Siji - Cinta Tidak Bisa Memiliki
[Grup WA SKJ]
Sofyan: Anwar bulan depan taken.
Sofyan: Alhamdulillah.
Joko: @Anwar kamu mau nikah kok gak ngajak-ngajak!
Sofyan: Bukan nikah namanya kalo ngajak-ngajak.
Joko: Alhamdulillah akhirnya Anwar gak halu Lisa Black Pink lagi.
Joko: Bentar lagi kalo masuk angin ada yang kerokin.
Joko: Jasa Hamba tidak akan berguna lagi.
Joko: Tapi @Anwar agar niat baikmu terlaksana lancar tidak ada satu kurang apa pun, ada baiknya Anda bayar utang kopi ke saya dulu.
Sofyan: Sueeee Anwar masih punya utang.
Sofyan: Bayar dulu, War.
Anwar: Nanti aku bayar kalo udah dapat amplop dari hajatan.
Joko: Astagfirullah, Kisanak. Mau bayar utang kok nge-cheat dulu.
Joko: Kalo gitu aku nggak usah kasih amplop, ya. Anggap aja untuk bayar utang.
Anwar: Dasar teman laknat.
Anwar: @Dika kasih paham anak ini.
Sofyan: Tumben anak satu nggak aktif. Hpnya digadai lagi?
Joko: Paling lagi mikirin My Honey Bunny Sweety Maharatu Nyonya Hanifah Humairah.
Anwar: Joko terlalu jujur.
"Enak, Bu."
Si empunya malah lagi keenakan sambil merem melek. Posisinya telungkup beralaskan bantal. Di atas ada seorang perempuan paruh baya sedang mengurut punggungnya.
"Untung kamu masih punya Ibuk. Kalo masuk angin kamu nggak ngenes-ngenes banget," ucap perempuan itu seraya mengoleskan minyak ke punggung anaknya.
"Alhamdulillah Ibuk masih ada. Jadi Dika ada alasan kenapa sampai sekarang belum punya istri."
Plak!
"Aduh, sakit, Buk." Dika mengaduh kesakitan setelah sang ibu menggeplak punggungnya. Mau mengelus biar sakitnya hilang, tangannya tidak sampai.
"Lagian kalo ngomong sembarangan. Kamu mau nunggu Ibuk mati dulu baru punya istri?"
"Nggak gitu maksudnya, Ibuku Sayang ... pokoknya aku pengin Ibuk masih ada sampai aku punya anak sepuluh. Sampai anak itu punya anak lagi terus punya anak lagi."
"Amin. Makanya kamu cari cewek yang mau diajak punya anak sepuluh."
"Ada Hani kenapa disuruh cari lagi, Buk?"
"Hani udah punya calon kalo kamu ndak lupa ingatan."
Dika memajukan bibirnya. Ucapan sang ibu barusan berhasil merontokkan khayalannya ingin punya anak sepuluh dari Hani.
"Le, Ibuk tahu selama janur kuning belum melengkung, kamu masih bisa menikung. Tapi eling, bahwa ketetapan Gusti Allah jauh di atas segalanya. Kalau jodoh ndak akan kabur ke mana. Walaupun udah pacaran bertahun-tahun kalo bukan jodoh, ya, bakal jadi mantu Ibuk. Sing penting kamu jangan terlalu mendewakan manusia. Kamu coba buka hati untuk perempuan lain."
Dika meresapi setiap kata yang terucap dari bibir Hasanah, ibunya. Bukannya Dika tidak mau membuka hati. Dia sudah mencoba, kok. Sebut saja Ajeng, Raya, Rina, dan Wiwit yang pernah dekat dengannya, tapi tidak ada satu pun yang langgeng. Ya gara-gara Dika masih lengket sama Hani.
Sampai detik ini Dika tidak mengerti kenapa susah sekali melupakan Hani yang jelas-jelas tidak bisa dimiliki—kecuali sebagai sahabat, sejak SMA. Dika sudah mencoba mengikuti saran Sofyan, dekat dengan beberapa perempuan, dan mencoba tidak melakukan kebiasaan bersama Hani. Namun, hasilnya nihil, Dika hanya bisa bertahan dua jam.
Apa ini yang dinamakan mendewakan manusia seperti yang dikatakan ibunya?
Sudah jelas setiap curhatan Hani bikin sakit hati, tapi masih tetap Dika dengarkan. Sudah jelas antar-jemput Hani tidak akan membuat perempuan itu jatuh cinta, tapi masih tetap Dika lakukan. Sudah jelas mau seribu tahun Dika melakukan semua itu, statusnya tidak akan pernah berubah. Tetap akan menjadi sahabat Hanifah Humairah.
Dika meraih ponsel yang sedari tadi berkedip-kedip ketika Hasanah sudah selesai memijat tubuhnya dan keluar dari kamar. Dika membaca chat grup SKJ yang meramaikan ponselnya setiap hari. SKJ kepanjangan dari Setia, Kaya, Jaya—yang merupakan filosofi para anggotanya. Grup yang dipelopori Anwar itu hanya berisi empat orang, yaitu Anwar, Dika, Sofyan, dan Joko. Mereka semua dulu bertemu saat masih duduk di bangku kuliah, lalu bergabung menjadi driver Gojek. Jam operasional grup SKJ adalah tengah malam, hingga kadang Dika jadi susah tidur kalau grup ini sudah ramai. Grup SKJ berisi suka duka mereka menjadi driver, termasuk curahan hati Dika tentang Hani.
Dika: Aku habis kerokan.
Dika: Sama mikirin My Honey Bunny Sweety Calon Istri Mahardika juga.
Anwar mengirim stiker monyet ngakak.
Joko: Halumu, Dik. Tidur sana. Masuk angin nggak boleh begadang. Siapa tau besok sadar kalau kamu nggak bisa memiliki hatinya.
Anwar: Jangan keras-keras Mas Brooo.
Dika: Sebelum undangan belum disebar, dia masih ada peluang untuk bubar.
Sofyan: Astagfirullah doamu, Nak. Eling-eling.
Anwar: Kasih paham Mas Sopyan.
Sofyan: Sebagai sahabat yang baik, mbok, ya, kalo mau doain, tuh, yang baik-baik gitu, lho, Dik. Doain semoga langgeng, naik ke pelaminan sama pacarnya. Kamu harus mendukung dia.
Joko: Kalo Hani naik ke pelaminan, Dika nanti berdiri di jembatan Banjir Kanal Barat.
Dika: Astagfirullah Joko asuuu.
Anwar: Gimana, sih? Di awal nyebut di akhir ngumpat.
Waktu baru menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi mata Dika sudah berat. Mungkin karena efek dipijat sama ibunya tadi. Mengambil posisi telungkup, Dika memutuskan untuk mengarungi mimpi. Semoga saja bertemu Hani di sana.
Pukul tujuh pagi, Dika sudah berdiri di depan gerbang indekos putri. Seperti biasanya sebelum mengais rezeki, aktivitas pagi Dika adalah mengantarkan Hani ke kantornya. Jaraknya lumayan jauh memang, tapi kalau sudah bucin apa pun akan dilakukan, bukan?
Gerbang didorong dari dalam hingga menampakkan sosok perempuan setinggi 155 sentimeter itu. Mengenakan blazer berwarna peach yang menutupi kemeja warna putih. Untuk bawahannya memakai celana panjang, warnanya senada dengan blazer. Rambutnya yang sepunggung dibiarkan tergerai. Kalau naik motor nanti pasti diacak-acak angin dan Dika siap merapikannya.
"Udah lama?" Hani mengeluarkan suara.
"Nggak. Baru nyampe, kok." Dika berbohong. Aslinya dia sudah menunggu selama tiga puluh menit. Sejak gadis itu mengirim pesan minta diantar, Dika langsung meluncur ke sini, tanpa sarapan dan tentu saja sudah mandi. Dika sengaja berbohong supaya telinganya tidak mendengar khutbah pagi dari Hani.
Dika langsung memakaikan helm ke kepala Hani tanpa diminta. Salah satu kebiasaan favoritnya. Setelah helm terpasang, Dika segera menghidupkan motor Honda Beat hadiah dari Hasanah yang sekarang menjadi sarana mencari cuan. Hani duduk di belakang. Kemudian motor mulai melaju di jalan.
Ketika lampu merah, Dika berhenti. Saat itulah kesempatan dirinya untuk mengobrol dengan Hani.
"Kamu dua hari ini ngojek sampai malem?" Hani membuka percakapan dengan suara agak keras.
Dika melirik bayangan wajah ayu Hani dari kaca spion. "Iya."
"Bukannya hujan terus, ya? Kok nekat?"
"Namanya cari uang, ya, nggak kenal hujan sama panas, lah." Biar bisa nabung buat modal nikahin kamu, lanjut Dika dalam hati.
"Ya, tapi perhatiin juga badan kamu, Dik. Kamu bukan robot yang kalo rusak bisa dibenerin."
Dika tersenyum. Ya, gini, nih, gimana mau bisa move on kalau setiap hari diperhatikan seperti ini terus?
Lampu berubah menjadi kuning kemudian hijau, Dika langsung tancap gas. Selang dua puluh menit, motornya berhenti tepat di depan sebuah gedung yang menjadi tempat kerja Hani. Hani turun. Dika yang masih duduk di jok motornya melepaskan helm dari kepala gadis itu, juga merapikan anak rambut yang berantakan. Anehnya, Hani tidak protes sama sekali diperlakukan seperti itu oleh Dika.
"Nanti jam empat jemput, ya," kata Hani.
"Nggak bareng sama Pram?" tanya Dika sedikit heran. Belum pernah sekalipun Hani tidak pulang bersama dengan Pram, kekasihnya.
"Mas Pram katanya lembur."
Dika manggut-manggut. "Oke. Nanti aku datang."
Senyum Hani mengembang hingga lesung pipinya kelihatan. "Aku masuk dulu, ya, Dik. Semangat cari penumpang!"
Hani berlari memasuki lobi padahal Dika belum sempat membalas ucapannya. Kalimat tadi membuat semangat Dika naik empat puluh kali lipat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro