Bujur Bumi 28 : Apa kabar, Ibu Acha?
"Halo, Mas."
"Sayang, kamu menghadiri pertemuan wali di sekolah Juang?"
"Kok, tahu? Kamu cenayang, ya?" Achala bergurau.
"Tadi mas dapat telepon dari Bu Ratna. Katanya kamu izin keluar mau menghadiri pertemuan wali murid di sekolah Juang. Kepsek TK juga konfirmasi hari ini ada pertemuan, tapi mas bisa hadir mungkin setelah makan siang."
Achala memindahkan ponselnya ke telinga sebelah kiri, kepalanya sedikit bergerak mengangguk mendengar penjelasan sang suami di seberang sana. Namun, netranya masih memperhatikan anak-anak yang bermain di depan kelas.
"Oh, gitu. Jadi, nanti Mas ke sekolah anaknya? Pulang bareng atau balik ke kantor lagi?"
"Iya, pulang bareng mas. Ya, udah itu aja. Mas tutup dulu, ya, Sayang. Papaf sayang kalian."
"Hmm ... oke."
Menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas. Senyum wanita itu terbit tatkala melihat dua bocah yang sangat ia kenali berlarian riang di depan kelas, ada beberapa anak lain yang seusia dengannya turut serta bermain bersama. Langkah Achala kian mendekat, menangkap bocah perempuan yang berlari menghindari kejaran anak laki-laki kesayangannya.
"Haaap, dapat!" Achala memeluk dari belakang tubuh kecil Vanilla.
"Macha! Macha, datang? Macha, mau bertemu dengan ibu-ibu guru di sana?" Telunjuk kecil Juang menunjuk ke arah aula tempat pertemuan.
Achala berjongkok di depan kedua anak itu. Menarik senyum tinggi memperhatikan wajah memerah serta berkeringat dari Vanilla dan Juang. Meraih tisu dari dalam tasnya, Achala mengusap peluh anak-anak itu dengan telaten.
"Iya, mama datang," ucap Achala selesai mengelap wajah Juang kemudian beralih ke anak perempuan yang setengah rambut pendeknya sudah basah oleh keringat. "Sus Sari belum datang?" Achala bertanya pada Vanilla.
"Belum, Macha. Sus Sari bilang, pasti datang karena papa dan bunda sibuk di kantor," jawab Vanilla polos.
Achala bisa menebak, orang tua Vanilla terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Untuk urusan seperti ini selalu dilimpahkan pada suster yang menjaga Vanilla. Sejujurnya, Achala sedikit miris pada anak ini. Bagaimana bisa kedua orang tuanya abai akan segala yang berhubungan dengannya. Secara materi mungkin Vanilla tercukupi, bahkan lebih. Namun, untuk kasih sayang tak Vanilla dapatkan utuh dari dua orang dewasa itu, terbukti kesehariannya banyak dihabiskan bersama sang suster.
Achala paham, wanita yang Vanilla sebut sebagai bunda itu bukanlah ibu kandung Vanilla. Ada Jeuna ibu kandung anak itu, tetapi tidak bisakah wanita itu meluangkan waktunya sedikit saja untuk Vanilla? Mungkin perbuatan dosa Jeuna dan ayahnya Vanilla di masa lalu tidak bisa diampuni, tetapi anak ini tidaklah bersalah. Ia juga tidak minta untuk dilahirkan di tengah rumitnya kisruh orang tuanya.
"Macha, ayo kita ke sana." Juang menunjuk arah aula.
Achala bangkit, mengulurkan kedua tangannya agar disambut oleh bocah-bocah menggemaskan itu. Melangkah berbarengan, membawa makhluk kecil itu ke tempat aula pertemuan, celotehan dari keduanya tak pelak membuat Achala tertawa kecil.
Suasana gedung aula yang bisa menampung dua ratus orang itu tampak ramai, Achala mengedarkan pandangannya mencari tempat yang sekiranya nyaman untuk mereka tempati. Masih menggandeng kedua bocah itu, Achala membawa Juang dan Vanilla mengambil tempat duduk di tengah-tengah. Tidak terlalu belakang pun tidak terlalu depan.
Menjatuhkan bobotnya di kursi plastik berwarna merah, sisi kiri dan kanannya ada Vanilla dan Juang. Wanita itu menoleh kiri dan kanan memberi nasihat pada anak-anak itu.
"Boleh di dalam sini, tapi ingat tidak boleh berisik, oke? Nanti ibu gurunya mau berbicara di depan sana."
"Aku boleh duduk di sini, Macha?" Si anak perempuan bertanya kembali memastikan.
"Sementara Sus Sari belum datang, Vanilla di sini dulu, ya. Nanti baru sama Sus Sari."
"Kalau Sus Sari udah datang, tapi aku masih mau di sini. Nggak apa-apa, Macha?"
Achala mengangguk, mengusap dahi Vanilla. "Iya, nggak apa-apa di sini aja. Asal jangan?"
"Berisik," sambung Vanilla.
"Oke, good girl." Achala mengacungkan jempol ke atas untuk Vanilla.
Lengan kemeja yang Achala kenakan ditarik bocah samping kanannya. Juang pun berucap, "Abang ... abang juga good boy, kan, Macha?"
Achala mengangguk seraya tersenyum bangga. "Iya, anak-anak mama emang terbaik."
Setelahnya, tidak ada lagi obrolan dari kedua bocah itu. Mereka duduk dengan tenang, meskipun kaki bocah laki-laki itu berayun-ayun hingga sesekali tidak sengaja menendang kaki kursi di depannya. Vanilla menegur tanpa suara, hanya gerak telunjuknya yang memberi peringatan pada temannya itu. Juang tak membantah, segera menghentikan aksinya.
Dengung dari pengeras suara terdengar, seorang wanita muda berdiri memegang mikrofon di depan sana. Memberi titah para wali murid untuk segera masuk memenuhi kursi yang sudah disediakan. Tempat-tempat yang tadinya kosong mulai terisi, Achala mendongak saat wanita yang mungkin usianya tak jauh darinya menyapa dengan ramah.
"Ibu Achala, kan? Istrinya Pak Affandra?" tebaknya seraya menjatuhkan bobot di kursi barisan depan Achala. Ia sedikit memutar tubuh menghadap kursi barisan belakang. "Apa kabar, Ibu Acha?"
Achala mengernyit, mencoba mengingat-ingat siapa gerangan wanita ini. Namun, tetap saja nihil. Achala tak juga ingat pernah bertemu di mana dengan sosok wanita ini. Salahkan kapasitas memori otak Achala yang lemah dalam mengingat orang-orang yang pernah ia temui.
"Iya, saya istrinya. Ibu ...." Achala menggantungkan kalimatnya.
"Saya mamanya Callista di kelas Cerdas B. Sebelumnya, kita pernah ketemu di acara lelang amal panti rehabilitas di daerah Kemang dua bulan lalu."
Mata Achala membesar. "Oh, iya saya ingat. Bagaimana kabarnya, Bu?" Achala baru mengingat siapa wanita ini. Salah satu donatur seperti suaminya di sebuah panti. Achala mengulurkan tangan, mengajak wanita itu bersalaman dan cipika-cipiki sekilas.
"Saya baik, Bu Acha." Wanita itu melirik bocah perempuan di samping Achala. "Ini ... saudaranya Juang?"
"Bukan, Bu. Ini teman satu kelasnya, kebetulan saya teman mamanya."
"Oh, saya kira saudaranya. Soalnya terakhir ketemu, Juangnya nggak mau main sama Callista atau anak perempuan lain. Katanya bukan sodaraan." Wanita itu tertawa ringan, mengulurkan tangan mengusap kepala Juang. "Anak baik, udah nggak pilih-pilih teman lagi, ya?"
Masih, Bu. Sampai sekarang pun masih, enggak mau main sama anak perempuan, kecuali sodaranya dan ... Vanilla.
Achala tersenyum canggung. Wanita itu benar, Achala pun tidak tahu kenapa bisa putranya yang paling memilih teman perempuan, bahkan sering kali terang-terangan menghindari berteman dengan anak perempuan, tetapi bisa langsung akrab dengan Vanilla layaknya saudara sendiri. Aneh bukan?
Sepanjang yang Achala tahu, sebelum mengenal Vanilla, putranya itu hanya bermain dengan Seanna, anak perempuan Om Dhika—kakak dari mertua perempuannya. Selebihnya, tidak ada lagi.
Kalau begitu, sepertinya setelah ini Achala mesti mencari tahu siapa ayah atau keluarga Vanilla, setidaknya ia harus bertemu dengan mantan suaminya Jeuna itu. Bisa saja, Vanilla masih punya hubungan keluarga atau sepupu jauh Juang, bukan? Entah itu dari mertua perempuannya atau mertua laki-laki. Namun, pernyataan Juang kemarin malam terlintas lagi. Lintang adalah papanya Vanilla.
Menggeleng samar, Achala menepis pikiran itu. Ia lebih percaya jika Vanilla masih ada hubungan kekeluargaan dengan keluarga suaminya, ketimbang mempercayai opsi ke dua.
Suara dengungan mikrofon kembali terdengar. Acara akan dimulai beberapa saat lagi. Wanita itu mengedarkan pandangan, semua bangku sudah terisi penuh. Merogoh ponselnya di dalam tas, istri dari Affandra itu kembali memeriksa pesan masuk, barang kali ada chat dari susternya Vanilla. Namun, benda canggih itu tak menampilkan satu pesan pun.
Udahlah, mungkin susternya juga lagi ada kerjaan lain. Makanya enggak bisa datang. Biarin nanti aku kabarin aja hasil pertemuan ke susternya.
"Macha, Suster Sari nggak datang? Bunda sama papa juga?" Vanilla berbisik menanyakan keberadaan walinya.
"Mungkin belum, Sayang. Kalau nggak datang, nggak apa-apa, ya? Kan, ada macha mewakili."
Vanilla tersenyum hambar, ada rasa kecewa pada wajah anak kecil itu. Namun, Achala bisa apa? Vanilla hidup di tengah keluarga yang bisa dibilang tidak lurus seperti keluarga di luaran sana. Ada sedikit perasaan sesak dan marah tersimpan di dada Achala perihal anak ini yang kerap kali diabaikan, tetapi mau dikata apa? Ia tidak berhak mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Apalagi Jeuna berada di posisi yang salah karena telah menjadi parasit di tengah harmonisnya rumah tangga orang lain.
Tidak ada pertanyaan lagi dari Vanilla, anak itu duduk tenang di tempatnya. Berbanding terbalik dengan bocah laki-laki di sampingnya. Pergerakan tambahan dari Juang bisa Achala lihat. Mulai dari kakinya yang bergerak mengayun, posisi duduknya yang agak miring karena bergelayutan dengan Achala, merangkak pindah duduk di pangkuan sang mama, dan pergerakan-pergerakan lainnya. Meskipun begitu, beruntung anak itu tidak merengek walaupun gestur tubuhnya sudah gelisah karena merasa bosan.
Akhirnya, salam dan kata penutup dari kepala sekolah menutup acara pertemuan wali murid ini. Semua yang dibahas pada pertemuan wali murid ini sudah mendapat kesepakatan bersama, yaitu tentang anggaran untuk acara akhir tahun serta pelepasan murid-murid TK Cendana Bakti. Achala berdiri dari posisi duduknya, meraih dua lengan kecil untuk ia gandeng. Ia sengaja tidak langsung keluar dari aula, menunggu agak lengang agar tidak terlalu berdesakan.
Melangkah santai menuju pintu, anak perempuan di samping kirinya memutar tubuh menoleh ke belakang. Genggaman Achala pada tangan Vanilla terlepas saat anak itu mengurai paksa. Belum lagi teriakan si bocah perempuan memanggil orang yang ia kenali. Vanilla berlari kembali ke belakang, Achala gelagapan dengan aksi si anak. Pair jantungnya bukan lagi bekerja dua kali lipat, melainkan sepuluh kali lebih cepat. Achala gagu, tak bisa berkata-kata lagi, ia gugup. Baru juga tadi berucap dalam hati harus tahu siapa keluarga Vanilla dan harus bertemu dengan pria itu. Tak menyangka jika Tuhan mendengar ucapannya lebih cepat dan mengabulkannya.
"Selamat siang. Apa kabar, Ibu Acha?" Pria itu melemparkan pertanyaan dengan sorot mata tak lepas dari tempat Achala berdiri.
Achala tercenung dengan sosok tinggi nan tegap yang berdiri di hadapannya. Wajar saja jika Jeuna terpesona akan dosa yang pria ini tawarkan. Achala akui, tampang sosok ini memang punya modal untuk menggaet wanita di luaran sana. Belum lagi hal yang lainnya sebagai faktor pendukung.
"Apa kabar, Ibu Acha?" sapanya lagi.
Ayah dari Vanilla itu mengulurkan tangan. Namun, tak segera Achala raih. Ia masih bergeming, mungkin ia terhipnotis akan sosok—tampan—ini.
Tanjung Enim, 17 Oktober 2022
Republish, 09 April 2023
Rinbee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro