Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Cara Ayam Berjalan

"Happy birthday to you, happy birthday to you. Happy birthday happy birthday... happy birthday to you.... Selamat ulang tahun anak Mama. Ayo tiup lilinnya dan berdoa."

Aku membuka mata dan hanya menemukan langit-langit di keheningan. Tanganku yang semula terlipat di atas perut berganti ke dahi. Aku paling tidak suka terbangun jam-jam tanggung seperti ini. Kalau sudah bangun begini, aku memutuskan untuk tak tidur lagi. Namun, konsekuensinya, aku bakal kelelahan saat meeting pagi. Terlebih hari ini Papa yang memimpin.

Jam digital di nakas menunjukkan angka tiga. Bangkit dari ranjang, aku segera membereskan bedcover, baju yang berserakan di lantai, dan mengambil training. Setelah mandi dan bersiap-siap, aku mengirim pesan ke Filosofia.

Aku tersenyum-senyum seperti orang edan melihat balasannya.

Begitu memakai sepatu, aku segera melenggang ke luar hanya membawa pochette Louis Vuitton yang berisi dompet, ponsel, powerbank beserta kabel, dan juul (berhubung Filosofia tidak mau dekat-dekat denganku setiap merokok, aku menggantinya dengan juul). Sebenarnya ia tak melarangku. Ia hanya tak bisa mencium baunya dan aku memilih mengganti kebiasaanku untuk dirinya.

*

Filosofia berhenti untuk mengatur napas kepayahan.

"Capek. Laper," keluhnya.

"Baru juga lima kali muterin GBK udah capek aja."

"Jidat lo!" Ia mengelap keringat di leher dan dahi. "Makan yuk. Laper gue."

"Ya udah. Mau di mana?"

Filosofia memandang berkeliling. Suasana di sekitar GBK ramai orang berolahraga. Ia tampak tak yakin makan di sini.

Pada akhirnya, kami membeli onigiri dan memakannya di mobil. Ia menghabiskan tiga onigiri dengan rasa berbeda saking laparnya.

"Ngapain lo lihatin gue?" tanyanya sambil mengunyah. "Baru makan sekali udahan?"

"Gue kenyang lihat lo makan." Aku tersenyum.

"Hilih." Ia melahap suapan terakhir dan mengelap tangannya dengan tisu basah. Ia menepuk perutnya pelan. "Tunggu turun dulu, ya. Nanti gue muntah."

"Iya."

Ia mengeluarkan ponsel dan mengambil swafoto dengan berpose peace. Lalu, mengunggah di Instastory.

"Lo nggak mau foto ama gue?" tanyaku.

"Nggak ah. Tiap gue upload foto bareng lo, ada aja fans lo yang nyepam minta salamin. Males."

Aku terkekeh. Kukeluarkan ponsel dari pochette, lalu meraihnya lebih mendekat sebelum asal jepret.

"Ih! Kenapa nggak aba-aba, sih?"

"Gue lebih suka ekspresi candid lo yang polos."

"Nggak. Pokoknya ambil ulang."

"Ck. Ya udah."

Ia melepas ikat rambutnya dan menyisir rambut dengan jemari. Aku mengamatinya dengan saksama selama melakukan itu. Ia memukul lenganku.

"Buruan."

Aku lalu mengambil beberapa foto dengan ia yang berganti-ganti pose. Kubiarkan ia mengambil ponselku untuk memilih foto yang akan diunggah di akunku.

"Ini aja deh. Cantik," katanya, lalu mengunggah ke Instastory sambil menandai dirinya sendiri.

Sepertinya, aku harus memberi tahu dirinya hari ini kalau aku akan kembali ke London bersama Papa. Aku mengambil juul. Kupandangi Filosofia yang masih sibuk dengan ponselku sambil tersenyum-senyum. Pandanganku berayun ke luar bersamaan embusan asap dari benda persegi panjang di tanganku.

"Gue mau balik ke London lagi."

Praktis saja Filosofia menoleh. Ekspresinya berubah.

"Berapa lama?"

"Sebulan."

Bibirnya mengerucut. Namun, ia mengubah raut mukanya lagi. "Salamin buat Cassiopeia, ya!"

Aku tersenyum simpul. "Hm." Tanpa perlu memberi tahu bahwa adik tiriku itu semakin memburuk di sana.

Kulihat bibir Filosofia yang terbuka, mengingat sesuatu. "Tapi... ulang tahun lo tinggal beberapa minggu lagi. Gue pengen ngerayain bareng."

"Buat apa?"

"Kok buat apa?" Matanya mengerjap. "Biar lo panjang umur dan bisa sama gue dalam waktu yang lama." Nadanya sewot.

Aku menyeringai. Kucubit satu pipinya. Ia menepis tanganku sambil mengaduh.

"Ya udah. Kita rayain di London bareng Key. Gimana?"

"Tapi...."

"Lo butuh liburan," potongku. "Ambil cuti beberapa hari dan susul gue ke London pas gue ulang tahun. Lo nggak perlu bawa hadiah apa-apa. Kedatangan lo di sana nanti bakal jadi hadiah buat gue."

Ia tersenyum kecil dan menjadi berkembang. Lalu, ia mengangguk setuju. "Oke. Gue bakal ajuin cuti nanti."

Aku meraih puncak kepalanya dan mengusap-usap rambutnya.

"Tapi," ia membuka suara lagi. "Nanti, lo beneran nggak minta apa-apa, kan?" Ekspresinya seperti bocah. Namun, hal itu malah membuatku memahami maksud kalimatnya dan membuat kecanggunganku muncul lagi.

"Nggak." Aku membuang muka.

Filosofia tertawa cekikikan, seperti mengolok-olok. "Ey... santai aja. Bahas sama gue sini. Sekarang. We're adult now." Ia menarik-narik kausku.

Aku menoleh, berpandangan dengannya. Aku tidak pernah membahasnya karena tidak mau membuatnya tidak nyaman.

"I don't wanna make you feel uncomfortable." Aku mendekatkan wajah ke arahnya.

"It's okay. Aku bakal bilang kalau aku nggak nyaman." Ia tersenyum.

Mataku mengarah ke bibirnya yang selalu terbayang-bayang di kepalaku bahkan saat aku tak ada di dekatnya. Naluri kebinatanganku selalu merongrong mengingatkanku pada betapa hangat sentuhan tangannya pada pipi, rahang, dan leherku setiap kali bibirnya yang lembut berkelindan denganku. Entah berapa kali aku membayangkan tanganku berada di lehernya, menekan jemariku di sana dengan kuat.

"Shit." Aku memejamkan mata dan membuang muka. Menyadarkan diri dari imajinasi liar.

Filosofia menyatukan alis sambil tertawa. Aku tak pernah semenderita ini. Aku mengalihkan perhatian dengan melihat jam.

"Gue ada meeting pagi ini. Gue anterin lo pulang," kataku.

Filosofia mengembuskan napas panjang, seakan masih ingin mengobrolkan hal itu sekarang.

*

Aku bosan setengah mati mendengar obrolan di rapat pagi ini. Mataku pun berkali-kali berusaha menutup. Padahal, aku sudah menyeruput kopi yang disodorkan OB. Tetap saja mendengar presentasi saat ini mengundang kantuk.

Di seberang, Papa berdeham dan memelotot ke arahku. Aku mengambil ponsel dan mengirim chat ke Filosofia sekadar menghindarkanku dari kantuk.

Aku tersenyum. Ekspresiku berubah saat melirik Papa yang menatapku tajam. Sambil mendengarkan presentasi, aku juga curi-curi kesempatan chattingan dengan Filosofia.

Meeting hari ini akhirnya selesai saat jam makan siang. Aku meregangkan badan yang terasa sakit semua. Begitu keluar dari ruang meeting, Papa tiba-tiba memblokir jalanku. Ia memintaku mengikutinya ke kantornya.

Begitu sampai di kantornya, aku melihatnya duduk dan mempersilakanku duduk pula.

"Papa lihat progress kamu masih saja sama seperti dulu."

"Saya sudah berusaha keras."

"Kamu nggak ada usahanya sama sekali," balasnya.

Bola mataku berputar. "Saya sudah mengorbankan hobi dan karier saya sendiri demi mengikuti ego Papa. Kalau Papa merasa saya bukan orang yang tepat, Papa bisa mencari orang lain yang lebih berkompeten."

Ia menepuk meja keras. "Hey!" Lalu, mengembuskan napas panjang. "Kalau kamu masih seperti ini, Papa nggak segan-segan memilih Ratu untuk mengambil alih perusahaan."

"Ya sudah...."

"Dengan menikahkan kamu dengan dia."

Aku membulatkan mata. "I have a girlfriend and you know that."

"Papa tidak peduli. Yang Papa pedulikan adalah nasib perusahaan, bukan persoalan asmaramu." Ia tak lagi memandangku dan memindahkan perhatiannya kepada berkas-berkas di hadapannya.

Aku menepuk lengan kursi dan beranjak gusar. Sebelum mencapai pintu, kudengar lagi suaranya.

"Business matching di London akan menjadi penentu nasib kamu selanjutnya. Kalau kamu tidak berhasil menjalankan salah satu project yang Papa kasih, Ratu akan mulai mengambil alih tugas kamu. Yang artinya, ucapkan selamat tinggal ke pacar kamu."

Berengsek.

Aku meremas tangan menahan kesal dan melanjutkan langkah ke luar kantornya.

*

Sudah sejam kudengarkan Filosofia menceritakan aktivitasnya seharian ini melalui FaceTime. Ia bilang, baru saja menawarkan diri menjadi reporter untuk kasus pembunuhan yang sedang ramai dibicarakan di internet.

"Kan gue udah bilang, jangan terlibat begituan. Cari topik lain."

Filosofia memiringkan badannya. "Tenang aja. Kasusnya juga ditangani netizen kok." Ia terkekeh. "Lo tahu sendiri kekuatan netizen lebih gede daripada pulici."

Aku menyengir. Namun, tetap saja aku tak bisa tidak mengkhawatirkannya. "Plis, lo cari yang aman aja."

"Tenang ajaaa. Lo nggak usah khawatir. Kalau gue dapat bahaya kayak waktu itu, gue bakal berhenti deh jadi jurnalis. Gimana?"

"Kenapa harus nunggu lo celaka dulu, sih? Gue yang dag dig dug mulu."

"Ututuuu gemesnya pacarku kalau khawatir." Filosofia mengernyitkan hidung. Bola mataku berputar. "Gue tidur dulu ya. Ngantuk." Ia menguap dan menepuk-nepuk mulutnya yang terbuka.

"Ya udah. Met bobo." Aku tersenyum. Panggilan terputus setelah itu.

Selang beberapa detik, ada pesan masuk.

*****

GAESSSS GUE BAKAL UP BEBERAPA BAB DI SINI. Banyak banget yang minta langsung diterbitin. Tapi bakal gue up dulu babnya di sini yaaak. Atau mungkin gue tetep lanjut sampe tamat di sini tapi bakal lebih lama karena PO bukunya gue rencanain bulan ini.

Jadi ibaratnya gue tamatin di buku Desembwr, tapi di Wattpad Januari gitu lah.

Jangan lupa voment!!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro