Awal
September 2022
"Lo mau nggak nikah sama gue?"
Seharusnya ini sudah cukup bagus. Aku telah berlutut sejak setengah jam lalu di hadapan seorang gadis berkucir dua yang saat ini mencebikkan bibir. Ia menggeleng dan mendecak.
"Kalau kamu mau melamar seorang putri raja, kamu harus melakukannya dengan benar!"
Aku mendesah panjang. Sheila tampaknya tak akan meloloskanku. Ah, percuma.
Aku bangkit dan duduk di samping Sheila yang memain-mainkan rambutnya. "Heh, gue kudu kayak gimana lagi? Ini udah yang paling manis, tahu." Aku bahkan tak pernah berbicara selembut tadi.
"Kesatria Kuda Hitam." Sheila menepuk pundakku dan menatap lekat mataku. "Semangat. Berlatihlah lebih keras. Perjuanganmu masih sangat jauh. Hati Tuan Putri sangat lembut dan rapuh. Butuh kesabaran dan ketekunan untuk menaklukkannya." Gadis itu tersenyum ceria.
Selang berapa menit, aku melihat Filosofia dari kejauhan, tengah berlari kecil menghampiri kami hingga membuat kucir kudanya bergoyang.
"Wah... makin akrab aja nih." Filo membungkuk di depan Sheila. "Ngomongin apa."
Sheila melipat tangan di depan dada. "Strategi penyerangan musuh. Ini bukan obrolan yang bisa disebar luas, Tuan Putri. Aku sedang membicarakan strategi bersama Kesatria Kuda Hitam."
Filo terkekeh mendengar celotehan itu. "Ya sudah. Tuan Putri izin pergi sama Kesatria dulu, ya. Kamu kembali ke Istana gih."
"Siap!" Sheila berdiri tangkas dan berjalan bagaikan seorang prajurit. Seorang perawat menuntunnya untuk ke kamar.
Aku melihat punggung gadis itu yang menghilang di balik tembok. Lalu, tangan Filo terulur ke depan.
"Ayo lanjutkan perjalanan ke desa selanjutnya, Kesatria."
Aku mendecak lidah dan meraih tangannya, menggenggamnya. Kami beranjak pergi, berjalan beriringan menyusuri koridor RSJ.
Well, ini jadwal kunjungan rutinnya untuk berkonsultasi dengan Sabda. Karena tidak sibuk, aku yang mengantar dan menunggunya sampai selesai.
*
Sudah dua jam aku melihat Filo berhadapan dengan laptop. Sesekali ia mendengarkan rekaman di ponsel untuk menyalinnya menjadi tulisan. Selama itu pula aku memperhatikannya dari kejauhan. Ia membiarkan rambutnya sedikit berantakan, menjuntai dan membingkai wajahnya. Kacamata yang baru ia beli seminggu lalu bertengger di hidung mungilnya.
"Sampai kapan lo ngelihat gue kayak gitu?" tanyanya, tanpa memandangku.
Aku menyengir dan meletakkan buku yang sejak tadi tak kubaca dengan benar.
"Udah jam sembilan, lo masih sibuk sama kerjaan?"
"Iya, gue kudu selesein editan dari wartawan nih." Ia mengangkat kepala. Akhirnya, memandangku. "Lo kenapa nggak pulang? Udah jam sembilan."
Aku menyandarkan kepala pada telapak tangan setelah memosisikan badanku miring di ranjang
"Masih kangen, tahu. Lo nggak kangen gue? Baru balik dari London setelah LDR setahun gara-gara corona."
"Haih. Lebay." Ia melemparkan buntalan kertas ke arahku.
"Kalau udah selesai, sini," kataku sambil menepuk sampingku. "Temenin nonton."
"Kerjaan gue masih banyak." Ia kembali menekuri laptop.
"Ya udah. Gue juga bakal tetep di sini." Aku berbaring dan melipat tangan di atas dada. Kupandang Filo yang tampak tak peduli. Lidahku mendecak sekali.
Ia benar-benar gigih menyelesaikan pekerjaan, bahkan sampai pukul sebelas. Sementara aku telah memejamkan mata di ranjang. Pura-pura tertidur.
Saat benar-benar hampir ketiduran, aku merasakan tangan lembut dan hangat menyentuh dahiku, menyingkirkan rambut yang menutupinya. Kusentuh tangannya. Mataku terbuka sedikit. Ia mengamatiku sambil menyunggingkan senyum kecil.
"Pulang," katanya pelan.
Aku menggeleng dan masih menggenggam tangannya, melanjutkan memejamkan mata.
"Manja banget sih," keluhnya.
Aku tersenyum simpul. "Sini." Aku menarik tangannya, memintanya mendekat.
Aku mendengar dengusannya. Ia melepas tanganku. "Aku mau mandi." Lalu, melenggang menuju kamar mandi,
Mataku terbuka. Suara pancuran terdengar tak lama kemudian. Aku hanya mengamati dinding di hadapanku yang tersambung dengan kamar mandi, lalu mengubah posisi tidur dengan telentang, memandang langit-langit sambil meletakkan satu tangan ke atas perut. Pikiranku berkelana ke sana-sini. Seperti layangan putus yang terbang tak tentu arah.
Filosofia sangat berdedikasi dengan pekerjaannya. Aku sudah memintanya untuk mencari pekerjaan lain karena khawatir ia mendapat mara bahaya. Namun, ia bukan seseorang yang mau menurut. Terlebih, jika berhubungan dengan sesuatu yang ia suka. Ia tetap bertekad menjadi jurnalis kriminal. Meskipun ancaman tempo lalu tidak lagi berlanjut, aku tetap saja khawatir.
Beberapa waktu lalu, aku sengaja mengirim press release ke beberapa media cetak. Mengabarkan tentang hubunganku dengan Filosofia. Pada awalnya, Filosofia menolak. Ia tidak terlalu suka diekspos di media. Namun, pada akhirnya berhasil kubujuk. Dengan begitu, orang-orang akan tahu bahwa ia memiliki backingan dariku. Meskipun aku tak pernah suka membawa-bawa keluarga papaku, setidaknya privilege itu bisa kugunakan untuk melindunginya. Mereka tak akan berani macam-macam dengan orang-orang yang berhubungan dengan keluargaku.
Filosofia muncul dengan piyama bergambar kelinci pink yang entah apa namanya—ia bilang itu salah satu karakter di BT21 bikinan BTS.
Aku tersenyum dan menepuk kasur di sampingku. "Simulasi jadi suami istri yuk."
"Ogah." Ia menggosok rambutnya yang basah dengan handuk, lantas mencolok hair dryer. Bunyi deru berisik terdengar.
Aku suka sekali mengamatinya sibuk dengan dirinya sendiri. Ia berulang kali menoleh ke arahku, bertanya kenapa aku memandanginya. Aku hanya menggeleng dan tersenyum. Aku benar-benar tak sabar untuk melamarnya.
"Masa kamu nggak mau nikah sama aku?" tanyaku.
"Entar dulu. Aku belum siap." Ia selalu menjawab begitu. Hal itu yang membuatku selalu mengurungkan niat untuk melamarnya. Ia selalu berkilah dengan ajakanku yang dianggapnya bercandaan. "Nunggu Jungkook nikah, ya. Kalau dia udah nikah, nanti kita nikah."
Aku mendecak lidah. "Nanti gue undang si Jungkook lengkap sama BTS-nya buat nyanyi di kondangan kita."
Filosofia mencebikkan bibir. "Manis di lidah doang lo mah."
"Lha, gue beneran ngasih lo album tanda tangan BTS, lo masih nggak mau gue ajakin nikah."
"Lo ngajakin gue nikah kayak ngajak main gaple." Ia mendesis kesal.
Aku terkekeh. Itu artinya ia mau, kan? Aku memang harus segera mencari waktu yang tepat untuk melamarnya dengan sungguh-sungguh.
"Beneran. Gue bakal ngundang mereka buat nyanyi. Lo mau nikah di mana? Di Korea sekalian? Soalnya mereka kan sibuk. Mumpung masih dini, gue booking mereka."
Filosofia malah tertawa, menganggapku bercanda—lagi. Begitu menggantung hair dryer-nya, ia beranjak dari kursi. Alih-alih tidur di sebelahku, ia malah mengambil bantal dan tidur di karpet.
"Lha, lo ngapain di bawah?"
"Bukan muhrim," balasnya cuek.
Aku mendecak. "Ya udah."
Ia benar-benar tak pindah. Aku memejamkan mata masih dengan posisi telentang. Aku tak menghitung waktu. Selang beberapa waktu, aku merasakan ranjang bergetar. Aku menahan diri untuk tak membuka mata atau tersenyum. Masih pura-pura tidur.
"Lo disuruh pulang malah nggak mau." Filosofia menggerutu. Ia akhirnya berbaring di sebelahku, sedikit menjaga jarak.
Meskipun sering menginap di tempatnya, aku lebih sering tidur di bawah daripada satu ranjang dengannya. Selama berpacaran, kami tak pernah sampai bercinta. Aku menghormati keputusannya. Aku butuh consent dirinya.
Saat menoleh ke kiri, Filosofia sudah terlelap memunggungiku. Aku memandangi punggungnya. Alih-alih wajahnya, aku malah berpandangan dengan gambar kelinci pink itu.
Malam terasa begitu panjang. Saat aku sudah hampir tertidur, aku merasakan pergerakan. Gadis itu sudah berganti posisi dan merangsek di dekatku. Aku melingkarkan tangan di sekitar pundaknya, membawanya semakin dekat di dekapanku.
*****
HAAAAI GUE KEMBALI DENGAN POV ILALANG. SELAMAT MENIKMATI KEHALUAN INI YOROBUN. Udah kan seneng kan lu ada POV Ilalang yang akhirnya keluar WKWK. Selama ini udah ada di draft, tapi belom kelar. Sekarang udah gw keluarin nih. Jangan lupa feedback ya!
Nunggu vote-nya banyak ah baru gue update. Biar gue semangat lanjut. Mwah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro