Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pitu - Ide Gila Hani


Hani benar-benar datang bersama Dika. Gadis itu mengenakan kebaya warna hitam, meski di undangan sudah tertulis tamu memakai dresscode warna silver. Hani sengaja sebab ingin menunjukkan pada Pram bahwa dirinya benar-benar sakit dengan pernikahan ini. Sementara Dika memakai baju batik sesuai dengan warna dresscode.

Memasuki ballroom, tanpa ragu Hani menggandeng tangan Dika. Banyak pasang mata yang memperhatikan. Jelas, karena Hani berbeda, jadi kelihatan mencolok. Hani tidak peduli. Misinya berhasil.

"Kasian Hani. Ditinggal nikah sama Pram, sekarang gandengan sama tukang ojek langganan dia."

"Iya, lepas dari manajer, dapetnya yang lebih rendah lagi."

Hani mendengar itu. Tidak masalah, toh, mereka memang membicarakan kenyataan. Hani kadang heran kenapa manusia suka sekali membandingkan pencapaian orang lain. Kalau gajinya banyak, berarti dia sukses. Padahal untuk apa membanggakan jabatan tinggi yang tidak abadi? Hani pun sadar tidak selamanya dia akan bekerja di kantor, tidak selamanya dia memiliki gaji yang besar. Kelak dia akan duduk diam di rumah. Begitu pula dengan Dika.

Kenapa orang lain yang repot menghitung penghasilan Dika?

Pandangan Hani beralih ke pintu ballroom. Di sana Pram mengenakan beskap didampingi orang tuanya dengan gagah berjalan menuju tempat akad nikah. Alunan gamelan mengiringi langkahnya. Dada Hani berdesir hebat. Apalagi ketika Kirana masuk tak lama setelah itu.

Perih. Rasanya Hani ingin mengacak riasan Kirana jika bisa.

Sebuah tangan menggenggamnya erat. Hangat. Dika seakan menyalurkan kekuatan. Saat melihat wajahnya dari samping, sorot mata laki-laki itu tajam.

Ketika MC mengumumkan akad nikah akan segera dilaksanakan, Hani mulai mempersiapkan diri. Ingin rasanya maju, menjambak Kirana agar acara ini gagal. Saat Hani hendak melakukan itu, lagi-lagi tangan Dika menahannya. Hani tak kuasa memberontak. Tubuhnya tiba-tiba lemas.

Dari kejauhan, Hani dapat melihat Pram dan Kirana tersenyum bahagia. Hani juga melihat ibunya Pram tersenyum, ini pertama kalinya Hani melihat senyum itu. Mereka berbahagia dan lupa jika di sini ada hati yang hancur berkeping-keping. Mereka tersenyum dan lupa jika ada perempuan yang terluka.

"Dik, ayo pulang."

Dika menoleh. "Lho, acaranya bahkan belum mulai."

"Aku nggak bisa, Dik. Nggak kuat. Takut kalau ngelakuin hal yang macam-macam."

Dika mengerti. Segera ia menarik Hani meninggalkan acara.

Hani meminta berhenti sebentar di jembatan. Mengeluarkan sesak yang sejak tadi ia tahan. Menjerit sekuat tenaga. Berharap rasa perih campur sesak ini akan hilang ketika Hani melepaskannya.

Pram tampak bahagia, seolah-olah sudah lupa dengan perlakuannya pada Hani. Delapan tahun ternyata bukan waktu yang berharga bagi pria itu. Hani tidak mengira semudah itu Pram mencampakkannya, semudah itu Pram berpaling ke perempuan lain, semudah itu melupakan perjuangannya.

Ini tidak adil bagi Hani. Melihat senyum mereka, seolah menancapkan jarum ke seluruh tubuh Hani. Jadi, untuk apa dia ada di dunia ini? Untuk apa dia hidup kalau hanya menerima sakit dan sesak?

Dika terus mengawasi Hani, takut jika Hani berbuat di luar batas, dan apa yang ditakutkan terjadi. Saat Hani hendak naik ke tembok pembatas, Dika segera menarik tubuhnya. Dalam sekali entakkan, Hani jatuh di jalan, sementara Dika mengatur napas. Matanya mengerjap tak percaya melihat adegan beberapa detik yang lalu.

"Hanifah Humairah, kamu mau ngapain?"

Hani mengentakkan tangannya agar terlepas dari genggaman Dika. "Aku mending mati daripada hidup tapi selalu disakiti!"

"Istigfar, Han! Nggak boleh ngomong kayak gitu. Bunuh diri nggak akan nyelesaiin masalah!"

Hani terisak seraya mengusap badannya sendiri. "Terus aku harus ngapain?"

Dika membuang napas. "Han, jangan hanya karena satu cowok, kamu ngorbanin orang-orang yang sayang tulus sama kamu. Kamu ninggalin ibu panti, kamu ninggalin aku, kamu ninggalin ibuk, kamu ninggalin pekerjaan kamu, kamu ninggalin temen-temen kamu. Ingat Han, di sini banyak yang sayang sama kamu, banyak yang pengin kamu hidup bahagia. Bukannya kamu yang bilang sendiri kalau kamu mau membuktikan ke orang tua yang udah buang kamu, kalau kamu bisa hidup normal meski tanpa mereka? Kamu masa nggak inget!"

Masih menangis, Hani mengusap wajahnya kasar. Satu ide tiba-tiba terlintas di benaknya. "Kalau begitu, ayo, kita nikah."

Dika terbelalak. Iya, tahu, lubang telinganya sudah lama tidak bertemu cotton but, ya, tapi masa salah dengarnya bisa seekstrim itu, atau bisa jadi Hani sedang keseleo lidahnya. "Maksud kamu apa?"

"Ayo, kita nikah," ulang Hani. "Kamu sayang, kan, sama aku?"

Dika menelan ludah. Betul, dia sayang, dia mencintai perempuan itu, dia pernah berharap bisa menikahi Hani, tetapi apakah caranya seperti ini?

"Kamu mending tenangin diri dulu. Jangan mikir yang aneh-aneh."

"Aku serius, Dik."

"Jangan gila, Han!" Jika kondisinya normal, mungkin Dika tidak ragu mengiakan ajakan itu, kapan lagi, kan, dapat rezeki nomplok? Namun, ini beda. Hani sedang galau hatinya. Dika hanya tidak mau Hani menyesali ucapannya kelak.

"Aku nggak gila! Kita udah berteman dari lama, nggak masalah, kan, kalo status kita naik satu tingkat? Aku capek kalau harus kenalan sama orang baru, pacaran bertahun-tahun, tapi endingnya kayak gini."

Dika menggeleng kuat. Yang benar saja! Ini benar-benar gila. Dika ingin menolak, tapi hati tak bisa berbohong. Dia menginginkan ini, tapi kenapa caranya begini?

"Pernikahan itu nggak main-main, Han. Kamu tau nggak tanggung jawabku sangat besar setelah nikahin kamu."

"Aku tahu, tapi aku yakin kamu bisa. Aku nggak tau harus sama siapa lagi, kenalan sama orang baru rasanya akan membangkitkan luka lama."

Dika menghela napas. Pikirannya berkecamuk. Hani sangat rapuh, dia butuh pegangan, dan Dika satu-satunya orang yang bisa digapai. Dika ingin melindungi gadis itu, mungkinkah caranya seperti ini?

"Kasih aku waktu buat mikir dan selama itu kamu boleh menarik lagi kata-kata kamu."

Dika kira setelah keramas pikirannya jadi jernih karena tersapu air. Ternyata salah besar. Setiap kali mengingat kejadian di jembatan, Dika terus merasa serba salah.

Jarum jam menunjukkan pukul satu malam, Dika masih terjaga. Jelas, siapa yang tidak kepikiran? Tiba-tiba perempuan yang dicintai sepenuh hati mengajaknya menikah. Sekali lagi, menikah. Kalau diajak pacaran, mungkin sekarang Dika masih berpikir waras atau langsung berkata iya saat di jembatan itu. Namun, telinganya tadi masih berfungsi dengan baik. Dika mendengar kata 'menikah' bukan 'pacaran'.

Demi menjernihkan otaknya, Dika membuka ponsel yang sejak tadi tidak tersentuh. Chat dari grup SKJ menarik atensinya.

Anwar: Kalian semua ikut ke Solo, kan?

Joko: Iya, dong.

Sofyan: Aku udah dapet orderan banyak buat sangu sama amplop.

Anwar: @Sofyan Pasti amplop buatku tebel.

Sofyan: Betul sekali. Seratus buat Anwar.

Joko: Iya, tebel, tapi isinya amplop semua.

Anwar: Asww.

Joko: Dimohon ketikannya dijaga. Kamu bentar lagi jadi orang Solo. Mertuamu shock nanti kalo liat ketikanmu.

Anwar: Maap, khilap.

Sofyan: @Dika ikut gak?

Anwar: Lho, iya. Tuh, anak belum muncul bulu keteknya.

Anwar: Dik, ikut, kan?

Anwar: Mau ngajak ibumu gak masalah. Bangkunya masih kosong.

Joko: Ngajak Hani juga bisa, War?

Anwar: Kalo orangnya mau, bisa, dong.

Sofyan: Kalo Hani ngajak pacarnya juga, gimana?

Anwar: Ya, berarti Hani nggak mungkin naik bus. Paling naik mobil pribadi pacarnya.

Joko: Terus Dika cuma bisa menatap dari kejauhan.

Anwar: Nyesek.

Anwar: Maaf aku nggak bisa bantu usap air matanya.

Dika: Aku ikut.

Hanya itu. Dika tidak menanggapi candaan teman-temannya tentang Hani. Besok rencananya Dika akan memberitahu mereka.

Mata laki-laki itu kemudian terpaku pada wallpaper ruang pesan WhatsApp-nya. Dika sengaja memasang foto dirinya dan Hani saat kelulusan SMA. Di sana Hani tersenyum cantik meski wajah, rambut, dan seragamnya penuh dengan warna cat pilox.

Foto tersebut mengingatkan Dika saat pertama kali bertemu dengan Hani belasan tahun yang lalu.


Hani udah mulai oleng, nih 😌

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro