Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pitulas - Aku Nggak Minder


Ponsel Dika terus berdering panjang. Membuat konsentrasinya pecah. Ia lantas memilih menepikan motornya demi keselamatan dan juga mengangkat telepon itu.

"Lah, nelepon lagi?" seru Dika setelah melihat nama pengguna dari salah satu calon penumpang. Sebelumnya dia sudah menghubungi Dika sebanyak lima kali. Itu yang diterima. Yang ditolak lebih banyak lagi karena Dika masih fokus menyetir motornya.

Mau tidak mau, Dika mengangkat telepon itu. "Iya, Mbak?"

"Kok, lama, sih, Mas! Saya telat, nih!"

"Kan, tadi saya udah bilang masih di jalan."

"Mas pake motor apa, sih? Kok, lelet banget!"

Dika mengembuskan napas. "Mbaknya telepon terus, kapan saya nyampenya coba?"

"Ya, udah kalo gitu cancel aja!"

Terputus! Ponsel berubah warna dan notifikasi pembatalan orderan datang beberapa saat kemudian. Lagi-lagi Dika menghela napas. Tidak sekali ini dia mendapatkan calon penumpang seperti ini. Padahal kelakuan merekalah yang memengaruhi performanya di aplikasi. Dulu ada akun salah satu driver yang di-suspend hingga tidak bisa ngojek lagi. Menjaga performa itu sama saja seperti menjaga hatinya untuk Hani. Sama-sama susah.

"Sabar, Dik. Orang sabar disayang istri," gumam Dika yang hendak memasukkan ponselnya kembali ke saku celana, tetapi urung karena berbunyi singkat. Wajahnya yang semula mendung kini berubah cerah.

"Nah, ini yang namanya 'mati satu tumbuh seribu'. Hani, tunggu aku bawa pulang uang banyak!"

Usai menekan tanda terima, Dika langsung tancap gas. Kali ini dia tidak mau kehilangan orderannya.

Tidak ada waktu satu jam, Dika tiba di titik penjemputan. Di sana ada seorang wanita seusia Hasanah yang terlihat sedang mencari sesuatu. Tanpa ragu, Dika mendekati wanita itu.

"Ibu Sri Mulyani, bukan?" tanya Dika sembari membaca nama tersebut di ponselnya.

"Bukan, Mas."

Dika tertegun. Tunggu, ini titiknya benar, kok. Nama pengguna yang tertera pun tidak salah. Namun, kenapa ibu ini tidak mengaku? Apa jangan-jangan ini orderan fiktif?

Orderan fiktif merupakan orderan yang tidak ada wujudnya alias palsu. Sofyan pernah tertipu Gofood dari orderan fiktif itu. Pesan pizza lima box dan diminta antar jauh sekali. Begitu tiba di lokasi, ternyata tidak ada satu pun yang memesan pizza tersebut. Alhasil, Sofyan rugi banyak. Untuk satu box pizza, harganya bisa mencapai puluhan ribu. Setelah ditelusuri, ternyata itu adalah ulah dari pengemudi lain yang tidak suka dengan Sofyan. Langsung kena banned.

Apa Dika pernah mendapat orderan fiktif? Oh, tentu, tapi untungnya bukan makanan. Lebih sering mendapatkan penumpang kosong. Seperti yang ia takuti sekarang ini.

Ponsel di tangan Dika berdering. Si nama pengguna Sri Mulyani yang menelepon. Dika segera mengangkatnya.

"Mas, saya lihat Mas udah sampai sana, tapi, kok, belum jalan. Ibu saya nggak ada, ya?"

Dika menatap wanita tua itu. "Oh, ini ibunya Mbak?"

"Iya, Mas. Saya sengaja minta Mas yang jemput terus antar ke lokasi yang udah saya kasih. Ini saya masih di jalan habis dari kampus. Tolong, ya, Mas. Ibu saya udah agak pikun masalahnya."

Oh, pantas ibu ini tidak ingat sama nama anaknya. Sekarang jelas, Dika tidak mendapat orderan fiktif. Rezeki untuk Hani masih ada.

"Ayo, Bu, naik. Saya antar ke rumah anak Ibu," kata Dika pada wanita itu.

"Beneran, Mas?"

"Iya. Tadi anak Ibu telepon saya, minta antar Ibu ke rumahnya."

"Kamu pacar anak saya, ya?"

Dika terbelalak. "Bukan, Bu. Saya cuma tukang ojek yang dipesan sama anak Ibu. Sini saya pakein helmnya."

Supaya tidak memakan waktu, Dika-lah yang memasangkan helm ke kepala wanita itu dengan hati-hati. Dia juga yang menuntun sampai dekat dengan motornya. Setelah memastikan ibu itu sudah aman, Dika baru melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Seperti saat sedang membawa Hasanah.

Satu setengah jam kemudian, Dika tiba di sebuah rumah kecil yang tak lain adalah titik lokasi yang ditunjuk Mbak Sri itu. Dika kembali memastikan wanita yang diboncengnya turun dengan hati-hati. Dika juga yang melepaskan helm di kepala wanita itu. Dari dalam, muncul sosok gadis mungil berambut panjang.

"Mbak Sri Mulyani, kan?" tanya Dika.

"Iya, Mas. Makasih, ya, udah mau antar Ibu saya sampai rumah. Ini saya juga baru sampai."

"Iya, sama-sama, Mbak."

"Mas nggak mau masuk dulu? Saya buatin minum."

Dika menggeleng. "Nggak usah, Mbak. Saya mau lanjut jalan lagi. Takut kemaleman."

"Oh, sebentar." Mbak Sri mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. "Ini ada sedikit rejeki buat Mas yang udah antar Ibu saya dengan selamat. Tolong diterima, ya."

Dika tadi melihat dua lembar uang pecahan lima puluh ribuan keluar dari saku itu. Padahal Mbak Sri sudah membayar melalui Gopay. "Jangan, Mbak. Mbak, kan, tadi udah bayar."

"Nggak apa-apa, Mas. Ini buat bayar bensinnya." Mbak Sri bahkan menarik telapak tangan Dika, menyelipkan uang tersebut di sana. "Saya senang kalau Mas mau terima uang ini. Saya bakal kasih bintang lima juga."

Mendengar kata bintang lima, wajah Dika berubah cerah. Justru rating itulah yang penting. Sama pentingnya dengan uang, sih. "Kalau gitu makasih, Mbak. Semoga rejeki Mbak lancar."


Dika pulang ketika jarum jam menunjukkan pukul 20.38. Sayup-sayup terdengar suara musik dari dalam kamar. Pasti Hani yang menyetel untuk mengusir sunyi. Mendengar kepulangannya, Hani langsung membuka pintu kamar.

"Kamu bawa kunci duplikatnya? Tadi pintunya udah aku kunci soalnya takut."

"Iya. Untung aku bawa."

Hani tampak lega.

"Kamu udah tidur?" tanya Dika setelah melihat mata Hani merah, rambutnya berantakan, dan wajahnya kusut.

Hani menggaruk tengkuknya. "Ketiduran. Habis aku bingung mau ngapain kalau sendirian. Kalau di kos, kan, ada orang."

"Maaf, ya, kalo aku lama."

"Nggak papa, Dik. Tadi penumpangnya jauh, ya?"

"Nggak, sih. Tadi habis nganter, aku dapet lagi. Oh, ya." Dika merogoh saku celananya, mengeluarkan dua lembar uang seratus ribuan dan tiga lembar uang pecahan lima puluh ribuan dari sana, kemudian menyodorkannya ke Hani tanpa berpikir panjang. "Ini penghasilan aku hari ini."

Hani mengerjap beberapa kali. Ini pertama kalinya ada seorang laki-laki yang memberikan uang. Saking terbiasanya mandiri dan punya penghasilan sendiri, Hani sampai lupa bagaimana rasanya diberi uang oleh orang lain. Otaknya masih mencerna. Dia tidak langsung menerima uang itu. "Kenapa dikasih ke aku?"

"Kan, kamu istri aku sekarang."

Ada jeda beberapa detik untuk Hani mencerna ucapan Dika barusan. "Tapi Dik, ini kebanyakan. Kamu nggak ambil sebagian?"

"Aku masih ada sisa kemarin, kok."

"Oh, oke." Hani akhirnya menerima uang itu. "Makasih, ya. Aku simpan uangnya."

"Itu boleh kamu pakai, bukan disimpan."

"Oke, ralat. Aku pakai uangnya buat belanja gas sama beras."

Dika tersenyum. Tangannya mengacak rambut gadis itu. "Kalo gitu aku mandi dulu."

Hani pun teringat sesuatu. "Oh, ya, aku udah masak oseng-oseng kacang panjang, tapi karena masaknya tadi sore, sekarang pasti udah dingin."

"Nggak apa-apa. Nanti aku makan."

"Aku temenin, ya."

"Eh, nggak usah. Kamu tidur aja lagi."

"Nggak. Sekarang ngantuknya udah hilang."

Karena sudah malam dan takut kedinginan, Dika langsung masuk ke kamar mandi, sedangkan Hani pergi ke dapur menyiapkan makan malam untuk Dika.

Lima belas menit kemudian, pintu kamar mandi dibuka sedikit, kepala Dika menyembul keluar. "Hani!"

Hani yang mendengar namanya dipanggil langsung menghampiri Dika. "Kenapa? Ada laba-laba lagi?"

"Nggak. Anu  ... tolong ambilin baju, dong. Aku lupa bawa," kata Dika sambil cengar-cengir.

"Kirain apa. Ya, udah tunggu situ."

"Aku keluar aja emangnya kenapa?"

"Berani kayak gitu, tidur di luar!"

Dika terbahak dan langsung menutup pintunya lagi. Menjaili Hani sepertinya akan menjadi kebiasaan baru.

Hani datang dengan membawa kaus dan celana pendek milik Dika. Pintu dibuka dan hanya tangan laki-laki itu yang menjulur. Hani kembali ke dapur lagi, membuatkan kopi untuk Dika.

Tak lama kemudian Dika keluar dan langsung belok ke dapur. Membiarkan rambutnya yang masih basah. Dia menjatuhkan pantatnya di tikar, tangannya meraih gelas berisi kopi, lalu menyeruput isinya sedikit demi sedikit.

"Kamu udah makan?" tanya Dika pada Hani.

"Udah."

"Jadi, aku makan sendirian, nih?"

Hani mengangguk sebab mulutnya tertutup gelas. Dia sedang meneguk air putih. Dika kemudian menyendok nasi dan potongan kacang panjang, memasukkannya ke mulut.

"Tadi aku ketemu Mas Pram sama Kirana di kantin kantor."

Gerakan Dika terhenti. Matanya mulai fokus menatap Hani yang sepertinya akan bercerita. "Terus?"

"Kirana tanya kenapa aku mendadak nikah, apa aku hamil duluan. Terus dia juga bilang kalau selera aku rendahan."

"Kelakuannya sama kayak suaminya," komentar Dika spontan.

Hani menyanggah, "Ih, Mas Pram nggak begitu orangnya!"

Dika tidak terkejut jika Hani masih membela Pram. Namun, hati tidak bisa berbohong. Perih rasanya menerima kenyataan bahwa sang istri masih membela laki-laki lain.

"Terus kamu gimana?" Mengabaikan perasaannya, Dika mencoba bertanya lagi. "Kamu minder, ya, sama pekerjaan aku?"

"Nggak. Aku nggak minder," jawab Hani. "Yang kamu kerjain itu masih halal dan nggak merugikan orang lain. Lagian, nggak selamanya kita ada di kerjaan yang sekarang. Suatu saat aku bakal resign atau kamu yang dapat jabatan yang tinggi. Itu artinya di dunia ini nggak ada yang abadi. Jadi, nggak ada gunanya aku minder."

Hani kembali meneguk air putih sebelum melanjutkan ucapannya. "Kalau sekarang posisiku begini, syukuri aja, kan? Artinya kita masih beruntung. Di luaran sana banyak pasangan yang masih susah secara finansial. Kalau aku liat kamu dari harta, mungkin sekarang kita nggak akan jadi temen."

Ucapan Hani berhasil menghapus perih yang sempat dirasakan Dika tadi. Betapa beruntungnya bisa menjadi bagian dari hidup perempuan ini. Dika bertekad akan terus membahagiakan Hani. Entah bagaimana caranya.


Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah. /malah nyanyi.

Makasih buat yang udah baca, vote, dan komen. Ngomong-ngomong, kalian ketemu Satru di mana nih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro