Songolas - Kamu Bisa, Kan?
Pulang kerja, Hani merasakan sakit luar biasa di bagian perutnya. Setelah dicek, ternyata tamu bulanannya benar-benar datang. Sialnya, stok pembalut untuk bulan ini habis dan setelah pindahan Hani belum sempat belanja.
Sambil memegangi perutnya, Hani keluar dari kamar. Pakaiannya sudah ganti, tapi dia tidak berani tidur sebelum mendapatkan pembalut. Kalau tembus, kan, malu, apalagi sekarang tidur sekasur dengan Dika. Hani masih ingat kala pertama kali bertemu laki-laki itu, dalam keadaan haid pula. Itu merupakan pertemuan sangat memalukan yang pernah Hani alami.
Melihat Dika hendak memasukkan motornya, Hani kepikiran sebuah ide dan segera mendekati Dika.
"Dika!"
Dika menoleh. "Kenapa, Han?"
Hani menelan ludah, lantas bertanya, "Aku boleh minta tolong nggak?"
"Minta tolong apa?"
Hani menggaruk tengkuknya. Ragu mulai menyergap hati. Akan tetapi, mau tidak mau, Hani harus mengatakan ini. "Aku, kan, nggak tau warung atau supermarket deket sini. Jadi, boleh nggak aku minta tolong kamu beliin pembalut? Aku haid."
Sepanjang mengatakan itu, Hani menanggung malu yang luar biasa. Bagaimanapun ini pertama kalinya Hani meminta dibelikan pembalut kepada seorang laki-laki. Saat bersama Pram dulu mana pernah. Nyaris Hani tidak pernah melibatkan Pram dalam urusan perempuan karena statusnya masih pacar. Apa jadinya jika dulu Pram tahu kapan saatnya haid, kapan selesai, seperti apa pembalut yang sering dipakai Hani? Tentunya akan menyisakan malu sebab Pram tidak jadi suaminya sekarang.
Selama delapan tahun itu, Hani hanya fokus mengejar restu ibunya Pram. Pun jika saat PMS, Hani jarang melampiaskannya pada Pram. Mungkin orang-orang di luaran sana tidak akan percaya jika Pram tidak melakukan hal di luar batas pada Hani. Delapan tahun, masa tidak melakukan apa-apa? Ya, memang benar. Hani masih suci sampai sekarang.
"Oh, ya, udah aku beliin. Kamu biasa pakai merek apa?"
Suara Dika mengembalikan Hani ke dunia nyata. Pembelian pembalut ini harus segera dituntaskan. "Kamu masih inget nggak dulu pertama kali kita ketemu, aku juga lagi haid. Kamu buka tas aku terus lihat ada bungkus pembalut di situ, kan? Nah, itu mereknya."
"Emang sampai sekarang masih ada?"
"Masih, lah. Kamu inget, kan?"
"Inget. Ya, udah aku pergi sekarang."
Dika menaiki motor, menghidupkan mesinnya, lalu segera meluncur. Tepat setelah Dika sudah tak terlihat punggungnya, Hani baru teringat sesuatu.
"DIKA, UANGNYA!"
Setibanya di sebuah minimarket, Dika kebingungan. Dia masih ingat warna bungkus pembalut yang dipakai Hani, tetapi di mana letak pembalut itu?
Seorang perempuan datang menghampiri Dika. "Cari apa, Mas?"
Dika melirik kanan-kiri, memastikan tidak ada orang lain di sekitarnya. "Cari pembalut yang bungkusnya warna pink. Ada, Mbak?"
"Buat adeknya, ibunya, atau pacar, nih?"
Astaga. Untuk apa ditanyai seperti itu? Rasanya Dika ingin mengubur diri saat itu juga. "Buat istri."
"Oh. Ada di rak sebelah sana, Mas. Kalau mau beli yang malam juga ada."
Seketika kening Dika berkerut. "Emang pembalut ada siang malamnya, Mbak?"
Mbak penjaga kasir mengangguk, lantas tersenyum, dan menjelaskan, "Iya, ada, Mas. Kalau yang malam bungkusnya warna hitam, ada gambar bulannya. Ukurannya lebih panjang dan lebih lebar dari pembalut biasa, Mas."
Dika menggaruk dahi. Sungguh malam ini Hani memberikan pengalaman yang berharga. Selama tiga puluh tahun hidup di dunia, Dika baru tahu kalau pembalut ada siang dan malam. Hasanah mana pernah menjelaskan bagian ini. Ibunya hanya mengatakan kalau perempuan yang sudah pubertas akan mengalami menstruasi, jadi jangan berani macam-macam. Di pelajaran biologi pun dijelaskan sedemikian rupa. Tidak ada pelajaran bagaimana bentuk pembalut beserta macam-macamnya.
"Terus yang diminum sama cewek setiap mens itu namanya apa, Mbak?" Entah kenapa Dika kepikiran minuman berbotol itu. Dia pernah satu kali melihat Hani meneguknya. Katanya bisa meredakan nyeri perut saat menstruasi.
"Kiranti namanya, Mas. Ada di rak bagian tengah."
Dika mengambil dua bungkus besar pembalut biasa isi tiga puluh, dua bungkus pembalut malam berukuran besar, dua botol Kiranti rasa original, dan dua bungkus rokok untuknya. Dirasa sudah cukup, Dika pergi ke meja kasir untuk membayar. Ya, untung bawa uang banyak. Usai melakukan pembayaran, Dika pulang.
Tiba di rumah, Hani terbelalak melihat Dika membawa kantung plastik besar, padahal kalau dirinya yang beli sendiri, bisa disembunyikan di balik jaket.
"Kamu beli berapa aja?"
"Ya, segini."
Hani membuka kantung tersebut dan bola matanya membesar. "Ini, sih, bisa buat berbulan-bulan. Aku biasa beli yang isinya delapan, itu pun cuma beli satu bungkus."
"Berbulan-bulan?" Dika mengernyit. "Lah, aku pikir kurang."
"Dika, ini isinya tiga puluh. Mana mungkin aku habisin sekali periode haid? Aku sering ganti pembalut kalo di hari pertama, kedua, sama ketiga aja."
Dika mulai mencerna penjelasan istrinya. Dalam pikirannya tadi, pembalut segitu akan habis dalam waktu satu hari. Makanya beli dua bungkus. "Emang kamu haid setiap bulan?"
"Iya."
"Berapa lama?"
"Lima hari."
"Mulainya setiap tanggal ini setiap bulannya?"
"Nggak. Bisa mundur bisa maju."
Dika manggut-manggut. Bulan depan ia akan mencoba mengingat kalau setiap tanggal segini Hani menstruasi. Itu pun kalau Hani masih mendapatkan tamu bulanannya. Nah, kan, mulai halu.
"Kamu beli Kiranti juga?" seru Hani begitu menemukan dua botol Kiranti yang biasa ia minum.
"Iya. Aku nggak salah, kan?"
"Nggak, kok."
Hani masih merogoh kantung plastik itu hingga menemukan bungkus padat berbentuk kotak. Begitu dikeluarkan, raut wajah Hani berubah datar. Matanya melirik Dika.
Dika yang menyadari itu langsung berkata, "Itu aku beli dua buat gantiin punya Anwar. Kemarin aku nebeng."
"Sehari habis segini?"
"Iya. Kadang kurang, sih."
"Kurang?" Mata Hani melebar. Reaksi yang sama seperti saat pertama kali memergoki Dika merokok di warung Bu Sani dua belas tahun yang lalu. Kala itu, warung Bu Sani memang kerap dijadikan tempat nongkrong siswa yang suka merokok. Dika bisa kecanduan rokok gara-gara dekat dengan teman sekelasnya yang terkenal nakal di sekolah.
"Emang kalau sehari nggak ngerokok nggak bisa, ya?" tanya Hani setelah beberapa menit terdiam.
"Nggak bisa, Han. Mulut rasanya asem kalo nggak ngerokok sehari."
Oke, Hani tidak akan mencampuri urusan yang satu ini karena sudah menjadi pilihan Dika. Lagi pula, Dika tidak pernah merokok di hadapannya, sekalipun di dalam rumah, Dika memilih jarak yang cukup jauh darinya. Hani hanya menemukan sisa puntungnya di asbak kalau Dika lupa membuang saat bersih-bersih. Kalau satu bungkus saja Dika masih kurang, berapa bungkus yang dihabiskan dalam sehari? Hani jadi khawatir banyak penyakit yang akan mengintai laki-laki itu. Bagaimanapun, Hani ingin melihat Dika sampai tua.
"Tapi, bisa, kan, kalau dikurangi? Aku nggak masalah sebenarnya, tapi emangnya kamu mau menjejal anak kamu dengan asap rokok?"
Dika berkedip. Anak? Tunggu-tunggu ... Hani sedang tidak salah bicara, kan? Jangan halu dulu. Hani, kan, sedang mencoba membujuk Dika mengurangi rokoknya, bukan mau punya anak.
"Dikurangi, ya?" ulang Dika.
"Iya. Nggak harus langsung berhenti, kamu bisa kurangi dari dua bungkus jadi sebungkus, sebungkus jadi setengah, sampai bisa bener-bener lepas. Bisa, kan?"
Praktik itu tidak seindah teori, Sayang. Sebelumnya, Dika sudah pernah mencoba, tapi itu tadi, mulutnya jadi tidak enak kalau tidak terkena asap rokok. Sekarang Hani yang meminta, apakah Dika mampu?
Karena tidak ada jawaban, Hani memilih masuk ke kamar mandi untuk memasang pembalut. Tak butuh waktu lama, gadis itu muncul kembali, menghampiri Dika yang masih terdiam sembari memandang dua bungkus rokok warna putih itu. Duduk di samping Dika, Hani teringat kelakuannya tadi pagi.
"Dik, aku minta maaf, ya."
Dika menoleh. "Maaf buat apa?"
Hani menunduk. "Yang tadi pagi aku marah-marah itu. Aku emang suka gitu kalau menjelang haid. Kadang-kadang marah, nangis, bingung sama perasaan sendiri. Padahal tadi pagi cuma masalah sepele. Aku minta maaf, ya, kalau tadi sempat ngebentak kamu. Aku beneran nggak sengaja."
"Kenapa kamu nggak bilang dari dulu?"
"Aku malu."
"Lah, kok, malu?"
"Kan, kamu cowok."
"Ya, udah, lupain yang tadi, aku maafin."
Mendengar reaksi itu, Hani baru mengangkat kepalanya. "Kamu nggak marah?"
"Buat apa marah? Kamu, kan, tadi bilang nggak sengaja. Kamu maunya aku ngamuk-ngamuk balik, gitu?"
Hani tergagap. "Ya, jangan."
Dika tersenyum lebar. Tangannya terulur mengelus rambut Hani dengan lembut. Tidak berhenti sampai di situ, Dika juga berani menangkup wajah istrinya. Matanya lurus menatap ukiran Allah paling indah, yang siang-malam Dika doakan agar diberi keselamatan. Jemarinya menelusuri pipi tirus dengan warna terang, bibir kecil warna merah, hidung pesek, alis dan bulu mata tipis, serta mata bulat.
"Kalau marah dibalas marah, nanti yang ada bubrah. Makanya tercipta air buat memadamkan api. Kalo ada api semua, yang ada kebakaran. Lagian, aku jadi tau kalo kamu begini berarti mau kedatangan tamu. Bulan depan aku bisa pasang tameng."
Mendengar itu, hati Hani menghangat. Sangat lega Dika tidak mempermasalahkan itu.
"Makasih buat semuanya, Dik." Hani meraih tangan Dika, lalu diletakkan di keningnya sebentar. "Ini buat ganti tadi pagi sama sore."
Selanjutnya, Hani kabur masuk ke kamar. Meninggalkan Dika yang melongo.
Bubrah itu artinya rusak, ya, gaes.
Siapa yang suka menimbun pembalut?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro