Bujur Bumi 52 : Ke Mana Acha?
"Macha mana, Paf? Macha ke rumah kakek? Abang mau ikut macha, Paf."
Entah sudah ke berapa kalinya Juang merengek menanyakan keberadaan sang mama pada Affandra. Pria itu hanya menelan kasar salivanya, ia sendiri tidak tahu ke mana istrinya. Sudah terhitung dua puluh jam Achala meninggalkan rumah dengan pesan terakhir, bahwasanya ia mengutuk apa yang pria itu lakukan dengan sang sekretaris. Setelahnya, nomor ponsel itu tidak aktif lagi.
Affandra memutar kursinya, menghadap sang buah hati yang sudah sejak sepuluh menit lalu bergelayut di belakang kursi kerjanya. "Abang sama Nenek Marni dulu, ya. Papaf masih ada kerjaan. Setelah ini papaf janji kita ke tempat macha, oke?"
Meski terkesan enggan, anak itu masih menuruti perintah sang ayah. Keluar dari ruang kerja Affandra mencari keberadaan ART yang sudah bekerja puluhan tahun di rumah neneknya. Lihat sekarang? Affandra bukan apa-apa tanpa Achala, bahkan anak kandungnya saja tidak bisa lepas dari wanita itu.
Belum 24 jam ditinggal sang istri, Affandra sudah hampir menyerah menghadapi pertanyaan Juang, bahkan anak itu tidak masuk sekolah lantaran ia bingung seragam warna apa yang anaknya kenakan hari ini.
Andai saja ia pulang lebih dulu, mungkin ia bisa mencegah Atthania bertemu dengan Achala yang berakhir membuat wanita itu meninggalkan rumah. Ia tidak tahu apa motif sang sekretaris menemui dan membeberkan sesuatu yang tidak pernah terjadi itu. Dan istrinya, masih seperti Achala yang kemarin, meninggalkan rumah tanpa mendengar penjelasan sang suami lebih dulu.
Affandra masih menekuri layar berukuran 14 inc, memutar kembali rekaman kamera CCTV yang terpasang di beberapa sudut rumah mereka. Memejamkan matanya beberapa detik, tangannya terkepal kuat. Gerahamnya beradu kencang menyaksikan apa yang terekam di sana.
Pada tampilan layar, setelah Atthania bertemu Achala dan meninggalkan ruang tamu. Pupil mata Affandra membesar, jelas sekali sosok pria yang berdiri di samping mobil Pajero hitam, menunggu di depan gerbang itu adalah Lintang. Affandra lebih geram lagi, rekaman itu semakin mematik amarah Affandra saat Atthania dan Lintang terlihat terlibat obrolan, entah apa yang sedang mereka bicarakan. Setelahnya, Lintang masuk ke mobil dan Atthania meninggalkan rumah mereka dengan taksi online.
"Lintang bajingan! Keparat itu lagi. Setan! Jadi, ini alasan dia kemarin cabut lebih dulu."
Tidak hanya umpatan, gebrakan keras di meja kerjanya pun turut menggambarkan jika pria itu benar-benar sedang dalam emosi yang tidak bisa ia kontrol. Dan yang menyiram bensin amarahnya lagi-lagi orang yang sama. Apa yang sebenarnya Lintang inginkan? Pria itu sudah terobsesi jatuhnya, bukan lagi murni rasa cinta ingin kembali pada Achala.
Masih di depan layar, Affandra mempercepat rekaman CCTV sampai sekitar sepuluh menit setelahnya. Menelisik Achala yang menyeret koper dan menaiki taksi online yang sudah menunggu di depan gerbang.
Affandra berdiri, tangannya di pinggang. Dada bidang itu naik turun seiring dengan rasa amarahnya. Energinya seakan habis sia-sia, bahkan kinerja otaknya saja tidak bisa berjalan dengan benar. Mengusap wajah kasar, Affandra menarik napas panjang dan menghempaskannya.
Ia berbalik saat ponsel di atas meja berdering nyaring. Affandra tak berniat menyambutnya. Hari ini ia sengaja tidak pergi ke kantor, ia tidak mau diganggu perihal pekerjaan. Ia tidak peduli jika panggilan itu penting. Misalnya, dari rekan bisnisnya yang jika panggilan itu tidak diangkat, ia akan kehilangan ratusan juta. Sungguh Affandra tidak peduli akan itu. Tidak ada yang lebih penting sekarang ini selain mencari keberadaan sang istri dan membawanya pulang.
Menggeram kesal, benda canggih itu kembali berteriak minta perhatian. Affandra menendang kaki meja kecil di sudut ruangan. Satu pigura berukuran 10R yang menampilkan potret keluarga kecilnya jatuh tertelungkup. Affandra memutar tubuhnya, meraih benda pipih yang masih saja bergetar dan berbunyi itu. Beruntung yang tertampil di layar adalah nama kontak mertuanya, andai saja itu adalah dari orang-orang di kantornya. Mungkin yang keluar bukan lagi kalimat umpatan, tetapi surat pemberhentian.
"Halo, Bu."
"Iya, Nak. Kamu lagi di tempat kerja? Ibu ganggu nggak?"
Affandra berdeham. "Nggak, Bu. Aku di rumah, lagi nggak enak badan. Jadi, nggak ngantor dulu hari ini. K-kenapa, Bu?"
Bibir Affandra gatal sekali rasanya ingin menanyakan apakah sang istri ada di sana. Namun, ia lebih memilih menyimpan pertanyaan itu dulu. Biarkan mertuanya yang menyampaikan apa yang ingin dikatakan oleh ibu yang melahirkan istrinya itu.
"Owalah ... jangan diforsir kerjanya. Istirahat yang cukup. Hmm ... itu, ibu mau tanya. Kalian kemarin ke rumah, Nak? Acha kirim pesan katanya kemarin ke rumah, tapi ibu telepon balik nomornya tidak aktif. Maaf ibu sama ayah lagi nginep ke tempat sodara. HP ibu ketinggalan di rumah. Acha mana?"
"Hmm ... itu, Bu. Kemarin Acha sama Juang aja yang ke sana, Bu. Juang mau ketemu kakek katanya. Sekarang Acha lagi keluar belanja sama nebus obatku di apotek."
Affandra tahu ia sedang berdusta, tapi bagaimana lagi. Haruskah ia berterus terang jika sang istri meninggalkan rumah sejak kemarin sore. Dada Affandra semakin berdegup kencang. Kalau istrinya tidak ada di rumah orang tuanya lalu pergi ke mana Achala?
"Affandra!"
Affandra terlonjak, sontak ia memutar tubuhnya ke arah pintu. Kali ini yang ia hadapi bukan lagi wanita yang melahirkan istrinya, tetapi wanita yang sudah melahirkan dirinya. Maminya berdiri di depan pintu yang dibuka dengan kekuatan ekstra. Tanpa salam wanita itu masuk ke ruang kerjanya, Affandra segera mematikan sambungan telepon dengan sang mertua.
"Ke mana Acha?"
"A-acha belum pulang ngajar, Mi. Mami sengaja ke sini atau mampir dari butik."
Jika tadi sang mertua bisa ia dustai, tidak untuk kali ini. Wanita paruh baya itu tidak bisa ia bohongi. Maminya membeliakkan matanya tepat ke wajah sang anak.
"Berhenti bohong, Affa Mami nggak pernah ngajarin kamu bohong ke siapa pun, apalagi ke orang tua. Ke mana Acha?" tanyanya dengan nada suara yang sudah naik.
Menghela napas berat. Rasanya beban Affandra datang berbarengan, menghimpit tubuhnya dari depan dan belakang secara bersamaan. "Achala pergi dari rumah, Mi."
"Bi Marni bilang, kemarin ada perempuan yang datang ke sini. Setelahnya, Acha pergi naik taksi. Siapa perempuan itu? Jangan kurang ajar, ya, kamu." Telunjuk wanita itu sudah mengacung lurus ke wajah putra satu-satunya.
"Dia Thania, sekretaris di Surabaya. Mereka lagi ada kerjaan di Jakarta dengan tim lain. Aku nggak ngapa-ngapain, Mi. Aku juga nggak tahu apa yang Thania sampaikan makanya Acha pergi dari rumah."
Ketukan sepatu hak tiga senti yang wanita itu kenakan terdengar menyeramkan. Langkahnya menghampiri putra sulungnya yang bergeming di depan meja kerja. Pukulan bertubi ia layangkan di bahu dan tubuh Affandra.
"Kamu pikir mami percaya omongan kamu? Jangan jadi berengsek, ya, Affa. Perempuan nggak akan ninggalin rumah gitu aja kalau suaminya nggak macem-macem. Kamu ngapain dengan sekretaris itu?"
"Mi, percaya sama aku. Aku nggak ngapa-ngapain. Aku juga bingung kenapa bisa begini."
Wanita itu membawa tubuhnya duduk di kursi kerja sang anak. Dadanya naik turun, telapak tangannya memerah. Harusnya tadi ia memukuli sang anak jangan dengan tangan kosong. Bisa gunakan gagang sapu, mungkin. Atau stik golf.
"Kamu cari Acha sampai ketemu. Selesaikan masalah kamu sendiri. Jangan sampai papi kamu tahu, apalagi eyang putri kamu. Untuk sementara Juang ikut mami."
Affandra mengangguk paham. Ia mengerti ucapan sang bunda. Jelas ia tahu seperti apa keluarga dari ayahnya itu, terutama sang nenek. Wanita yang sudah berusia 79 tahun itu meskipun aktivitasnya hanya dihabiskan di atas kursi roda, tetapi tidak dengan kuasanya.
Tanjung Enim, 17 Nop 2022
RinBee 🐝
Coba komen, kalau cerita bujur bumi selesai di republish semua.
Kalian mau ekpart gak?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro