu pula dadaku didorong cukup kuat.

"Heh! Nggak di depan mereka juga, kali!" Filosofia berseru lantang. Sementara Sheila dan teman-temannya menggerutu.

"Gimana sih lo. Harusnya lo kasih hiburan ke mereka."

"Hiburan jidat lo." Matanya membeliak.

Mungkin, kalau tidak ada perawat di sekitar kami, ia akan melayangkan pukulan ke mukaku. Aku hanya cengengesan melihat air mukanya. Padahal, aku kan hanya mengikuti alur permainan Sheila yang ingin main nikah-nikahan. Apalagi dua orang temannya bersedia memegang sapu dan berpura-pura menjadi prajurit yang

"Sheila, mainnya udahan, ya. Aku harus segera kembali." Filosofia menepuk-nepuk pipi Sheila.

"Ugh... padahal kan mainnya belum selesai!"

"Sekarang udahan dulu," sahutku sambil mengacak-acak rambut Sheila yang semakin memanjang. Aku mendekatkan muka ke Sheila dan memelankan suara. "Nanti aku lanjutin sendiri."

Praktis saja, Filosofia yang mendengar suaraku memukul kepalaku. Aku mengaduh kesakitan.

"Tuan Putri pamit dulu, ya." Filosofia memberikan gestur layaknya seorang putri yang memberi salam.

Sheila dan kawan-kawannya melambaikan tangan kepada kami. Aku meraih tangan Filosofia, menggandengnya sepanjang jalan menuju tempat parkir.

Hari ini seperti biasa, selain mengantarnya konsultasi dengan Sabda, aku menghabiskan waktu untuk mengunjungi Sheila dan teman-temannya. Hal yang bisa mengusir kebosanan dan kesepianku selain melihat hewan-hewan di shelterDokter Ivanka.

Sebelum masuk ke mobil, ada pesan masuk. Tadinya, aku ingin mengabaikan, tetapi notifikasi ponselku terus-menerus memberondong. Aku merogoh saku celana dan membuka pesan yang dikirim Papa. Ia memintaku segera menemuinya. Bola mataku berputar kesal.

"Kenapa?" tanya Filosofia saat aku duduk di balik setir dan mulai menghidupkan mesin.

"Gue langsung anter lo balik ke kantor, ya. Ada urusan sama bokap."

"Oh...." Ia mengangguk dan tersenyum. "Oke."

"Kayaknya gue nggak bisa jemput lo juga."

"Nggak apa. Gue balik sama temen aja."

Mataku memicing. "Mas Danu?"

"Ish. Ngapain gue balik sama orang yang udah merit dan punya pawang segalak Mbak Meri??" Sudut bibirnya menukik ke atas. "Nanti gue kabarin kalau udah sampai apartemen."

Aku tersenyum hiperbolis dan mengacak-acak rambutnya.

*

Aku membalas sapaan karyawan kantor dengan senyum tipis sepanjang jalan menuju ruang Papa. Sebelum masuk, aku menarik napas dalam-dalam. Biasanya, aku akan berakhir marah-marah atau kesal ketika keluar dari kantornya. Aku mengantisipasi diri.

Tanpa mengetuk pintu, aku langsung nyelonong masuk. Dahiku mengernyit ketika melihat seorang lelaki sebaya denganku duduk di salah satu sofa, mengobrol bersama Papa. Belum juga selesai dengan keterkejutanku, Papa memanggil dan memintaku duduk di sofa. Aku memandang lelaki itu sebentar sebelum duduk di seberangnya.

"Ehem." Papa berdeham. "Kamu masih ingat Malachai?"

Aku dan lelaki di hadapanku, Kai, saling berpandangan—ia memberikan senyuman ramah, sementara aku melengos.

"Ya."

Aku mengenal Kai karena pernah satu SMA. Ayahnya pernah menjadi sopir pribadi Papa. Dulu, ia selalu dimintai tolong Papa untuk menjadi teman sekaligus pengawasku di sekolah; hal yang membuatku kesal setengah mampus dan tak menyukainya. Kami tak pernah dekat, meskipun ia berusaha mengulurkan tangan menjadi temanku.

"Mulai saat ini, dia akan bergabung di sini."

Aku memandang Kai sesaat dan tersenyum singkat. Lagi-lagi nih bocah. Well, aku sedang tidak mood berdebat. Maka, aku hanya menyeringai dan berkata, "Good. Sepertinya kita butuh waktu untuk mengobrol, hm? Udah lama sekali kita nggak ketemu." Mataku memelotot dan senyumanku lenyap.

*

Kai mungkin masih menganggap kami berteman tai kucing. Aku tidak. Ajakanku untuk minum di bar selain menjauhkan diri kami dari Papa dan omong kosongnya, juga untuk menginterogasinya.

"Kenapa lo tiba-tiba muncul depan muka gue?" tanyaku tanpa basa-basi. "Your present irrtates me, dude."

Alih-alih tersinggung, ia malah tertawa singkat. "Lo nggak berubah, ya? Gue pikir seenggaknya ada sedikit hal yang bikin lo berubah setelah bertahun-tahun."

Aku menyeringai dan meneguk satu seloki wiski.

"Bokap lo ngasih beasiswa ke gue dan sebagai balas budi, gue bersedia kerja di perusahaannya sekaligus bantuin lo. As I know, lo kan nggak ada basic bisnis sama sekali."

Ucapannya membuatku tertawa. Detik selanjutnya, tawaku lenyap. "Ah... kalau lo niat banget pengen jadi anaknya bokap gue, mending langsung aja bilang di depan mukanya. Dia pasti nggak bakal keberatan punya anak angkat yang punya passion di bidang bisnis kayak lo dibandingkan gue."

Kai mencebikkan bibir. Ia memandang seloki di tangannya, lalu meletakkannya lagi. Terjadi kesenyapan selama beberapa saat. Sampai akhirnya, ponselku bergetar dan mengalihkan perhatianku. Aku mengangkat panggilan Filosofia.

"Lo di mana?"

Aku melirik Kai yang menatapku kepo. "Kenapa, Sayang?"

"Nggak usah sayang-sayang. Gue tadi dari apartemen lo. Kosong. Keluyuran ke mana? Nggak mungkin masih sama bokap lo, kan?"

Aku memutar badan membelakangi Kai. "Gue lagi di bar."

Terdengar desahan frustrasi Filosofia. "Mau mabok-mabokan lagi lo?"

"Nggak... gue lagi reuni sama temen."

"Temen apaan? Katanya lo nggak punya temen."

Bola mataku berputar ke atas. "Beneran, Sop. Lo kalau nggak percaya nyusul gue ke sini, deh. I'm still sober, kok." Aku tahu ia sebenarnya hanya khawatir.

"Share loc. Cepet."

Lha... ia benar-benar ingin menyusulku. Aku mendesah panjang dan membagikan lokasiku kepadanya. Ia pasti tahu tempat ini karena aku sering kemari.

Begitu Filosofia memutus sambungan, aku memasukkan lagi ponsel ke saku. Kudengar Kai tertawa pendek, membuatku seketika menoleh.

"What's the prob?"

Ia menggeleng. "Gue cuma amaze aja. Pas SMA lo nggak pernah teleponan sama cewek kayak gitu. So, tell me about this girl."

Sudut bibirku menyeringai satu. "Not your business."

Ia tersenyum, lalu menyodorkan selokinya. Aku menatap selokinya sebelum mengalihkan muka. Namun, gelas kecil itu tetap bersentuhan dengan tanganku. Kai meminta satu minuman nonalkohol kepada bartender.

"Toleransi gue rendah," katanya. "Gue nggak mungkin nyetir motor dalam keadaan mabok, kan."

"Serah." Aku meraih selokinya dan menghabiskannya.

Entah berapa lama kemudian—karena aku tidak menghitung waktu—Filosofia muncul dan langsung menepuk pundakku. Ia memperhatikan wajahku dengan saksama sambil menepuk-nepuk pipiku.

"Lo masih sober, kan? Hah?" tanyanya.

"Ya ampun, iya, iya. Gue masih sober." Aku menahan tangannya.

"Gue nggak mau aja lo DUI, terus kenapa-napa. Sayang mobil mahal-mahal kalau lo tabrakin."

"Astaga mulutnya." Aku mencubit bibirnya. Ia menepis tanganku.

Perhatian Filosofia berganti ke arah Kai. "Waduh. Lo ternyata punya temen beneran, ya?"

Kai tersenyum dan mengulurkan tangan. "Hai. Malachai. Panggil Kai."

Filosofia menyambut uluran tangan itu. "Filosofia."

Mataku menyorot lekat kepada Kai yang memandang Filosofia intens. Tangannya bahkan tak kunjung dilepas. Aku merasa kegerahan sehingga kubuka kancing kemeja bagian atas dengan kasar.

****

DUI= driving under influence.

Malachai dibaca Malakai ya

***********

HALOOO GAISSS. SEBENERNYA GUE UDAH NGELANJUTIN SAMPE BEBERAPA BAB, TAPI GUE SIMPEN DULU. KAYAKNYA GUE GA AKAN POSTING SEMUA DI SINI KARENA AKAN GUE LANJUTIN DI BUKUNYA NANTI.

YUK SIAP-SIAP NABUNG BUAT BELI SAUJANA :D INSYAALLAH HARGANYA GA AKAN MAHAL YA, KARENA SAUJANA GA AKAN TEBEL DAN PANJANG CERITANYA :)

DAN YANG BELI KHUSUS MASA PREORDER BAKAL DAPET BONUS PDF MINI STORY

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro