Wolu - Keputusan yang Berat
Masa Orientasi Siswa. Hari pertama para siswa sudah berkumpul di aula untuk mengikuti acara pembukaan. Dika tidak terlalu antusias, malah merasa bosan. Berkali-kali ia menguap dan mengusap hidungnya.
Acara bubar pada pukul sembilan. Dika berjalan menuju ujung aula untuk mengambil ranselnya. Hanya tersisa dua sama-sama warna hitam. Tanpa diperiksa, Dika mengambil ransel itu lalu pergi menuju kantin sekolah untuk membeli minuman. Saat hendak membayar minuman lalu membuka ritsleting ranselnya, barulah Dika sadar ransel yang dibawa bukan miliknya.
Dika segera kembali ke aula dan ransel itu sudah diambil. Bingung harus mencari ke mana, Dika hanya berkeliling di sekitar aula, lalu ke lapangan, sampai ke gedung serba guna. Dika yakin pemilik ransel ini adalah perempuan, sebab isinya ada bedak, sisir, dan satu bungkus pembalut.
Saat Dika lelah dan hendak menyerahkan ransel ini ke satpam, matanya menangkap seorang gadis mungil yang sedang celingak-celinguk mencari seseorang. Dika mengamati ransel yang ditenteng gadis itu. Warna hitam dan ada bandul gitar di salah satu ritsletingnya. Seketika matanya berbinar. Itu ransel miliknya!
Tanpa ragu Dika berinisiatif mendekati gadis itu lebih dulu. "Ini tas punya Mbak?"
Gadis yang tak lain adalah Hani, terperanjat. Menatap Dika sebentar sebelum menunduk dalam. "I-iya."
"Alhamdulillah! Itu punya saya, Mbak."
Adegan menukar tas terjadi. Dika langsung menggendong ranselnya, sementara Hani mendekapnya erat-erat dan masih menunduk.
"K-kalau begitu saya permisi dulu," ucap Hani terbata-bata. Kemudian balik badan. Saat itu juga Dika melihat bercak merah pada rok putih gadis itu.
"Mbak, sebentar!"
Dika menurunkan tasnya, membuka ritsleting, mengambil jaket, lalu mengikat kedua lengan jaket ke pinggang gadis itu. Sontak wajah Hani merah padam.
"Kalau mau balikin, kamu temui aku di sini, ya." Begitu kata Dika. Gadis itu mengangguk, kemudian melesat pergi.
Keesokan harinya Hani benar-benar datang menemui Dika mengembalikan jaket itu. Saat itulah mereka berdua berkenalan dan menjalin pertemanan. Hani yang pemalu sangat sulit mendapatkan teman banyak. Satu-satunya yang bertahan adalah Dika.
Meski pemalu, otak Hani cemerlang. Dia selalu mewakili sekolah dalam ajang lomba. Di kelas pun Hani menjadi kebanggaan guru karena selalu berada di ranking teratas. Sebagai teman, Dika merasa bangga.
Sering berangkat dan pulang sekolah bersama, sering jajan di kantin bersama, sering telepon dan kirim SMS sampai tengah malam, sering jalan berdua dengan alasan belajar kelompok. Berkat kebersamaan itu lama-lama rasa cinta tumbuh di hati Dika. Pernah sekali Dika mengutarakan perasaannya, tapi secara tidak langsung Hani menolak.
"Han, kalo cewek sama cowok sahabatan terus salah satunya jatuh cinta, menurut kamu gimana?"
"Ya, nggak gimana-gimana, biarin aja. Tapi kita berdua nggak termasuk, kan?"
Sejak saat itulah Dika memilih mengubur dalam-dalam perasaannya. Meski tetap melindungi Hani, menjadi pendengar, menemani saat sepi, dan mengantar jemput gadis itu.
Ketika Dika mengira bahwa dirinya satu-satunya laki-laki yang bisa dekat dengan Hani, ternyata salah besar. Pram, si kakak tingkat, berhasil merebut Hani darinya.
Mereka berdua bertemu di kampus. Dika masih ingat waktu itu Hani dengan senyum khasnya menceritakan bahwa dia baru saja ditembak oleh Pram dan diterima. Dika tetap mengucapkan selamat meski hatinya perih. Dika berusaha meyakinkan diri jika Hani bahagia, maka dia juga akan bahagia.
Namun, ternyata hubungan Hani dan Pram penuh lika-liku. Hani tak pernah mendapat restu dari orang tua Pram karena asal-usulnya tidak jelas. Delapan tahun Hani berjuang dan bertahan. Selama itu juga Dika selalu mendengar cerita Hani, sampai akhirnya Pram memutuskan menikah dengan wanita lain dan Hani terpuruk.
Dika tiba di pangkalan dalam keadaan lesu. Matanya berat karena menahan kantuk. Ditambah notifikasi dari penumpang belum datang juga padahal matahari sudah mulai meninggi. Suasana hatinya benar-benar kacau sekarang.
Sungguh sempurna. Sepertinya nanti malam Dika akan membawa uang sedikit.
Jelas, melihat raut wajah Dika yang kurang bersahabat menarik perhatian Anwar dan Joko yang sedang main catur, juga Sofyan yang berdiri sembari mengisap rokok.
"Dik, tadi pagi belum ngopi, ya? Mukanya asem gitu," celetuk Joko. Mengalihkan pandangannya sebentar dari bidak catur.
"Paling galau karena Hani mau nikah," sambung Anwar.
Dika menjatuhkan pantatnya di bangku panjang. Matanya lurus menatap jalanan. "Hani nggak jadi nikah."
"Hah?" seru ketiga teman Dika serempak.
"Kenapa bisa?" tanya Anwar.
"Pram mutusin Hani terus milih nikah sama cewek lain. Kemarin aku nganterin Hani ke nikahan mereka."
"Ya, ampun, kasian Hani," kata Sofyan dengan lirih.
"Terus kenapa muka kamu kayak habis disiram air got? Kucel, kusem, nggak enak dilihat," sela Joko. Dika sudah tidak kaget lagi mendengar kalimat frontal dari temannya satu ini.
"Ya, gimana aku nggak kucel, kusem, nggak enak dilihat, wong Hani mendadak minta dinikahin sama aku."
"Hah?" seru mereka bertiga lagi. Kali ini Joko dan Anwar berhenti main catur, sementara Sofyan menginjak puntung rokoknya ke tanah.
"Jangan-jangan kamu pake pelet, ya, Dik. Makanya Hani putus sama pacarnya terus minta dinikahin sama kamu," kata Anwar tiba-tiba.
"Sembarangan!" Dika menjitak kepala Anwar. "Tapi kayaknya bener, deh, pelet kali ini berhasil."
"Astagfirullah, Dika! Kamu pasang pelet apa? Kalo manjur kasih tau Joko sama Sofyan biar nggak jomlo terus."
"Doa di sepertiga malam."
Anwar gantian menjitak kepala Dika. "Kayak kamu rajin salat malam aja, Dik."
"Lah, emangnya kalo mau ibadah harus laporan ke kamu? Masa iya habis salat aku WA kamu terus bilang 'War, aku udah salat'. Emangnya kamu panitia surga?"
"Anwar nggak cocok jadi panitia surga, bagusnya jadi panitia neraka," sahut Joko.
Anwar mengelus dadanya. "Astagfirullah, sabar-sabar."
"Terus kamu gimana, Dik?" Sofyan bersuara setelah lama terdiam.
"Ya aku minta waktu buat mikir. Gimana, ya, aku emang mau, tapi masa gini caranya? Serba salah, mau terima nanti jadinya gimana, mau tolak nanti Hani cari laki-laki lain atau mau percobaan bunuh diri lagi."
"Hani mau bunuh diri, Dik?" seru Anwar.
"Iya. Kasian kalo liat dia yang sekarang."
"Apa pun keputusan kamu, aku yakin kamu udah mikirin segala konsekuensinya. Saranku jangan ngelakuin sesuatu karena kasian, Dik. Nanti yang capek kamu juga," kata Sofyan.
Dika mengangguk mengerti. Setidaknya mencurahkan semuanya ke mereka sedikit mengurangi beban di kepala.
Selepas salat Isya sampai jam menunjukkan pukul sepuluh Dika masih duduk di ruang tengah. TV-nya menyala, menampilkan acara sepak bola, tapi tatapan Dika kosong, tidak fokus pada tontonan. Pikiran serta hatinya ruwet.
"Kasian itu TV-nya, masa dia yang nonton kamu."
Dika tersentak. Segera ia menekan tombol remote TV-nya hingga layar berubah menjadi hitam. "Aku berisik, ya, Buk?"
"Nggak. Ibuk belum tidur, tadi selesaiin jahitan dulu. Besok mau diambil sama orangnya."
"Duduk, Buk." Dika menepuk karpet sebelahnya yang kosong. Hasanah menurut.
"Kenapa?" Melihat wajah anaknya yang mendung sejak tadi pagi—sejak kemarin sore tepatnya—Hasanah jadi mengira kalau Dika sedang tersandung masalah.
"Hani, Buk ...."
"Kenapa dengan Hani?"
Dika kemudian membeberkan kronologi dari Hani dan Pram putus sampai Hani meminta untuk dinikahi.
Mendengar cerita itu, Hasanah mengelus punggung putranya. "Terus kamu gimana?"
"Aku bingung, Buk. Menurut Ibuk gimana?"
"Ibuk tahu ini keinginan kamu, tapi bukan seperti ini caranya, kan?"
"Aku takut melakukan ini karena kasian, tapi aku juga nggak siap kalau liat Hani sama laki-laki lain karena patah hatinya. Iya kalo cowoknya bener, aku lega. Kalo nggak bener, bukannya sama aja nabur garam di atas luka yang belum kering?"
"Apa pun keputusan kamu, Ibuk yakin kamu siap menghadapi risikonya. Ibuk tahu kamu anak yang baik. Lindungi Hani, dia butuh pembimbing, dia masih rapuh. Entah bagaimana cara kamu melakukannya, Ibuk tahu kamu pasti pengen Hani seneng lagi. Satu hal yang harus kamu pegang, menikahlah karena Gusti Allah, bukan karena cinta atau kasian. Gusti Allah punya seribu satu cara untuk menyatukan hamba-hamba-Nya yang memang ditakdirkan bersama. Meski caranya menurut kamu nggak enak, tapi kalau kamu serahkan ke Gusti Allah, kamu percaya kalau itu yang terbaik, pasti akan dibukakan jalannya."
Dika meresapi setiap kata demi kata yang terucap dari bibir ibunya. Bayangan senyum Hani, bayangan semua kenangan yang pernah mereka berdua lalui, bayangan Hani yang menangis karena Pram, bayangan binar mata Hani saat senang, semuanya memenuhi kepala Dika. Dia tak mau kehilangan momen itu. Dika ingin menjadi seseorang yang selalu ada untuk Hani. Dika ingin terus melindungi Hani.
Benarkah jalannya seperti ini?
Jadi, Dika bakal jawab apa ke Hani?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro