sesuatu yang kelam...
Malam begitu larut dan dingin semakin menusuk tulang, namun Abi masih belum bisa memekamkan kedua matanya. Banyak hal yang masih mengganggu pikirannya kini. Terutama tentang ibunya, ibu yang selama ini dia jaga dengan segenap jiwa dan raganya. Kebahagiaan terbesarnya kini hanyalah membuat sang ibu bahagia.
Malam kian larut namun Abi belum bisa memejamkan kedua matanya. Sudah melewati tengah malam namun dia belum beranjak dari tempatnya berdiri. Masih diserambi depan sambil menikmati gelapnya hamparan persawahan. Hanya suara binatang malam dan kunang-kunang menemaninya.
Banyak hal yang telah terjadi pada dirinya, yang membentuk dirinya kini. Namun semenjak kejadian malam itu, malam dimana segala sesuatu tentang dirinya mulai berubah. Malam yang tidak akan pernah dia lupakan seumur hidup. Bagaikan sebuah mimpi buruk yang ingin Abi lupakan, dan sayangnya mimpi tersebut selalu mengiringi setiap langkahnya.
Lima belas tahun yang lalu...
Pagi itu begitu cerah saat Abi kecil menginjakkan kakinya untuk pertama kali di sebuah desa yang berada cukup jauh dari pusat kota. Sebuah desa yang terletak dilereng gunung, hawa dingin seketika itu mulai memeluk tubuh mungilnya.
"Mah...dingin" Abi kecil merajuk kepada sang ibu.
Dengan sebuah senyum yang mengembang menghiasi wajahnya, Sinta mengambilkan sebuah jaket yang berada didalam tas tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Sini sayang," dengan telaten Sinta memakaikan jaket berbahan wol ke badan Abi.
Senyum riang Abi sejenak mengalihkan dari segudang masalah yang sedang difikirkannya. Kembali ke tempat dimana dia dibesarkan merupakan keputusan yang cukup sulit, namun inilah jalan terbaik.
"Assalamualaikum..." Sinta tersenyum kecut tatkala menginjakkan kakinya memasuki rumah tersebut. Kondisinya masih sama ketika dulu dia meninggalkan rumah ini. Penataan meja dan segala sesuatu masih tetap sama. Digandengnya Abi memasuki rumah itu, tak sulit lagi bagi Abi untuk mengenali siapa pemilik rumah tersebut. Walaupun tidak rutin namun Abi pernah mengunjungi tumah ini beberapa kali. Namun sudah tiga tahun ini mereka tidak lagi mengunjungi rumah tersebut semenjak kedua orang yang sangat dicintai Sinta meninggal. Rasa sesal masih menyelimuti hatinya, keegoisannya dulu berujung memburuknya hubungan dengan sang ayah. Keputusannya menikah dengan Rizal beberapa tahun silam tidak disetujui oleh sang ayah. Meski begitu dia tetap nekat menikah dengan pria yang dicintainya tersebut.
Sesal itupun semakin memuncak saat sang ayah menghembuskan nafas terakhirnya, Sinta belum sempat meminta maaf.
Sangat lekat dalam ingatannya dimana sangat ayah begitu emosi ketika mendengar dia tengah hamil. Malam itu hujan gerimis menemani dinginnnya malam, dengan penuh ragu Sinta menginjakkan kakinya memasuki serambi depan. Dengan tubuh basah terkena air hujan Sinta mendekati sang ayah yang sedang menikmati secangkir kopi hangat sambil mendengarkan siaran radio kesayangnnya. Teralun merdu suara sang maestro Gesang melantunkan lagu andalannya bengawan solo.
"Dari mana nduk, malam begini baru pulang," tanya ayah sambil meminum kopi.
Sinta hanya diam tak menjawab pertanyaan ayahnya tersebut, mulutnya masih membisu ketika dia duduk didepan sang ayah.
"Kamu kenapa nduk," heran sang ayah.
"Ada masalah kamu nduk," selidik Supardi ayahnya.
Kini Supardi pun serius melihat ke arah Sinta anak semata wayangnya. Tak biasanya anaknya tersebut muram seperti ini, pasti ada sesuatu yang telah terjadi.
'BRAKKKK....'
Sebuah gebrakan di meja memecah keheningan mamal itu, sesat setelah Sinta mengaku kalau dia tengah hamil.
Mengingat akan hal tersebut membuat Sinta meneteskan air matanya. Hatinya bergejolak mengingat akan kesalahan dulu yang membuatnya sangat menyesal kini. Hatinya serasa teremas jika menginggat kejadia waktu itu. Perih yang tersisa dari penyesalannya kini. Andai saja dia dahulu mendengarkan perkataan sang ayah maka akhirnya tidak begini. Air mata yg keluar kian deras tatkala Sinta mengingat semua perkataan ayahnya dulu.
Sinta duduk di krusi yang sama, meja yang sama saat kejadian itu terjadi. Posisisnya pun masih sama tak ada yang berubah. Hal ini yang membuat batinnya semakin teremas. Banyak memori yang tercipta didalam ruangan, rumah ini. Rumah dimana dia dulu dibesarkan.
"Ibu kenapa menangis," kata Abi kecil dengan polosnya sembari memeluk Sinta.
Didalam usianya yang masih kecil tersebut, namun batin Abi sudah terasah untuk menghadapi hal yang demikian. Melihat sang ibu menangis juga membuat batinnya tersiksa. Untuk anak usia belum genap lima tahun hal ini membuat sesuatu yang sangat berbeda dengan anak seusianya. Tanpa diketahui oleh Sinta, Abi kecil sering menangis sendirian didalam kamarnya setelah melihat kondisi ibunya.
Luka-luka yang sering menghisi tubuh Sinta bagai sebuah pasak yang telah tertanam dihati Abi. Luka yang diakibatkan oleh perbuatan ayahnya. Abi sangat paham akan kondisi sang ibu, yang terlihat kuat dihadapannya namun sangat rapuh didalamnya.
Sering kali ketika terjaga dimalam hari, Abi mendatangi kamar orang tuanya terutama ketika ayahnya tidak berada dirumah. Didalam kamar tersebut, Abi memandangi tubuh ibunya yang sedang tertidur. Mendekati dan tak jarang mengusap lembut luka-luka yang ada ditubuh ibunya.
"Ibu jangan menangis....hiks...hiks..hiks...." Abi pun ikut terisak dalam dekapan Sinta.
"Ibu jangan menangis lagi..." Sinta makin memeluk erat buah hatinya tersebut. Tidak ada yang mampu dia lakukan setelah mendengar permintaan si kecil Abi. Tubuhnya semakin bergetar dan air matanya semakin deras mengalir ketika mendengar tangis Abi semakin kencang meminta ibunya untuk berhenti menangis.
****
Fajar akhirnya menyingsing, sang surya pun telah keluar dari peraduannya. Koloni burung pipit berduyun-duyun mengihiasi langit cerah pagi itu, keluar dari sangkarnya dan menuju hamparan sawah yang siap panen. Tidak sedikit pula para petani mulai sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Sebuah senyuman tersungging menghiasi wajah Abi ketika menyambut datangnya pagi. Direntangkan kedua tangannya seolah-olah menyambut terpaan sinar sang surya.
"Kamu ndak tidur lagi nak," suara merdu Sinta sang ibu, namun hanya dijawab oleh Abi dengan sebuah senyuman.
Sambil membawa secangkir kopi Sinta duduk tak jauh dari anaknya. Sinta paham betul tabiat anaknya itu, terjaga semalaman pasti karena sesuatu yang sedang dipikirkan. Tidak kali ini saja Abi anaknya tersebut memandangi langit malam seperti ini.
Abi berbalik menghadap sang ibu yang tengah melamun memandangi hamparan sawah yang tengah menguning. Tatapan mata yang syahdu dari ibunya membuat batin Abi sedikit teremas. Tatapan yang menyiratkan sebuah luka yang teramat dalam. Tatapan itu mengandung sebuah luka yang hendak dilupakan. Dalam diamnya sang ibu, Abi duduk tepat disebelah ibunya. Sangat jelas terlihat oleh Abi sebuah bulir air mata terbentuk disudut mata Sinta.
Manusia takkan lepas dari masa lalu...
Karena masa lalu yang membentuk kita saat ini...
Namun...
Masa lalu adalah kemaren, sesuatu yang tak mungkin terulang...
Abi sangat sadar akan hal tersebut, bahwa masa lalunya yang kelam tak layak untuk diratapi terus menerus. Dia harus melanjutkan hidupnya yang masih panjang. Meskipun begitu dia tak mampu berbuat banyak, bayangan masa lalu sudah lekat dalam kesehariannya. Setiap tetes air mata yang dikeluarkan sang ibu menambah goresan didalam hatinya. Perih.
Kemanapun kaki ini melangkah jejaknya akan selalu ada...
Setiap goresan akan selalu menimbulkan luka...
Sinta pun beranjak dari tempatnya mematung, bulir-bulir air mata itupun telah dihapus dia tak ingin sang anak berfikir macam-macam. Sinta tak ingin senyuman hilang dari wajah Abi anaknya. Sudah terlalu banyak derita yang telah disaksikan oleh kedua mata anaknya tersebut, dia tak ingin terlihat mengeluarkan air matanya lagi dihadapan sang anak.
Pandangan Abi masih terlihat kosong ketika dia meminum kopi buatannya, Sinta melihatnya seperti itu. Namun sebelum berpikir lebih jauh, Sinta pada akhirnya tertawa geli melihat mimik wajah Abi yang sebelumnya serius berubah menjadi bodoh. Bisa saja anaknya itu selalu membuatnya tersenyum ketika dia gundah.
Ketika kau benar-benar hancur....
Dan remuk dalam prahara....keluar dan buka matamu...
Kau akan menemukan hal-hal kecil yang sangat indah...
Yang selama ini tak kau sadari...
Dimata Sinta kebahagiaannya kini adalah melihat anak semata wayangnya Abi tumbuh seperti sekarang. Jauh dalam lubuk hatinya Sinta bangga akan anaknya tersebut. Masa-masa sulitnya kini telah beranjak pergi digantikan oleh secercah kebahagiaan.
Hati Abi terasa lega untuk sesaat setelah melihat senyum yang tersungging di bibir dang ibu, sudah lama sekali dia tak melihat ibunya tersenyum seperti itu. Sebuah senyum yang menggambarkan sebuah kebahagiaan. Senyum yang tulus tanpa ada paksaan apapun. Dan inilah senyum yang dangan diharapkannya selalu menghiasi wajah ibunya. Abi rela melakukan apa saja untuk membuat ibunya tersenyum seperti itu lagi. Dan senyum itu mampu mengalihkan kegundahan hatinya semalam ini.
"Bi...." panggil Sinta pada anaknya.
"Ehh...ada apa bu?" Tak ayal panggilan tersebut membuyarkanya dalam lamunan.
"Kamu sudah punya pacar,nak,"
"Astaga,ibu" Abi seakan tak percaya mendengar pertanyaan ibunya. Ini kali pertama sang ibu bertanya seperti itu.
"Lha...emang kenapa ? Salah ya ibu bertanya seperti itu,"
"Ibu kan udah kepengen cucu,"
Abi pun melongo tak percaya sesaat mendengar kata ajaib sang ibu. Bisa-bisanya sang ibu berkata seperti itu. Sumpah demi apapun Abi menahan tawanya biar gak terlepas iika melihat ekspresi Sinta ibunya. Keceriaan munggu pagi ini sangatlah dinantikan keduanya.
"Tenang bu, nanti Abi carikan di mall-mall atau mungkin di apotek terdekat," kata Abi sambil berlalu masuk kedalam rumah.
"Abiii...." teriak gemas Sinta.
Dalam batin Abi tak menyangkal akan hal itu, memang telah ada sebutir bibit cinta yang tengah bersemayam didalam hatinya. Dan rasa itu telah tumbuh, mulai menampakkan mekarnya. Dia memang telah jatuh cinta pada seorang gadis, dia akui itu tetapi banyak hal yang membuatnya belum mampu mengakuinya. Abi belum bisa membuka pintu hati dan merobohkan tembok keegoisannya.
Masih banyak hal yang masih mengganggu pikirannya. Dan semua itu tentang ibunya. Masih tersimpan erat ketakutan akan masa lalunya. Abi masih sangat takut dengan apa yang terlihat dari matanya dan terekam dalam pikirannya. Sebuah kisah yang memaksanya untuk menutup semua pintu dalam hatinya.
Abi mulai termenung di dalam kamar, perkataan ajaib Sinta ibunya kini mengganggu alam pikirannya.
"Gadis itu....." gumam Abi sambil tersenyum kecut. Abi terbayang oleh sosok gadis yang hampir menjungkir balikkan hatinya. Tak dipungkirinya jika sosok tersebut mampu menebar benih di padang gersang hatinya.
Sementara itu disisi belahan dunia yang lain, Gadis sedang termenung didalam kamarnya. Perasaannya kini seperti permen nano - nano yang manis asam asin rame rasanya. Tau apa yang sedang bermain dalam pikirannya. Yups. Abi...
Semenjak awal pertemuan, sejak itulah Abi terasa teristimewa didalam hatinya. Untuk pertama kalinya Gadis mulai memperhatikan seorang cowok, padahal selama ini kebalikannya. Gadis yang selalu diperhatikan oleh berbagai macam cowok yang haus akan perhatian darinya.
"Abi..." senyum pun tersungging menghiasi wajahnya yang ayu. Mendengar atau mengucap nama sang pemuda membuat hati gadis sumringah. Seperti ada kupu-kupu yang beterbangan menghiasi ladang bunga yang tengah bermekaran. Fix. Gadis mulai alay banget.
*****
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro