Bujur Bumi 57 : Jagoan Kecil
Si tunggal itu benar-benar keras dalam prinsipnya. Sekali ia membuat keputusan, tidak ada yang bisa memengaruhi untuk mengubahnya lagi. Wanita itu sudah mantap bercerai dari Affandra.
Sepertinya Achala tidak berniat meluruskan persoalan ini terlebih dahulu, bahkan ia tidak peduli jika ini hanya kesalahpahaman saja. Baginya, ini adalah kesalahan yang dibuat Affandra dan ia benar-benar tidak bisa memaklumi segala perbuatan dosa yang ia kutuk.
"Mel ... Melia, pokoknya aku serahin semua di kamu, ya. Aku nggak nuntut apa pun dari suamiku. Cuma mau pisah aja, udah."
Achala sedang menelepon temannya untuk mengurus perceraiannya dengan Affandra. Seperti Dejavu, rasa sakit dari pria itu seakan terulang lagi bak luka yang Lintang hadirkan dahulu.
"Kamu nggak nuntut harta gono-gini, Cha? Lumayan, loh. Suami lo tajir melintir."
"Nggak, Mel. Aku cuma mau persidangannya cepat putus, itu aja. Mel, nanti kita omongi lagi, ya. Kemungkinan besok aku balik Jakarta."
Achala menutup panggilan. Ia memijat pelipisnya, rasa pusing dari pagi tadi terus saja menderanya. Bagaimana tidak, sepeninggalan Affandra kembali ke Jakarta wanita itu terus saja menangis hingga matanya sembab. Siapa yang tidak menumpahkan air mata, seburuk apa pun pasangan kita, setidaknya ada momen di mana kita pernah bahagia waktu bersamanya. Ia tak menampik jika selama hidup di bawah atap yang sama dengan Affandra, Achala sangat bahagia. Pria itu banyak mengajarkannya tentang hidup.
Memijat keningnya, bukan hanya kepalanya yang pening, tetapi asam lambungnya pun turut naik. Ia ingat terakhir mengisi perutnya yang kosong, yaitu kemarin malam. Sarapan yang disiapkan oleh anak perempuan Ummu Habibah pun tak Achala sentuh sama sekali, bahkan hingga sekarang sudah hampir memasuki makan siang, ia tetap tak berselera dengan makanan.
Meski merasa tubuhnya ada yang salah, Achala tetap memaksakan diri. Menyusun baju-bajunya di dalam koper. Sudah cukup ia tinggal di sini. Toh, Affandra sudah mengetahui persembunyiannya. Sekarang yang ia pikirkan adalah bagaimana memberitahu kedua orang tuanya.
Achala mengusap sudut matanya, bening itu seakan tak habisnya untuk mengalir. Hidungnya memerah, kepalanya pening, perutnya mual, ulu hatinya seakan ditekan kuat. Menutup mulutnya dengan telapak tangan, Achala berlari ke kamar mandi. Berpegangan pada dinding bak mandi, Achala memuntahkan cairan pahit dari pangkal tenggorokannya. Penyakit magnya kambuh karena tidak adanya asupan yang masuk. Butiran peluh dingin di dahi hingga lehernya membanjiri.
"Ibu, Acha salah apa, bu? Kenapa cobaan ini berat banget, bu? Acha nggak kuat lagi, bu," lirihnya terduduk bersandar di dinding kamar mandi memeluk lututnya.
"Mbak Acha. Ada di dalam?" Suara anak perempuan itu terdengar beriringan dengan ketukan di pintu berbahan kayu Mahoni.
"Iya, ada di dalam, Bil. Tunggu sebentar, ya," sahut Achala, tergesa bangkit membasuh wajahnya.
Berusaha tenang, Achala membuka pintu kamar mandi. Senyum palsu itu tersungging saat di hadapan putri dari Ummu Habibah dan Ustaz Ahmadi.
Sabilla terkejut melihat penampilan Achala, wajah perempuan itu tidak hanya sayu, tetapi juga sangat pucat seperti tidak adanya aliran darah di kulit wajahnya.
"Tuh, kan! Teh Acha pasti nggak dimakan sarapannya." Sabilla mengomel. "Sini, aku bantu ke tempat tidur. Jangan nyiksa diri sendiri atuh, Teh. Gimanapun juga Teh Acha harus makan."
Duduk di pinggir tempat tidur, Achala mengulas senyum tipis. Bersyukur orang-orang di pondok pesantren ini sangat menerima dirinya.
"Ada apa, Bil? Teteh nggak kenapa-kenapa, kok. Tadi cuma muntah, biasa kena asam lambung," ujar Achala pada anak remaja itu.
Sabilla menepuk jidatnya, ia lupa tujuan awalnya mengetuk pintu kamar yang Achala huni selama di pondok pesantren ini.
"Astagfirullah, aku lupa kalau ke sini disuruh Ummu manggil Teh Acha. Ada orang yang mau ketemu sama Teteh."
Menyeka dahinya yang berkeringat, Achala menoleh ke kiri. "Siapa, Bil? Laki-laki kemarin?" Achala bertanya, ada rasa khawatir jika Affandra kembali lagi ke sini.
Belum juga Sabilla membuka suara, pintu kamar Achala diketuk. Sabilla membukakan pintu kemudian berlalu meninggalkan kamar petak itu. Ia merasa bukan ranahnya berada di tengah-tengah sini. Spontan beranjak dari duduknya, pupil Achala melebar, dua perempuan paruh baya dan ... seorang jagoan kecil berdiri di depannya.
Achala terkejut, ia tidak menyangka jika mertua dan ibu kandungnya akan datang ke sini bersamaan. Mata wanita itu berembun saat netranya bersirobok dengan perempuan yang telah melahirkannya.
Wanita itu sedikit oleng saat Juang berlari dan berhamburan memeluk kakinya. Achala berjongkok menyamakan tinggi badannya dengan jagoan kecil yang sangat ia rindukan. Air matanya kembali tumpah, ia sungguh iba melihat anak yang tidak berdosa ini.
Membawa sang putra ke dalam kamar, kedua ibunya pun turut melangkah lebih masuk ke kamar yang tidak begitu luasnya itu. Duduk di bibir ranjang, memeluk sang putra dengan penuh rasa rindu. Terbesit rasa bersalah pada anak ini jika ia bercerai dari Affandra. Bagaimanapun juga, Juang sangat ia sayangi. Achala mengutuk dirinya sendiri, ia tidak mau Juang kehilangan figur seorang ibu. Walaupun, nantinya bisa saja sang ayah dari anak itu mencarikan ibu sambung yang lain.
Achala bergedik ngeri membayangkan itu semua. Haruskah ia membatalkan perceraiannya dengan Affandra?
"Abang janji nggak nakal lagi, Macha. Yuk, pulang. Abang nggak mau ditinggal, Macha. Abang takut ...," isak si kecil kian pecah. Lengan mungil itu memeluk pinggang sang mama posesif. Ia takut jika tautan itu terlepas, wanita ini akan kembali pergi meninggalkannya.
"Iya, Sayang. Abang nggak nakal. Abang tetap jadi anak mama. Abang dengerin mama, ya. Mama sayang Abang sampai kapan pun."
"Macha, jangan pergi-pergi lagi, janji? Jangan tinggalin abang. Macha sayang abang, kan? Iya, kan?" Juang memeluk leher Achala, ucapan anak itu menyentil emosional Achala.
Achala mengangguk. "Iya, mama janji nggak akan pergi-pergi lagi. Mama nggak akan ninggalin Abang, tapi mama nggak bisa pulang ke rumah papaf. Abang ikut mama di rumah kakek, ya? Mau?"
Anak itu mengangguk kuat, tanpa tahu apa maksud dari ucapan sang mama. Ibu yang kejam, Achala tetaplah Achala. Ia akan tetap pada pendiriannya. Mau kehadiran orang tua, mertua atau Juang sekalipun. Keputusannya bercerai dari Affandra tak terbantahkan.
Maafin mama, Nak. Mama emang jahat. Kamu tetap jagoan mama.
Achala tergugu, sejujurnya ia tidak ingin merusak hidup Juang karena perpisahannya. Namun, ia tidak selapang dada itu memaafkan perbuatan Affandra. Ia tidak bisa hidup dengan laki-laki pengkhianat.
"Cha," panggil ibu mertuanya, menjatuhkan bobotnya di samping Achala. Tangan rimpuh wanita itu mengusap punggungnya.
"Mi, maafin aku. Kami harus ngambil keputusan ini, tapi aku boleh sama Juang, Mi? Demi Tuhan, aku sayang anak ini, Mi."
Tidak ada hambatan dalam pengucapan kalimat tersebut. Semua lancar, tanpa terbata sedikit pun. Achala berpamitan pada sang mertua, keputusannya sudah benar-benar bulat untuk berpisah dengan anak sulung dari wanita yang sedang memeluknya. Berbeda dengan sang mertua, ibu kandung Achala itu masih berdiri di tempatnya. Isakan terdengar sangat pilu. Bagaimana tidak, setelah ini ia akan menyaksikan putri kesayangannya menyandang status janda kembali.
Pening di kepala Achala datang lagi, kali ini menderanya lebih hebat, seperti batu besar yang sengaja dilemparkan di kepalanya. Ia sudah banyak menghabiskan energi dengan menangis. Tubuhnya tentu saja akan mengalami dehidrasi.
Matanya berkunang, dekapan pada tubuh si kecil mulai melonggar. Beberapa kali wanita itu mengerjap, tetapi gelap itu lebih kuat merenggut kesadarannya.
"Acha!"
Achala tak sadarkan diri, terkulai lemas di sandaran sang mertua. suara tangisan Juang semakin ribut memanggil sang mama. Dua wanita itu berusaha membangun Achala, tetapi sia-sia.
Tanjung Enim, 22 Nop 2022
Coba kalian sampaikan di sini, apa yang kalian gak sukai dari karakter Achala?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro