Loro - Tak Mau Kandas
Jalan hidup Hani selalu mulus. Sekolah tinggi, mendapat posisi jabatan yang bagus, teman yang mendukung, dan pacar yang baik. Namun, jalan menuju pernikahan tak selancar yang dipikirkan.
Bertahun-tahun Hani masih berjuang mendapatkan restu dari ibunya Pram, kekasihnya. Ibunya Pram tidak suka dengannya hanya gara-gara berasal dari panti asuhan. Benar, Hani adalah salah satu dari sekian banyak bayi yang ditelantarkan. Berdasarkan cerita Ibu Panti, dulu Hani ditemukan di depan gerbang panti, hanya dialasi kardus dan sehelai selimut.
Hidup di panti nyatanya membuat jalannya terang. Hani bisa merasakan kasih sayang orang tua, bisa sekolah sampai kuliah, bisa bekerja di salah satu perusahaan periklanan di Semarang, sebagai Creative Design. Hani tidak berniat mencari tahu siapa orang tua kandungnya. Selain tidak punya petunjuk, Hani juga merasa untuk apa mencari mereka. Toh, merekalah dengan sengaja membuangnya.
Akan tetapi, semua itu tidak serta merta membuka pintu hati Ibunya Pram. Beliau termasuk orang tua yang kolot. Bibit, bebet, bobot harus seimbang, tidak boleh ada salah satu yang kurang. Segala cara sudah Hani lakukan. Seperti membawakan makanan kesukaan, membantu pekerjaan beliau, berusaha bersikap santun, tetap saja Ibunya Pram memasang wajah datar.
Tahun ini sudah menginjak angka delapan. Pram masih memegang teguh janjinya. Dia akan berusaha mengambil kepercayaan sang ibu. Hani masih setia, mau sampai seribu tahun harus menunggu tak masalah. Asalkan Hani bisa bersama dengan Pram, bukan dengan laki-laki lain.
[Mas, udah berangkat kerja?]
Pesan yang Hani kirim sejak pagi sama sekali belum dibuka oleh Pram. Sudah mau seminggu Pram seakan memberi jarak. Mulai jarang menelepon, balas pesan pun kadang-kadang. Padahal dulu meski sedang sibuk, Pram berusaha membalas pesan dari Hani. Setiap malam tak pernah absen menelepon.
Hani berusaha berpikir positif. Bisa saja Pram benar-benar sibuk hingga tak sempat memegang ponsel.
"Jangan-jangan Pram selingkuh."
Hani memukul lengan perempuan yang sedang mengunyah kentang goreng. Perempuan bernama Ayu mengadu kesakitan.
"Nggak mungkin. Mas Pram itu setia," kilah Hani.
"Han, segala sesuatu yang nggak mungkin menjadi mungkin karena ada peluang dan kesempatan. Tak kasih tau, kamu nggak direstui sama ibunya, terus di luar ternyata ada perempuan yang disukai, ya jelas bakal jadi kesempatan. Bukannya kamu yang bilang kalau Pram itu udah dikejar umur? Jelas, kan?"
Wajah Hani berubah mendung. Kata-kata Ayu berhasil merasukinya. Pikirannya mulai berkecamuk. "Tapi aku nggak mau putus sama dia, Yu. Kamu tahu, kan, aku rela pacaran sama dia bertahun-tahun kayak gini ya karena nggak mau kandas."
"Iya, Han, aku ngerti. Siapa yang mau hubungannya hancur? Aku jadi kamu pun nggak akan mau. Tapi, Han, kalo aku jadi kamu, aku akan pergi kalo hubungan ini tidak memberikan hasil yang diinginkan. Eman-eman pikiran. Mending aku cari yang nerima aku apa adanya daripada bertahan sama satu orang tapi nggak ada hasilnya."
Hani mengembuskan napas. "Kalau semudah itu sudah aku lakukan dari dulu, tapi buktinya? Berat."
"Kamu bilang berat karena masih belum ikhlas, Han. Cobalah terima, daripada kamu makin sakit. Aku nggak mau kamu kayak gini terus, Han."
Hani sadar delapan tahun bukan waktu yang singkat. Sudah banyak kenangan manis yang diukir bersama Pram. Hani sudah telanjur jatuh sedalam-dalamnya. Untuk bangkit lalu membuka hati untuk pria lain sepertinya tidak akan bisa. Padahal sekarang ini tidak sedikit pria yang menaruh rasa pada Hani, tapi Hani sendiri memilih menutup diri.
Kentang goreng Ayu sudah habis. Ayu menyeruput es kelapanya sedikit demi sedikit. Hani sendiri hanya memesan minuman, entah kenapa dia tidak berselera makan. Kepalanya penuh memikirkan kabar Pram sekarang.
"Kalau kamu mau menyelidiki Pram, aku bantu."
Hani mengernyit. "Menyelidiki untuk apa?"
"Masa kamu nggak curiga, sih? Ini udah seminggu, lho, Pram nggak ajak kamu pulang bareng padahal kita satu kantor."
Ayu benar, ada perasaan janggal menyelimuti, tapi Hani langsung menepisnya. "Paling emang bener-bener sibuk, Yu."
Ayu menepuk jidatnya sendiri. "Duh, Hani. Kerjaan apa yang bikin dia sibuk sampai nggak bisa menghubungi kamu? Aku tanya, kerjaan apa?"
Hani tergagap. Dia sendiri juga bingung pekerjaan apa yang membuat Pram sampai melupakannya. Terakhir Pram berkata akan naik jabatan, Hani juga sudah mendengar selentingan itu. "Bisa jadi karena mau naik jabatan, Yu. Makanya nggak sempat."
Ayu menghela napas berat. Ada yang bilang bahwa menasihati orang yang sedang jatuh cinta susahnya minta ampun. Ternyata benar. Ayu sampai sakit kepala menghadapi Hani.
"Terserah kamu, Han. Kamu nggak mau menyelidiki pun aku nggak maksa."
Pukul empat sore, Dika benar-benar datang menjemputnya. Ini yang membuat Hani senang berteman dengannya. Dika selalu tepat waktu jika ada janji. Menurut Hani, orang seperti Dika akan mudah mendapatkan kepercayaan.
"Dik, berhenti sebentar di jembatan, ya."
"Mau ngapain?"
"Cari angin."
Alasan yang tidak masuk akal sebenarnya. Naik motor saja angin sudah datang sendiri sampai Hani kedinginan karena lupa membawa jaket. Hani hanya ingin mencari ketenangan agar pikirannya tetap jernih. Sampai detik ini Pram belum juga menghubunginya.
Namun, Dika tetap menurutinya. Terbukti ketika tiba di jembatan, Dika menepikan motornya. Hani turun lalu melepas helm sendiri, meletakkan benda itu di atas motor. Matanya menerawang langit yang tertutup awan tebal. Tangannya mengusap tubuh agar hangat. Hingga akhirnya Hani merasakan sesuatu menimpa bahunya.
"Eh, nggak usah, Dik." Hani hendak melepas jaket hijau itu, tapi Dika langsung menahannya.
"Nggak papa. Daripada kamu kedinginan terus masuk angin."
Hani tersenyum tipis. Perhatian kecil seperti ini jarang dia dapatkan dari kekasihnya. Pram selalu memujanya dengan kata-kata cinta yang membuat Hani luluh setiap hari.
"Kenapa?" Dika memulai percakapan. Sekarang pria itu hanya mengenakan kaus polos warna hitam.
"Udah seminggu Mas Pram nggak hubungi aku."
"Kamu sudah cari tahu?"
Hani menggeleng sebagai jawaban.
"Kenapa? Kalian, kan, satu kantor. Harusnya bisa, dong, ketemu."
"Aku takut ganggu dia kalau misalnya beneran sibuk, Dik. Aku juga ada kerjaan."
"Coba kamu telepon sekarang. Ini, kan, udah bukan jam sibuk."
Hani langsung merogoh kantung tasnya, mengambil benda keramat yang sejak tadi ditunggu deringnya. Hani mulai mencoba menelepon Pram lebih dulu. Sekali, dua kali, tiga kali percobaan tidak membuahkan hasil. Keringat dingin mulai mengucur deras.
"Nggak diangkat, Dik. Apa dia lagi di perjalanan?"
"Bisa jadi. Nanti kalau udah sampai kamu coba telepon lagi aja."
"Menurut kamu kenapa cowok tiba-tiba ngilang?"
Dika memegang beton pembatas, matanya menatap air sungai yang mengalir tenang. "Banyak. Ada yang emang cuek, ada yang mikir kalo ngabarin pacar itu bukan prioritas, ada yang sibuk kerja sampai nggak sempat megang HP, terakhir dia udah bosan sama ceweknya terus lagi PDKT sama yang baru."
Hani merapatkan jaket ketika angin berembus. Pram termasuk yang mana? Hani sendiri bingung menerkanya. Perubahan Pram begitu tiba-tiba. "Tadi Ayu ngajakin selidiki Mas Pram. Aku bingung, Dik. Untuk apa? Kalau ternyata Mas Pram benar-benar sibuk sama kerjaannya, mau ditaruh mana mukaku ini?"
"Kalau kenyataannya sebaliknya gimana?" Dika melempar pertanyaan. "Bukannya aku mau nakutin kamu. Aku cuma mau ngajak kamu berpikir logis aja. Percaya sama orang itu wajib, tapi dibarengi juga dengan waspada. Wajar kok kalo kamu mau cari tau. Kalau emang dia beneran sibuk sama kerjaan, kamu bakal lega, kan?"
Hani menghela napas.
"Udah mau magrib, nih. Pulang sekarang, yuk!" ajak Dika kemudian. "Udah nggak usah dipikirin banget. Pram nggak kenapa-napa, dia udah gede."
Hani mengangguk. Sedikit lega mendengar ucapan Dika.
Hani menuruti ajakan Ayu untuk menyelidiki Pram. Kemarin Pram sama sekali tidak membalas telepon apalagi pesannya. Hani jadi penasaran apa yang membuat Pram tidak sempat melihat namanya di ponsel.
Kini Hani dan Ayu naik lift menuju lantai lima, tempat ruangan manager berada. Di dalam Hani mulai gelisah, berkali-kali memainkan jemarinya. Sementara Ayu terlihat biasa saja.
Begitu lift terbuka, Hani dan Ayu keluar, langsung belok menuju ruangan manager. Ketika pintu dibuka oleh Ayu, ruangan tampak kosong. Tak berhenti sampai di situ, Ayu menerobos masuk lalu mengecek toilet, tapi Pram tidak ditemukan.
"Ke mana dia?" sungut Ayu.
Sementara Hani diam saja di ambang pintu. Kakinya sudah lemas. Jika Pram tidak ada di sini, lantas pergi ke mana?
Ayu keluar. Pada saat bersamaan ada seorang office boy yang melintas. Ayu menghadang jalannya.
"Mas, liat Pak Pram nggak?"
"Tadi saya lihat sudah keluar sama Bu Kirana."
Ayu terbelalak. "Kirana? Sekretaris baru itu?"
"Iya, Bu."
Hani yang mendengar mendadak cemas. Ada urusan apa Pram dengan sekretaris baru itu? Urusan pekerjaan atau ....
Hani menggeleng kuat. Sebisa mungkin dia tidak berpikiran macam-macam.
"Ayo Han, kita naik lift lagi. Semoga Pram masih ada di lobi!" Ayu menyeret Hani memasuki lift lagi. Kali ini langsung menekan tombol lantai dasar. Ayu yang kelihatan tidak sabar kali ini. Instingnya mengatakan jika Pram sedang melakukan sesuatu di belakang Hani.
Begitu pintu lift yang ditumpangi Hani dan Ayu terbuka, pada saat yang bersamaan pintu lift di seberang juga terbuka. Hani seketika merasakan kakinya tidak berpijak di bumi lagi. Seluruh tubuhnya tiba-tiba tak berdaya.
Di lift seberang, ada Pram bersama dengan seorang perempuan cantik yang dikabarkan menjabat sebagai sekretaris baru, Kirana. Pram menggandeng tangan perempuan itu.
Hani bergerak maju lebih dulu saat Pram dan Kirana keluar. "Kenapa Mas—"
"Kita bicara nanti, ya."
Hani terpaku. Bola matanya membesar. Satu kenyataan yang tak pernah ia bayangkan. Sudah seminggu tidak mengabari, susah dihubungi, lalu ketika bertemu dia hanya berkata "kita bicara nanti".
Di belakang, Ayu mengepalkan tangannya kuat-kuat. Siap untuk meninju wajah tanpa dosa pria di hadapannya itu. Tidak terima temannya digantung tanpa kejelasan. Sudah jelas sekarang jika Pram dan Kirana ada sesuatu yang Hani tidak tahu.
Hani membiarkan kekasihnya pergi bersama perempuan itu. Ayu menyentuh bahunya menyalurkan kekuatan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro