Bujur Bumi 29 : Bagaimana Krisannya?
"Papa, ke mana aja? Aku nungguin papa. Aku kira papa nggak datang. Bunda mana?"
"Bunda nggak bisa hadir. Masih sibuk di kantor, Sayang."
"Yaa ... padahal aku pengin ngenalin bunda ke Macha. Bunda bilang pengin ketemu sama Macha. Iya, kan, Pa?"
Pria itu tersenyum, mengangkat tubuh kecil anak perempuannya ke dalam gendongannya yang kokoh. Perlakuan lembutnya pada sang putri, benar-benar seolah seperti pria setia tanpa pernah tergoda dengan madu yang bunga lain tawarkan.
Obrolan dan celotehan Vanilla membuat telinga Achala berdengung. Tangannya berkeringat dingin seketika, bahkan dua kali kalimat tanya tentang kabar untuk dirinya tak tahu harus ia jawab apa.
Memangnya Achala harus menjawab apa? Pada laki-laki yang sudah menghujam dan menghancurkan hidupnya di masa lalu. Kepala Achala mendadak pening. Jadi, sosok Papa Vanilla yang selama ini membuatnya sangat penasaran itu adalah Lintang Darmawan, si bedebah yang telah menghancurkan istana mereka dulu. Dengan demikian, anak perempuan yang selama ini sangat dekat dengannya adalah hasil perbuatan Lintang bersama Jeuna?
"Baiklah, kalau gitu. Aku kenalin sama papa aja, ya? Papa, ini macha. Mamanya Juang yang sering aku ceritain ke papa dan bunda."
Vanilla tersenyum, sorot mata kecil itu seketika membuat Achala muak. Bagaimana tidak, mata bulat milik Vanilla mewarisi dari sang ibu, semakin membuat Achala geram mengingat wanita murahan itu.
Mata elang ayah dari Vanilla itu menelisik Achala, tetapi yang ditatap masih bergeming di tempat. Tidak berniat atau tidak tahu harus berekspresi apa. Keadaan ini sungguh membuatnya sangat syok.
"Bagaimana bibit bunga Krisannya? Apakah tumbuh dengan baik?" Lintang mengalihkan atensi pada tas yang ada di bahu Achala. "Terima kasih, sudah mau menerima pemberianku dan memakainya. Sudah mau menerima Vanilla seperti anakmu sendiri."
Lintang mengubah pertanyaan, kalau-kalau kali ini mendapat jawaban. Menanyakan kabar wanita itu tidak ada jawaban meski bisa ia lihat sendiri, mantan istrinya itu sangat bahagia dengan keluarga barunya.
Sinting! Pria itu benar-benar gila. Andai saja dari awal Achala tahu jika anak itu adalah anak Lintang. Mungkin Achala lebih memilih mengabaikan Vanilla. Achala tak menyalahkan atas kelahiran Vanilla, tetapi ia mengutuk cara Lintang mengkhianatinya beberapa tahun silam.
Fakta yang lebih memporak-porandakan hatinya lagi adalah sosok ibu kandung dari anak itu. Wanita yang beberapa bulan lalu bertemu dengannya. Achala tak menyangka jika Jeuna yang ia anggap sebagai wanita baik-baik, kalem, dan tidak banyak tingkah seperti yang ia kenal semasa kuliah dulu. Ternyata, menjadi penghancur ulung dalam pernikahannya terdahulu, bahkan saat bertemu ia masih bersikap biasa. Seolah bukan rumah tangga orang yang ada di depannya yang sudah ia runtuhkan.
Achala terlalu polos, atau ... denial? Padahal jika ia runutkan, sudah banyak sekali jawaban atas pertanyaan siapa papa dari anak perempuan itu. Pernyataan Juang tentang Lintang ayah dari temannya pun tetap tak ia percayai.
Achala berbalik, sedikit tergesa menuntun sang putra untuk segera meninggalkan tempat itu. Ia harus pergi dari sana sebelum napasnya benar-benar tercekat atau bahkan sebelum ia mengayunkan tamparan dan melayangkan segala bentuk umpatan pada pria itu. Achala masih cukup waras menjaga nama baik suaminya di sini.
Semua pertanyaan Lintang tak ia gubris. Sekarang ia mengerti, kenapa setiap hadiah yang ia terima melalui Vanilla semuanya sangat pas dengan selera dan kesukaannya. Bajingan itu dalang dari semua ini.
Merasa tak cukup cepat gerak sang putra dalam berjalan. Achala meraih tubuh kecil Juang, menggendong putranya agar keluar dari aula sesegera mungkin. Betapa ia muak dengan situasinya, tetapi harus ia tahan. Selain menjaga nama baik keluarga suaminya, Achala tak ingin meluapkan emosinya di depan anak-anak.
"Acha, tunggu. Bisa kita ngobrol sebentar?"
Berhenti mengayunkan langkah, Achala benar-benar geram dengan Lintang. Apa yang pria itu inginkan? Apa yang mesti mereka obrolkan. Tentang betapa ia bahagia setelah menceraikan Achala? Atau seberapa ia bangga karena bisa memiliki banyak istri dan putra-putri yang menggemaskan.
"Maaf, Pak. Saya terburu-buru, saya tidak punya waktu untuk ini. Menemui suami saya lebih berharga dari pada ini." Achala berkata tegas dan penuh penekanan pada kata suami.
Lintang mengulas senyum, lubang kecil pada pipi pria itu terlihat samar. Jika dulu ia sangat menyukai senyum dengan lesung pipi itu, tidak dengan sekarang. Ia berbalik membencinya.
"Sebelum ke sini, tadi aku lihat Affandra baru datang dan sepertinya dia sibuk. Jadi, bisa kita ngobrol sebentar, Cha?"
"Maaf, Pak. Kita tidak saling mengenal, rasanya kurang pantas jika Bapak memanggil saya dengan hanya sepenggal nama."
Lagi-lagi bajingan itu tersenyum, membuat Achala mengetatkan rahangnya. Mungkin mahkluk kecil dalam gendongannya bisa merasakan betapa bergemuruhnya dada Achala.
"Oke, baiklah. Ibu Achala ... saya Lintang Darmawan. Bisakah meminta waktunya untuk mengobrol sebentar?"
"Macha, papa pengin kenalan dengan Macha. Papa pernah bilang, panggil Macha itu dengan panggilan Ibu Acha karena Macha suka dipanggil ibu, tapi aku lebih suka panggil Macha agar samaan dengan Juang. Iya, kan, Juang?"
Anak perempuan itu menimpali, celotehan panjang kali lebarnya membuat telinga Achala berdenging. Sementara itu, bocah laki-laki dalam gendongannya hanya menanggapi dengan anggukan kecil.
"Tidak! Kamu salah, Nak. Saya tidak pernah menyukai dipanggil ibu. Itu karenanya Juang saya ajarkan memanggil mama. Panggilan yang hanya untuk anak saya."
Achala sadar jika Vanilla tak bersalah dalam hal ini, raut anak perempuan itu pun berubah pias. Vanilla cukup peka akan keadaan sekitarnya, terlebih bahasa tegas yang Achala ucapkan. Anak itu menyadari perubahan tutur bahasa yang biasa Achala gunakan. Tidak ada kalimat lembut di sana.
"Tante ... tidak suka dengan papa aku?" tanyanya dengan tatapan mengiba.
Apa yang kamu harapkan, Nak? Aku berbaik hati pada ayahmu yang dulu telah mencampakkanku seperti sampah?
Achala tersenyum miring. Sejujurnya, ia tak tega melihat air muka si anak manis tak berdosa itu yang berubah murung. Terlebih lagi, Vanilla yang mendadak mengubah panggilan. Achala tak ingin melukai hati anak kecil itu, ia merasa bersalah karena telah melukai perasaan Vanilla.
Namun, cukup! Achala tak ingin terbuai. Ia tak ingin rasa ibanya justru membuatnya luluh, membuka kembali hati dan berakhir menyakiti dua orang terkasih yang ada di hidupnya sekarang. Kembali berbalik, Achala mengayunkan langkah pasti. Persetan dengan Lintang dan putrinya, masa bodo dengan suara Vanilla yang terus memanggil. Achala benar-benar mengabaikan. Cukup jauh langkahnya meninggalkan ayah dan putrinya itu. Ia sangat berterima kasih pada malaikat kecil dalam dekapannya. Putra semata wayangnya tak banyak, bahkan tak ikut menimpali dalam percakapan memuakkan tadi. Dan semoga Juang pun tak menceritakan pertemuan Achala dengan Lintang pada ayahnya.
"Sayang, tunggu."
Suara itu terdengar keras ditangkap oleh rungunya, beberapa orang di sekitarnya pun mengalihkan atensi pada Achala dan si pemanggil. Derap langkah tergesa semakin menyusul Achala dan Juang. Panggilan sayang itu membuat Achala sedikit malu dan berhenti mengayunkan tungkainya, bibir bawahnya tergigit. Jangan tanyakan bagaimana pair jantung Achala berpacu. Tentu bekerja lebih ekstra. Dua, tiga, bahkan sepuluh kali lipat memompa.
Achala menoleh pada pria yang memanggilnya barusan. Pria itu mendekat dan berdiri di depan Achala. Tersenyum lebar hingga seakan menyeret Achala pada hidup yang sesungguhnya.
Sadar, Cha. Hidup kamu sekarang Mas Affa dan Juang. Berhenti memikirkan pria berengsek dan putrinya itu. Ingat, Vanilla adalah alasan dia menghancurkan hidupmu dulu.
Ya, Affandra dan Juang adalah nyawa sekaligus kehidupannya yang berharga bagi Achala.
"M-mas Affa," cicit Achala gemetar.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro