Patbelas - Adaptasi dengan Status Baru
Suara dari toa masjid membangunkan Dika. Pria yang mengenakan kaus serta celana pendek meregangkan tubuhnya. Tangannya meraba tempat di samping. Kosong. Dika melompat saat itu juga. Sebentar, semalam Hani tidak pindah tempat, kan?
Dengan kepala sempoyongan setelah melakukan gerakan cepat itu, Dika melangkah keluar. Sayup-sayup mendengar kucuran air dari dalam kamar mandi. Dika mendekati sumber suara itu dan matanya melebar sempurna saat melihat Hani sedang berjongkok, menyikati pakaian milik Dika. Kemarin Dika memang sengaja meninggalkan pakaian itu. Rencananya mau dicuci pagi ini.
"Hani, jangan!" Dika sontak ikut berlutut. Menarik tangan Hani yang hendak membilas pakaian itu.
Hani yang masih di posisi itu memutar tubuhnya sedikit agar bisa melihat wajah Dika. "Kok, jangan?"
"Itu baju aku, Han."
"Ya, terus, kenapa kalau baju kamu? Aku, kan, istri kamu sekarang."
Dika tergagap. Otaknya mencerna kalimat Hani yang terakhir. Dika tidak pernah tahu bagaimana dulu ibunya saat ayahnya masih hidup, apa Hasanah juga melakukan hal yang sama seperti Hani lakukan? Lagi pula, sejak bisa mencuci baju sendiri, Hasanah tidak pernah membantunya lagi. Malah kadang Dika yang mencuci pakaian ibunya.
"Iya, kamu emang istri aku, tapi kamu nggak usah cuci baju ini. Aku bisa sendiri."
"Sekarang cuci baju kamu juga tugas aku. Udah sana keluar dulu, jangan ganggu!"
"Tapi, Han---"
"Ssst!"
Refleks Dika mengunci bibirnya. Baiklah, sepertinya memang harus beradaptasi dengan status baru mulai dari sekarang. Harus mulai terbiasa melihat Hani dari bangun sampai bangun lagi. Tentu saja Dika masih tidak percaya sekarang Hani telah menjadi istrinya. Sebuah impian yang dipendam sejak lama dan kini menjadi nyata.
"Kalau aku beliin mesin cuci gimana?" Sungguh, Dika tidak tega melihat Hani mencuci pakai tangan. Apalagi di pagi buta seperti sekarang.
Hani menoleh sebentar. Kemudian tangannya memutar keran air, di bawahnya terdapat ember berisi pakaian yang sudah disikati. "Nggak mau, aku nggak butuh. Enakan begini. Lagian, uang buat mesin cuci bisa dipakai untuk keperluan lain. Listriknya juga nggak mungkin kuat."
"Ya, udah, cuci baju juga masuk ke syarat pertama, kan, termasuk menjaga kebersihan. Aku juga boleh, dong, cuciin baju kamu."
"Oke. Besok giliran kamu cuciin baju aku."
Dika langsung semringah. Fix. Dika tidak perlu khawatir lagi tangan Hani rusak hanya gara-gara mencuci baju.
"Aku boleh cuci muka sama ambil wudu sebentar nggak? Mau ke masjid."
"Oh, ya, udah."
Hani berdiri. Memberi ruang untuk Dika mencuci muka dan wudu. Beberapa menit kemudian, Dika selesai.
"Jangan kelamaan main airnya," kata Dika sambil menjawil pipi Hani sebelum beranjak.
Hani mengerjap. Sepertinya ada yang ganjil. "Dik, kamu, kan, habis wudu. Kok, megang pipi aku?"
Pertanyaan polos itu keluar begitu saja dari bibir mungil Hani. Membuat Dika tersentak. "Eh, iya, astagfirullah!"
Satu pukulan melayang ke lengan laki-laki itu. "Dika, di kamar mandi nggak boleh nyebut!"
"Eh, iya, ya, ampun. Wudu lagi, deh!"
Laki-laki itu kemudian membelakangi Hani. Mengulang wudunya lagi. Duh, inilah akibat terlalu gemas. Sampai lupa tidak boleh bersentuhan dengan lawan jenis setelah berwudu.
Keran dimatikan. Saat Dika berbalik, Hani segera menyingkir agar laki-laki itu tidak mengulang kesalahan lagi. "Sana, langsung pergi! Kalau kamu di sini entar ngulang wudu terus. Aku kapan selesainya? Udah azan, tuh!"
Dika tergelak. Benar juga. Kalau seperti ini, terus kapan pergi ke masjidnya?
Pulang dari masjid, Dika melihat Hani sedang masak. Dia jadi teringat dulu Hani pernah memintanya mencicipi ayam kecap yang ternyata untuk ibunya Pram. Tidak terhitung makanan yang pernah Dika coba sebelum diberikan kepada wanita itu. Namun, tidak cukup menggugah hatinya, malah makin menyakiti dengan menerima perempuan lain jadi istri Pram. Dika menjadi saksi betapa Hani berjuang keras merebut restu itu.
Karena makanannya belum matang, Dika menggunakan kesempatan itu untuk mandi, kemudian memanaskan motornya. Setelah dua kegiatan itu selesai, Dika memilih makan lebih dulu sembari menunggu Hani yang sedang mandi. Rencananya hari ini perempuan itu mau langsung masuk kerja.
Nasi goreng menjadi menu sarapan pagi ini. Dika menyantap makanan itu pelan-pelan. Entah sejak kapan kebiasaan itu datang. Joko sering marah-marah karena Dika selalu berdurasi lama saat makan. Padahal Dika hanya menikmati rasa setiap kali makanan itu masuk. Mengunyah bolak-balik agar mudah dicerna oleh perut kecilnya.
Piring Dika sudah kosong dan Hani belum keluar dari kamar. Dika berinisiatif menyusul sang istri. Agenda pertama laki-laki itu adalah mengantarkan Hani ke tempat kerja. Bedanya dulu dengan sekarang adalah Dika tak perlu menunggu di depan gerbang indekos lagi. Kini dia bisa melihat Hani merias wajahnya di kamar. Padahal istrinya itu lebih cantik tanpa mekap, apalagi saat bangun tidur seperti tadi. Namun, tidak mungkin Dika meminta Hani ke kantor tanpa berdandan, bisa-bisa perempuan itu kehilangan pekerjaan hanya gara-gara tidak menjaga penampilan.
"Ngeliatin akunya jangan lupa kedip, dong. Nanti naksir, loh." Hani tiba-tiba bersuara saat memasang softlens ke mata sebelah kiri.
Udah naksir dari dulu, Buuu. Sayang sekali, Dika hanya bisa menyampaikan itu dalam hati.
"Motornya udah dipanasin belum?" tanya Hani. Kini dia sedang menyemprotkan sesuatu ke seluruh wajahnya. Dika lupa namanya, tapi tahu fungsinya, kata Hani biar mekapnya tidak cepat luntur.
"Udah dari tadi, Han."
"Sarapannya udah dimakan?"
"Udah. Kamu nggak makan?"
"Aku bisa makan di kantor sama Ayu."
"Lah, kalo gitu kenapa masak? Aku juga bisa makan di warung sama Anwar."
Hani memutar tubuhnya, meraih sebuah tas laptop dari atas kasur. Kemudian berdiri dan menatap bayangan dirinya di depan cermin. "Biar kamu bisa sarapan. Jadi, kamu nggak perlu jajan di warung lagi dan mulai detik ini kamu cukup makan masakan aku. Selagi mampu, aku bakal masak buat kamu."
Dika terperangah memandang pantulan tubuh istrinya di cermin. Duh, Hani, kalau begini terus, yang ada Dika makin baper. Eh, tapi, bukannya itu sudah sewajarnya baper? Hani istrinya sekarang.
"Ayo, berangkat." Hani menepuk bahu Dika seraya berlalu. Membuat si empunya terperanjat.
Beruntung jalanan masih sepi sehingga setengah jam kemudian mereka berdua sudah tiba di kantor. Hani lantas turun dari motor.
"Habis ini boleh minta tolong ambilin baju aku di laundry? Biasanya, sih, dianterin, tapi sekarang aku udah pindah tempat. Yang suka antar belum tahu," kata Hani.
"Nanti aku ambil."
Hani tersenyum. Kemudian mengeluarkan dompet dari dalam tas. Niatnya ingin mengambil uang untuk bayar laundry itu, tetapi Dika sudah mencegahnya.
"Aku aja yang bayar," ucap Dika.
"Tapi ... itu baju aku, Dika."
"Ya, kenapa emangnya? Masa, aku bayarin baju cewek lain. Udah, simpen uangnya buat jajan seblak."
Hani geleng-geleng meskipun pipi memerah. Memasukkan dompetnya ke tempat semula. "Makasih, Dika. Nanti jemput di jam biasanya, ya."
"Oke."
Dika melepas helm yang dikenakan Hani. Kemudian meletakkan benda itu di antara kakinya. Setelah itu, Hani tiba-tiba mengulurkan tangannya. Membuat Dika mengerjap kebingungan.
"Kenapa? Kamu minta uang?" tanya Dika.
"Bukan."
"Terus, apa?"
Hani yang juga kebingungan menggigit bibir bawahnya. Ingin melakukan sesuatu, tetapi tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Akhirnya tanpa berpikir panjang dia meraih tangan kanan Dika lalu diletakkan di keningnya sebentar. Ada jeda beberapa detik sampai Dika sadar apa yang sedang Hani lakukan.
"Aku masuk dulu, ya. Semangat ngojeknya!"
Tanpa menunggu respons Dika, Hani segera memasuki lobi. Di jok motornya, Dika masih bengong.
Hayoloh, habis ini ngapain?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro