Papat - Haruskah Berakhir?
Masuk ke warung Bu Sani dapat memperbaiki suasana hati Hani. Dika yang selalu ada untuknya memang paling tahu apa yang Hani butuhkan. Hani heran kenapa laki-laki manis seperti Dika sampai detik ini belum memiliki pasangan?
Sejauh pengamatan Hani, Dika bukan pria neko-neko, sayang kepada ibunya, tidak boros—paling cuma untuk beli rokok, sisanya selalu diserahkan ke ibunya, pekerja keras juga, Hani jarang melihat Dika bermalas-malasan. Soal ibadah pun jangan ditanya. Salatnya tidak pernah bolong, tidak absen salat Jumat, ngajinya juga bacaannya bagus.
Hani tahu Dika bukan tipe pria pemilih. Dia bisa bergaul dengan siapa saja dan mau berteman dengan kalangan mana pun, orangnya tidak minder sama sekali. Hani tahu Dika pernah dekat dengan beberapa perempuan, tetapi tak satu pun yang langgeng. Entah kenapa alasannya, Hani tidak pernah bertanya, lebih tepatnya tidak mau mencari tahu. Padahal kalau dengan dirinya, Dika tidak pernah berlaku kasar.
Ketika Hani menyeruput es teh setelah nasi pecelnya habis, Dika sedang menghabiskan ayam laos dengan lahap. Ayam adalah makanan favorit laki-laki itu, mau diolah menjadi apa pun. Kalau mau membujuk Dika sangat mudah, cukup dikasih ayam dia akan luluh. Dika termasuk lamban saat makan. Katanya kalau buru-buru makanannya jadi kurang nikmat. Untung Hani sabar menunggu.
Hani melempar pandangannya ke arah lain. Melihat suasana warung yang tampak lengang. Kondisi ini mengingatkan Hani pada awal Dika mengajaknya ke sini saat masih SMA. Dulu kalau uang sakunya habis, Dika membayar makanannya dengan memberikan jasa sebab pantang baginya untuk mengutang. Bukannya Hani tidak mau membantu bayar, Dika sudah melarangnya duluan.
"Berapa semuanya, Bu?" Suara Dika yang bertanya pada Bu Sani mengembalikan Hani ke masa kini. Ternyata piring dan gelas Dika sudah kosong.
"Empat puluh lima."
Dika merogoh saku jaketnya dan menemukan uang pecahan lima puluh ribu. Lalu diserahkan kepada Bu Sani. "Sisanya ambil aja buat beli tusuk gigi."
"Pasti habis dapet penumpang tajir, nih," seloroh Bu Sani.
Dika meringis seraya mengusap kepala bagian belakangnya. "Alhamdulillah, Bu."
"Ibu doain semoga ojekmu lancar, banyak yang suka. Biar bisa ngumpulin modal nikah."
"Amin yang paling kenceng, Bu!"
Hani tersenyum melihat interaksi itu. Dia memang lebih suka mendengarkan daripada banyak bicara. Terlepas dari itu, Hani juga masih memikirkan Pram yang belum membalas pesannya. Sesibuk itukah dengan Kirana? Jadi, mereka ada hubungan apa?
"Han."
Hani menoleh. "Iya, Dik?"
"Nggak usah dipikirin. Pram tahu apa yang dilakukan. Dia pasti bakal nemuin kamu."
Hani tersenyum lagi. Tanpa bicara, Dika sudah tahu isi pikirannya. Itulah yang menyebabkan Hani betah bersahabat dengan Dika.
Hanya sahabat. Ya, Hani rasa dirinya dan Dika tak perlu memiliki status selain sebagai teman. Hani merasa takut jika perasaan turut ikut campur, ia justru akan kehilangan Dika.
Setelah perut mereka terisi penuh, Dika mengantarkan Hani ke indekosnya. Saat Hani mengangsurkan uang, Dika selalu menolak.
"Kayak sama siapa aja. Udah disimpen aja." seperti biasa kalimat itu yang keluar, dan Hani selalu merasa tidak enak. Padahal Hani tahu pendapatan Dika tidak menentu.
Begitu motor Dika sudah menghilang, Hani memasuki kamarnya. Alih-alih membersihkan tubuh, Hani justru duduk di tepi ranjang sembari mengetik sesuatu di kolom chat Pram.
[Mas, aku tahu kamu akan baca pesan ini. Besok Sabtu kita ketemu di Tower Café, ya. Aku butuh bicara.]
Terkirim, tapi belum dibaca. Hani menghela napas lelah. Pram sudah berubah.
Hani mengetuk jemarinya di meja. Pesan yang dikirim kemarin akhirnya dibaca dan kini Hani sudah meluncur ke lokasi. Namun, sudah tiga puluh menit ia menunggu, belum ada tanda-tanda Pram akan datang.
Selama delapan tahun, baru kali ini Pram terlambat saat diajak ketemuan. Yang Hani tahu, Pram sangat menghargai waktu. Dia akan melakukan apa saja agar bisa datang tepat waktu, salah satunya datang lebih dulu dari waktu yang disepakati. Pram tidak mau orang menunggunya. Makanya kinerjanya itu membuahkan hasil, Pram akan naik jabatan.
Perubahan ini terlalu drastis bagi Hani. Kalau macet tidak mungkin, tadi saat meluncur ke sini jalan masih tampak lengang, apalagi ini masih jam sepuluh pagi dan bukan jam sibuk. Jalur yang dilewati bukan jalur menuju wisata.
Bisa jadi ban mobilnya pecah di jalan, atau bensinnya habis, Hani masih berpikiran seperti itu. Sampai akhirnya Pram datang setelah satu jam Hani menunggu.
"Maaf, aku ada urusan mendadak dan baru selesai."
"Nggak papa, Mas." Pada akhirnya hanya itu yang bisa Hani katakan. Matanya mengawasi Pram yang duduk di hadapannya. Betapa Hani merindukan tatapan teduh dari pria itu. Namun, Hani justru menemukan sorot mata yang asing. Seperti kosong dan gelap. Bahkan Pram tidak melakukan kebiasaan saat ketemuan, seperti mengecup pucuk kepalanya.
Selama seminggu ini ada kejadian apa yang membuat Pram berubah?
Hening masih merajai. Hani tidak tahu harus memulai dari mana, bukan kebiasaannya memulai obrolan lebih dulu. Pram juga seperti tidak minat mengeluarkan suara. Padahal dulu kalau ketemuan, ada saja hal yang diceritakan lalu tertawa bersama.
Kini Hani merasa ... asing.
"Kamu mau bicara apa, Han?"
Hani seperti tersengat listrik, tubuhnya menegang hebat. Bukan terkejut dengan pertanyaan itu, melainkan panggilan di belakangnya. Pram tidak memanggilnya 'dik' seperti biasa. Bola mata gadis itu membesar, nyaris keluar. Menandakan dia benar-benar terheran dengan perubahan sang kekasih.
Tunggu, kenapa jadi Pram yang bertanya? Bukannya tanpa ditanya pun, Pram wajib menjelaskan kenapa seminggu ini menghilang?
"Aku nggak punya waktu banyak. Jadi, kalau ada yang mau dibicarakan, bicarakan sekarang." Kalimat itu seolah menggambarkan betapa Pram tidak mau berlama-lama satu meja dengan Hani.
Hani mendengar sesuatu yang patah di dalam sana dan rasanya menyakitkan.
"Mas, seminggu ini Mas ke mana?" Hani mulai bertanya, memancing Pram membongkar kelakuannya selama seminggu ini.
"Aku nggak ke mana-mana. Aku masih di kantor seperti biasa."
Hani memicing. Jawaban yang tidak menyelesaikan masalah. "Kenapa aku nggak bisa ketemu? Aku chat, aku telepon pun nggak ada balasannya."
"Kamu, kan, tahu aku mau naik jabatan. Aku jarang pegang HP sekarang."
"Oke, soal Mas mau naik jabatan itu aku tahu. Tapi tentang Mas yang jalan berdua sama Kirana, aku nggak bodoh, Mas. Kalian jalan bukan karena ada pekerjaan, kan? Aku mau Mas jujur sebenernya ada apa. Biar jelas."
Hening menyambut kembali. Memberi kesempatan Hani untuk mengambil udara sebanyak-banyaknya. Mempersiapkan hati agar kuat mendengar segala jawaban yang keluar dari mulut Pram.
"Hani, maaf sepertinya kita cukup sampai di sini."
Bukan jawaban yang keluar, melainkan pernyataan yang tak pernah Hani bayangkan sebelumnya. Kini Hani seperti habis tersambar petir. Napasnya tercekat. Telapak kakinya perlahan mendingin, merambat ke anggota tubuh lainnya.
"Kenapa?" Kali ini Hani memberanikan diri menatap Pram. Yang ditatap justru memalingkan wajah, enggan memandang Hani. Suara gadis itu bergetar. Rasanya ingin meledak saat itu juga.
"Ibu nggak suka sama kamu dan udah nyuruh aku untuk nikah karena umurku udah tiga puluh lebih. Kalo kita nunggu ibu suka sama kamu, aku rasa akan lama. Ibu kalo udah punya pendirian nggak bisa dipatahin. Terus kebetulan aku ketemu Kirana sebulan yang lalu. Ngobrol banyak dan aku ngerasa cocok sama dia. Terus aku bawa ke rumah, kenalan sama ibu, dan ibu suka sama Kirana. Kami udah merencanakan pernikahan secepatnya."
Udara yang didapat tadi tiba-tiba menipis. Bahkan Hani merasakan tidak ada pasokan oksigen di sekitarnya. Ucapan Pram barusan bagai ribuan anak panah yang menghujam tubuhnya serentak. Wajah serta matanya mulai memanas, hingga terciptalah anak sungai yang menggenang.
"Delapan tahun kita sama-sama, Mas. Cuma ini yang aku dapat? Kamu berubah secepat itu? Satu bulan kamu bilang? Secepat itu?" Hani tak dapat mendengar suaranya sendiri. Tertutup dengan isak tangisnya.
"Maaf, Hani."
Dua kata itu tak mampu menenangkan Hani. Gadis itu kian sesenggukan. Bagaimana bisa dia tidak tahu kekasihnya sedang mempersiapkan pernikahan dengan perempuan lain? Bagaimana bisa dia tidak tahu bahwa Pram sudah berubah? Bagaimana bisa dia tidak tahu jika cinta yang dipupuk selama delapan tahun telah musnah tanpa sisa?
Pram memang sudah berubah dan Hani terlambat menyadarinya.
A/N
Aduh, Pram. Masa cuma gitu doang udah nyerah 🙄
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro