Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Rolas - Babak Baru


Semuanya berubah setelah Dika menjabat tangan penghulu, lalu mengucapkan kalimat ijab kabul dalam bahasa Arab. Status mereka berdua sekarang naik satu tingkat, seperti yang Hani katakan sebelumnya. Sekarang Hani sah menjadi istri Dika. Akan mempertaruhkan hidup dan matinya untuk laki-laki itu.

Tidak ada pesta mewah, Hani yang meminta seperti itu. Akad nikah saja dilakukan di KUA. Hani hanya mengundang ibu panti, teman-teman di panti, dan Ayu. Sementara Dika hanya mengundang Joko, Sofyan, dan Anwar. Usai akad nikah, ucapan selamat serta doa mengalir dari bibir mereka.

"Hani, sini, Ibu pengin ngomong."

Hani yang kini mengenakan kebaya putih buatan Hasanah lengkap dengan jarik mengikuti langkah seorang wanita paruh baya menuju tempat kosong. Wanita yang sangat berjasa dalam hidupnya. Rumanah.

Hani dan Rumanah duduk berdampingan. Rumanah kemudian menggenggam tangan Hani.

"Hani, sekarang kamu udah jadi istri orang. Walaupun kamu belum cinta, tetap patuhi dia. Cari ridanya. Karena beban yang ditanggungnya berat. Apa yang kamu lakukan, dia yang bertanggung jawab di hadapan Allah. Hani, Ibu tahu kamu perempuan yang baik. Ibu yakin kamu bisa menghadapi semua ini."

Mata Rumanah berkaca-kaca saat mengatakan itu. Tidak terasa Hani sudah beranjak ke jenjang yang lebih tinggi. Rasanya baru kemarin ia menemukan Hani menangis di dekat gerbang rumahnya. Sekarang Hani tumbuh menjadi gadis yang menarik dan resmi menjadi istri orang.

"Iya, Bu. Hani akan selalu ingat pesan Ibu."

"Kamu tahu kenapa Ibu kasih nama kamu Hanifah Humairah?"

Spontan Hani menggeleng.

"Pada saat pertama kali lihat kamu, Ibu rasa jalanmu akan terang. Makanya Ibu kasih nama kamu Hanifah. Ternyata benar, kamu tumbuh jadi anak yang berbakat. Terus Humairah, wajah kamu kemerahan waktu masih bayi. Sampai sekarang juga masih kemerahan kalau lagi malu."

Hani mengulum senyum. "Terima kasih, Bu. Itu semua berkat doa Ibu."

"Sekarang tugas Ibu melindungi kamu sudah selesai, diganti sama suami kamu. Jaga diri baik-baik, ya."

Hani mengangguk. Lalu mencium tangan Rumanah.

Situasi yang sama juga terjadi pada Dika dan Hasanah. Mereka duduk bersama.

"Dika, sekarang kamu udah jadi suami. Tugas kamu tambah berat. Surga dan neraka Hani tergantung kamu gimana mendidiknya. Ibuk mau pesan, sekesel-keselnya kamu sama Hani, jangan sampai ada niatan untuk pergi meninggalkannya. Ibuk nggak mau kamu jadi orang yang merugi."

Dika mencium tangan Hasanah dengan takzim. "Doakan Dika dan Hani selalu ya, Buk."

"Tanpa kamu minta Ibuk selalu doain kalian."


Dika langsung membawa Hani ke kontrakan yang sudah disewa. Hani yang baru pertama kali datang langsung senang. Dika tidak berbohong. Rumah yang nyaman meskipun lebih kecil dari indekosnya.

Tentu saja di dalamnya sudah ada barang-barang dari teman-teman serta keluarga Dika dan Hani. Yang paling unik, sih, pemberian Joko, Sofyan, dan Anwar. Joko memberikan beras, telur, gula, kopi, mi, dan sembako lainnya. Terus Anwar memberikan sayuran dan buah. Lalu Sofyan memberikan alat pel, sapu, serokan sampah, ember, tong sampah, dan sapu lidi. Hani mendapatkan panci satu set dari Ayu. Piring, sendok, dan gelas didapat dari para orang tua.

"Ini yang dari Anwar kalo busuk gimana? Nggak ada kulkas di sini." Hani mengumpulkan semua sayuran jadi satu.

"Nanti masak aja yang menurut kamu cepet busuk."

"Emang udah ada kompor?"

"Udah."

Hani tersenyum lebar. Dika ini lebih banyak aksi daripada orasi. Sangat detail memperhatikannya.

"Bersih-bersih dulu, yuk! Kamu yang nyapu, aku yang ngepel."

Perempuan itu berkedip sebentar, kemudian mengangguk. Dika benar-benar akan melakukan syarat yang pertama. "Oke."

Hani mengambil sapu, kemudian menggerakkan benda itu di atas lantai keramik. Hani juga membersihkan sela-sela pintu dan jendela. Begitu sudah bersih, Hani menunggu di luar karena sekarang giliran Dika yang bekerja.

Para tetangga di sekitar rumah mulai bermunculan. Sebisa mungkin Hani tersenyum saat disapa.

"Orang baru, Mbak?" tanya seorang ibu-ibu.

"Iya, Bu."

"Jangan sungkan mampir ya, Mbak. Rumah saya ada di sebelah sana." Ibu menunjuk bangunan tingkat sebelah barat.

Hani tersenyum kikuk. "Insyaallah. Terima kasih."

Tak mau jadi pusat perhatian lagi, Hani segera melangkah menuju pintu. Ketika menginjak lantainya ternyata masih basah. Dika juga sudah tak terlihat. Terpaksa Hani menunggu lagi sampai lantainya benar-benar kering. Orang-orang sudah berlalu lalang di sekitar. Wajar karena hari sudah sore. Banyak di antaranya baru pulang dari tempat kerja.

Jika berada di tempat asing, Hani akan merasa tidak nyaman. Butuh waktu untuk bisa beradaptasi di lingkungan baru. Bagi Hani memulai percakapan lebih dulu akan menguras energinya. Akan tetapi, Hani berusaha tersenyum saat ada yang menyapa. Tidak jarang ada yang menyebutnya sombong. Mau bagaimana lagi, Hani yang tidak bisa.

Hani menginjak lantai di ambang pintu. Sudah setengah kering. Hani menghela napas lega. Ia bisa masuk dan mengurung diri di dalam.

Begitu masuk, Hani merasa ruangan tampak lega. Barang-barang tadi rupanya sudah dipindahkan Dika ke belakang. Hani jadi terpikir untuk membeli kursi dan meja agar jika ada tamu yang datang bisa duduk dengan nyaman. Di sini juga tidak ada TV, padahal Dika suka menonton. Beli TV termasuk rencana. Kalau ditambah kulkas Hani tidak yakin listriknya kuat. Toh, masih ada cara lain untuk menyimpan makanan serta sisa bahannya.

Hani membuka pintu ruangan yang ia yakini adalah kamar yang ditempati untuk tidur. Di dalamnya terdapat satu tempat tidur yang cukup untuk dua orang. Di sebelah kanan ranjang ada lemari pakaian yang salah satu pintunya dilapisi cermin besar. Sementara itu, sebelah kirinya ada jendela yang belum tertutup gorden. Membayangkan malam ini tidur tanpa jendela tertutup membuat bulu kuduk Hani meremang.

"Hayo mikirin apa ...."

Hani terkesiap. Satu pukulan melayang ke bahu Dika. "Ngeselin, ih! Kaget tau!"

Yang dipukul mengaduh kesakitan. "Habis aku panggil, kok, nggak nyaut-nyaut. Ternyata lagi di sini."

"Oh, maaf aku nggak tau."

"Nggak apa. Kamu kenapa bengong?"

"Itu." Hani menunjuk jendela. "Kita belum punya gorden, kan?"

"Oh, iya. Lupa aku. Wah, Sofyan kenapa nggak beliin, ya?"

Setelah itu Hani mengeplak lengan Dika.

Dika mengusap kulit lengannya yang panas. "Kamu belum apa-apa udah KDRT. Aku laporin ke Kak Seto, nih."

Hani memutar bola matanya. "Kak Seto, tuh, pemerhati anak, Dika. Emangnya kamu masih anak-anak?"

"Oh, berarti aku salah, ya?"

"Iya."

"Terus aku harus ke mana?"

"Ya, nggak tau. Ih, kenapa malah bahas yang lain, sih? Itu jendela gimana?"

"Ya, udah nanti aku tutupin pake sarung," jawab Dika enteng. "Aku mandi duluan, ya. Bentar lagi magrib."

Dika membuka ransel untuk mengambil baju, celana serta handuk. Kemudian pergi. Baru sebentar, Hani mendengar teriakan Dika dari kamar mandi. Tergopoh-gopoh Hani menyusul Dika ke sana.

"Apa, sih, Dik—AH!" Spontan Hani menutup mata dengan kedua tangannya.

"Kok, kamu juga ikutan teriak, sih, Han? Kalo tetangga denger nanti mereka penasaran."

Tanpa membuka mata, Hani menjawab, "Ya kamu udah buka baju kayak gitu, gimana aku nggak teriak!" Memang benar, tubuh bagian atas Dika sudah terbuka, tersisa celana pendek. Ini pertama kali Hani melihat Dika bertelanjang dada.

"Kan, mau mandi, masa nggak buka baju?"

"Ya, terus kenapa teriak manggil aku?"

"Buka dulu matanya, dong."

"Nggak mau!"

"Ayolah, Han. Itu ada laba-laba di tembok, aku takut."

Barulah Hani menurunkan kedua tangannya, mengerjap tak percaya. Ia teringat akan satu hewan yang ditakuti Dika. "Kamu masih takut laba-laba?"

Dika mengangguk lemah.

"Astaga, Dik. Itu laba-laba nggak bakal gigitin kamu. Dia lagi bikin rumah."

"Kalo tiba-tiba bikin rumah di atas kepalaku gimana? Geli, Han."

"Ya, ampun."

Tanpa melihat suaminya, Hani masuk lalu mengambil laba-laba besar dengan tangan kosong. Dika sampai takjub Hani tidak ada takutnya sama sekali.

"Malu, dong, sama badan, masa sama laba-laba masih takut."

Hani keluar. Di depan pintu ia sengaja menunjukkan hewan itu ke wajah suaminya. Dika bergidik ketakutan.

"Hani, awas, ya. Nanti kubalas!"

Raut wajah Hani berubah seketika. Belum sempat menyerang dengan pukulan, Dika sudah menutup pintunya.


Enaknya update setiap hari atau selang-seling? Udah terkumpul 25 part, nih 🤔

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro