Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bingung

"Aku kangen banget. Sama Kak Filosofia juga."

Senyumku mengembang melihat Cassie di layar ponsel. Ada selang di hidung yang membantunya bernapas. Aku bersyukur karena ada keajaiban yang membuat ia masih bertahan sampai detik ini, biarpun keadaannya tidak berkembang sama sekali.

"Nanti aku bawa dia ke sana," janjiku.

Raut wajah Cassie berubah total. "Sumpah?" Matanya yang cekung berbinar-binar. "Ah, I really can't wait!" Ia tiba-tiba mengubah lagi ekspresinya. "Oh, ya. Kakak di sana nggak ada masalah sama Papa, kan?"

"Don't worry. I can handle him."

"No, you can't." Nada Cassie tegas. "Kakak selalu bilang baik-baik aja, padahal nggak sama sekali." Bola matanya berputar kesal. "Janji ke aku kalau ada apa-apa, Kakak nekat kabur aja. Kawin lari sama Kak Filo dan hidup bahagia di mana pun tanpa Papa. Oke??"

Aku tertawa. "Iya."

Dari seberang, aku mendengar samar-samar suara Si Nenek Sihir yang mendekati kamar Cassie. Adik tiriku itu buru-buru melambaikan tangan dan mematikan sambungan telepon. Si Nenek Sihir memang tidak suka jika Cassie masih suka menghubungiku. Apalagi jika aku ke London, ada saja kelakuannya yang bikin aku kehilangan kesabaran. Fucking annoying bitch.

Sebelum memutuskan tidur, aku membuka lagi pesan yang tadi dikirim dan hanya kutinggalkan terbaca. Aku mengembuskan napas panjang. Memilih tidak membalas dan meletakkan ponsel ke atas nakas, bersiap tidur. Namun, baru juga beberapa menit menutup mata, ponselku berdering. Aku mendengus kesal. Kuraih ponsel dan mendekatkannya ke telinga tanpa memperhatikan nama penelepon.

"Halo?"

"Kok cuma dibaca? Hai, Ilalang. Jangan sok nggak kenal, deh."

Bibirku mengatup rapat. "Sekarang jam satu malem. You disturb me."

"Ups. Sorry not sorry." Cewek di seberang, Ratu, malah tertawa. "Gue baru dapat nomor baru lo dari bokap lo. Makanya gue seneng dan langsung ngabarin."

Aku menyatukan alis. "Dan, dia nggak cerita kalau gue udah punya cewek?"

"Belum ada niatan nikah, kan?" Ratu mengucapkan itu begitu gampangnya. Aku mendengar suara lalu lalang orang. Sepertinya ia sedang di tengah-tengah kerumunan.

"Sorry, Babe. Gue orang yang setia."

Ratu terkekeh. "Iya, percaya. Apalah gue yang cuma kenal lo baru-baru ini." Aku mendengar suara embusan napasnya. Kami memang baru mengenal saat aku 'kabur' dari Indonesia dan sibuk-sibuknya mengikuti ego Papa. Papa memperkenalkan kami karena cewek itu anak dari teman bisnisnya.

"Gue mau tidur."

"Oke. Yang penting gue bisa denger suara lo. Gue tunggu lo balik ke sini."

"Ya, hm, gue bakal balik ke sana dan ngenalin cewek gue ke lo sekalian."

"I think we will be a good friend. Gue tunggu cewek lo juga di sini. See ya, Babe." Ratu memutus sambungan lebih dulu.

Aku mendesah dan menggeleng-gelengkan kepala, kemudian mematikan ponsel agar tak ada yang menggangguku tidur, dan meletakkan gawai itu di atas nakas. Mataku kembali memejam untuk mengarungi mimpi.

***

Tanganku menopang satu kepala yang pening mendengar canda tawa ala bapak-bapak pengusaha yang sedang makan malam bersama sambil membicarakan bisnis. Syukurlah, Papa tidak ada di sini. Ia yang memintaku mewakili makan malam itu untuk membahas sebuah proyek. Namun, alih-alih proyek, kebanyakan orang-orang ini malah membahas hal lain; liburan ke luar negeri diam-diam, pesta di kapal pesiar, dan cewek simpanan. Bola mataku berputar ke atas selama mendengarkan obrolan itu. Man, I wish I can punch them in the head. Kasihan sekali istri mereka.

"Oh iya, kita kan punya anak muda di sini," Pak Satrio mengalihkan pembicaraan dan memandangku. "Nak Ilalang sudah punya pacar?"

Aku tersenyum hiperbolis. "Sudah."

"Sudah niat nikah, dong? Anaknya siapa? Yang punya apa?" tanya Pak Burhan.

Aku mengganti posisi dudukku menjadi tegak. "Yatim piatu."

Pria-pria itu mengangguk-angguk dan saling melempar pandangan.

"Kalau begitu, pasti cewek mandiri, ya? Punya perusahaan apa?"

Pertanyaan Pak Rudy membuatku tertawa pendek dan langsung mengubah ekspresiku. "Dia wartawan."

"Oh... bagus, dong. Berarti selama ini Pak Ian bayar slot berita ke pacar kamu, ya?"

Bibirku mengatup rapat. Kupandangi mereka satu per satu. Aku mengusap bibir. "Dia tidak seperti yang Anda semua pikirkan. Pekerjaannya nyaris membunuhnya beberapa tahun lalu. Dia pekerja keras dan nggak butuh sogokan politisi atau pengusaha untuk menghidupi dirinya."

Mereka tertawa bersamaan.

"Wah... anak-anak zaman sekarang kayaknya pada naif, ya?" Pak Burhan tertawa.

Tepat saat keadaan meja mulai memanas, pandanganku beralih ke satu tempat. Aku mengernyit melihat Filosofia yang masuk ke restoran sambil celingukan. Saat melihatku, Filosofia juga kelihatan kaget sekaligus senang. Ia melambaikan tangan, lalu menghampiri mejaku. Aku berdiri menyambutnya.

"Lo ngapain di sini?" tanyaku dengan nada berbisik.

"Mau wawancara orang. Gue cari-cari orangnya belum dateng kayaknya," Filosofia balik berbisik.

Aku memandang semua pria di mejaku dan memperkenalkan Filosofia ke mereka.

"Uhm... ini Filosofia, pacar saya."

"Oh! Ini ternyata." Pak Rudy tersenyum. "Ayo gabung."

Aku agak ragu, tetapi Filosofia memundurkan kursi di sebelahku. Aku mengikutinya duduk.

"Salam kenal." Filosofia menundukkan kepala sopan.

"Sejak tadi, pacar kamu cerita soal kamu." Pak Satrio memandangku. "Katanya, kamu wartawan."

"Ah... iya." Filosofia menoleh ke arahku. "Lebih tepatnya, saya bagian kriminal."

"Oh..." Ketiga pria itu mengangguk-angguk.

"Saya pikir, kamu nerima berita pesanan juga. Saya mau pesan." Pak Burhan tertawa diikuti yang lain.

Sejak tadi aku sudah menahan muak. Filosofia tampaknya tahu bahwa aku lebih tidak nyaman daripada dirinya.

"Haha... Bapak-Bapak sekalian mau pesan berita apa memangnya?"

"Biasalah... buat modal kampanye." Pak Satrio tertawa.

Aku menendang pelan kaki Filosofia. Namun, ia hanya tersenyum dan bilang tidak apa-apa. Sejenak, Filosofia memandang ponselnya. Ia membaca pesan masuk, kemudian berkata kepadaku.

"Narasumber gue nggak bisa datang. Gue balik sama lo, deh."

Aku mengangguk.

"Jadi, Nak Sofia..." Suara Pak Rudy melunak. "Boleh tukeran kartu nama? Siapa tahu... nanti bisa kerja sama." Ia mengerlingkan sebelah mata. Dahiku mengernyit tak senang.

Filosofia tersenyum. Ia mengeluarkan kartu nama dari tasnya dan menyerahkan kepada ketiga pria itu.

"Teman saya ada yang terima berita pesanan. Bisa hubungi ke sini." Ia mengernyitkan hidung, lalu memandangku, masih dengan senyum cerianya. Aku memejamkan mata dan menggelengkan kepala.

"Oke... kayaknya obrolan soal 'proyek' sampai di sini saja. Kita lanjutkan di lain kesempatan karena saya masih punya banyak urusan." Aku berdiri dari kursi dan menarik pelan lengan Filosofia yang kebingungan.

Ketiga pria itu bertanya kenapa terburu-buru karena mereka berniat mampir ke bar untuk minum-minum. Aku menggeleng dan melayangkan senyum segaris yang dipaksakan, kemudian menggandeng Filosofia untuk segera pergi.

Begitu sampai di kasir, Filosofia menepuk pundakku.

"Kenapa buru-buru? Gue laper, belum makan."

"Cari restoran lain aja." Aku menandatangani struk yang diserahkan kasir dan menunggu kartuku dikembalikan.

"Ah, jadi nggak nafsu makan." Ia menyilangkan tangan di dada.

"Bagus."

Setelah kartu dan struknya kuambil, aku mendorong pelan punggungnya agar berjalan ke luar restoran. Kami berjalan beriringan menuju tempat parkir.

"Gue nggak suka sama situasi kayak begitu. Lagian, lo kenapa malah ngeladenin, sih?"

Filosofia tertawa. "Gue ngebantu temen gue yang terima berita pesanan biar dapat cuan. Sejak dia tahu gue pacaran sama lo, dia selalu minta tolong sama gue buat bantu cari klien."

Bola mataku berputar. "Gue nggak pengen lo berhubungan sama orang-orang kayak gitu."

"Kenapa? Gue malah penasaran buat pengen tahu."

Aku membukakan pintu mobil untuknya. "Lo tahu kan cowok-cowok di dunia ini pada berengsek?" Aku mengedipkan mata. "Kecuali gue."

"Sama BTS." Filosofia sependapat.

"Gue khawatir sama lo." Aku mengingat obrolan-obrolan mereka dan tatapan yang diberikan ke Filosofia tadi. "Disgusting."

Filosofia masuk ke mobil. Aku memutari kap, membuka pintu, dan duduk di jok dengan embusan napas panjang. Kuhidupkan mesin.

"Gue udah ketemu banyaaak banget macam orang selama jadi wartawan." Ia menepuk pahaku. "Rileks."

"Jadi makan, nggak?"

"Di tempat lo aja, deh."

Aku mendecak lidah dan menjalankan mobil.

***

Kami memesan makanan secara daring sesuai keinginan Filosofia. Ia memeluk bantal sambil menggulir-gulir aplikasi selama setengah jam.

"Jadi, lo mau makan apa, Sayang?" tanyaku tak sabar.

"Hm...." Filosofia mengetuk-ngetuk bibir. "Pengen ini. Tapi, pengen juga yang ini. Enaknya yang mana, ya?"

"Udah mau sejam nih. Gue pilihin aja sini."

"Udah." Ia menyerahkan ponselku. "Hm."

Namun, sebelum aku meraih ponselku, tiba-tiba ia menariknya lagi. Aku mendesah panjang. "Ganti lagi?"

"Mau update pake hape lo." Ia tersenyum dan mengambil selfie. Ia mengutak-atik ponselku, entah apa. Paling-paling Instagram.

Aku kembali melanjutkan bacaanku di sofa. Namun, saat mataku meliriknya lagi, kulihat ekspresi Filosofia berubah. Mataku membulat lebar mengingat bahwa Ratu bisa sewaktu-waktu mengirim pesan kepadaku.

"Lo kenapa?" tanyaku memastikan.

Filosofia memandangku dan menggeleng. Ia tersenyum simpul, kemudian menyerahkan ponselku. Saat aku mengecek aktivitas terakhir, tak ada satu pun yang tersisa. Tampaknya, ia sudah menutup semua slide itu. Aku memeriksa pesan-pesanku. Tak ada yang aneh juga. Pesan Ratu juga sudah tertimbun karena aku tak membalasnya sama sekali. I wish she saw nothing.

"By the way," tiba-tiba ia membuka suara. "Dua hari lalu gue ketemu Naya, mantan lo."

Aku meletakkan bukuku. "Oh, ya? Terus?"

"Ya... kita cuma ngobrol bentar. Terus... bahas lo...."

"Nggak yang jelek-jelek, kan?"

Ia tertawa. "Banyak jeleknya, sih. Tapi, herannya, gue mau aja sama lo." Ia sibuk dengan ponselnya. Tangannya menumpu dagu. Sikunya menekan bantal kelinci pink yang kubelikan untuknya—dan ia tinggalkan di sini.

Selama mengamatinya, aku memikirkan sesuatu. Jemariku mengusap-usap rambut yang tidak gatal, tanda aku bingung. Aku ingin sekali mengatakan yang sejujurnya soal keberadaan Ratu dan rencana papaku. Saat bibirku terbuka, bel apartemen berbunyi. Filosofia melompat girang karena makanannya sudah datang. Ia berlari membukakan pintu dan menerima pesanannya.

"Makasih, Pak!" serunya, sebelum kembali lagi ke sofa dan meletakkan makanan-makanan itu di meja.

Memandang makanan itu, aku jadi tidak nafsu. Rasanya ada yang mengganjal di hati selama aku belum mengutarakan kejujuran itu. Aku sangat tidak nyaman berbohong. Apalagi di depan Filosofia. Saat berpisah diam-diam waktu itu saja membuat hidupku tidak tenang. Mama selalu mengajarkan kejujuran. Ia selalu mengingatkan akan ada konsekuensi yang kutanggung jika berbohong.

"Nggak mau makan lagi?" tanyanya, lalu menyodorkan garpu yang sudah ditancapkan odeng. Ia meletakkan odeng itu lagi karena tak kusambut. "Kenapa?" Ia sadar dengan keanehanku.

Aku meletakkan buku ke meja, mencondongkan badan dan memandang lekat matanya. Ia tampak bingung. Matanya mengerjap-ngerjap.

Sebelum ia bertanya lagi, aku menyela, "Kalau nanti keadaan makin nggak memungkinkan buat gue, lo mau nggak gue ajak kawin lari?"

******

Udah nabung buat beli Saujana? Yang udah mana nih suaranya? 😗

Gue lagi kepikiran bagi Saujana ke dwilogi atau trilogi wkwkwk

Juga kepikiran bikin marriage life-nya Nuansa dan Sabda 😭 Ada yang mau ngikutin?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro