1/1
Irish membuka kedua kelopak matanya secara perlahan. Mengerjapkan matanya beberapa kali, dan dalam beberapa detik, Ia sudah tau dimana keberadaan dirinya.
Rumah sakit, kamar 101.
"Irish boleh ke rumah Reno, Ma? tanya Irish sembari mencoba menggerakkan tangannya yang agak kaku.
Mama Irish menoleh, menatapnya lekat,"jangan dulu Rish," ujarnya sambil membuang muka, melanjutkan mengupas apel-apel berwarna hijau dimeja.
"Loh, kenapa ma?" tanya Irish kaget, kemudian terdiam saat melihat mama mulai meneteskan air dari matanya. Irish hanya terdiam menatapi bagaimana mama menangis pelan, walau Ia mencoba menahannya.
"Ma, ada apa?" tanya Irish, kemudian mama mendekatkan diri kepada Irish dan memeluknya.
***
Senja itu, Irish berjanji pada Reno. Janji untuk bertemu di cafe depan SMA mereka dulu. Reno sudah kembali dari kuliahnya di Belanda.
"Hey Reno!" teriak Irish riang saat melihat Reno yang sudah berada di depan cafe.
Reno tersenyum memperlihatkan sederetan gigi putihnya dan pipinya membentuk cekungan pipit kecil.
"Apa kabar Rish?" tanya Reno saat jarak diantara mereka sudah cukup dekat.
"Baik! Lo gimana? Masuk dulu yuk!" ajak Irish sambil menarik tangan Reno untuk masuk ke dalam cafe. Irish masih sama seperti dulu.
"Kuliah lo gimana Ren?" Irish membuka pembicaraan saat baru saja duduk di salah satu kursi dekat jendela. Bahkan Reno belum membalas bagaimana kabarnya, Irish sangat antusias bertemu dengan Reno.
"Pelan-pelan dong Rish, gue kan belum jawab pertanyaan lo yang tadi" kata Reno sambil tersenyum jahil,"lo tuh gak berubah, tetep cerewet" lanjutnya sambil mencubit gemas pipi Irish.
"Eheheh, iya lupa. Ah, tapi kabar lo pasti baik!" semprot Irish lagi, kini di depan mereka sudah tersedia dua potong tiramisu serta dua gelas green tea latte. Kesukaan mereka masih sama.
"Awas kalau kabar gue gak baik ya, hahahaha" ujar Reno sambil tertawa.
"Gak boleh ngomong gitu ah, Reno"
"Iyaa-iya, kabar gue baik. Kuliah gue juga baik aja sih, lo gimana?" tanya Reno balik.
"Gak jauh beda sama lo, tapi sekarang gue mulai sibuk sih persiapan sidang," ujar Irish sambil berbinar.
"Lo sidang?! Setelah lo curhat panjang kali lebar sampe gue tidur di depan laptop denger curhatan lo itu, akhirnya lo sidang Rish" Reno kembali tertawa kecil sambil memotong tiramisu miliknya.
"Remeh-remeh sih lo!" ujar Irish keras. Kemudian suasana menjadi hening. Suara gemerincing pintu cafe yang menandakan ada seseorang membuka pintu beberapa kali berbunyi.
"Kalau pacar lo udah ada, Rish?" tanya Reno sambil memandang jalanan di depan cafe, kemudian kembali menatap Irish.
"Belum lah! Lo pikir aja orang-orang yang ngedeketin gue tuh mikir berkali-kali buat deketin gue tau!" kata Irish kencang, sebenarnya, Irish memang seperti itu, ceria, suaranya keras, dan sedikit blak-blakan.
"Yaa, siapa tau kan pas di kuliah ada gitu yang deketin lo," pancing Reno sambil tersenyum jahil lagi.
"Lo ngejek?" ujar Irish sarkastik.
"Engga kok engga, lo santai lah" jawab Reno,"lo inget gak sih dulu kita sering makan disini juga?" lanjut Reno sambil memperhatikan sekitar.
"Ya inget lah, apalagi pas lo ngidam tiramisu terus lo sampe minta uang 1000 ke semua murid dikelas, ngakak anjir" Irish mengingat kembali kenangan masa SMA nya sambil tertawa renyah.
"Ya jangan yang itu juga kali diingetnya" Reno menatap sinis, kemudian tatapannya melunak.
"Kalau pas hujan-hujanan di depan cafe, inget?" tanya Reno sambil meletakkan kedua tangannya di dagu.
"Gue sering hujan-hujanan btw di depan sana" jawab Irish sambil terus melahap tiramisu miliknya.
"Ish. Yang sama gue lah," Reno memelankan suaranya. Jantung Irish berdegup kencang, Ia ingat. Ia ingat saat Ia terpeleset dan dengan cepat tangan Reno memegang pinggangnya cepat. Bahkan Irish masih ingat bagaimana tatapan mata Reno saat itu.
Irish segera membuang jauh-jauh ingatannya itu.
"Apaan sih lo Ren? Gak jelas banget." Irish menunduk menatap sepasang sepatu converse yang dikenakannya.
"Lo inget kan benernya? Tuh pipi lo merah, pasti lo malu bilang nya ya?" kini Reno sudah mentoel-toel pipi Irish yang benar-benar memerah. Irish hanya diam, karena apa yang dikatakan Reno adalah benar.
"Rish kalau gue gak disini lagi, lo bakal gimana?" tanya Reno tiba-tiba, membuat Irish membelalakan matanya.
"Maksud lo apa?"
"Yaa maksudnya tuh gue lanjut kuliah juga, tapi di luar lagi, lo bakal gimana?" jelas Reno sambil meminum green tea latte miliknya.
"Gapapa sih, lagi pula kan itu semua demi masa depan lo. Gue sebagai sehabat ya cuma bisa ngedukung dan berdoa yang terbaik buat lo aja," sahut Irish dengan nada serius.
"Lo jangan serius amat kenapa sih, Rish?" Reno kembali tertawa pelan.
"Iya kalau ngomongin masa depan harus serius lah, No"
"Kalau ngomongin masa depan kita harus serius juga, Rish?" hal seperti ini yang dibenci Irish. Reno punya caranya sendiri untuk membuat hari Irish selalu berdegup, dari dulu. Bahkan saat mereka pertama bertemu saat SMA.
"Apaan sih lo, No" bantah Irish, kemudian melihat arlojinya singkat,"udah jam 9 nih, gue pulang ya? Besok kita ketemuan lagi deh kalau-"
"Iya gue bakal kangen kok sama lo" sambung Reno sambil tersenyum.
Irish hanya menaikkan alisnya,"najis lo, udah yuk balik ah" katanya sambil membereskan barang-barangnya yang tergeletak di atas meja cafe.
Seperti biasa, Irish memasangkan headset di kedua telinganya, kemudian mulai memutar lagu kesukaannya. Irish mengayuh sepedanya dengan kecepatan sedang.
"Hati-hati Rish," ujar Reno sambil melambaikan tangannya, meski Ia tahu Irish tak mendengar. Namun, Irish masih bisa membalas lambaian tangan Reno.
Irish merasakan ada seseorang yang mengikutinya, jalanan masih ramai, tapi dia hanya merasa khawatir pada dirinya. Irish berhenti sebentar, mengamati sekitar, kemudian melanjutkan ayunan sepedanya.
Ia semakin merasa ada yang mengikuti, Irish menoleh kebelakang sambil terus mengayuh sepedanya dengan cepat. Tanpa tahu bahwa sesuatu akan menghantamnya dalam hitungan detik.
Iya. Ada yang mengikutinya. Orang yang mengikuti Irish berlari dengan cepat berusaha menyalip Irish dan memberhentikan Irish dalam waktu yang bersamaan.
"Rish cepet buruan kayuh sepedanya!" suara berat yang memerintah nya itu seakan langsung menusuk indera pendengaran Irish. Dengan cepat Irish mengayuh sepedanya dan merasakan seseorang mendorongnya dari belakang hingga Irish terlempar kesamping trotoar.
Dalam hitungan sepersekian detik setelah Irish mengerem, Ia samar-samar mendengar suara tabrakan.
Bus yang tadi hampir menabraknya kini menabrak orang lain yang tadi menyuruhnya mengerem. Bahkan Irish tidak tahu suara siapa itu. Sayup-sayup pandangan matanya pun kini mulai menjadi gelap.
***
"Irish sudah ingat?" tanya mama sambil terus saja menangis. Buliran air mata itu menetes membasahi kedua pipinya.
Tanpa dirasa Irish menjatuhkan air mata yang banyak. Ia memejamkan matanya sejenak. Mengingat kembali kenangan bersama Reno.
"Jadi, aku sekarang bener-bener gak bisa ketemu Reno?" tanya Irish sambil masih terus menangis. Ia terus menangis sekencang-kencangnya.
"Iya, Rish. Harus kuat nak" ujar mama Irish sambil terus memeluk Irish dan mengusap pelan puncak kepala Irish.
Mama tau, Irish mencintai Reno. Bahkan mama tau, Reno juga mencintai Irish.
Dulu semasa SMA, Reno sering kerumah Irish dan bercerita dengan mama Irish. Bercerita bagaimana perasaannya kepada Irish. Dan mama tau, saat Reno memutuskan kuliah di Belanda, Irish sangat sedih, karena harus jauh dari Reno.
Kini semua sudah berakhir. Sepotong kisah antara Irish dan Reno terukir indah dalam hati Irish. Ia belum sempat mengatakan perasaan yang sebenarnya. Begitupun dengan Reno. Hanya kata-kata gombalan dan pujian yang terucap. Bahkan sangat sulit rasanya mengatakan hal yang sebenarnya.
-semoga lo cepet lupain gue Rish, gue sayang sama lo. -Reno
***
Halo! Aku balik lagi dengan new short story yang tiba-tiba muncul dalam pikiran dan semoga ngena yaa :))
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro